PERTANGGUNG JAWABAN KEPADA HILMAN HADIKUSUMA DAN RIZANI PUSPAWIJAYA
FACHRUDDIN
Dialog Kebudayaan Daerah Lampung tahun 1988, mendadak hiruk pikuk, semua peserta berebut ingin berbicara, untuk menanggapi dan menentang ucapan seorang peserta yang mengatakan “ … Jangan mengaku sebagai orang Lampung, bila bejuluk tidak beadokpun tidak …” sambil memperkenalkan nama juluk yang didapatkannya pada usia remaja dan nama adek yang didapatkannya setelah dewasa, dengan segala kebanggaan.
Pimpinan sidang dan dua orang yang diharapkan mampu menetralisir situasi ini, yaitu Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya kuwalahan, setelah dua termyn berlalu hiruk pikuk tak kunjung reda. Persidangan dianjurkan untuk segera diakhiri oleh panitia penyelenggara, karena kehabisan waktu. Sifat kekanak kanakan itu dipertontonkan dihadapan seorang Rosihan Anwar, yang datang mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta yang cukup istimewa juga hadir belasan orang Penyuluh Kebudayaan, yang didatangkan di ruangan itu untuk mengenal budaya Lampung lebih dekat. Karena mereka adalah ujung tombak dalam pembinaan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Rosihan Anwar dalam sambutannya mengatakan : “Akan saya sampaikan kepada Bapak menteri bahwa di Lampung masih ada yang belum mampu diselesaikan, namanya Piil Pesenggiri”. Para Penilik kebudayaan sebagai pejabat ujung tombak dalam pembinaan kebudayaan merasa bingung, bagaimana menindaklanjuti hasil dialog itu.
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan kepada para Penilik kebudayaan yang sebagian besar adalah para pendatang ini, diminta untuk merasa sebagai orang Lampung. Apalagi tugasnya adalah membina kebudayaan di lampung. Tetapi mereka sendiri tersentak ketika ada yang melarang untuk mengaku sebagai orang Lampung manakala yang bersangkutan tidak pernah diupacarai untuk mendapatkan nama “Juluk” dan nama “Adek”, karena berarti akan banyak sekali orang Lampung asli yang dianggap tidak sah ke-Lampung-annya. Apalagi kami kami yang sebagai pendatang ini, kata mereka.
Upaya reaktualisasi konsep piil pesenggiri yang dilakukan oleh Hilman hadikusuma (alm) dan Rizani Puspawijaya dengan semangat yang menggebu gebu itu justeru melahirkan trauma, bagi Penilik Kebudayaan. Itulah sebabnya Kanwil Depdiknas berusaha untuk merumuskan pendekatan versi baru Piil Pesenggiri dan meletakkan unsur Juluk Adek yang menyulut perdebatan itu pada unsur yang paling akhir.
Piil Pesenggiri yang semula terdiri dari :
1. Juluk Adek
2. Nemui Nyimah
3. Nengah Nyappur
4. Sakai Sambaian dan
5. “Titi gemeti” dalam tanda petik.
Kanwil Depdikbud untuk menindaklanjuti hasil dialog kebudayaan dan kepentingan keutuhan, serta memudahkan pemahaman bagi para Penilkik Kebudayaan, maka susunanpun di rubah menjadi :
1. Nemui Nyimah
2. Nengah Nyappour
3. Sakai sambaian dan
4. Juluk Sdek.
Juluk Adek tidak dijadikan pangkal tolak eksistensi seseorang seperti yang digulirkan dalam dialog kebudayaan. Pemerintah melalui Kanwil berketetapan untuk menjadikan “Nemui Nyimah” sebagai pangkal tolak eksistensi seseorang.
Eksistensi seseorang bukan ketika seseorang mendapatkan nama Juluk atau gelar Adek/ Adok, melainkan ketika seseorang telah memiliki kemampuan bertamu dan atau menerima tamu (Temui) dan bersikap santun dalam pertemuan itu. Eksistensi seseorang dimulai ketika seseorang memiliki kemampuan untuk menyantuni (nyimah) terhadap hajat orang lain. Karena pada saat itu berarti seseorang dianggap telah memiliki kemampuan untuk memproduk sesuatu. Eksistensi seseorang adalah ketika “siapa mampu berbuat apa”.
