Sunday, October 7, 2012

Budaya Bediom di Lampung Barat

Budaya "Bediom" (pindah rumah) harus terus dilestarikan masyarakat Lampung Barat sebagai warisan leluhur, kata bupati setempat Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.
"Adat budaya yang dimiliki Lampung Barat beragam, sehingga menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri, salah satunya adalah ’Bediom’," kata Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.
Dia menjelaskan, tradisi "Bediom" menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat adat di Lampung Barat. "Dengan keaslian budaya turun temurun ini, akan membawa dampak yang positif bagi pelestarian budaya di tengah zaman yang serba canggih seperti ini," kata dia.

Menurut dia, budaya "Bediom" menjadi budaya asli Lampung Barat saat melakukan prosesi pindah rumah.
Kemudian, lanjut dia, Lampung Barat sebagai kawasan zona budaya di Provinsi Lampung.
"Beragam keunikan budaya menjadi daya tarik bagi Lampung Barat menjadi kawasan pariwisata, sehingga ini menjadi upaya pemerintah untuk menjadikan Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional," kata Bupati.
"Bediom" merupakan budaya dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat yang akan pindah rumah baik itu rumah yang baru di bangun atau rumah yang telah lama berdiri dan akan ditempati oleh penghuni yang baru.
"Bediom" di rumah kediaman yang baru, menurut adat asli Lampung Barat yang sudah dapat mendirikan rumah pribadi yang baru, serta semua peralatan rumah itu serba baru, di tempat yang baru juga maka keluarga tersebut sudah merencanakan untuk "Bediom" di kediaman keluarga yang serba baru itu, jika sudah siap untuk dihuni keluarga, disebut "Bediom" di "lamban" (Rumah).
Budaya "Bediom" menjadi kebiasaan adat yang ketat di Lakukan masyarakat Lampung Barat, sebab "Bediom" ini, bermaksud menunjukkan tanda kesukuran kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan.
Doa "bediom" disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga untuk mengundang keluarga banyak atau tidaknya yang diundang, kalau keluarga tersebut termasuk mampu, maka pelaksanaan "Bediom" akan meriah.
Pelaksanaan "bediom" itu dilaksanakan pada hari-hari yang baik seperti bulan muharam, bulan maulud dan bulan haji.
Menurut penuturan masyarakat adat setempat waktu yang baik untuk melaksanakan "Bediom" adalah pada waktu sebelum subuh dan waktu isha sudah lewat jadi di mulai jam 4.30 Wib, sampai dengan jam 5.00 WIB.
Keluarga yang "bediom" itu mulai berangkat dari tempat yang lama ke tempat yang baru dan keluarga yang "Bediom", kepala keluarga dan anak istrinya di iringi oleh keluarga yang lain yang hadir pada saat itu sampai ke kediaman yang baru.
Sedangkan alat yang di bawa secara simbolis seperti alat tidur, alat masak, lampu, Quran dan sajadah yang kesemuanya dibawa oleh keluarga yang ikut mengiringi "bediom" itu, alat tidur ini menandakan mengawali tidur di tempat yang baru.
Peralatan masak pertanda bahwa keluarga akan memulai kehidupan ditempat yang baru, belanga, beras, teko, gula, kopi, serta lampu. Lampu ini dinyalakan mulai dari tempat yang lama ke tempat yang baru.
Quran dan sajadah di bawa oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan ini pertanda bahwa kepala keluarga tersebut jadi pemimpin dan imam bagi keluarganya.
"Saya berharap tradisi "Bediom" terus dilestarikan oleh masyarakat Lampung Barat, sehingga adat budaya warisan leluhur, dapat lestari meskipun budaya barat tengah berkembang di tengah masyarakat" katanya.

Tuesday, October 2, 2012

Menafsir Ulang "Pantun Azimat"

Pantun Azimat.


“Paksi Pak geralni
Sinno asli ni Lampung
Ngejual mak ngebeli
Dilom adat ni Lampung”

“Pisan simbayang tinggal
tempanjin di neraka
pissan saibatin tisakkal
hak lebon suaka mena”

“Khiah-khiah kik dawah
kekunang kik debingi
kik Sai Batin merittah
tisangsat ram kikpak mati

Terjemahannya.

Paksi Pak namanya
asalnya orang Lampung
berjual pantang beli
di situ adat dijunjung

Sekali solat tertinggal
badan matang dineraka
sekali raja disangkal
alamat badan sengsara

Hiruk pikuk dikala siang
senyap kunang di gulita
patuhi raja, jangan nentang
setiakan nyawa taruhannya.

Penafsiran ulang terhadap pantun azimat yang tersebar luas di lingkungan komunitas Paksi Pak Skala Berak ini sangat penting artinya bagi penyelematan terhadap gengsi kepaksian itu sendiri. Bagi saya pantun ini tidak mengejutkan, karena saya sudah lama mendengar pantun itu dituturkan dari seseorang. Sekalipun pantun itu disebut azimat, tetapi dahulu pantun itu lebih merupakan maklumat, keharusan kepada setiap komunitas untuk mematuhi kekuasaan kepaksian. walaupun pantun itu sendiri tersusun setelah masuknya agama Islam, tetapi para loyalis menekankan ruh kekuasaan tak terbatas kedalam pantun, yang sesungguhnya memiliki perbedaan yang diametral. Untuk itu perlu kiranya kita memberikan tafsiran ulang, sehingga pantun ini semakin bermakna dan kepaksian terselamatkan olehnya.

Setelah Islam masuk lampung konten piil pesenggiripun berubah menjadi Nemui nyimah (produktif). nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (koperatif) dan juluk adek (inovatif). Memberikan tafsir piil pesenggiri sebagai falsafah masyarakat Lampung kepada pantun ini akan membuat pantun ini semakin memiliki nilai nilai prospektif bagi masyarakat pendukung adat kebuayan.

Ngejual mak ngebeli, dilom adat ni Lampung. Berjual pantang membeli, itulah lampung. Masyarakat diharapkan memiliki kemampuan memproduksi sesuatu jauh melebihi kebutuhan diri dan kebutuhan orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya. maksudnya adalah bahwa bagi seorang petani, hendaklah berpantang membeli hasil pertanian untuk sekedar memenuhi kebutuhannya. Jangan mengaku sebagai orang tani bila beras saja untuk makan sehari hari terpaksa membeli, demikian juga sayur mayur dan bermacam macam bumbu. Jadilah seorang petani yang memiliki etos kerja yang tinggi, serta mampu menghasilkan panenan yang melimpah, sehingga dapat dijual untuk keperluan hidup lainnya.


Pissan saibatin tisakkal, hak lebon suaka mena. Sekali raja disangkal, alamat badan sengsaraja untuk meningkatkan etos kerja guna menciptakan kesejahteraan bersama adalah sebuah keniscayaan. manakala masyarakat tidak memperhatikan titah yang satu ini maka ancamannya bukan hanya bagi yang bersangkutan, melainkan bagi masyarakat semua. masyarakat petani diharapkan benar benar memanfaatkan musim musim yang memberikan ketersediaan untuk bercocok tanam harus dimanfaatkan sebaik mungkin sebelum datangnya musim kemarau panjang, sehingga lahan perkebunan tak produktif.


Kik Sai Batin merittah, tisangsat ram kikpak mati. Patuhi raja jangan nentang, setiakan nyawa tauhannya. bait ini sebenarnya ditujukan kepada para ulama untuk memfatwakan bahwa perintah raja untuk meningkatkan kesejahteraan bersama adalah adalah wajib hukumnya, bahkan bekerja untuk kepentingan bersama dan masyarakat luas adalah bernilai jihad. Dan bila kita mati dalam berjihad, maka surgalah taruhannya.

Pernah para loyalis kebuayan ini berulah kurang terpuji, yaitu membelokkan pengertian dari pantun yang tersamar ini untuk melakukan hal hal yang kurang terpuji, seperti pengambilan paksa dan bahkan pengrusakan dan lain sebagainya untuk memberikan tekanan kepada masyarakat. Pantun azimat ini dijadikan alat pembenaran terhadap berbagai prilaku yang kurang perintah pengamanan dari pimpinan kepaksian nampaknya dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. dan pantun azimat ini benar benar mereka jadikan azimat untuk melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan hukum.

Untung hal ini tidak berlangsung lama, lantaran para santri yang semula melakukan kegiatan politik dan kurang disenangi Belanda itu secara diam diam melakukan eksodus ditewngah malam buta bersama keluarga besarnya. Sehingga para penggawa ini tidak lagi memiliki alasan untuk berulah yang merugikan masyarakat banyak. Tafsir keliru yang dengan sengaja dihembus hembus untuk mengambil keuntungan itupun segera berakhir. Ketika pantun ini dimunculkan kembali maka perlu rasanya memberikan tafsir ulang.


Thursday, September 27, 2012

Piil Pesenggiri Menurut Udo Z.Karzi.




Tabik,

Dalam beberapa kali tulisan Abang Fachrudin di blog Abang, saya menyimak harapan-harapan Abang tentang pengembangan kebudayaan Lampung, terutama terkait falsafah Piil Pesenggiri dalam tulisan-tulisan saya.

Tapi -- saya mohon maaf -- saya agaknya bukan orang yang tepat untuk memenuhi harapan Abang. Saya relatif memiliki perspektif yang berbeda tentang bagaimana kebudayaan Lampung.

Terkait dengan piil pesenggiri, dengan segala hormat saya ingin katakan, "Saya bukanlah penghayat Piil Pesenggiri." Apalagi seperti yang Abang katakan dalam tulisan di atas: "Nilai nilai Piil Pesenggiri itu sesungguhnya adalah nilai nilai yang akan dikembangkan atas kesepakatan Lampung, Banten, Cirebon dan Demak yang berencana untuk mendiriksn Kesultanan Islam yang modern di Lampung, yang akan menggabungkan karakter Sumatera yang egaliter dengan karakter jawa yang telah teruji memiliki kemampuan mempertahan kekuasaan. Sayang niat mendirikan Kesultanan Islam di lampung gagal akibat berbagai hal tentunya."

Dalam keadaan hal demikian, saya cenderung bersepakat dengan (alm) Firdaus Augustian yang mengatakan, piil pesenggiri sebagai puzzle.

Saya tidak habis pikir kenapa harus menyinggung-nyinggung piil pesenggiri dalam menulis dan berbicara. Kebudayaan Lampung toh saya pikir tidak hanya piil pesenggiri.

Mohon maaf kalau tanggapan saya ini kurang berkenan.

Sunday, September 16, 2012

Kabupaten Tanggamus, Bumi Jejama

Kabupaten tanggamus memilih semboyan "Bumi Jejama". Bumi artinya alam dan jejama artinya bersama, lebih tepatnya milik bersama.Hanya dibedakan denga kata secancanan dengan Kabupaten Pringsewu yang merupakan pecahan dari Tanggamus. Pilihan atas semboyan itu bukan tampa alasan. Daerah yang merupakan wilayah dari kelompok Lampung pesisir yang memanjang dari Putihdoh, Limau dan sekitarnya, menyisir pantai hingga wilayah Kota Agung, berputar melalui Banjarmanis, Talangpadang hingga Sukaratu, adalah merupakan masyarakat yang sangat terbuka. Mereka memberikan tempat bagi pindahan dari lampung Barat dan bahkan daerah Sumatera selatan srta pulau Jawa.


