Wednesday, November 24, 2010

sadar bencana : JANGAN TERBUAI KEARIFAN LOKAL

Jakarta, Kompas - Meski sebagian komunitas masyarakat Indonesia memiliki kearifan ”lokal” dalam menghadapi bencana di daerahnya, itu tidak perlu dilebih-lebihkan. Selain kearifan, sebagian besar masyarakat justru memiliki banyak sisi ketidaktahuan dan kekurangtahuan memahami bencana.

Hal itu diungkapkan dosen antropologi Universitas Indonesia, Iwan Tjitradjaja, di Jakarta, Minggu (21/11). Kearifan lokal mengemuka sebagai respons atas arogansi pembuat kebijakan dan penyelenggara pembangunan yang menjadikan masyarakat pedesaan atau pedalaman sebagai obyek dan dianggap bodoh.

”Walau sebagian masyarakat memiliki pengetahuan tentang lingkungan mereka, justru lebih banyak yang tidak tahu atau kurang tahu,” katanya.

Kini, kearifan itu juga menghadapi tantangan akibat kondisi lingkungan yang berubah cepat. Perusakan lingkungan oleh kekuatan di luar masyarakat setempat membuat sejumlah indikasi, pengamatan, dan pemahaman warga tentang tanda-tanda bencana turut berubah. Perubahan itu terjadi tanpa disadari oleh masyarakat.

Selain itu, menurut Iwan, dengan masuknya pengaruh pasar yang mengedepankan sikap pragmatis materialistik, pandangan dan perilaku masyarakat turut berubah. Akibatnya, keputusan yang diambil masyarakat banyak yang tidak didasarkan pada nilai kearifan yang dibangun selama ini, tetapi berdasarkan kebutuhan sesaat yang tanpa disadari turut mendorong parahnya kerusakan lingkungan.

Untuk mengatasi ketidaktahuan dan kekurangtahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, Iwan mengusulkan, pemerintah, masyarakat, dan akademisi membantu membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan memberikan pendidikan yang melibatkan masyarakat—mereka jangan jadi obyek. ”Program pendidikan sadar bencana ini tidak bisa dilakukan secara ad hoc, tetapi harus secara terus-menerus,” ujarnya.

Secara terpisah, dosen antropologi Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, meski banyak bencana menimpa Indonesia, sebagian besar masyarakat masih sulit mengambil pelajaran dari bencana yang terjadi. Setiap bencana seharusnya melahirkan pembelajaran agar tidak terulang pada persoalan yang sama saat bencana lain datang.

Dalam menghadapi bencana orang berpikir secara parsial akibat terpukau citra kemajuan materiil duniawi. Kondisi ini sulit melahirkan kearifan, termasuk dalam menghadapi bencana, karena kearifan diawali dari proses pemikiran komprehensif, bukan pemikiran bersifat sektoral.

”Ketika alam menantang masyarakat untuk berubah drastis (akibat bencana), banyak masyarakat yang kagok karena tak terbiasa,” katanya. Jika ingin membangun masyarakat sadar bencana, pemikiran setiap orang yang mengalami bencana harus diapresiasi sebagai bentuk kearifan memahami bencana. Berbagai pemikiran itu direfleksikan untuk membangun sistem penanganan bencana yang teroganisasi. Setiap perbedaan pandangan perlu dihargai, jangan dimaknai sebagai perlawanan.

Laksono mengatakan, keinginan pemerintah membangun pusat riset, pendidikan, serta pelatihan pengurangan risiko dan penanganan bencana di sejumlah daerah rawan bencana dengan mengadopsi pola di Jepang hendaknya bukan retorika. Ketersediaan sumber daya manusia, sistem informasi, dan keterbukaan akses informasi perlu dipikirkan dan disiapkan matang.