Filosopi bertamu atau pertemuan memiliki makna yang sangat dalam. Karena dalam sebuah pertemuan atau pertamuan lebih banyak dilandasi berbagai perbedaan perbedaan dan perbedaan kepentingan, tetapi pertemuan atau pertamuan itu umumnya pula dimaksudkan adalah untuk mencapai kesepakatan bersama. Itulah sebabnya maka dalam piil pesenggiri seseorang dikatakan eksis manakala memiliki kesanggupan atau keterampilan untuk mencapai kesepakatan kesepakatan bersama, walaupun semua memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda.
Sebenarnya sejak semula masyarakat Lampung melatih putera puteri mereka untuk santun (simah) dalam bertamu (nemui). Seorang jejaka sangat dilarang untuk bertamu manakala tidak memiliki kesanggupan membawakan buah tangan (kaduw). Tetapi dahulu sebenarnya buah tangan seorang jejaka adalah hasil dari kebun yang dikelolanya sendiri. Dan juga seorang gadis tidak akan menerima tamu jejaka sebelum ia memiliki kemampuan untuk memperlihatkan hasil karyanya seperti taplak meja, lap tangan dan lain lain produk yang bermotifkan ragam hias Lampung. Yang paling istimewa, seorang gadis baru berkenan menerima tamu jejaka manakala kue dan penganan yang disajikan adalah buatannya sendiri.
Artinya baik jejaka maupun gadis baru boleh menyelenggarakan pertemuan manakala keduanya telah produktif. Kebun kebun yang dikelola jejaka sudah menghasilkan buah. Sementara si gadir telah banyak membuat berbagai perabot rumah tangga dengan tangan sendiri. Mereka dianggap layak untuk saling menyesuaikan, saling berusaha menemukan persam,aan persamaan, serta merancang masa depan.
Produktif, adalah inti atau kunci seseorang untuk dapat berbuat santun (simah) dalam pergaulan, pertamuan, pertemuan (nemui). Dengan piil pesenggiri, tetaptnya unsure nemui nyimah adalah sebuah pesan bahwa seseorang akan dapat eksis dalam hidupnya manakala telah memiliki kemampuan untuk menciptakan susuatu, atau berbuat sesuatu yang bermanfaat juga bagi orang lain.
Seseorang dikatakan eksis manaka ia produktif, dan produksinya itu bermanfaat bagi orang lain, dengan kata lain ia telah menghasilkan sesuatu dan penghasilannya itu bukan hanya cukup bagi dirinya dan orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, tetapi juga orang lain dan masyarakat banyak. Itulah makna simah atau nyimah dalam piil pesenggiri.
Dengan demikian maka produktif dan santun tidak diartikan benda semata mata. Tetapi seseorang mampu melaksanakan tugasnya secara profesional juga berarti produktif dan santun. Seorang guru atau dosen umpamanya dia produktif dan santun manakala bekerja secra profesional, melaksanakan kaji literatur, menyelenggarakan penelitian, menyusun karya ilmiah, serta karya tulis lainnya yang akan membuat mahasiswanya mencapai prestasi belajar yang lebih baik.
Piil pesenggiri, yang saya yakini adalah menjadi modal dasar untuk membentuk Kesultanan Islam Lampung, adalah berpangkal tolak pada kemampuan setiap individu memiliki kesanggupan untuk produktif dan santun. Daerah ini akan menjadi daerah yang makmur dan masyarakat yang sejahtera manakala setiap seseorang mampu berproduksi atau berpenghasilan jauh melebihi kebutuhan pribadi serta orang orang yang berada di bawah tangguyng jawabnya, sehingga setiap seseorang menjadi simah atau santun.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletejika seseorang itu dikatakan eksis apabila ia telah menghasilkan sesuatu untuk dirinya dan juga orang lain serta mampu melaksanakan tugasnya secara profesional bagaimana dengan keadaan dan realita sekarang. seorang jejaka/anak laki-laki yang bisa dikatakan belum bisa menghasilkan sesuatu sudah menyelenggarakan pertemuan dengan seorang gadis. apakah dia dapat dikatakan "nemui nyimah" atau hanya nemuinya saja?
ReplyDelete