Friday, August 13, 2010

MEMFUNGSIKAN KEMBALI PERAN KEARIFAN TRADISIONAL DAERAH LAMPUNG DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK

Oleh FACHRUDDIN





Peneliti Kebudayaan Indevenden
Staf Dinas Pendidikan Provinsi Lampung

Pendahuluan.

Nampaknya konflik adalah sesuatu yang pasti akan terjadi di tengah masyarakat, terlebih pada masyarakat yang semakin padat dan manjemuk. Era reformasi ini sebenarnya yang diharapkan adalah masyarakat semakin demokratis, tetapi nyatanya dalam menuju demokrasi kita dihadapkan dengan berbagai konflik. Konflik konflik pada era ini mengharuskan penyelesaiannya melalui lembaga hukum se-
belum terlanjur mereka selesaikan dengan cara kekerasan, karena kekerasan dalam menyelesaikan konflik justeru akan menambah masalah baru. Lalu dapatkah kita memanfaatkan kearifian tradisional untuk mencegah konflik.?

Dahulu masyarakat adat daerah Lampung mampu menyelesaikan konflik konflik eksternal yang terjadi di tengah masyarakat dengan cara menyesuikan dengan hukum yang brlaku umum, hal tersebut direkam sepenuhnya dalam naskah “Dalung Kuripan”. Sedang masalah internal diselesikan melalui pertemuan pertemuan intensif antar sesama pemimpin adat, mereka menyelesaikan masalah tersebut dengan mengacu kepada aturan aturan yang mereka miliki, seperti kitab kuntara rajaniti, keterem, cepalo dan lain sebagainya, yang sekarang terakumulasi dalam falsafah piil pesenggiri.

Falsafah piil pesenggiri daerah Lampung adalah merupakan kearifan tradisional daerah Lampung. Mengingat mudah dan banyaknya peluang untuk terjadinya konflik di masyarakat maka tidak salahnya bila kita berharap masyarakat akan mampu menyelesaikan konflik konflik yang terjadi secara damai tampa memakan korban yang tidak perlu. Masyarakat diharapkan memiliki peluang untuk memanfaatkan kearifan tradisional masyarakat Lampung. Sebagai alternative ketika penyelesaian konflik melalui lembaga peradilan selain membutuhkan waktu yang panjang, juga biaya. Sedang hasilnya selalu saja kurang diterima secara bulat oleh mereka para pihak yang terkena konflik, dan selalu saja meninggalkan luka yang berpotensi memperpanjang konflik.

Nilai Kearifan Tradisional Lampung.

Sungguh merupakan kekayaan yang tidak ternilai atas kepemilikan masyarakat Lampung terhadap falsafah piil pesenggiri. Falsafah ini memang dirancang sebagai persiapan mendirikan Kesultanan Islam di Lampung atas advokasi Kesultanan Islam Banten-Cirebon dan Demak, karena dibanding ketiga Kesultanan Islam itu maka Lampung lebih memiliki nilai prospektif. Produk hutan dan perkebunan di Lampung mendominasi perniagaan melalui pelabuhan Banten, maka Lampung yang memiliki beberapa pantai yang dapat dijadikan pelabuhan besar yang disinggahi kapal besar, dan sungai sungaipun dapat diarungi hingga jauh ke pedalaman.

Kearifan tradisional daerah Lampung adalah konsep matang tentang proses akulturasi dengan dasar persamaan dan kesetaraan antara satu dengan yang lain. Dengan bermodalkan nilai nilai kesetaraan dalam piil pesenggiri maka akan banyak hal yang dapat diselesaikan dengan cara yang proporsional. Bukan penyelesaian dengan cara mengorbankan ketidak berdayaan seseorang atau kelompok serta kesewenangan orang atau kelompok lain.


Nilai Kehormatan, akan kita dapatkan dari unsure piil pesenggiri yang pertama yaitu nemui nyimah, terdiri dari dua kata yaitu nemui yang artinya tamu dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Falsafah tamu atau pertemuan menjadi penting artinya dalam tata hubungan masyarakat, karena aktivitas pertamuan atau pertemuan pada umumnya adalah bertemunya dua atau bahkan berbagai (banyak) kepentingan untuk mencari suatu titik sentuh yaitu kepentingan bersama, itulah sebabnya kata nemui atau tamu disandingkan dengan simah yang artinya santun. Karena ketercapaian kesepakatan dari aktivitas pembicaraan dalam sebuah pertemuan atau pertamuan adalah kesantunan.

Kesepakatan kesepakatan yang dihasilkan dari sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para pihak hanya akan dicapai dengan kesantunan para pihak semua. Kesepakatan itu juga hanya akan dicapai setelah masing masing mengesampingkan berbagai kepentingan pribadi maupun golongagan. Kesantunan dan semangat kebersamaan akan menyelesaikan konflik yang terjadi antar para pihak, apalagi kalau kesantunan dan kebersamaan itu di praktikkan oleh para pihak yang setara.

Nilai kesetaraan, akan kita dapatkan dalam unsure piil pesenggiri yang kedua, yaitu nengah nyappur. Terdiri dari dua kata yaitu kata nengah yang berarti bersaing atau ertanding dan kata nyappur yang artinya tenggang rasa. Kata nengah yang sebenarnya memiliki tiga arti, yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding adalah menunjukkan bahwa sebenarnya setiap seseorang dalam menyelesaikan permasalahan harus tetap dijamin hak hak civicsnya. Orang yang bekerja keras umpamanya berhak untuk mendapatkan hasil yang banyak, orang yang memiliki keterampilan akan berhak menghasilkan sesuatu yang lebih baik, dan orang yang pilih tanding akan berhak mendapatkan kemenangan.

Tetapi itu semua dilakukan adalah dengan rasa toleransi yang tinggi, artinya mendapatkan hasil yang sebanyak banyaknya, menghasilkan yang terbaik dengan ketermpilan yang dimiliki untuk kesenangan dan kegembiraan banyak orang (public) dan prestasi tinggi atau kemenangan dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan bersama. Sehingga nengah nyappur pada essensinya adalah bukan saling mengalahkan, tetapi adalah justeru memupuk semangat kesetaraan.


Nilai Kebersamaan, tergambar dalam unsur piil pesenggiri sakai sambaian, yang terdiri dari dua kata, sakai yang berasal dari kata kakai, kekai atau akai, yang artinya buka, terbuka atau keterbukaan dan kata sambai atau sumbai yang artinya pelihara. Sikap terbuka ini menunjukkan keharusan seseorang untuk siap dikoreksi, tetapi dilain pihak juga para pihak dalam waktu bersamaan juga harus bersikap memelihara.

Koreksi dalam hal ini bukan berarti keharusan mengikuti keinginan salah satu pihak kepada pihak yang lain, tetapi lebih ditujukan sebagai upaya memeilahara terhadap hal hal yang sudah semestinya, atau dengan kata lain melaksanakan keniscayaan-keniscayaan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain upaya upaya para pihak untuk mencari kebenaran dan bersepakat melaksanakan kebenaran itu. Sekalipun kebenaran itu menjelma menjadi sesuatu yang baru, atau diluar keinginan para pihak sebelumnya. Bila memang itu merupakan titik temu k,ebersamaan para pihak.

Nilai Pembaharuan, akan nampak pada unsur juluk adek baik juluk maupun adek menunjukkan keharusan akan adanya pembaharuan pembaharuan. Baik juluk maupun adek adalah merupakan nama nama baru, nama baru yang diberikan kepada seseorang yang mencapai prestasi baru. Pembaharuan juga adalah merupakan alternative manakala konflik terhadap hal hal tertentu sulit dicarikan jalan keluarnya, dan akan lebih sulit lagi manakala dipaksakan untuk memilih salah satu opsi dari dua pihak atau lebih yang mengalami konflik.

Pembaharuan merupakan alternative cerdas bagi jalan buntu yang dialami dalam sebuah perundingan, oleh karenanya dua pihak harus mencari alternative lain yang merupakan win win solution, alternative yang dapat diterima oleh para pihak yang mengalami konflik.

Titi Gemeti.

Selain piil pesenggiri ada juga titi gemeti, sebenarnya titi gemeti ini adalah kelanjutan atau keniscayaan dari piil pesenggiri, kalau piil pesenggiri adalah nilai filosofisnya, maka titi gemeti adalah petunjuk operasionalnya. Titi gemeti adalah merupakan tata titi, tata cara serta tata aturan, yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan piil pesenggiri.
Gap yang masih dialami dan belum atau sulit terselesaikan oleh piil pesenggiri maka titi gemeti adalah petunjuk cara penyelesaiannya. Titi adalah jembatan atau tangga yang akan memiliki kemampuan menjembatani berbagai perbedaan.