Dahulu komunitas pendatang dari lampung barat umpamanya, adalah menempati daerah Tanggamus ini tidak lepas dari petunjuk dan persetujuan Perwatin setempat, itulah sebabnya pada umumnya pendatang dari lampung Barat menempati daerah Semaka, Way Kerap dan lain sebagainya, mereka menamai desa baru mereka sama dengan nama nama desa asal mereka di lampung Barat, sebagain dari mereka ada bertempat tinggal di Sgihwaras dan sekitarnya, Pagelaran dan Waya Kerui. Sedang pendatang dari Sumatera Selatan memilih lokasi di sekitar Tekad dan Pulau Panggung, sementara pendatang dari Jawa Barat dan Banten lebih cocok untuk tinggal di Kotaagung dan Talangpadang. sementara pendatang dari Jawa Tengah, Timur Yogya dan lain sebagainya lebih memilih menyebar di berbagai daerah yang memungkin untuk usaha bertani, terutama sawah.

Semangat kebersamaan dengan Bumi Jejama yang merupakan bagian dari Piil pesenggiri khususnya nemui nyimah. Dirasakan sangat perlu ditanamkan agar masyarakat yang cukup majemuk ini berpijak dari kesamaan kesamaan yang mereka miliki.

Friday, September 14, 2012

Bandar Lampung, Ragom Gawe.


Ragom Gawe, Ragom artinya bermacam macam, aneka, sedang kata gawe berarti kegiatan atau aktivitas. Semboyan dalam membangun masyarakat dan kota Bandar Lampung ini juga adalah merupakan bagian dari falsafah Piil Pesenggiri, tepatnya adalah "Nemui Nyimah". Nemui berasal dari kata temui yang artinya tamu, dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Seseorang baru dapat mewujudkan kesantunannya kepada orang lain manakala aktivitas kesehariannya dapat menghasilkan sesuatu (produktif) yang dibutuhkan oleh orang lain.
Pertigaan Lungsir depan Kantor Pemda Kota Bandar Lampung.

Bandar lampung adalah kota pusat Pemerintahan, kota bandar Lampung adalah kota Pelajar, dan Kota Bandar Lampung adalah kota perniagaan, oleh karenanya dalam keseharian kota Bandar Lampung diwarnai dengan kehirukpikukan aneka ragam pekerjaan dan provesi. Mulai dari aktivitas perkantoran pemerintahan dan swasta, aktivitas siswa dan mahasiswa, serta aktivitas perniagaan dan usaha usaha lainnya. seluruh masyarakat kota bandar lampung, bagitu matahari terbit maka semua serentak bergerak melaksanakan ativitasnya masing masing.
Kantor Pemda Provinsi Lampun di Bandar Lampung.

Sadar akan betapa sibuknya masyarakat kota Bandar Lampung dengan segala aneka aktivitas dan provesi maka selogan Ragom Gawe ditetapkan untuk lebih menyadarkan para aparat Kota Bandar Lampung untuk dapat memfasilitasi segala sesuatunya, terutama kebutuhan publik untuk kelancaran berbagai aktivitas masyarakat.

Memfasilitasi berbagai kebutuhan publik dimaksudkan sebagai upaya mendorong agar setiap seseorang mampu berproduksi melebihi kebutuhan dieinya sehingga juga memiliki kemampuan untuk membantu orang lain, sehingga kebutuhan orang lain juga akan terpenuhi, melalui produksi yang mampu dikeluarkannya.







Kabupaten Pringsewu Lampung, Bumi Jejama Secancanan

Pringsewu sebagai Kabupaten baru, pengembangan dari Kabupaten Tanggamus, sebagai layaknya Kabupaten Yang Lain memiliki selogan, yaitu "Bumi Jejama Secancanan" yang dapat diartikan masyarakat bersama berpegangan tangan. Yang dimaksudkan dengan bumi disini adalah penduduk yang tinggal disuatu tempat atau wilayah tertentu, yaitu Kabupaten Pringsewu. Jejama artinya bersama atau semangat kebersamaan. Sedang secancanan artinya saling berpegangan tangan.

Dari bahasanya sudah tampak bahwa Bumi Jejama secancanan adalah merupakan bagian dari piil pesenggiri secara keseluruhan. Piil pesenggiri yang terdiri dari (1) Nemui Nyimah, (2) Nengah Nyappur, (3) Sakai Sambaian dan (4) Juluk Adek. Maka bumi jejama

secancanan adalah merupakan bagian dari 'Nengah Nyappur'. Nengah mempunyai tiga arti, yaitu kerja keras, berketerampilan dan bersaing atau bertanding. bagaimana cara bekerja keras, berketerampilan dan bersaing atau bertanding itu, antara lain adalah dengan jejama secancanan. Untuk apa itu dilakukan adalah untuk mewujudkab sikap toleransi antar sesama (nyappur)

Sang bumi, secara tegas menunjukkan bahwa masyarakat Lampung menerima realita bahwa bumi ini adalah milik bersama, tiada yang satu diistimewakan dari yang lain. Tidak ada kelompok yang diistimewakan dari kelompokm lainnya. Ingat bahwa slogan Provinsi lampung adalah Sang Bumi Ruwa Jurai. Kini kata sang diganti dengan sai, karena ada kelompok yang tidak lazim menyebut kata sang dalam bahasa sehari hari. Penyebutan bumi bagi daetah Pringsewu menunjukkan bahwa bumi itu tak terpisahkan dari penduduknya. Keanekaragaman penduduk Pringsewsu bukan hambatan bagi masyarakat untuk berkarya, bahkan akan saling menguatkan.

Kata Jejama, akan memperkuat rasa persatuan itu, karena yang satu tidak akan memiliki arti tampa yang lainnya. Jejama artinya bersamaa, kesadaran akan ketidak sanggupan kita untuk melakukan semua pekerjaan sendiri saja. Kita membutuhkan orang lain untuk membantu kita baik langsung maupun tidak langsung. Jangankan dalam masyarakat, dalam keluargapun kita membutuhkan orang lain, seorang suami melaksanakan pekerjaan sesuai dengan provesi yang dipilihnya juga membutuhkan dukungan dan dorongan dari isteri dan anak anaknya, demikian juga sebaliknya.

Adalah merupakan kesadaran dan tekat masyarakat Kabupaten Pringsewu untuk beraktivitas di Kabupaten Pringsewu, menjaga keutuhan serta membangun kebersamaan sehingga dapat melaksanakan segala bentuk aktivitas yang bermanfaat dan dibenarkan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Thursday, September 13, 2012

Piil Pesenggiri Bukan Kirotoboso

Mempertahankan Piil Pesenggirik

Ada teman yang menmpertanyakan "Apa manfaatnya Membahas Piil Pesenggiri" sesuatu yang tak memiliki prospek yang jelas. Jangankan piil pesenggiri, pancasila sebagai dasar negarapun orang tak tertarik membicarakannya lagi. Sebagai salah seorang yang mengikuti proses pelaksanaan dialog kebudayaan yang menghebohkan itu, saya akan paham benar dengan pemikiran teman tadi, apalagi beliau juga hadir dalam dialog itu. Tetapi bagi saya perdebatan itu justeru menarik, karena perdebatan itu muncul ketika piil pesenggiri difahami oleh mereka sebagai adat, kita tahu sendiri dengan pola pemikiran adat. Padahal piil pesenggiri itu sebuah filsafat.

Rumus sebuah filsafat adalah sesuatu yang dilahirkan dari sebuah pemikiran yang bebas, free thinkers, itulah sebabnya maka manakala kita mengmpulkan beberapa orang filosof dan kita mintakan untuk membahas tentyang sesuatu, maka hasilnya bisa sama, bisa berbeda dan bahkan bisa bertentangan. dengan kata lain hampir tak mungkin dapat disatukan. Itu pula sebabnya, ada pihak yang berfikir bahwa berbicara tentang piil pesenggiri hanya mengundang perdebatan yang nyaris tak bermanfaat.

Tak tahan dengan keanekaragaman pendapat dan tafsiran akan piil pesenggiri, Firdaus Agustian yang semula mengaku sebagai pemilik sah piil pesenggiri karena dia telah 'berjuluk dan beradek' belakangan justeru berpendapat bahwa piil pesenggiri itu ibarat fuzzle belaka, sebuah mainan anak. Celakanya pendapat Firdaus Agustian ini banyak diamini oleh anak anak muda, aktivis seni di Lampung yang menginginkan ekspressi bebas dalam berseni, serta melepaskan diri dari kungkungan piil pesenggiri. sekalipun dia membawa nama Lampung, tetapi dia dapat berpindah pindah identitas, sebagai tafsir bebas semangat nasionalistik.

Tetapi ada yang lebih ekstrim, ketika saya bertanya kepada seorang pakar bahasa Lampung, saya katakan Piil pesenggiri yang sebenarnya dari bahasa apa? dengan enteng Ia mengatakan bahwa piil pesenggiri itu ibarat "kirotoboso" dalam bahasa jawa, yang dicontohkannya adalah kata 'Kodok' itu berasal dari kata kata teKO teKO ndoDok. Dengan kata lain piil pesenggiri itu tidak memiliki bobot kademis untuk dibahas, serta tidak memiliki kaitan historis dengan apapun, karena tidak lebih dari sebuah permainan kata kata, yang digatuk gatukkan saja, sehingga pas.

seperti digambarkan dengan gamblang Mus Mulyadi dalam satu lagu Jawa yang berjudul Kirotoboso, yaitu sebagai berikut : Edan tenan cekaan gawe mumet, pikar pikir nang siro tambah komet, simbah mbiyen gawe mung karu ngantuk, ngono ngini - ngini ngono yang gatuk. Cengkir jari kenceng ing pikir, kuping jari kaku jerpiping ..., kirotoboso itu tidak lebih dari permainan kata kata, "mung kiro kiro tapi yo nyoto". Kirotoboso itu pake rumus terbalik, ada dulu baru dibuat sejarahnya. Ada kata "katok" (celana) dulu baru dibuat kronologinya, diangKAT sikil sitTOK siTOK . Tetapi memang buktinya gatuk. Tapi tak dapat dipertanggungjawabkan. Di mata tokoh perempuan yang ditampilkan dalam seminar aksara daerah dan diperkenalkan sebagai pakar bahasa Lampung itu, sepertinya anti filsafat Lampung.

Semula batin saya protes bagaimana mungkin seorang ahli pakar bahasa Lampung dengan titel Doktor, dan bukunya tentang huruf kaganga menjadi acuan bagi guru guru bahasa daerah Lampung, menganggap bahwa falsafah piil pesenggiri itu tidak lebih dari kirotoboso yang sepakat sebagai sesuatu yang tak bisa dipertanggungjawabkan baik dari segi historis maupun segi filosofisnya. Sedangkan guru bahasa Inggris saja selalu memesankan bahwa untuk memahami bahasa Inggris diharuskan memahami falsafhnya. sementara pakar bahasa lampung menikdakkan falsafah bahasa Lampung. Bila racun ini menebar kepada para guru bahasa daerah lampung maka dapat dipastikan 'gagallah kita mengajarkan bahasa Lampung" kepada generasi muda kita. Apalah artinya bahasa dan aksara tampa budaya dan filsafat.

Tetapi saya tidak ingin memfonis tentang sikap seikap seperti ini, walaupun saya meyakini bahwa cara berfikir mereka itu keliru dalam memandang piil pesenggiri, karena tidak memandangnya dari segi filsafat. Kenalilah sekelompok orang dengan budayanya melalui falsafah yang berkembang di komunitas itu.