Penelitian soal kebencanaan banyak dilakukan mahasiswa dan peneliti Indonesia. Namun, belum ada yang menyatukan pemikiran-pemikiran yang terpecah itu. ”Jika perguruan tinggi mampu menyatukan berbagai kajian kebencanaan secara komprehensif hingga melahirkan pengetahuan baru yang menghubungkan hidup masyarakat dengan bencana, dunia internasional akan banyak belajar dari Indonesia,” ujarnya. (MZW)

Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010

KEARIFAN LOKAL LAMPUNG ADALAH PIIL PESENGGIRI


Kearifan lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk didalami, berkenaan dengan rencana Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa dan ekonomi kreatip. Masing masing daerah memiliki kerifan lokal. Letak geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah melahirkan kearifan lokal yang berkembang didaerah tersebut..

Demikian juga halnya dengan daerah Lampung, akibat letak geografis dan perjalanan sejarah politik masa lalu serta kontak kontak budaya yang selama itu terjadi, telah melahirkan genius lokal yang telah berhasil menghantar masyarakat Lampung ke era sekarang. Genius lokal atau kearifan lokal adalah merupakan sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama.

Ciri Kearifan Lokal.

Ada beberapa ciri ciri kearifan lokal, yaitu : (1) memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain, (2) memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar, (3) memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya lokal, (4) memiliki kemampuan untuk mengendalikan, dan (5) memiliki kemampuan untuk memberikan arahan dalam perkembangannya. Ditinjau dari kelima ciri tersebut maka piil pesenggiri pantas untuk disebut sebagai genius lokal, lokal wisdom atau kearifan lokal.

Menakar Piil Pesenggiri.

Piil pesenggiri sepertinya tak terpisahkan dari prinsip hidup masyarakat Lampung dari era yang satu ke era yang lain. Kalau boleh ditetapkan periodeisasinya adalah terdiri dari pra Islam, masa Islam dan era modern. Pada era modern ini ternyata tetap saja piil pesenggiri menarik untuk dibicarakan, dan komunitas yang cukup luas tetap mendukungnya.

Dahulu masyarakat adat budaya Lampung hanya memiliki ‘piil’ belaka (tampa pesenggiri) dengan unsur : Laki laki piilnya perempuan, perempuan pillnya harta, perhiasan dan makanan. Anak perempuan piilnya kelakuan dan anak laki laki piilnya adalah perkataan.Kaidah ini mampu bertahan dalam waktu yang tidak sebentar. Dengan masuknya agama Islam dan terjadi kontak budaya dengan masyarakat Banten, sebagai penyebar agama Islam di Lampung, maka piilpun berubah atau tepatnya ditambah menjadi “Piil Pesenggiri”. Ada kata “pesenggiri” berhasil ditambahkan. Dan unsurnyapun berubah menjadi Nemui nyimah. Nengah Nyappur, sakai sambaian dan Juluk Adek.

Kata pesenggiri yang berarti persaingan sepakat untuk ditambahkan dengan mengacu kepada ajaran Islam, yaitu fastabiqul khairoot (berlomba melakukan kebaikan). Masyarakat adat dan budaya Lampung berhasil mempertahankan piil, namun juga mampu mengakomodir pesenggiri, dan bahkan mengintegrasikannya. Seperti disebutkan terdahulu bahwa ciri genius lokal adalah memiliki kemampuan mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai budaya lain ke dalam budaya lokal.

Nilai nilai piil pesenggiri demikian islami, adalah hasil integrasi yang dilakukan oleh kelompok intelektual masyarakat budaya Lampung pada saat itu. Menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, dan meningkatkan kualitas diri yang itu semua merupakan ajaran Islam, yanag sarat mewarnai piil pesenggiri. Ini merupakan bukti bahwa piil pesenggiri telah mampu mengintegrasikan nilai nilai luar ke dalam nilai yang selama ini mereka anut.

Nemui nyimah sebagai unsur piil pesenggiri terdiri dari dua kata, nemui yang berasal dari kata temui yang artinya tamu, dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Seseorang baru diakui eksistensinya manakala ia mampu menjadi tamu atau tuan rumah penerima tamu, dan dalam posisi apapunia mampu menjadi pihak yang santun. Untuk menuju santun maka seseorang dituntut produktif.