Kalau titi diartikan jembatan, maka berarti dia berfungsi menghubungkan antara dua wilayah yang terpisah oleh sungai atau jurang, tetapi manakala titi diartikan alat untuk meniti atau menapaki tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah (tangga), maka berarti titi gemeti adalah alat untuk mempertemukan dua posisi yang berbeda (tinggi dan rendah).

Dengan titi gemeti maka semua konflik pada masa lalu dapat diselesaikan dengan tuntas, dan penyelesaian ala titi gemeti pada masa lalu dapat dislesaikan dengan simpul akhir merupakan sebait pantun, sebait sair, sebait kata bijak, dan itupun melahirkan kepuyasan bagi mereka yang mangalami konflik. Artinya nilai nilai seni pada masa lalu memiliki kemampuan untuk membuka dan menggugah hati para pihak yang mengalami konflik, karena memang seni pada masa itu dilahirkan dari semangat dan nilai (1) kehormatan, nilai (2) kesetaraan dan nilai (3) kebersamaan, dengan semangat egaliter.

Masyarakat Egaliter.

Ditinjau dari karakter karakter falsafah piil pesengiri maka masyarakat Lampung terbilang egaliter, tidak menganut strata bertingkat dengan keharusan kepatuhan bagi masyarakat bawah kepada kelompok masyarakat dengan strata yang lebih tinggi. Nampaknya hal ini juga berkaitan dengan perjalanan hystoris masyarakat Lampung yang tidak dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Hubungan antar masyarakat relative setara. Itulah sebabnya maka dalam falsafahnya ditekankan untuk lebih menghayati nilai untuk saling menghormati (nemui nyimah), kesetaraan (nengah nyappur), kebersamaan (sakai sambaian) dan juga pembaharuan (juluk adek). Ditambah lagi dengan tata-titi, sebagai petunjuk pelaksanaan dari piil pesenggiri dalam kehidupan sehari hari.

Sebagai masyarakat egaliter sebenarnya peluang konflik sangat besar, karena masing masing tidak ada keharusan patuh kepada yang lain secara terpaksa. Kepatuhan lebih dikarenakan oleh berbagai factor kesamaan, atau ada kepentingan yang lebih besar, dan itu bukan kepatuhan yang sebenarnya. Tetapi dipihak lain egaliterianisme masyarakat Lampung sebenarnya juga keuntungan yang sangat besar bagi perkembangan masyarakat, atas dasar kesediaan menerima sesuatu yang datang dari luar. Karena dapat secara objektif berfikir untuk menerima sesuatu yang dianggap lebih baik.

Kebersediaan untuk menerima sesuatu yang dinilai lebih baik akan memberikan harapan untuk memiliki keterampilan konyak budaya hingga mengalami kemajuan yang luar biasa. Hal ini akan tergantung kepada intensitas volume kontak masyarajat budaya Lampung dengan pihak lain. Ketermpilan melaksanakan kontak budaya adalah percepatan menuju akulturasi yang akan menjelma menjadi masyarakat modern.



Konflik dan Penyelesaiannya

Jika dahulu konflik dapat diselesaikan dengan pertemuan pertemuan yang intensif antar pemuka adat, maka sekarang, sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Desa, maka pimpinan adat tak lagi banyak berperan, karena perannya telah diambil alih oleh Pemerintahan Desa. Dan konflik konflik yang terjadi harus diselesaikan melalui lembaga lembaga hukum, setidaknya Kepolisian.

Jika dahulu sumber konflik meliputi urusan kepemilikan terhadap lahan atau barang, batas wilayah, perusakan terhadap sumber hajat public seperti sumber air, serta pencemaran nama baik. Maka konflik pada masa sekarang akan lebih cenderung pada masalah kekuasaan dan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui bahwa konflik berkepanjangan pernah terjadi antara ekskutif dan legislative di Lampung, konflik juga akan terjadi setiap kali diselenggarakannya pemilihan Kepala Daerah. Perebutan lahan pekerjaan yang semula sebenarnya masalah pribadi dapat berubah menjadi konflik kelompok.

Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menanamkan piil pesenggiri, sebagai value yang diterima untuk menentukan sikap atau attitude masyarakat, sehingga dalam proses penyelesaian konflik akan menjadi mudah, dan bila perlu tidak berlanjut ke meja persidangan. Kita berharap dengan sikap sikap seperti yang dituntunkan oleh falsafah piil pesenggiri konflik yang terjadi dapat diselesaikan secara arif. Dan bahkan terjadinya konflik dapat terantisipasi.

Peran Pendidikan Formal.

Sebenarnya pendidikan formal berpeluang untuk menanamkan nilai nilai piil pesenggiri melalui pendidikan formal, tepatnya mata pelajaran muatan local (mulok), yang pada saat ini untuk tingkat SD adalah mata pelajaran bahasa atau aksara Lampung. Tetapi sayang pembelajaran mata pelajaran ini lebih ke aksara daripada bahasa. Yang lebih fatal lagi bahwa mata pelajaran ini tidak mengusung value dan nilai nilai yang terdapat dalam falsafah piil pesenggiri. Kalau saja mata pelajaran ini berhasil mengusung nilai ini secara benar, maka falsafah yang demikian bagus dan modern akan menjadi value peserta didik yang akan mempengaruhi attitude mereka.

Mata pelajaran muatan local diharapkan memiliki mission untuk mengkonstribusikan nilai nilai luhur piil pesenggiri senagai kearifan daerah Lampung. Olehkarenanya maka bahan ajar dapat diramu sedemikian rupa sehingga materi tau bahan ajar secara keseluruhan terintegrasi dengan nilai nilai piil pesenggiri.

Dalam proses pembelajaran selain harus memiliki pola pengintegrasian kita juga harus memiliki model pembelajaran yang pas dengan konten sehingga mission dapat diaksep oleh peserta didik dengan mudah, untuk itu maka media atau sarana pendidikan juga harus disiapkan dengan sebaik mungkin. Selain para guru yang juga harus memenuhi semua kompetensinya.

Peran Lembaga Adat.

Lembaga adat sebebanrnya memiliki peran yang sangat strategis untuk menanmkan falsafah piil pesenggiri kepada warganya. Bahasa yang digunakan serta berbagai upacara daur hidup yang lazim dislenggarakan pada komunitas masyarakat adat itu menjadi sesuatu yang paling komunikatif untuk mensosialisasikan serta mengaktualisasikan nilai nilai yang ada dalam piil pesenggiri.

Suatu komunitas yang kait mengait antara satu dengan yang lain dengan ikatan perkawinan akhirnya menjadi system hubungan yang utuh, dan akan dengan mudah bersepakat untuk berpegang pada nilai nilai yang akan memberikan kemampuan untuk mempertahankan keberadaan dan eksistnsi komunitas tersebut. Oleh karenanya maka peran lembaga adat sangat besar untuk mengaktualisasikan nilai nilai piil pesenggiri setidaknya pada komunitas tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa volume kawin silang antar subetnis dengan penduduk pendatang semakin meningkat jumlah volumenya. Hal ini akan memberikan harapan agar piil pesenggiri juga dihayati masyarakat pendatang.

Pemerintah sebaiknya berusaha memberdayakan lembaga adat, sehingga lembaga adat ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan nilai luhur budaya daerah, dan secara otomatis juga akan mempertahankan nilai luhur budaya bangsa. Kelompok utama yang adiharapkan akan mempertahankan nilai luhur budaya daerah adalah pendukung dan pelaku budaya tersebut. Yaitu pendukung dan pelaku budaya piil pesenggiri.

Lembaga Adat Buatan.

Mengingat ketidak berdayaan lembaga adat yang telah berlangsung cukup lama maka seyogyanya instansi Pembina masyarakat adat berupaya menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat dan lembaga adat. Setidaknya menyelenggarakan workshop pemberdayaan lembaga adat dengan mengikut sertakan utusan lembaga adat dan dan juga diikuti oleh aparat instansi pembinaan kebudayaan daerah Lampung. Sehingga selain ada upaya pemerintah maka secara internal lembaga adat memiliki juga kemampuan untuk membina diri untuk menjadi lembaga yang benar benar mandiri.

Walaupun bagaimana lembaga adat tidak dapat direkayasa dengan cara menciptakan lembaga adat buatan, karena tidak akan refresentatif mewakili lembaga adat yang sungguhan, karena masing masing lembaga adat memiliki tradisi yang sulit teridentifikasi secara keseluruhan oleh pihak lain, karena masing masing lembaga adat memiliki mekanisme perubahannya sendiri sendiri. Maka terlalu berharap untuk memerankan lembaga adat buatan untuk mewakili lembaga adat yang sejati menjadi mustahil.

Kecuali bila lembaga adat buatan ini hanya memerankan dirinya sebagai forum komunikasi belaka. Program forum ini hendaknya adalah mengupayakan pemberdayaan lembaga adat, bukan justeru mengambil alih peran lembaga lembaga adat yang ada. Perannya adalah mengkomunikasikan antara lembaga adat dengan Pemerintah dalam rangka pemberdayaan lembaga adat. Dan bukan melakukan konspirasi untuk melangkahi lembaga adat, karena hal tersebut akan sama dengan membunuh eksistensi lembaga adat itu sendiri.


Piil Pesenggiri Bernilai Universal.

Ditinaju dari unsur unsurnya maka piil pesenggiri sebenarnya adalah nilai nilai tradisionmal yang sejatinya bernilai universal, seperti demokrasi, mandiri, dan toleransi seperti yang tergambar dalam unsur unsur piil pesenggiri yaitu (1) nemui nyimah (kehormatan), (2) nengah nyappur (kesetaraan), (3). Sakai sambaian (kebersamaan) dan (4) juluk adek (pembaharuan). Banyak daerah yang memiliki kearifan tradisional, tetapi tidak seperti kearifan tradisonal yang dimiliki daerah Lampung. Masyarakat Lampung adalah masyarakat yang mengenal bahasa, aksara dan filsafat memang sepantasnya memiliki kearifan tradisional yang modern. Keraifan tradisional daerah Lampung memenuhi kaedah masyarakat modern.

Universalitas keraifan tradisional masyarakat Lampung memberikan peluang kepada siapapun untuk menganutinya dan memperaktekkannya. Masyarakat Lampung seyogyanya menawarkan kearifan ini kepada masyarakat pendatang di Lampung, karena piil pesenggiri memiliki kepatutan untuk dianut oleh siapapun yang memiliki wawasan kemoderenan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Universalitas piil pesenggiri seyogyanya dijadikan bahan untuk membentuk karakter building.

Falsafah piil pesenggiri yang memang memiliki karakter modern dan demokratis seyogyanya diterima oleh semua pihak untuk dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik konflik yang terjadi pada masyarakat. Karakter universalitas piil pesenggiri dapat membantu permasalahan yang dihadapi oleh siapa saja yang mengalami konflik konflik di tengah masyarakat. Kearifan tradisional yang memiliki nilai nilai universal adalah sesuatu yang perlu diaktualisasikan.

Peran Pemerintah.

Peran Pemerintah adalah untuk memfasilitasi dan menciptakan suasana yang kondusif untuk kemadirian lembaga adat serta aktualisasi piil pesenggiri. Karena ketidak berdayaan lembaga adat adalah akibat dari diberlakukannya UU Pemerintahan Desa. Oleh karenanya upaya mempertahankan keberadaan lembaga adat membutuhkan payung hukum sehingga pembinaan lemabaga adat teranggarkan secara signifikan baik pada APBD Provinsi dan Kabupaten. Pemberdayaan lembaga adat tidak akan tercapai tampa payung hukum.

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten harus mengeluarkan Perda (Peraturan daerah) untuk keberadaan lembaga adat. Dengan Perda dimaksud maka biaya pembiberdayaan dan pembinaanpun akan teranggarkan. Lembaga adat dan nilai nilai tradisonal bagaikan dua mata uang koin yang tak terpisahkan. Pemberdayaan lembaga adat tak akan memiliki arti yang signifikan tampa adanya konstribusi value untuk merubah dan mengembangkan attitude. Dan aktualisasi piil pesenggiri juga tak akan mencapai hasil optimal tampa adanya dukungan komunitas pelaku adat.

Dengan munculnya Perda keberadaan lembaga adat, maka akan lebih mengikat para pihak terkait untuk melakukan atau melaksanakan tahapan tahapan program secara akutabilitas. Hanya dengan program program itulah maka keberdayaan lembaga adat serta aktualisasi kearifan tradisional piil pesenggiri akan teraktualisasi. Dengan teraktualisasinya piil pesenggiri maka konflik akan terantisipasi. semoga.