Dalam menulis sebuah cerpen saja, maka cerita dalam cerpen itu akan menjadi hambar manakala tidak memiliki dasar filosofis yang jelas dalam menuliskan alur ceritanya, tidak aitu kan menarik, karena sang tokoh tidak berkarakter, tidak kan menggambarkan sebuah pergumulan. cerita tampa perumulan adalah cerita hambar, bagi seorang penulis cerpendia harus memahami benar karakter apa dari tokoh tokoh yang yang dimunculkan dalam cerpen itu. Lalu ada permainan kata untuk menjerlaskan akan terjadinya benturan benturan antara gagasan filosofis itu realita yang ada.

Sebuah cerita akan menjadi menarik manakala ada benturan, dan bahkan sebuah hentakan itu sangat penting, dan dalam sebuah lagu merdu yang dinyanyikan secara lembutpun, tampa ada hentakan dalam lagi itu, maka lagu itu tak akan menjadi meraik, sebuah lagu akan memukau manakala ada terdapat hentakan. Kita sepakat mengatakan bahwa suara Siti Nurhaliza tergolong lembut dan merdu, tetapi perhatikanlah bahwa selalu ada hentakan dalam lagu lagunya, sehingga kita tertarik mendengarnya. Dunia filsafat tidak pernah sunyi dari berbagai hentakan itu.

ketika kita bicara budaya Lampung dengan menidakkan piil pesenggiri, maka dalam waktu bersamaan kita telah berpindah ke filsafat yang lain. Ketika itu yang terjadi maka kita akan mengalami kehilangan atau setidaknya pendangkalan identitas. semakin banyak orang bicara tentang budaya Lampung terlepas dari kontek falsafah yang berkembang di lampung, maka berarti kita sedang kehilangan identitas kelampungan dalam bahasan kita itu. Seperti kita mahir berbahasa Inggris tetapi tidak memiliki kepahaman akan falsafah Inggris, maka kita tidak akan nampak seperti orang yang paham Inggris. ketika para siswa diajarkan bahasa Lampung yang juga minus filsafat lampung, maka mata pelajaran bahasa lampung itu tidak memiliki makna. itu pula sebabnya pelajaran bahasa Lampung tiba tiba berubah menjadi sekedar pelajaran aksara Lampung, yang minus makna lantaran menidakkan filsafat Lampung. Akankah ini kita biarkan berlanjut.camkan itu.

Friday, July 20, 2012

Eksistensi Piil Pesenggiri Dalam Naskah Tulisan


Lounching buku Mamak Kenut orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi beberapa hari yang lalu berhasil menambah deretan jumlah karya tulis dari penulis daerah Lampung. Dari judulnya akan memberikan harapan kepada kita semua bahwa isi tulisan ini akan mengaitkan pemikiran penulis kepada berbagai hal yang ditinjaunya dari sudut tertentu melalui tokoh yang menjadi judul buku itu, yaitu Mamak Kenut.

Bagi masyarakat Lampung pesisir khususnya khususnya Lampung Barat dan tanggamus serta beberapa daerah lainnya, yaitu Pagelaran, Kalirejo dan Tangkitserdang serta Tulungitik Metro dan beberapa wilayah tertentu yang ditempati pindahan yang berasal dari Lampung Barat, bagi mereka Mamak Kenut adalah tokoh yang tidak asing lagi. Mamak kenut adalah tokoh hayal yang kontroversial, karena Mamak kenut adalah tokoh yang bisa bicara apa saja termasuk yang tak lazim dibicarakan oleh orang lain.

Walaupun Udo Z.Karzi belum sepenuhnya mengeksploitir kenakalan dan celotehan Mamak Kenut, tetapi setidaknya Udo Z. Karzi telah membuka pintu gerbang bagi penulis lain atau karya Udo Z. Karzi sendiri kedepan. Penulis bisa menambahkan beberapa tokoh yang menjadi teman teman Mamak Kenut untuk mengemban karakter karakter tertentu baik sejalan, atau bertentangan yang intinya adalah mendukung kenakalan pemikiran Mamak Kenut. Untuk mengeksploitir kenakalan dan keisengan serta kebodohan Mamak Kenut penulis bisa memisahkan mana pemikiran mamak kenut dan mana pula pemikiran si penulis aslinya.

kepada para penulis saya berharap agar siappun tokoh yang ditampilkannya, terlebih tokoh itu Mamak Kenut, maka sang tokoh sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengusung dan mengembangkan falsafah " Piil Pesenggiri " dengan unsur unsurnya yang tak asing lagi yaitu nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Sehingga karya tulis kitapun layak disebut sebagai pengembangan budaya Lampung.

Nilai nilai yang diemban oleh piil pesenggiri sebenarnya nampak jelas, nilai nilai itu bukan nilai masa lalu yang tinggal kenangan, tetapi memiliki bobot kekinian. Lihat saja unsur unsurnya yang sangat kontemporer.

Nilai nilai Piil Pesenggiri itu sesungguhnya adalah nilai nilai yang akan dikembangkan atas kesepakatan Lampung, Banten, Cirebon dan Demak yang berencana untuk mendiriksn Kesultanan Islam yang modern di Lampung, yang akan menggabungkan karakter Sumatera yang egaliter dengan karakter jawa yang telah teruji memiliki kemampuan mempertahan kekuasaan. Sayang niat mendirikan Kesultanan Islam di lampung yang diawali dengan perkawinan Sultan Cirebon dengan Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung itu juga gagal mendirikan Kesultanan Islam, akibat berbagai hal tentunya.

Terlepas dari kegagalan itu, maka nilai nilai Piil Pesenggiri adalah merupakan nilai nilai yang harus kita pertahankan, dan bahkan harus kita kembangluaskan, kepada masyarakat luas khususnya generasi penerus kita. Penulisan naskah opini seperti yang dilakukan oleh Udo Z. Karzi dengan menampilkan Mamak Kenut sebagai tokoh utamanya dalam penulisan naskah itu sebenarnya memiliki peluang mengusung nilai nilai piil pesenggiri itu.

Apalagi Udo Z. Karzi memang terlahir dari komunitas pendukung budaya Lampung, beliau dilahirkan di Negarabatin Liwa lampung Barat, dan aktivitas beliau sebagai jurnalis, yang kesehariannya akrab dengan pemikiran dan penulisan, serta tersedianya media yang siap untuk mempublikasikannnya.

Kiranya pantas saya mengucapkan salut kepada Udo Z. Karzi seraya mendoakan agar beliau lebih produktif lagi, dan menitip secercah harapan agar beliau berkenan menuliskan para tokoh semisal Mamak Kenut untuk mengusung Piil Pesenggiri yang memiliki nilai nilai yang modern itu. Semoga (Fachruddin)

Tuesday, July 3, 2012

Menghargai Tokoh Adat.

-
Pasca penetapan UU Pemerintahan Pedesaan orang mulai berpaling dari tokoh lembaga adat setempat, kalau dahulu mereka sangat berperan dalam berkomunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah, maka kini peran itu banyak diambil alih oleh Lurah, Kepala Desa (Kades) atau kepala Pekon. Otomatis komunikasi antara pemerintah dan lembaga adat setempat semakin langka. Tokoh tokoh adat dimata Pemerintah semakin tak populer. Bahkan sekarang pemerintah cenderung membentuk lembaga adat buatan.

Namun demikian bukan berarti pengaruh tokoh tokoh lembaga adat itu sirna sesirnanya lembaga adat dari mata Pemerintah. Pemerintah boleh boleh saja menganggap tokoh adat itu tidak ada kecuali tokoh adat yang telah dibentuk dan dibiayai operasionalnya itu, tetapi tidak demikian dimata anggota lembaga adat. bagi anggota lembaga adat pimpinan adat yang syah adalah tokoh lembaga adat yang asli. Jangan heran bila ada tokoh lembaga adat buatan yang terpaksa merunduk runduk kepada tokoh lembaga adat yang asli meminta maaf atas keberadaannya sebagai tokoh lembaga adat buatan Pemerintah.

Bisa bisa saja pemerintah membentuk lembaga adat buatan mulai dari gtingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Hingga Tingkat kecamatan bahkan Tingkat Kampung atau desa. Tunjuk mereka yang bergelar S1, 2 ataupun 3, piloh mereka yang kaya kaya dan sejahtera dari segi ekonomi. tetapi bila maksudnya adalah untuk mengambil alih hak para tokoh lembaga adat yang aslinya, maka yakinlah kemanfaatannya sangatlah minim, dan bahkan salah salah justeru akan melahirkan konflik konflik baru.

Sepengapengetahuan saya dahulu Pemerintah Daerah Provinsi Lampung memang memprogramkan pemberdayaan lembaga adat, setidaknya itu termasuk dalam visi dan misi Instansi pembina Kebudayaan. Tetapi sepertinya itu tidak pernah dilaksanakan, dan bahkan belakangan kita dikejutkan oleh terbentuknya lembaga adat yang baru. kalau seandainya lembaga ini merupakan forum komunikasi antar lembaga lembaga adat yang ada itu justeru sangat masuk akal.

Tetapi dengan terbentuklnya lembaga adat buatan, maka tokmoh lembaga adat yang asli akan semakin tersingkirkan. Dengan tidak berdayanya tokoh lembaga adat yang asli kita semua akan mendapatkan kerugian karena telah kehilangan peluang pemanfaatan ikatan antara kepemimpinan tokoh adat dengan komunitas yangh dipimpinnya.

Seharusnya justeru kita memberikan peluang dan memfasilitasi peran pimpinan lembaga adat untuk melakukan upaya peningkatan kesejahteraan masing masing mereka. sebagaimana kita ketahui bahwa tingkat pendidikan akar rtumput bangsa kita yang masih SLTP ke bawah, dan sebagian besar mereka itu adalah merupakan komunitas adat.

Pimpinan tokoh adat bagi komunitas pada lembaga adat adalah merupakan tokoh yang sangat dihormati, apalagi mereka memang terkait kekerabatan yang sangat kental, hubungan yang demikian itu sebenarnya sebuah potensi besar untuk melakukan upaya peningkatan wawsan bagi komunitas bersangkutan.

Hendaklah kita ingat bahwa dalam suatu mata rantai, maka mata rantai yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu, tentu saja mata rantai yang paling lemah, karena mata rantai yang paling lemah itulah yang akan mendatangkan malapetaka yang sebelumnya tak pernah kita sangka sangka.

Galau, Penilik Kebudayaan Lampung.

-
Pasca Dialog kebudayaan Lampung 1988 yang silang sengkarut itu, para penilik kebudayaan di Lampung meminta untuk tidak dipaksa merasa sebagai orang Lampung, "Biarlah kami dianggap pendatang yang tidak mengerti budaya Lampung" , katanya. mereka benar benar trauma mengenang dialog kebudayaan yang harus ditutup disaat acungan tangan peserta yang meminta diberikan waktu untuk bicara.

Kegalauan para penilik kebudayaan di Lampung yang hampir seluruhnya orang pendatang itu nampaknya diakibatkan oleh prilaku beberapa orang peserta dialog yang terpancing emosi ketika ada yang mengatakan jangan mengaku ngaku sebagai orang lampung bila bejuluk tidak beadek/ adokpun tidak, jangan dikira gampang jadi orang Lampung. berdasarkan ucapan itu maka pemahaman yang ada pada para penilik kebudayaan itu antara lain adalah : Jangankan mereka yang memang pendatang, mereka yang putera daerahpun sebagian tidak diakui ke"Lampung"annya, oleh sebagian peserta dialog kebudayaan itu karena tidak memiliki gelar keadatan.