Nengah nyappur terdiri dari dua kata. Nengah memiliki tiga arti yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Dan kata nyappur yang artinya toleransi. Kerja keras, berketerampilan dan bertanding jelas bernuansa persaingan, walaupun untuk memberikan yang terbaik, namun tidak kehilangan nuansa kompetisi.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai atau kakkai, yang artinya terbuka. Dan kata sambai yang artinya lihat, teliti dan selidik. Setelah mampu berproduksi dan juga mampu berkompetisi, maka seseorang diharapkan terbuka untuk mnerima masukan masukan, tetapi dalam waktu bersamaan, juga siap memberikan masukan. Intinya adalah kooperatif.

Juluk – Adek. Terdiri dari dua kata, yaitu juluk adalah nama baru yang diberika kepada seseorang yang telah mampu merumuskan cita citanya, sedangkan adek atau adok adalah nama baru yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil mencapai cita cita itu. Setiap seseorang diarahkan agar selalu mencapai prestasi baru dalam hidupnya. Setelah seseorang itu mampu produktif, lalu mampu kompetitif serta mahir untuk kooperatif, maka saatnya seseorang harus inivatif.

Unsur dan pengertian dari piil pesenggiri itu sendiri ternyata sangat sejalan dengan batasan dan ciri dari genius loka, lokal wisdom atau kearifan lokal. Karena piil pesenggiri adalah sebuah nilai yang tidak statis, piil pesenggiri memiliki kemampuan . untuk akomodatif dan integrative. Hingga sekarangpun sebenarnya masyarakat Lampung masih demikian terikatnya dengan piil pesenggiri. Sayang dengan munculnya regulasi yang justeru melemahkan keberadaan lembaga adat, mengakibatkan piil pesenggiri mulai semakin kurang pamiliar. Namun demikian karakter piil pesenggiri tetap terpatri pada pendukukungnya.

Sebagai system nilai piil pesenggiri bukan diajarkan secara akademis kepada pendukungnya, tetapi harus dikembangkan. Piil pesenggiri selain berkembang pada pribadi pribadi, juga dikembangkan melalui kontak budaya. Kelompok intelektual pendukung dan pelaku budaya sangat dibutuhkan dalam terjadinya kontak budaya, sehingga nilai nilai ini menjadi berkembang. Kelompok intelektuallah yang akan dengan lincah dan diaksep oleh pendukung dalam proses akomodasi serta integrasi nilai nilai luar, dalam rangka melakukan berbagai pengembangan dan “perubahan” (dalam tanda petik).

Kelompokm intelektual yang akan diaksep oleh komunitas pendukung dan pelaku budaya, adalah kelompok intelektual yang memiliki ikatan kekerabatan dalam arti luas, yang selama ini memang mereka kenal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas tersebut. Di sini harus kita bedakan kelompok intelektual dengan akademisi, karena kelompok intelektual yang dimaksud adalah bagian dari komunitas tersebut yang memiliki wawasan kedepan, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan piil pesenggiri itu baik kedalam maupun keluar.

Monday, October 18, 2010

MENGGALI DAN AKTUALISASI KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG DALAM RANGKA MEMBANGUN KETAHANAN SOSIAL MASYARAKAT

Fachruddin
Peneliti Kebudayaan Indevenden
Pensiunan PNS.



Pengantar.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi permintaan Kepala Dinas Sosial Provinsi Lampung, melalui surat nomor 4601/2131/PSKBS/B.11 /2010 tanggal 6 Oktober 2010. Untuk disampikan dalam pelatihan Penguatan Akses Kearifan Lokal yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Provinsi Lampung melalui Kegiatan Pemberdayaan Sosial Korban Bencana Sosial tahun 2010. Yang diselenggarakan pada tanggal 18 – 20 Oktober 2010 di Hotel Arinas Bandar Lampung. Semoga bermanfaat.





