Saturday, April 3, 2010

MAWARDI HARIRAMA

PELESTARI BUDAYA LAMPUNG


Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro

BANDAR LAMPUNG -Kepunahan budaya lokal akibat terpaan budaya global tentunya merugikan bangsa Indonesia.
Apalagi bagi Lampung, yang budayanya lebih sempurna karena memiliki aksara dan bahasa sendiri. Namun tidak banyak warga Lampung yang peduli terhadap pelestarian budaya nenek moyangnya tersebut.
Di antara yang sedikit itu, terdapat Mawardi Harimana Sultan Pengiran Pesirah Mergo (56). Ketua Paguyuban Seni Budaya Lampung Tangkai Mas Jaya ini menyatakan gelisah terhadap kelestarian budaya Lampung mengingat kian minimnya minat generasi muda untuk mempelajarinya.
Saat ini memang melalui mata pelajaran muatan lokal, aksara Lampung dipelajari dari SD hingga SMP. Tapi itu saja belum cukup, karena bahasa dan aksara yang dipelajari itu tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan atraksi budaya dan pesta-pesta adatnya, baru mulai mendapat tempat sejak Sjachrudin ZP menjadi Gubernur Lampung. Bahkan kini gedung-gedung pemerintah dan swasta mulai dihiasi dengan motif-motif khas Lampung.
Mawardi mengusulkan agar ke depan, nama-nama gedung perkantoran dan toko juga dilengkapi dengan aksara Lampung, seperti di Thailand dan Jepang. “Sehingga begitu ada tamu, mereka benar-benar merasa berada di Lampung,” ujarnya dalam sebuah percakapan di rumah adatnya yang asri dan luas di bilangan Kota Sepang, Kedaton, Bandar Lampung.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian dan pengembangan adat budaya Lampung, Mantan pejabat Pemprov DKI Jaya ini membangun rumah adat seluas 6.000 meter persegi yang diberi nama Nuwo Balak Kedatun Keagungan Lampung yang di dalamnya terdapat berbagai benda budaya. Pembangunannya dimulai tahun 1995 dan baru selesai lima tahun kemudian.
Persiapan lahan dan kayu sudah dimulai jauh sebelum pembangunan dikerjakan. Bahkan jenis kayu tembesu, unglen, dan lain-lain didatangkan dari Jambi jauh sebelum rumah tersebut dibangun. Kayu-kayu berkualitas tinggi tersebut diawetkan secara tradisional dengan cara dibenamkan dalam lumpur bertahun-tahun agar tidak dimakan rayap. Sekarang rumah ini tidak saja digunakan untuk atraksi, pesta, atau acara adat dan budaya, melainkan juga menjadi objek wisata budaya Lampung.

“Sai Bumi Ruwa Jurai”
Mawardi mengakui budaya Lampung terdiri dari dua (rua) jurai, yakni pepadun dan sai batin sehingga disebut SaiBumi Ruwa Jurai (satu bumi yang dibentuk oleh dua ragam adat istiadat). Adat pepadun yang dijalankan warga yang bermukim di pedalaman dan sai batin di wilayah pesisir.
Contohnya, sewaktu Gubernur Sjachrudin membangun menara siger di Bakauheni yang sigernya berjumlah tujuh, sempat dipersoalkan tokoh adat pepadun yang jumlah sigernya sembilan. Menurut Mawardi, yang berdiri di Bakauheni tersebut bukan siger, sebab menurut adat budaya Lampung, siger adalah tutup kepala pengantin wanita. Dengan begitu menara siger di Bakauheni adalah bangunan yang atapnya bermotif siger. Jadi berapa pun jumlah siger-nya tidak perlu dipersoalkan.
Demikian pula berbagai even budaya yang dilakukan di Pemprov Lampung, sah-sah saja menggunakan budaya pepadun atau sai batin. Malah, semakin banyak even budaya yang dilaksanakan semakin baik dalam upaya pelestarian budaya lokalnya.
Dalam rangka pelestarian budaya lokal, ia menyarankan jangan hanya terbatas pada bentuk fisik seperti tarian, dan atraksi tapi yang lebih penting adalah pewarisan nilai-nilai dan falsafah budaya. Misalnya, piil pesenggiri yang berarti semua gerak langkah masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-hari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa(hatinurani).
Dalam penerapannya sehari-hari akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sehingga bila dibutuhkan akan muncul keberanian untuk berkorban, baik harta maupun nyawa sekalipun demi mempertahankannya.
Begitu juga nilai-nilai lainnya berupa sakai sembayan, yang berarti masyarakat Lampung senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Nilai-nilai falsalah budaya itulah yang di mata suami Hj Sofia Hanum Sutan Mahkota ini mulai banyak ditinggalkan. Padahal jika warga Lampung menerapkan sepenuhnya nilai sakai sembayan, tentu daerah ini sudah lama terbebas dari kemiskinan karena ada kebersamaan dan tolong-menolong di antara sesama warga.
Demikian pula penerapan piil pesenggiri, akan menjadikan Lampung bebas dari korupsi karena kuatnya keimanan warganya, terutama pemimpinnya. Ia percaya nilai-nilai budaya tersebut tidak akan mati dimakan usia.
Tapi apakah generasi penerus masih menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Itulah yang dirisaukan Mawardi. Dicontohkannya, makin banyak generasi muda yang enggan berbahasa daerah karena merasa kolot dan terbelakang jika menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
“Ini masalah besar karena bahasa Lampung bisa punah dalam satu generasi ke depan,” ia mengkhawatirkan. Lagi pula, banyak orang tua yang memandang tidak perlu mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang bersuku asli Lampung juga tidak menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah tangganya.
“Oleh karena itu, tugas berat pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat Lampung adalah ikut peduli pada kelangsungan budayanya jika ingin tetap mengaku sebagai warga Lampung,” imbaunya. Jangan biarkan Mawardi sendiri yang risau dan gamang terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya lelulurnya. n

Source: Sinar Harapan

No comments:

Post a Comment