Itulah nasib dialog kebudayaan yang tiba tiba berubah menjadi dialog adat. Ada beberapa orang peserta dialog yang tidak mahir membedakan adat dengan kebudayaan. Mereka mengira budaya Lampung itu identik dengan adat Lampung, dan celakanya lagi yang diamksud dengan adat itu adalah adat mereka masing masing.

Sulit untuk menetralisir kegalauan yang dialami para penilik kebudayaan, walaupun pada akhirnya berhasil juga. Penilik kebudayaan pada saat itu adalah pejabat eselon V yang bertugas di ujung tombak dalam pembidaan budaya dalam arti luas. Mereka ditugaskan di masing masing Kecamatan. Tugas mereka adalah melakukan pemutakhiran data, tentang organisasi seni lembaga adat, aliran kepercayaan dan lain sebagainya, lalu melaporkannya setiap triwulan. Mwreka diberikan pelatihan untuk menambah wawasan serta berbagai keterampilan yang mendukung kelancaran tugas mereka.

Kepada mereka piil pesenggiri selanjutnya diperkenalkan sebagai etika dan filsafat daerah Lampung. Dengan demikian mereka merasa lebih nyaman, dan yang lebih penting lagi adalah mereka tidak segan segan merasa sebagai orang lampung, setiap saat mereka bisa menjelaskan siapa saja tokoh budaya, tokoh adat serta kesenian yang berkembang di dadrah masing masing.

Pristiwa Dialog Kebudayaan Lampung 1988

-
Pidato Budayawan Rosihan Anwar dalam Aacara penutupan Dialog Kebudayaan Kanwil Depdikbud Lampung taun 1988 mengatakan : " Akan saya sampaikan kepada bapak menteri bahwa di Lampung masih menyisakan persolan, persoalan itu bernama Piil Pesenggiri " Ucapan itu bagi saya bagaikan sambaran petir. Sejak tahun terakhir sosialisasi piil pesenggiri telah dilakukan di lingkungan para Penilik Kebudayaan. Piil pesenggiri sebagai falsaf daerah yang sangat bermutu.

Tetapi rosihan Anwar tidak salah bila berbicara demikian, Ia melihat sendiri bagaimana peserta dialog kebudayaan terbagi setidaknya tiga bagian. Ada (1) peserta yang merasa sebagai orang Lampung karena ia memiliki gelar atau adek/adok, (2) ada orang Lampung yang tidak boleh mengaku sebagai orang lampung karena tidak memiliki gelar, karena adat mereka tidak membenarkan mereka menyandang gelar, dan ada (3) peserta yang sebenarnya adalah orang pendatang yang mereka diajak ikut acara dialog kebudayaan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Lampung secara keseluruhan. Dialog menjadi hiruk pikuk karena ada dua warning yang muncul " Jangan mengaku sebagai orang Lampung bila bejuluik tidak dan beradekpun tidak" yang lainnya "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Pantas bila piil pesenggiri di mata Rosihan adalah sebagai masalah.

Pengkal kekisruhan adalah ketika dari flor ada yang berteriak mengatakan "Tidak usah mengaku ngaku sebagai orang Lampung bila bejuluk tidak dan beadekpun tidak". Semnetara ada juga narasumber yang mengatakan "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Si-empunya kata nampaknya tidak menyimak pidato pidato pembukaan, bahwa pertemuan dialog kebudayaan itu bermaksud untuk lebih memperekat hubujngan masyarakat yang majemuk ini.


Perdebatan itu juga muncul karena para narasumber lebih menampilkan piil pesenggiri dalam perspektif adat. Ketika kita berbicara adat, maka akan muncul kelompok yang relatif tertutup, dalam artian memang tidak gampang orang luar akan bergabung dalam adat itu. Ketika membicarakan kreteria maka yang muncul adalah kreteria yang dikehendaki adat.

Ada kelompok tertentu yang memang tidak mungkin akan memiliki gelar atau adek/adok. Ada komunitas masyarakat Lampung berdasarkan adat yang ada, tidak memberikan peluang kepada kelompok tertentu untuk memiliki gelar gelar keadatan, komunitas yang satu ini sangat menjaga keaslian darah. Tetapi didak bagi komunitas yang lain, yang memliki keterbukaan untuk setiap saat meningkatkan statusnya dalam dunia adat, meningkatkan statusnya dalam adat.

Perdebatan itu muncul lagi pada sesi terakhir dalam dialog itu, dan dialog itu ditutup secara paksa karena ketiadaan waktu. Tokoh yang akan menutupnya telah lama menunggu dan menyimak jalannya dialog yang berlangsung kisruh dan nyaris tak terkendali. Secara berulang-ulang dua buah mikrofon yang disediakan panitia digunakan oleh peserta secara bersamaan, kita dapat membayangkan betapa bisingnya. Dan wajar bila Rosihan Anwar berbicara seperti itu.


Monday, July 2, 2012

Piil Pesenggiri Sebelum dan Sesudah Islam


Piil Pesenggiri telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, ada piil pesenggiri sebelum Islam, ada piil pesenggiri setelah Islam. Dan piil pesenggiri sepertinya masih akan mengalami perkembangan perkembangan sesuai dengan kehendak zaman. Piil pesenggiri sebelum Islam maknanya adalah harga diri (1) laki laki harga dirinya (piilnya) adalah perempuan, artinya berapa jumlah perempuan yang mampu disuntingnya. (2) perempuan harga dirinya adalah makanan, uang dan perhiasan. Maksudnya harga diri perempuan itu akan tergantung dengan kemampuannya memasak, kemampuannya meyakinkan suaminya untuk mempercayakan kepada istrinya menyimpan uang suaminya, serta seberapa jumlah perhiasan yang dibelikan oleh suaminya.(3) Anak laki laki harga dirinya adalah pada ucapannya, yang mampu diwujudkan atau dibuktikannya. Sedangkan harga diri anak perempuan adalah (4) prilakunya yang membuat banyak orang tua yang ingin meminangnya sebagai anak menantunya.

Piil pesenggiri yang ditemukan oleh Rizani Puspawijaya dalam rangka penulisan skripsanya di Fakultas Hukum di Universitas Lampung adalah piil pesenggiri yang telah dipengaruhi oleh Islam. Unsur piil pesenggiri yang diketemukan adalah (1) Juluk Adek, (2) Nengah nyappur, (3) Nemui nyimah dan (5) sakai sambaia. Para penngamat dan penglaku adat ada yang memasukan piil pesenggiri dan ada juga yang memasukkan titi gemeti sebagai unsur piil pesenggiri.

Piil pesenggiri temuan Rizani Puspawijaya ini langsung mendapat perhatian dari banyak pihak, dan tentu saja menjadi kajian kajian menarik di lingkungan para akademisi. Para pendatang yang jumlahnya di Universitas Lampung adalah mayoritas dan masyarakat Lampung pada umumnya mengharap hasil kajian kajian itu representatif untuk mengenali sosok orang Lampung.

Rumusan Piil Pesenggiri yang ditemukan oleh Rizani Puspawijaya adalah :
1. Bejuluik beadek
2. Nemui Nyimah
3. Sakai sambaian dan
4. Nengah Nyappur.

Ada juga yang memasukkan " Titi gemetei " sebagai unsur piil pesenggiri, dan ada juga yang menjadi piil pesenggiri menjadi salah satu unsur piil pesenggiri itu sendiri.

Hilman Hadikusuma banyak muncul sebagai sosok narasumber untuk membedah apa itu piil pesenggiri. Sebagai Guru Beaar Hukum Adat di Unila kajian kajian Hilman Hadikusuma sangat dipengaruhi oleh kaidah kaidah adat khususnya lingkungan yang membesarkannya. Oleh komunitas adat lampung yang lain Hilman Hadikusuma sering dituduh Pepadun mainded. Sebenarnya tuduhan ini kurang fair, masalahnya informasi tentang adat istiadat Lampung yang tersebar masih minim sekali. bagaimana mungkin seseorang akan berbicara banyak tentang sesuatu yang belum difahaminya benar. Namun demikian kita semua pantas berterima kasih kepada Hilman Hadikusuma, tampa ketelatenan beliau memberikan uraian uraiannya maka temuan Rizani Puspawijaya ini tidk banyak mendapat perhatian.

Piil pesenggiri yang yang baru yang justeru terumuskan setelah Islam masuk Lampung, dan bahkan tetkala ada pihak pihak yang sedang mempersiapkan berdirinya Kesultanan Islam di Lampung hingga saat ini belum banyak mendapatkan bahasan dan kajian yang lebih kritis. Padahal manakala ini lebih didalami maka kita akan menemukan pesan pesan mendalam yang lebih prospektif.

Untuk perkembangan piil pesenggiri dibutuhkan adanya pihak pihak sebagai pembicara awal tentang piil pesenggiri yang lebih prosepektif. Setidaknya ada dua sisi yang sangat terbuka untuk dikaji, yaitu sisi filsafat dan piil pesenggiri dalam perspektif serta prospektif Islam. Untuk membicarakan piil pesenggiri sebagai filsafat ini benar benar menjadi ruang terbuka bagi siapapun. Sedangkan piil pesenggiri dalam prospektif dan perspektif Islam, kita dapat berbicara secara terukur.

Thursday, June 21, 2012

Belajar dari Pendidikan Moral di Jepang




“Sebenarnya apa sih landasan pendidikan moral di Jepang?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja saat zemi1) setahun yang lalu.

Hening sejenak. Tampaknya saya melontarkan pertanyaan yang cukup sulit untuk orang Jepang.

Akhirnya senior saya menanggapi. Landasan moral di sekolah-sekolah jepang diambil dari intisari berbagai macam agama dan etika yang ada di dunia ini.

Saya sempat dua kali melakukan observasi pelajaran moral di dua sekolah yang berbeda. Di Jepang, selain khusus ada jam pelajaran tentang moral (doutoku), pesan-pesan moral juga terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran di Jepang.

Dua tema yang sempat saya saksikan di kelas satu sekolah jepang adalah, pelajaran tentang berbohong, dan giliran piket bersih-bersih di kelas. Dalam dua sesi yang berbeda itu, pendekatan yang dilakukan oleh guru jepang relatif mirip. Tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur atau menjalani tugas piket. Namun, dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong atau ketika mereka tidak menjalani tugas piket.

Diskusi interaktif itu menggiring anak-anak untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang akan diajarkan (proses kognitif-sikou ryoku). Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini.

Untuk mengecek pemahaman anak-anak tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu (proses menilai-handan ryoku). Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, dan diajak untuk berdiskusi isi dari film itu.

Malam itu di kuliah integrated learning, kami belajar pemikiran John Dewey tentang moral. John Dewey merupakan salah satu tokoh yang membawa pengaruh besar di bidang pendidikan di Amerika serta negara-negara Eropa. Dewey juga merupakan tokoh kunci yang menelorkan gagasan tentang pentingnya dibuat hubungan yang erat, antara pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan kehidupan di masyarakat.

Konsep-konsep pemikiran Dewey banyak dipakai di "seikatsu-ka (living environmental study)" dan "sougou gakusyuu (integrated learning)" di Jepang. Dua hal yang menjadi inti pendidikan ala Dewey adalah pendidikan yang berfokus pada minat anak-anak dan pentingnya belajar melalui pengalaman langsung.

Dalam kuliah itu, yang menjadi ajang diskusi para mahasiswa, bukannya konsep moral menurut Dewey, namun lebih kepada kebingungan para mahasiswa jepang tentang definisi moral. Di Jepang sendiri, meskipun ada pelajaran moral (doutoku) dan ada kurikulumnya secara spesifik apa yang harus diajarkan, namun apa definisi moral, baik-buruk, benar-salah, sama sekali tidak ada batasannya. Penekanannya lebih kepada nilai-nilai yang dianggap baik secara universal, seperti nilai-nilai kejujuran, kerja keras, menghormati hak orang lain, disiplin, rasa malu ketika tidak memenuhi kewajiban, dan sebagainya.

Hubungan antara moral dengan agama juga sempat dibahas, tapi untuk hal ini menimbulkan pro dan kontra. Guru-guru di Jepang memang sangat berhati-hati dalam hal ini. Karena urusan agama adalah urusan individu, jadi tidak berhak diajarkan oleh guru-guru di sekolah. Di Jepang sendiri, dengan kualitas guru-guru yang sangat baik, pendidikan moral yang didukung dengan sistem pendidikan, serta undang-undang yang fokus pada pembentukan karakter di sekolah dasar dan menengah, bisa sukses menanamkan nilai-nilai yang diajarkan tadi.

Namun, saya merasakan kerapuhan fondasi yang mendasari pelaksanaan moral di Jepang. Dengan melihat kebingungan anak-anak muda Jepang ketika membahas tentang moral, saya menjadi sadar. Meskipun sejak kecil mereka dibiasakan untuk melakukan disiplin, kerja keras, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya, namun untuk apa mereka melakukan itu? Sejauh mana suatu perbuatan dikategorikan baik? Serta tujuan-tujuan yang lebih dalam ketika melakukan suatu kebaikan, masih menjadi tanda tanya besar dalam kepala mereka.

Kalau dalam Islam, maka pertanyaan-pertanyaan itu sangat mudah untuk dijawab. Tinggal mempelajari Alquran saja, kita bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ada konsekuensi yang jelas ketika kita melakukan kebaikan ataupun keburukan.

Dalam masyarakat liberal, nilai-nilai kebaikan dan keburukan akan sangat mudah sekali bergeser. Tergantung pihak mana yang kuat, dan siapa yang bisa membangun opini di masyarakat.

Karena itu, nilai-nilai yang dulu dianggap buruk, seperti seks bebas, bisa saja bergeser karena pengaruh media yang mencitrakan keindahan dalam pergaulan bebas. Padahal, akibat seks bebas yang berujung pada kerusakan nasab anak, penyakit-penyakit kelamin, dan kerusakan sistem sosial di masyarakat tidaklah hilang hanya dengan penggambaran yang indah itu saja.

Saya sendiri tidak menilai bahwa pendidikan moral di Indonesia lebih baik dari Jepang. Indonesia memiliki konsep tentang moral yang kaya. Setiap pemeluk agama bebas untuk mengajarkan konsep moral kepada pemeluknya. Namun, kekurangannya ada dalam teknik mengajarkan moral kepada anak-anak. Bagaimana agar pendidikan moral tidak hanya masuk ke tataran kognitif saja, tapi sampai menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi karakter yang melekat kuat dalam diri anak. PR besar dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini.


Hifizah Nur
Mahasiswa program master di Aichi University of Education

1) Zemi : sebutan untuk seminar, kegiatan berkumpul bersama teman-teman satu lab, untuk melaporkan kemajuan penelitian masing-masing.

Belajar Kearifan Lokal Bernama Korupsi



KKN, mata kuliah 3 SKS yang wajib diambil oleh mahasiswa di kampus tempat saya belajar, telah menyisakan sebuah pembelajaran besar dalam hidup saya. Dua bulan berbaur dengan masyarakat, telah mengajarkan saya pada sebuah kearifan lokal yang tumbuh subur menjadi budaya yang paling memuakan di negeri ini, korupsi. Ya korupsi, yang selama ini saya pikir hanya ada di meja-meja pemerintahan, rupanya sudah mengakar rumput.

Tahun 2011, saya terlibat dalam sebuah proyek pemberdayaan masyarakat yang disponsori oleh sebuah institusi pemerintah. Institusi ini sudah cukup lama menjalin kerjasama dengan kampus. Karena hasinya cukup memuaskan, maka untuk program KKN 2011, mereka bersedia membiayai proyek pemberdayaan masyarakat.

Menyenangkan, ketika di awal pertemuan pihak institusi menjelaskan bahwa kami akan mendapat dana sebesar Rp 2.500.000 untuk 5 desa. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai macam seminar maupun pelatihan ketrampilan agar masyarakat menjadi mandiri dan menuju sejahtera.

Sesuai dengan aturan yang disepakati, maka uang dana KKN akan dicairrkan melalui kepala desa setempat, di mana kami akan dibantu oleh petugas dari kecamatan. Dalam rapat tersebut saya masih mengingat jelas, ibu direktur institusi menyebutkan dengan jelas, “Bapak Kades, itu uangnya buat adek KKN bukan untuk masuk kantong.”

Hari eksekusi pun tiba. Kami diterjunkan ke lapangan, survey wilayah, mencari permasalahan, menyusun rencana pelatihan. Dan tiba lah hari di mana kami butuh mengeluarkan dana untuk membayar trainer, konsumsi masyarakat, hadiah, dan juga sarana prasarana yang menunjang ketrampilan pelatihan.

Sayang, selama beberapa hari kami berada di kecamatan tersebut, belum sepeser pun dana KKN yang turun kecuali dana kampus. Masalahnya dana dari kampus digunakan untuk membayar pondokan dan biaya hidup sehari-hari. Jadilah kami kocar-kacir kebingungan mencari kemana lenyapnya dana sebesar Rp 2.500.000,00.

Merasa butuh uang, iseng saya menanyakan kepada petugas kecamatan. “Bu, besok untuk acara pelatihan ini kami ambil dananya bagaimana ya?” Si ibu menjawab, ”Ya sudah mbak, gabungin saja dengan acara X.”

“Tapi bu, acara X kan sudah disponsori oleh institusi lain. Masa kami harus mendompleng, kan nggak enak juga sama sponsor.”

Ibunya menjawab lagi, “Kita ini dari dulu nggak ada uang mbak, nggak ada dana. Sudah sejak dulu kerjaannya institusi ini ya mendompleng dari institusi lain, yang selalu punya kucuran dana bagi rakyat.”

“Tapi bu, dari Institusi pusat kemarin menjelaskan ada dana sebesar Rp 2.500.000, yang bisa dicairkan lewat Pak Kades. Kata ibu direktur kami bisa minta tolong ibu petugas kecamatan untuk membantu,” saya masih ngeyel.

Ibunya menjadi tidak sabar, ”Mbaknya ini cerewet, banyak nanya. Itu uang Rp 2.500.000 nggak cukup mbak, sudah dipakai transportasi nganterin kalian ini survey, rumah kita kan jauh. Lagi pula kalian ini mengganggu jam kerja pak Kades, jadi pak Kadesnya juga dapat uang pengganti jam kerja.”

Saya tercengang mendengar pernyataan ibu ini. Entah dia memang terbiasa bicara jujur atau memang terlalu bodoh dan tidak berpengalaman untuk melakukan sebuah tindakan kriminal bernama korupsi. Semua celotehnya yang menyebalkan ini akhirnya menjadi pengunci bagi saya untuk menguak segala macam kebingungan kami mengapa uang Rp 2.500.000 ini bisa tidak cair di tangan.

Siang itu seusai bertengkar dengan ibu petugas kecamatan, saya dan teman satu subunit menggeruduk kantor pusat institusi di ibukota provinsi. Kami menanyakan apakah uang Rp 2.500.000 itu teknisnya memang uantuk membiayai transportasi petugas kecamatan yang sudah bersusah payah mengantarkan kami dari satu desa ke desa lain dan membayar uang lelah kepada kades-kades yang kami kunjungi, atau murni untuk membiayai pelatihan.

Kepala kantor pusat menjelaskan bahwa uang tersebut murni untuk pelatihan. Beliau sangat marah mendengar kabar kurang menyenangkan ini. Esok pagi kami mengadakan sidang. Uang Rp 2.000.000 dikembalikan kepada kami sedangkan Rp 500.000-nya sudah hilang melayang.

Lucunya meskipun sudah terbukti salah, para ibu petugas kecamatan ini masih sempat membandingkan kami dengan anak mereka yang dulu KKN meminta uang sebanyak-banyaknya kepada orang tua untuk membayar program. Jadi menurut sudut pandang mereka uang program itu ya dibiayai orang tua kami secara pribadi.

Dari kasus tersebut saya dapat menarik kesimpulan, bisa jadi anak yang meminta orang tua membiayai KKN dengan jumlah yang besar bukan karena uang program yang kurang, tapi kesempatan untuk mengeruk uang saku dari orang tua yang besar. Akibatnya, orang tua mereka melakukan korupsi demi membiayai “ulah korupsi” anak mereka.

Kearifan masyarakat lokal untuk menghormati pemimpin atas dasar “pakewuh” (sopan santun dalam bahasa Jawa) juga memicu korupsi terjadi. Membayar uang lelah untuk bicara setengah jam kepada pak Kades, membayar untuk stempel LPJ dan lain sebagainya. Sungguh KKN tahun kemarin benar-benar menjadi Kuliah Kerja Nyata Korupsi Kolusi Nepotisme bagi saya. Republika Online (ROL)


Puspita Ratri Wulandari
Pogung Kidul No 10 B Sinduadi Mlati Sleman, Yogyakarta
Mahasiswa FMIPA Kimia UGM

Monday, May 7, 2012

Prosesi Upacara Pernikahan Adat lampung Pepadun

Rangkaian Prosesi Pernikahan Nindai / Nyubuk Ini merupakan proses dimana pihak keluarga calon pengantin pria akan meneliti atau menilai apakah calon istri anaknya. Yang dinilai adalah dari segi fisik & perilaku sang gadis. Pada Zaman dulu saat upacara begawei (cacak pepaduan) akan dilakukan acara cangget pilangan yaitu sang gadis diwajibkan mengenakan pakaian adat & keluarga calon pengantin pria akan melakuakn nyubuk / nindai yang diadakan di balai adat. Be Ulih – ulihan (bertanya) Apabila proses nindai telah selesai dan keluarga calon pengantin pria berkenan terhadap sang gadis maka calon pengantin pria akan mengajukan pertanyaan apakah gadis tersebut sudah ada yang punya atau belum, termasuk bagaimana dengan bebet, bobot, bibitnya. Jika dirasakan sudah cocok maka keduanya akan melakukan proses pendekatan lebih lanjut.

Bekado Yaitu proses dimana keluarga calon pengantin pria pada hari yang telah disepakati mendatangi kediaman calon pengantin wanita sambil membawa berbagai jenis makanan & minuman untuk mengutarakan isi hati & keinginan pihak keluarga. Nunang (melamar) Pada hari yang disepakati kedua belah pihak, calon pengantin pria datang melamar dengan membawa berbagai barang bawaan secara adat berupa makanan, aneka macam kue, dodol, alat untuk merokok, peralatan nyireh ugay cambia (sirih pinang). Jumlah dalam satu macam barang bawaan akan disesuaikan dengan status calon pengantin pria berdasarkan tingkatan marga (bernilai 24), tiyuh (bernilai 12), dan suku (berniali 6).