ABSTRAKSI

Secara bergurau banyak orang mengatakan bahwa Negeri Indonesia ini adalah Negeri Sejuta Bencana. Ini sama sekali tidak kita harapkan, tetapi walaupun demikian, bencana demi bencana menimpa bangsa kita, baik karena (1) keadaan alam maupun (2) akibat ulah manusia, nampaknya ada-ada saja musibah yang mengakibatkan kerusakan, kehilangan baik alam itu sendiri maupun harta benda, fasilitas umum dan sebagainya, bahkan raga dan nyawa. Dan selanjutnya akan mendatangkan permasalahan sosial bagi kita semua, yang tidak mudah untuk diselesaikan dalam waktu singkat.

Oleh karenanya maka hal ini harus segera diantisipasi dari berbagai aspeknya, baik antisipasi dalam bentuk pencegahan maupun antisipasi dalam bentuk mengatasi segala akibat dari munculnya bencana sosial.

Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal, bahwa kearifan lokal adalah merupakan kekayaan dari masing masing daerah. Masing masing daerah memiliki kekayaan nilai nilai yang selama dianut, karena diyakini memiliki nilai kebenaran dan dapat dijadikan tameng untuk mempertahan keberlangsungan kehidupan bersama. Oleh karenanya maka nilai nilai keraifan lokal itu harus kita gali dan kita perkenalkan kepada masyarakat banyak, nilai nilai itu harus kita aktualisasi (kan) di lingkungan masyarakat umum.

Kata Kunci : (1) Kebudayaan daerah lampung, (2) kearifan lokal Dae
rah, (3) Penggalian dan aktualisasi Kearifan lokal, (4)
Pemantapan kearifan lokal, (5) Kearifan lokal sebagai
ketahanan Sosial.

PERMASALAHAN

Berdasarkan historis dan letak geografis maka Lampung termasuk daerah rawan bencana sosial. (1) Rangkaian panjang bukit barisan yang rawan gempa melintas di daerah lampung. (2) Tsunami yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1680, 1880, 1883. Anak Krakatau sudah ratusan dan bakan seribuan kali meletus. (3) Beberapa daerah, terutama daerah sekitar Lampung Barat kerap longsor. (4) Orang lampung terdiri dari Pepadun dan Pesisir, bahasa/ dialek Lampung “A “ da “ O “. (5) Penduduk Lampung yang tidak mayoritas di daerah sendiri juga menyimpan kerawanan konflik tersendiri, sebagai akibat dari pertemuan antar budaya, yang menimbulkan konflik-konflik. Berdasarkan sejarah sendiri Lampung pernah mengalami konflik berkepanjangan.

Lampung yang pernah menjadi pemasok rempah rempah dan hasil hutan terbesar di Pelabuhan Banten yang pada saat itu menjadi bandar terbesar, yang menyelenggarakan perdagangan bebas jual beli di Nusantara. Banyak saudagar Eropa yang berdatangan ke Banten. Tetapi lama kelamaan Lampung justeru menjadi incaran para saudagar asing, Belanda, Inggris, Portugis. Mereka ingin mendapatkan rempah rempah dan hasil hutan itu langsung darti lampung. Ketertarikan bangsa asing kepada Lampung ini justeru menjadi sumber konflik besar.

Melihat keadaan yang demikian itu maka Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak bersepakat untuk membangun kekuatan di Lampung. Langkah pertama tentu saja mengajak masyarakat Lampung untuk menganut agama Islam. Lalu Sultan Cirebon mempersunting Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, yang dengan perkawinan ini diharapkan akan mempermudah menyusun kekuatan di Lampung, terselenggaranya asimilasi, dalam rangka mengantisipasi masuknya bangsa penjajah.

Ada empat konflik yang terbesar di lampung pada saat itu, yaitu (1) konflik yang terjadi antara masyarakat Lampung Pesisir dengan Banten, sebagai sesama underbow Cirebon, yang terekam dalam dalung kuripan, (2) masyarakat Pepadun masih belum seluruhnya berkenan menganut agama Islam. (3) terjadi masalah dan ketegangan antara Banten dengan Palembang, (4) masing masing ingin ditunjuk sebagai Raja di Kesultanan Lampung.

Keadaan yang demikian itu mengakibatkan munculnya konflik berkepanjangan. