Sunday, April 4, 2010

LAMPUNG BERBUDAYA EGALITER


Semangat egaliter pada pendukung dan pelaku budaya Lampung memang mengesankan penonjolan klaim. Tetapi bukan bererati budaya Lampung dibentuk dengan kelaim yang bisa benar atau bisa salah, lalu kita menyerahkannya kepada perjalanan sejarah. Bisa saja pengamat memvonis, tetapi itu bukan tindakan yang bijak dan dapat diwariskan kepada anak didik.

Niat Budi P Hatees atau Budi Hutasuhut untuk menulis dan menerbitkan buku tentang Lampung yang bahannya diambil dari berbagai penulis yang tulisannya pernah dimuat di media massa atau belum dipublikasikan saya dukung seratus persen, tetapi mengecap tulisan tulisan yang sebagain dipolemikkan itu hanya sekedar hasil klaim semata jelas hal ini harus didiskusikan terlebih dahulu. Karena memvonis budaya Lampung hanya sekedar kelaim belaka nampaknya kurang realistis. Apalagi tulisan tersebut dimaksudkan akan untuk dijadikan bahan pelajaran di sekolah formal pada tingkat dasar dan menengah. Bahan pelajaran yang diambilkan dari bahan yang masih kontroversi akan bertentangan dengan kaidah pembelajaran.

Secara geografis Lampung ini memiliki wilayah yang jelas, serta penghuninyapun jelas. Dan budayapun sejatinya juga jelas. Heteroginitas Lampung yang juga egaliterian lalu melahirkan keanekaragaman menurut hemat saya itu semua masih berada pada koridor nuansa bening, bukan sesuatu yang keruh, kusut yang yang tak mungkin dapat diuraikanm. Hanya saja itu membutuhkan waktu. Memang dari sudut pandang tertentu akan membuat kita menyerah, tetapi kepasrahan itu tak layak untuk diwariskan atau diajarkan kepada generasi muda yang sedang mencari jatidirinya.

Saya lebih memandang keanekaragaman di lampung adalah sesuatu yang wajar, yang kita harapkan sekarang agar pendukung budaya Lampung mampu mencari dan menemukan titik temu, sehingga keanekaraggaman merupakan kekayaan semata. Saya tidak menutup mata akan adanya pihak pihak yang ingin memaksakan pendapatnya untuk diakui sebagai pendapat yang paling benar. Tetapi itu wajar saja, asalkan tidak berlarut larut, karena akan merugikan generasi mendatang. Tetapi bukanlah berarti kalim itu yang harus kita tangkap sebagai inti budaya Lampung, karena hanya merupakan proses semata.

Karakter egaliterian di lampung yang didorong oleh unsur piil pesenggiri ”Nengah Nyappur” bukan sebuah ’aib, melainkan kekayaan jua adanya. Tetapi tidak semua budaya daerah memiliki karakter yang egaliterian, karena ada juga budaya yang sangat dialogis, yang memiliki kemampuan mengaksep sesuatu yang abu abu. Tetapi ini juga bukan merupakan ’aib. Saya ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah kekayaan.

Kalaupun kita ingin mewariskan sesuatu melalui pendidikan formal pada level pendidikan dasar dan menengah, maka yang harus kita wariskan adalah nilai nilai (value) yang mampu membimbing peserta didik kedalam sikap sikap (attitude) yang benar. Oleh karena bahan ajarpun harus klear. Bukan sesuatu yang kontroversial dan bukan pula hasil klaim semata, yang harus kita serahkan pula kepada sejarah untuk menghakiminya.

Tetapi kalau yang kan ditanamkan adalah semangat egaliter melalui budaya Lampung, maka itu adalah sesuatu yang positif, generasi muda kita membutuhkan semangat egaliter ini, apalagi seperti dalam Piil Pesenggiri semangat egaliter ini dikuatkan dengan dua kata, yaitu Nengah dan Nyappur, nengah yang juga berarti kerja keras, berketerampilan selain bertanding atau bersaing yang disandingkan dengan nyappur yang artinya tenggang rasa. Dengan demikian kepada peserta didik kita buykan mewariskan sebuah pertengkaran tetapi justeru mewariskan sesuatu yang bernilai.

Tetapi kita nelum melihat bagaimana sebenarnya gagasan Budi Hutasuhut dalam menulis buku ajar. Tetapi yang jelas pasti yang bersangkutan memang butuh masukan dari berbagai pihak. Terimalah ini sebagai sebuah masukan. Terlepas dari seberapa benar kebenarannya. Terima kasih.

4 comments:

  1. Sebenarnya saya kurang mengetahui tentang nilai-nilai egaliter yang terdapat di dalam budaya Lampung. Akan tetapi tulisan bapak diatas menjelaskan bahwa, di dalam piil pesenggiri semangat egaliter ini dikuatkan dengan dua kata, yaitu Nengah dan Nyappur, nengah yang juga berarti kerja keras, berketerampilan selain bertanding atau bersaing yang disandingkan dengan nyappur yang artinya tenggang rasa. Jika demikian, saya sangat setuju sekali apabila nilai-nilai egaliter tersebut dipertahankan, yaitu dengan cara mewariskannya kepada para generasi muda. Kendatipun nilai-nilai egaliter yang diwariskan tersebut merupakan dogma dari budaya Lampung, hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Karena nilai-nilai egaliter yang terkandung di dalamnya sangatlah bagus untuk diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.

    Menurut saya, budaya manapun yang didalamnya terkandung nilai-nilai positif, maka kita harus mempertahankan budaya tersebut.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas komentarnya. Benar bahwa budaya Lampung memiliki karakter egaliter, seperti yang tergambar dalam falsafah piil pesenggiri yaitu :
    - nemui nyimah (produktif)
    - nengah nyappur (kompetitif)
    - sakai sambaian (koperatif)
    - juluk adek (inovatif)
    Dari unsur piil pesenggiri tersebut di atas maka nampak sekali bahwa unsur yang kedua (nengah nyappur) akan mendorong sikap egaliter bagi penganut atau pendukung piil pesenggiri.
    Benar bahwa nilai nilai ini akan effisien dan efektif manakala diajarkan melalui lembaga pendidikan.

    ReplyDelete
  3. Ass.maaf pak,kalau ini masuk,ini hanya testing dulu pak.

    ReplyDelete