Dalam kunjungan ini akan disampaikan maksud keluarga untuk meminang anak gadis tersebut. Nyirok (ngikat) Acara ini biasa juga dilakukan bersaman waktunya dengan acara lamaran. Biasanya calon pengantin pria akan memberikan tanda pengikat atau hadiah istimewa kepada gadis yang ditujunya berupa barang perhiasan, kain jung sarat atau barang lainnya. Hal ini sebagai symbol ikatan batin yang nantinya akan terjalin diantara dua insan tersebut. Acara nyirok ini dilakukan dengan cara orang tua calon pengantin pria mengikat pinggang sang gadis dengan benang lutan (benang yang terbuat dari kapas warna putih, merah, hitam atau tridatu) sepanjang satu meter. Hal ini dimaksudkan agar perjodohan kedua insane ini dijauhkan dari segala penghalang.

Menjeu ( Berunding) Utusan keluarga pengantin pria datang kerumah orang tua calon pengantin wanita untuk berunding mencapai kesepakatan bersama mengenai hal yang berhubungan denagn besarnya uang jujur, mas kawin, adat yang nantinya akan digunakan, sekaligus menentukan tempat acara akad nikah dilangsungkan. Menurut adat tradisi Lampung, akad nikah biasa dilaksanakan di kediaman pengantin pria.

Sesimburan (dimandikan) Acara ini dilakukan di kali atau sumur dengan arak-arakan dimana calon pengantin wanita akan di payungi dengan paying gober & diiringi dengan tabuh-tabuhan dan talo lunik. Calon pengantin wanita bersama gadis-gadis lainnya termasuk para ibu mandi bersama sambil saling menyimbur air yang disebut sesimburan sebagai tanda permainan terakhirnya sekaligus menolak bala karena besok dia akan melaksanakan akad nikah.

Betanges (mandi uap) Yaitu merebus rempah-rempah wangi yang disebut pepun sampai mendidih lalu diletakkan dibawah kursi yang diduduki calon pengantin wanita. Dia akan dilingkari atau ditutupi dengan tikar pandan selama 15-25 menit lalu atasnya ditutup dengan tampah atau kain. Dengan demikian uap dari aroma tersebut akan menyebar keseluruh tubuh sang gadis agar pada saat menjadi pengantin akan berbau harum dan tidak mengeluarkan banyak keringat.

Berparas (cukuran) Setelah bertanges selesai selanjutnya dilakukan acara berparas yaitu menghilangkan bulu-bulu halus & membentuk alis agar sang gadis terlihat cantik menarik. Hal ini juga akan mempermudah sang juru rias untuk membentuk cintok pada dahi dan pelipis calon pengantin wanita. Pada malam harinya dilakukan acara pasang pacar (inai) pada kuku-kuku agar penampilan calon pengantin semakin menarik pada keesokan harinya.

Upacara akad nikah atau ijab kabul Menurut tradisi lampung, biasanya pernikahan dilaksanakan di rumah calon mempelai pria, namun dengan perkembangan zaman dan kesepakatan, maka akad nikah sudah sering diadakan di rumah calon mempelai wanita. Rombongan calon mempelai pria diatur sebagai berikut : - Barisan paling depan adalah perwatin adat dan pembarep (juru bicara) - Rombongan calon mempelai pria diterima oleh rombongan calon mempelai wanita dengan barisan paling depan pembarep pihak calon mempelai wanita. -

Rombongan calon pengantin pria dan calon pengantin wanita disekat atau dihalangi dengan Appeng (rintangan kain sabage/cindai yang harus dilalui). setelah tercapai kesepakatan, maka juru bicara pihak calon pengantin pria menebas atau memotong Appeng dengan alat terapang. Baru rombongan calon pengantin pria dipersilahkan masuk dengan membawa seserahan berupa : dodol, urai cambai (sirih pinang), juadah balak (lapis legit), kue kering, dan uang adat.

Kemudian calon pengantin pria dibawa ke tempat pelaksanaan akad nikah, didudukan di kasur usut. Selesai akad nikah, selain sungkem (sujud netang sabuk) kepada orangtua, kedua mempelai juga melakukan sembah sujud kepada para tetua yang hadir.

SESUDAH PERNIKAHAN

Upacara Ngurukken Majeu/Ngekuruk Mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria dengan menaiki rato, sejenis kereta roda empat dan jepanon atau tandu. Pengantin pria memegang tombak bersama pengantin wanita dibelakangnya. Bagian ujung mata tombak dipegang pengantin pria, digantungi kelapa tumbuh dan kendi berkepala dua, dan ujung tombak bagian belakang digantungi labayan putih atau tukal dipegang oleh pengantin wanita, yang disebut seluluyan.

Kelapa tumbuh bermakna panjang umur dan beranak pinak, kendi bermakna keduanya hendaknya dingin hati dan setia dunia sampai akhirat, dan lebayan atau benang setungkal bermakna membangun rumah tangga yang sakinah dan mawadah. pengantin berjalan perlahan diiringi musik tradisional talo balak, dengan tema sanak mewang diejan.

Tabuhan Talo Balak Sesampai di rumah pengantin pria, mereka disambut tabuhan talo balak irama girang-girang dan tembakan meriam, serta orangtua dan keluarga dekat mempelai pria, sementara itu, seorang ibu akan menaburkan beras kunyit campur uang logam. Berikutnya pengantin wanita mencelupkan kedua kaki kedalam pasu, yakni wadah dari tanah liat beralas talam kuningan, berisi air dan anak pisang batu, kembang titew, daun sosor bebek dan kembang tujuh rupa, pelambang keselamapan, dingin hati dan berhasil dalam rumah tangga. Lalu dibimbing oleh mertua perempuan, pengantin wanita bersama pengantin pria naik ke rumah, didudukan diatas kasur usut yang digelar didepan appai pareppu atau kebik temen, yaitu kamat tidur utama. Kedua mempelai duduk bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut mempelai wanita. Maknanya agar kelak mempelai wanita patuh pada suaminya.

Selanjutnya siger mempelai wanita diganti dengan kanduk tiling atau manduaro (selendang dililit di kepala),dan dimulailah serangkaian prosesi:
1. ibu mempelai pria menyuapi kedua mempelai , dilanjutkan nenek serta tante. 2. Lalu ibu mempelai wanita menyuapi kedua mempelai, diikuti sesepuh lain. 3. Kedua mempelai makan sirih dan bertukar sepah antara mereka.
4. istri kepala adat memberi gelar kepada kedua mempelai, menekan telunjuk tangan kiri diatas dahi kedua mempelai secara bergantian, sambil berkata : sai(1), wow (2), tigou(3), pak(4), limau(5), nem(6), pitew(7), adekmu untuk mempelai pria Ratu Bangsawan, untuk mempelai wanita adekmu Ratu Rujungan.
5. Netang sabik yaitu mempelai pria membuka rantai yang dipakai mempelai wanita sambil berkata : “Nyak natangken bunga mudik, setitik luh mu temban jadi cahyo begito bagiku”, lalu dipasangkan di leher adik perempuannya, dengan maksud agar segera mendapat jodoh.
6. Kedua mempelai menaburkan kacang goreng dan permen gula-gula kepada gadis-gadis yang hadir, agar mereka segera mendapat jodoh.
7. Seluruh anak kecil yang hadir diperintahkan merebut ayam panggang dan lauk pauk lain sisa kedua mempelai, dengan makna agar segera mendapat keturunan.

Penutup

Prosesi pernikahan tiap suku bangsa berbeda-beda. Masyarakat Lampung memeliki tradisi dan kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan prosesi pernikahan adat. Terdapat keunikan dalam penyelenggaraannya dibanding suku bangsa yang lain. Di samping itu, setiap prosesinya syarat akan makna-makna yang memiliki nilai-nilai luhur yang diwarisi para leluhur masyarakat Lampung. Masih eksisnya upacara pernikahan adat ini menunjukan bahwa masyarakat Lampung masih menjaga tradisi dan adat leluhur yang merupakan salah satu khazanah budaya Indonesia.

Sumber Bacaan Buddhiracana. Majalah Sejarah dan Budaya Vol.13, No.1 November 2009

Monday, April 23, 2012

‘Segubal’, Makanan Lampung ala Negeri Olokgading

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kelurahan Negeri Olokgading masuk dalam kawasan Kecamatan Telukbetung Barat. Kelurahan yang memiliki luas sekitar 109 ha ini memiliki industri rumahan pembuatan makanan khas Lampung, yakni segubal. ==== Berkunjung ke Tanah Tapis tidak lengkap rasanya kalau tidak menikmati salah satu makanan khas daerah Lampung, yakni segubal. Makanan yang sudah hadir sejak lama ini merupakan makanan kebudayaan masyarakat asli Lampung. Biasanya, saat Hari Raya, baik Idulfitri maupun Iduladha dan di saat-saat pesta budaya masyarakat Lampung, seperti perkawinan, sunatan, dan acara-acara budaya lainnya, makanan khas daerah Lampung ini keluar dihidangkan untuk tamu-tamu agung. Segubal adalah bahan dari ketan yang dikukus dengan santan, lalu dibungkus daun pisang, atau daun kelapa (janur). Menyantap makanan ini biasanya ditemani gulai ayam, rendang daging, opor ayam, kari, tapai, dan lain-lain. Selain itu, makanan ini pun dapat dinikmati dengan sambal goreng ati, petai, atau jengkol. Tak sulit mendapatkan makanan unik ini. Di lokasi Pasar Bambu Kuning, segubal selalu ramai terjual dan terfavorit bagi masyarakat setempat. Harganya pun sekitar Rp15 ribu saja/bungkusnya. Warga Bandar Lampung yang banyak membuat segubal ini berasal dari Kelurahan Negeri Olokgading. Banyak warga sekitar maupun warga Bandar Lampung yang memesan segubal dalam jumlah besar kepada warga kelurahan ini. Untuk Hajatan Segubal yang ada di kelurahan ini dibuat Maisaroh, warga Jalan Setia Budi, RT 01 Lingkungan I. Maisaroh yang juga istri Ketua RT 01 kelurahan setempat, Syahrial, sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar. Baik dari warga sekitar yang ingin hajatan maupun warga lainnya. "Kami punya segubal, kue tradisi orang Lampung. Penganan ini dibutuhkan saat hajatan dan bisa juga dipesan," kata Lurah Negeri Olokgading M. Badri ketika ditemui Lampung Post di ruang kerjanya, Jumat (20-4). Pembuatan makanan ini membutuhkan waktu sekitar 10 jam. Caranya, ketan yang telah diberi santan dibungkus dengan daun pisang dan dikukus. Karena terbilang rumit dan membutuhkan ketelatenan ekstra, sudah jarang orang Lampung yang dapat membuat segubal. Badri mengatakan saat ini warga Lampung lebih suka memesan segubal pada para pembuatnya. Sehingga, dia mendapat banyak pesanan, khusunya pada saat Lebaran maupun hajatan. Bahkan, pemesan segubal juga terkadang untuk oleh-oleh. Selain itu, segubal ini pun sering dijajakan pengunjung saat ada kegiatan (pameran) di tingkat Kecamatan Telukbetung Barat. Saat MTQ Bandar Lampung beberapa waktu lalu di Pahoman, segubal dari Kelurahan Negeri Olokgading ini pun diperkenalkan ke pengunjung. Karyawan yang dimiliki Maisaroh yang juga kader PKK kelurahan setempat hanya sebatas keluarganya. Home industry ini pun sudah turun-temurun sejak sepuluh tahun yang lalu. "Enggak sembarangan orang yang bisa buat segubal ini. Maisaroh ini salah satu pembuat segubal yang masih ada dan dipertahankan," kata Badri. (MG5/K-2) Lampost/24 April 2012

Tuesday, April 10, 2012

Sekolah Membentuk Manusia Berbudaya

A. Rifqi Hidayat


Peneliti el-Wahid Center
Universitas Wahid Hasyim Semarang

PROSES kehidupan manusia selalu bergerak dialektis. Alam adalah ruang bagi manusia untuk belajar, memahami segala perubahannya. Alam pun menjelma guru bagi manusia. Manusia lantas menjadi penafsir atas kejadian alam dan memunculkan suatu respons yang menjadi benih lahirnya kebudayaan. Kebudayaan berikutnya menjadi narasi bagi manusia untuk menciptakan peradaban.

Proses belajar kepada alam, dengan demikian adalah fondasi terbentuknya apa yang kemudian disebut sebagai pendidikan. Sekolah adalah hasil peradaban kemusiaan ketika proses pendidikan terinstitusi, lengkap dengan segala aturannya.

Kebudayaan dari akar kata "budaya", dalam bahasa sansekerta buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi, yang artinya sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki pribadi berharga, ia memiliki hak-hak yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa oleh komunitasnya (masyarakat). Manusia sebagai pribadi yang utuh berpikir, menghamba (memiliki Tuhan), kesadaran yang utuh ini menjadikan manusia mampu berjalan selaras dengan alam, manusia yang berpendidikan.

Pendidikan menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya. Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, animal rationale, lebih dari sekadar binatang yang hanya memiliki insting. Manusia memiliki akal pikiran yang berfungsi mengendalikan diri dari naluri hewani. Masyarakat yang berpendidikan adalah masyarakat yang berbudaya. Dalam berbudaya manusia memiliki ketertarikan akan keindahan. Secara sederhana, kesenian adalah bentuk kebudayaan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Norma, etika, dan nilai sosial adalah kebudayaan yang menjadi spirit masyarakat.

Pemberdayaan Manusia

Sebagai sebuah proses, pendidikan lalu terfaksionalisasi ke dalam berbagai ragam, sesuai dengan nilai-nilai (ideologis, politis, agama) di mana institusi pendidikan itu berdiri. Pendidikan dalam perspektif Islam diistilahkan dengan kata tarbiyyah. Said Aqil Siraj menjelaskan tentang makna tarbiyyah dalam etimologi yang meliputi riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah yang tinggi), dan rabb (sifat Allah yang memelihara, mencintai dan mendidik).

Dengan demikian, pendidikan memiliki makna yang lebih luas dari sebatas pengajaran. Pendidikan mengandung makna menambah (pengetahuan), cita-cita luhur (tinggi), harapan dan tujuan memuliakan entitas lain, dan cinta kasih.

Paulo Freire merumuskan tentang pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala penindasan. Ini tak lepas dari ideologi Freire yang Marxis. Pendidikan bagi Freire menjadi narasi bagi masyarakat arus bawah untuk bangkit melawan tirani kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan sosial. Proses pendidikan harus mampu berada pada posisi yang sebenarnya dan tidak terbatas pada ruang kelas formal di lembaga pendidikan. Unsur pendidikan harus dapat dipraktekkan oleh setiap warga negara Indonesia, terlepas ia memiliki kemampuan pedagogis (mengajar secara formal) ataupun tidak.

Pendidikan dengan perspektif modernisasi mengurai berbagai persoalan kebangsaan. Pendidikan dalam etika sekolah formal harus memiliki nilai plus, kreativitas yang mengacu pada kemampuan produk pendidikan untuk bertahan dan hidup sesuai kemajuan peradaban karena maju berkembangnya suatu negara ditentukan oleh kemajuannya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sedangkan kemajuan pendidikan suatu bangsa mengacu pada kedewasaan dan budaya bangsa itu sendiri dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan juga harus mampu menjadi sebuah kebudayaan atau education is culture of human life's. Persoalan pendidikan, tidak hanya menyangkut pada pendidikan formal semata, akan tetapi pendidikan yang terarah dan terpadu dari lingkungan terkecil (keluarga). Pendidikan dalam skala nasional harus mampu menyadarkan manusia tentang potensi diri dan lingkungan sehingga tercipta semangat peningkatan kemampuan bangsa atau inner will.

Pendidikan Nonformal

Modernisasi dalam sistem pendidikan membawa dampak yang luar biasa bagi kebudayaan. Nilai-nilai yang sejatinya mengejawantah dalam sikap dan perilaku siswa di masyarakat. Namun, nilai-nilai berbasis pengetahun dan karakter hanya jatuh pada sifatnya yang banal; nilai dalam rapor atau UN.

Pendidikan nonformal yang memiliki kelebihan pada keteraturan dan keterukuran moralitas masyarakat, hadir menjadi autokritik bagi pendidikan resmi ala pemerintah. Pendidikan nonformal memiliki keterikatan pada nilai yang berarti norma dan etika. Mencermati hal tersebut selayaknya sekolah tidak hanya menjadi sebuah lembaga pendidikan formal, tetapi juga nonformal. Dwifungsi ini akan mampu menjadikan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat. n

Sunday, April 8, 2012

Sedekah Bumi, Simbol Syukur Masyarakat Kedungsuren


SEBAGAI rasa syukur terhadap hasil bumi yang melimpah, masyarakat Desa Kedungsuren Kecamatan Kaliwungu Selatan melaksanakan ritual sedekah bumi, Jumat (17/12). Selain sedekah bumi, dalam pelaksanaan tradisi tahunan tersebut juga dibarengi dengan haul Kiai Abdillah Baqik yang dipercaya sebagai sesepuh yang pernah membangun alias "mbabat alas" Desa Kedungsuren.

Menurut Kepala Desa Kedungsuren, Nandirin, kegiatan sedekah bumi yang dilaksanakan di desanya meruapakan kegiatan turun menurun yang dilaksanakan tiap tahun. Pelaksanaannya, kata dia, diselenggarakan setiap hari kesepuluh bulan Suro, atau bulan Muharam. Namun, lanjutnya, baru dua tahun terakhir, sejak dirinya menjadi Kades, kegiatan sedekah bumi dibuat meriah.

"Sebelumnya acara ini hanya dirayakan dengan sederhana. Saya memandang momentum ini bisa dibuat lebih meriah dan bisa menjadi suatu tradisi yang menarik untuk diritualkan guna mengundang warga dari daerah lain untuk ikut ritual," ujar Nandirin.

Menurut cerita Nandirin, Desa Kedungsuren merupakan desa tempat beristirahatnya Kiai Abdillah Baqik atau Ki Ageng Karto Suryo Widjaja, ketika mengambil kayu untuk pilar pembangunan Masjid Demak. Saat pembangunan Masjid Demak, salah satu pilar masjid diambil dari daerah Tunggak Ombo, Desa Kedungsuren.

Kala itu, Kiai Abdillah Baqik beserta anak buahnya berusaha membawa kayu yang akan dijadikan pilar masjid dengan cara melarungnya melalui Kali Blorong yang mengalir di daerah itu. "Kayu tersebut diceritakan dilarung hingga Demak. Peristiwa larung kayu pilar Masjid Demak tersebut, juga kami peringati dengan sedekah bumi dan ritual melarung kepala kambing ke kali Blorong," jelasnya.

Berbut Berkah

Dalam kegiatan sedekah bumi ini, penyelenggaran juga menggelar pagelaran wayang kulit semalam suntuk dan tahlilan di makam Abdillah Baqik sebagai puncak acara. Sebelum acara tahlilan, warga di tiga dusun yang ada di Desa Kedungsuren, yaitu Dusun Glagah, Dusun Krajan Barat dan Krajan Timur membawa hasil buminya untuk dikumpulkan di petilasan Kiai Abdillah Baqik.

Setelah hasil bumi dikupulkan, kemudian diserahkan ke Kepala Desa. Selanjutnya, hasil bumi yang telah terkumpul itu kembali diberikan kepada warga. Biasanya, ratusan warga yang datang ikut berebut untuk mendapatkan hasil bumi tersebut.

"Hasil bumi yang telah diberi doa dalam acara ritual, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai jimat yang bisa membawa kesuksesan maupun rejeki. Warga percaya, jika mendapatkan hasil bumi yang telah diberi doa, akan membawa rejeki melimpah bagi mereka," jelas Nandirin.

Sementara, Siti Nuryati (46), warga Desa Kedungsuren mengatakan, setiap tahun dirinya selalu ikut dan ambil bagian dalam prosesi ritual rebutan hasil bumi. "Saya setiap tahun ikut rebutan, berharap bisa mendapatkan rejeki melimpah dan hasil panen yang baik," ujar Siti.

Sumber : Suara Merdeka

KASIH SAYANG JAWA



Oleh: Suwardi Endraswara

KAKEK saya yang menjadi guru mistik kejawen, pernah berpesan: "Yen urip tetanggan, pagerana piring, aja kok pageri pring." Maksudnya, hidup bertetangga seharusnya penuh kasih sayang dengan memberikan sesuatu. Makanan apa saja, yang diberikan itu sebuah pantulan rasa kasih sayang terhadap sesama. Kalau begitu, pesan kakek itu mirip sekali dengan pengajian Mama Dedeh: rumahmu jangan kau pagari tembok, tapi pagari mangkuk. Kata piring dan mangkuk, identik dengan makanan.

Dari ungkapan itu, saya menjadi ingat ketika pertengahan Januari 2012 lalu diminta bicara di Junggringan (sarasehan) kelompok Ki Ageng Suryamentaram di Jl Barito IV Jakarta. Waktu itu, putera Ki Ageng, Ki Grangsang Suryamentaram, sempat menyampaikan bahwa orang yang benar-benar mendapat kawruh begja sawetah (beruntung sejajti), adalah yang tahu kalau dirinya memiliki kasih sayang pada sesama atau tidak. Menurut dia, senyum itu kasih sayang yang mahal harganya, dibanding harta berjuta-juta. Ketika senyum itu tulus, tidak pura-pura (lamis), itu kasih sayang yang jauh melebihi mutiara dibanding memberi uang, ternyata hasil korupsi.

Kasih sayang Jawa, sudah ditanamkan sejak sebelum orang lahir. Tradisi sesaji (mitoni) misalnya, adalah potret kasih sayang prenatal. Terlebih lagi, ketika seorang suami mengelus perut isteri yang sedang mengandung, dengan kelembutan dan rona hati, akan menanamkan kasih sayang luar biasa. Begitu pula, ketika seorang ibu melagukan "tak lela-lela lela ledhung", sambil menyusui dan menimang-nimang anaknya, adalah bentuk kasih sayang orang tua yang tiada tara. Kata orang, kasih sayang orang tua itu sak rendheng, artinya sangat besar, sebaliknya kasih sayang anak kepada orang tua hanya sak klentheng, artinya amat kecil. Maka, kalau anaknya sedang sakit, ibu mengompres dengan daun dadap sreb. Waktu anaknya rewel, dibelikan sesuatu, ketika pegal dipijat, dan seterusnya.

Tanpa Pamrih Kasih sayang di mata orang Jawa, tidak seperti orang asing.

Jika orang asing kasih sayang mereka wujudkan dengan cara membagi-bagi bunga, orang Jawa cenderung membagi-bagi makanan. Konsep memberi (weweh), menjadi hal penting dalam kasih sayang. Namun, yang diagungkan orang Jawa adalah memberi yang tanpa pamrih. Jika masih ada pamrih, itu bukan kasih sayang, melainkan kasih sayang terselubung. Seorang raja, pada tempo dulu, mewujudkan kasih sayang dengan memberikan triman dan kekucah kepada bawahan. Triman, biasanya wujud wanita yang boleh dipersunting bawahan, dengan tujuan ngalap berkah. Kekucah, adalah pemberian harta benda. Sebaliknya, wujud kasih sayang bawahan dengan memberikan asok glondhong miwah pengarem-arem (upeti).

Orang Jawa, membangun mitos kasih sayang sudah begitu panjang. Mereka rangkai secara simbolik ke dalam patung loro blonyo.

Dua patung yang sering diletakkan pada perhelatan pengantin merupakan wujud kasih sayang suami isteri. Loro blonyo juga sering diletakkan pada pasren, di senthong tengah, yang menyerupai patung Sri dan Sadono, dewa kesuburan. Rangkaian kasih sayang, juga diuntai ke dalam ungkapan pidato ular-ular manten, seperti Kamajaya-Kamaratih. Manten demikian dipandang memiliki kasih sayang lahir batin, yang kelak dapat hidup seperti mimi dan mintuna. Itulah sebabnya konteks sarimbit, artinya kedua mempelai bergandengan tangan, merupakan potret kasih sayang hakiki . Terlebih lagi,keduanya akan dilegalkan dalam menjalankan pepasihan, artinya hubungan salaki-rabi (suami-isteri), hingga menjadi sih-sihan, pertanda turunnya kasih sayang.

Rasa kasih sayang itu muncul dari hati yang terdalam, tanpa paksaan. Kasih sayang tidak harus menunggu orang itu memiliki sisa rezeki. Kasih sayang yang muncul karena rasa belas kasihan (mesakake), juga tidak tulus. Kasih sayang Jawa yang luhur, harus lahir dari suksma sekti, artinya batin terdalam. Suksma sekti itu yang menuntun diri pribadi, agar tahu yang dirasakan orang lain.

Tahu rasa orang lain, tanpa didorong oleh rasa iri (ambeg meri), menjadi sinar hadirnya kasih sayang. Kalau hal ini dapat dibina terus-menerus, di tengah hidup Jawa akan hujan kasih sayang (jawahing tresna asih). Pada saat itu, seseorang akan sadar kosmis melakukan kasih sayang. Jika kasih sayang anak pada orang tua, sekedar balas budi, belum dapat disebut luhur. Kalau orang melakukan sumbang-menyumbang dalam hajatan, karena pernah disumbang, hal itu juga kasih sayang semu.

Jadi kasih sayang sejati itu, seperti ketika Resi Seta memberikan wejangan ilmu batin pada Gatutkaca dan pada waktu Bima menyanjung pada anaknya Gatutkaca, dengan cara khas, dicubit, dipukul, digembleng, agar menjadi satria yang otot kawat balung besi. Begitu pula pada waktu Ki Buyut Banyu Biru memberi wejangan ilmu kepada Jaka Tingkir, jelas gambaran kasih sayang. Kasih sayang Jawa mencapai puncaknya ketika ziarah kubur dengan sesaji bunga telasih, artinya telasing sih, artinya habisnya kasih sayang secara lahiriah.

KEARIFAN LOKAL JAWA BUKAN SYIRIK


KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.

Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.

Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.

Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.

Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.

Perlambang

Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.

"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.

Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.

"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.

Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.

Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.

Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.
(Joko Dwi Hastanto/CN27)

Sumber : Suara Merdeka.

Sebuah Kearifan Lokal dari Lereng Merapi.

Politikindonesia - Kearifan lokal bisa menyelamatkan warga dari erupsi Gunung Merapi. Sejak lama masyarakat di lereng Merapi, memiliki pengetahuan akan terjadinya bencana melalui pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal. Sayangnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak, sehingga kemampuan itu tak lagi diperhatikan.

Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Damardjati Kun Marjanto, mengemukakan hal itu, di Jakarta, Selasa (23/11).

Dalam penelitiannya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Damardjati menarik kesimpulan, sejak lama masyarakat di lereng Merapi telah akrab dengan bencana letusan gunung. Itulah yang menjadikan masyarakat di sana mengetahui bencana menjelang. Karena mereka telah terbiasa membaca tanda-tanda alam yang sesungguhnya sering berulang.

Pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal itu pada dasarnya menjadi pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan lingkungan. Termasuk nilai-nilai yang harus diketahui sebagai rasionalisasi prinsip kearifan lokal yang didukungnya dan menerjemahkan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa lokal.

Yang tidak kalah penting, tidak dikonfrontasikannya pengetahuan lokal yang disebut kearifan lokal itu, dengan pengetahuan logis rasional yang disebut vulkanologi. Pasalnya, kata Damar, pengetahuan lokal memiliki relevansi dengan hal praktis kehidupan sehari-hari warga di daerah rawan bencana.

Sekadar diketahui, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan atau kesulitan masyarakat. Semua itu diperoleh dari generasi sebelumnya secara turun temurun, melalui lisan atau contoh tindakan.

Damardjati menyebutkan, sebelum terjadi bencana, ada tanda-tanda alam, yang bagi masyarakat Yogyakarta menjadi kearifan lokal. Ia mencontohkan, perilaku binatang yang tidak seperti biasanya. Di antaranya, monyet dan kijang berlarian turun gunung. Lalu, anjing menggonggong terus menerus, burung kedasih berkicau pada malam hari, hingga cacing banyak keluar dari tanah.

Di luar itu, terjadi tanda alam. Seperti hawa panas, gumpalan hitam berwujud naga, kilatan putih, ada bunyi pecut "ther-ther", dan lain sebagainya. Ada juga wisik atau mimpi yang disampaikan oleh orang tua berpakaian Jawa kepada orang-orang tertentu.

Tetapi, Bambang Sulis, kolega Damardjati, peneliti dari institusi yang sama mengatakan, saat ini sulit menemukan tanda-tanda alam tersebut. Pasalnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak.

Dahulu, sebelum terjadi letusan Merapi, hewan yang pertama keluar dari hutan, turun ke perkampungan, harimau, kemudian burung. Berikutnya, monyet dan kijang. Sekarang sulit, kata dia, karena sudah tidak ada lagi harimau di sana.

Sumber : Politik Indonesia

Saturday, January 21, 2012

MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN DI KABUPATEN BREBES

Dhanang Respati Puguh
Sejarawan

A. Pendahuluan

Sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998 “masyarakat madani” menjadi wacana yang selalu aktual untuk dibicarakan sampai sekarang. Hal ini setidaknya tercermin dari tema sarasehan dalam rangka peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes. Pemilihan tema sarasehan itu bukan tanpa alasan, melainkan penuh dengan pertimbangan, karena berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes 2005-2025, telah dicanangkan visi pembangunannya, yaitu: “Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera”. Dengan demikian, peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes dijadikan sebagai momentum untuk memikirkan dan mewujudkan suatu kondisi yang dicita-citakan oleh masyarakat Brebes itu.

“Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera” sebagai sebuah cita-cita tentunya bukanlah slogan atau label yang tanpa makna. Cita-cita itu merupakan harapan masyarakat Brebes yang untuk mewujudkannya diperlukan langkah-langkah nyata; salah satu di antaranya adalah membangun masyarakat madani dengan memanfaatkan kearifan lokal. Tulisan ini akan membahas permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu, ada dua konsep yang perlu mendapatkan pembahasan yaitu masyarakat madani dan kearifan lokal. Untuk mendapatkan kesamaan pemahaman dan keruntutan pembahasan, tulisan ini diawali dengan pengertian dan karakteristik masyarakat madani, yang dilanjutkan dengan signifikansi kearifan lokal dalam pembangunan masyarakat madani, dan diakhiri dengan upaya-upaya membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal dengan rujukan khusus di Kabupaten Brebes.



B. Masyarakat Madani: Pengertian dan Karakteristik



1. Beberapa Pengertian

Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga filosof kontemporer dari Malaysia (“Masyarakat Madani…”), serta pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim.

Anwar Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis. Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008).

Komaruddin Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia, istilah “masyarakat madani” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya, yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.

Menurut Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008).

Sementara itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008).



2. Karakteristik

Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai berikut.



1. Ruang Publik yang Bebas

Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.





2. Demokratis

Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.



3. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.



4. Pluralisme dan Multikulturalisme

Pluralisme menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat lain. Sikap itu dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga Ahimsa-Putra, 2009: 2-4).



5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial

Karakteristik ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…); “Masyarakat Madani…”).



C. Signifikansi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani

Kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka (“Memberdayakan Kearifan Lokal…”). Bertolak dari definisi itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).

Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah[3]) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5).

Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109).

Apa arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas, cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system), dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut.

1. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata pencaharian, dan integrasi sosial.

2. Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa, dan tepa salira.

3. Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain.

4. Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial.

5. Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan kehidupan (Sedyawati, 2008: 280).



D. Upaya-upaya Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal

Kabupaten Brebes melalui Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes 2005-2009 telah menetapkan beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah.

Pencapaian visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa “masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermoral, beretika berdasarkan Pancasila, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani di Kabupaten Brebes? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai oleh masyarakatnya (Brebes), namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383). Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes.



1. Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal

Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui pengkajian terhadap cerita rakyat Brebes dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap-sikap antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat (Bupati Brebes Tumenggung Puspanegara); nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji (Patih Sampun Desa Klampok); nilai kepemimpinan (bupati) yang peduli pada daerah dan rakyatnya (Kedunguter); nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan (Dat-Dut di Blengketan Wangandalem), nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih (Mbok Dasmi di Pebatan) (Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988 passim.) Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat.



2. Pengetahuan Budaya Lokal sebagai Muatan Lokal

Sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani di Kabupaten Brebes dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di Kabupaten Brebes. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural system) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional (Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani.





3. Forum Komunikasi Pemikiran Budaya

Pemerintah Kabupaten Brebes tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang berkembang di masyarakat Brebes, seperti budaya (lokal) yang menghambat terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7).



4. Festival Budaya Lokal

Unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.



Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat (Brebes). Kesadaran dan ketahanan kultural menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani yang berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes.



E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat madani berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat Brebes. Selamat merayakan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes. Semoga dapat mewujudkan visi Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera. Amein. Matur Nuwun.










DAFTAR PUSTAKA



Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. “Dari Plural ke Multikultural: Tafsir Antropologi atas Budaya Masyarakat Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Multikulturalisme dalam Pembangunan di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Yogyakarta pada 12 Agustus 2009.

Blum, Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.



Hidayat, Mansur. 2008. “Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani: Telaah Teoritik-Historis”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/ORMAS+KEAGAMAAN+DALAM+PEMBERDAYAAN+POLITIK+MASYARAKAT+MADANI.pdf (dikunjungi 31 Desember 2009).

Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.

Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988. Panitia Hari Jadi Kabupaten Brebes.

“Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama di Indonesia” http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/ (Dikunjungi 31 Desember 2009).

Mawardi J., M.. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Madani”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/strategi+pengembangan+masyarakat+madani.pdf (31 Desember 2009).

“Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil”, http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=328 (dikun-jungi 11 Januari 2010).

Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes Tahun 2005-2005.

Sanaky, Hujair AH, Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis)”, http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI.pdf (31 Desember 2009).

Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

[1]Makalah Disampaikan dalam Sarasehan Peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes Tahun 2010 di Pendapa Kabupaten Brebes, 13 Januari 2010, dan sebagian telah diterbitkan dengan judul “Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal”, Radar Tegal, 13 Januari 2010.

[2]Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Sekretaris Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Komunikasi dan korespondensi dapat dilakukan melalui HP dengan nomor: 081390794224 dan email: dhanang_puguh@yahoo.com.

[3]Edi Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena kata “daerah” mengesankan lawan dari “pusat”. Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya nasional tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif.