I M E L D A
Reformasi membawa udara perubahan di mana-mana. Salah satu tema yang kembali diangkat ialah identitas. Merespons hal ini, elite intelektual-politis Lampung kembali terilhami dengan pertanyaan mendasar mengenai siapa orang Lampung itu sebenarnya? Sebelum sampai pada apa yang menjadi inti kelampungan, akan diberikan ide-ide kelampungan dari latar politis Orde Baru. Baru kemudian kepada konsep kelampungan di era otonomi daerah.
Orde Baru dan Kelampungan
Hilman Hadikusuma adalah seorang elite intelektual Lampung yang merumuskan kelampungan pada era reformasi. Bukunya yang berjudul Masyarakat dan Adat Istiadat Lampung (1990) memuat beberapa kumpulan tulisan yang diakui pernah diangkat dalam seminar-seminar. Ada satu inti penjelasan mengenai kelampungan yang ia paparkan, yaitu piil pesenggiri.
Di dalam inti kelampungan tersebut, beliau memaparkan empat unsur piil pesenggiri, antara lain: (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, dan (4) sakai sambayan. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas apa makna setiap bagian piil pesenggiri tersebut, tetapi saya hanya ingin memfokuskan pada dua hal penting yang diangkat oleh Hadikusuma untuk menjawab persatuan dan kesatuan yang menjadi terma penting di era Orde Baru.
Persatuan ini ditafsirkan sebagai penghilangan feodalisme yang berpremordialisme dengan sepakat dengan pembedaan manusia berdasarkan strata sosial. Untuk menghilangkan itu, Hadikusuma menghadapkannya dengan modernisme yang sifatnya terbuka: one man one vote.
Dalam memasukkan idenya mengenai ini, pemikir Lampung ini melemahkan poin pertama dalam piil pesenggiri dan menguatkan tiga poin terakhir. Baginya, pelaksanaan juluk adek "mengambil gelar" dengan cakak begawei "naik adat" hanya menghambur-hamburkan uang. Upacara adat tersebut, menurut dia, dihilangkan saja dan gelar-gelar adat diganti dengan gelar-gelar kesarjanaan yang lebih cocok untuk menaklukan dunia pada zaman modern ini.
Sementara itu, nemui nyimah, nengah nyapur dan sakai sambayan diangkat sebagai nilai yang baik karena dengan itu orang Lampung menjadi orang yang terbuka dengan pendatang dan bisa berbagi karena suka saling memberi, dengan atau tanpa pamrih. Baginya, nilai-nilai ini sangat mengakomodasi "persatuan dan kesatuan" yang disinyalkan dari Jakarta.
Otda dan Kelampungan
Seiring dengan perubahan politik, terma persatuan dan kesatuan kembali diinterpretasi ulang: bersatu tidak berarti satu. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk kembali menentukan identitas dirinya. Untuk kepentingan identitas Lampung itu, seorang pemikir Lampung kembali memformulasikan kelampungan dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
Puspawidjaja ialah seorang penerus Hadikusuma yang menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006). Serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, sarjana ini juga kembali memikirkan tentang inti kelampungan yang bermuara pada piil pesenggiri.
Meski demikian, pemikiran yang dibuat oleh Puspawidjaja membalik apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya. Ia kembali mengangkat juluk adek sebagai ritual yang penting untuk dilakukan. Baginya hal tersebut tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme untuk menguatkan Kepunyimbangan "kepemimpinan" Adat Lampung. Tentu saja argumen tersebut benar karena dengan juluk adek akan kembali terbentuk stratifikasi sosial yang kembali kepada bentuk masa lalunya karena ada mekanisme pemilihan pemimpin atau raja hingga kepada pemimpin di ranah kerumahtanggaan.
Tiga poin lain juga menjadi tema penting yang dibahas oleh Puspawidjaja. Ini karena, baginya, menjadi Lampung adalah melaksanakan empat poin dalam piil pesenggiri. Namun, ada satu poin yang menjadi perhatian penting di dalam tiga poin terakhir, yaitu mawarei "bersaudara". Untuk hal tersebut, ia menulis satu bab khusus mengenai ritual mawarei, dari makna hingga cara pelaksanaannya.
Kelampungan: Bahasa Minoritias
Mengikuti ide-ide kelampungan dari Orde Baru hingga otonomi daerah seperti mendengarkan cerita mengenai kelompok minoritas. Mengapa demikian?
Pada era Orde Baru, Hadikusuma melihat orang Lampung sebagai kelompok minoritas secara eksplisit. Baginya daerah ini sudah penuh disesaki oleh pendatang-pendatang Jawa yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk asli Lampung. Ia menggambarkan peta Lampung seperti kepala ikan yang terbuka, yang siap memangsa para pendatang dari tanah Jawa.
Kata kunci minoritas ini kemudian diterjemahkan oleh Hadikusuma sebagai kelompok yang bisa menerima siapa saja dengan menghilangkan ritual-ritual yang menguatkan resistensi penduduk asli dengan pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut pendapat saya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk Lampung yang sedikit, tetapi juga posisi politis yang lemah. Pada masa Orde Baru, tentu kita tahu bahwa jabatan gubernur Lampung dan jabatan-jabatan penting yang menentukan, kebanyakan, ditunjuk dari atas dan, faktanya, mayoritas pejabat tersebut adalah orang Jawa. Selain itu, tekanan dari rezim Orba cukup kuat untuk meredam suara-suara dari kelompok minoritas.
Di masa otonomi daerah, sebenarnya suara keminoritasan itu tidak berkurang. Hanya nyalak aum-nya menjadi sedikit keras karena ada peluang bagi orang Lampung untuk berbicara. Namun, pada masa ini, sebagian intelektual lampung, termasuk Puspawidjaja, orang Jawa tidak dilihat sebagai eksistensi oposisi Lampung, tetapi sebagai rekan sederajat. Mengapa demikian? Bagi Puspawidjaja, kehadiran orang Jawa sudah sebagai realitas yang tidak bisa ditampikkan lagi sehingga menghilangkan Jawa, boleh dikatakan penghilangan identitas kelampungan. Hal ini bisa ditelisik dari pemikirannya mengenai mawarei karena melalui ritual ini adalah ia mengusulkan agar melampungkan orang non-Lampung (baca: Jawa) dengan ritual adat sehingga menjadi saudara yang dekat hubungannya.
Bagi saya, penafsiran identitas Lampung pada era otonomi daerah ialah sebuah langkah yang baik. Hal ini karena di saat daerah-daerah lain sibuk meliyankan dirinya dengan pengusiran-pengusiran penduduk pendatang atau melakukan aksi demo untuk membuat provinsi sendiri, sebaliknya, orang Lampung malah merangkul saudara se-Indonesia-nya (baca: Jawa) untuk menjadi mawarei.
Penduduk Lampung asli memang minoritas dan itu sebuah realitas. Akan tetapi, kelapangan hati orang Lampung membuat saya belajar sesuatu, yaitu menjadi minoritas di tengah Indonesia yang beragam ini tidak selalu harus menjadi terpojok. Dominasi minoritas dan mayoritas memang kapan saja bisa menghantui, tetapi, rasanya, di Lampung kontestasi tersebut tidak cukup beriak karena posisi politis yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Lampung dan kerja sama yang baik dari orang Jawa menjadi sinergi yang baik untuk membangun Provinsi Lampung.
Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Lampung Post, 17 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment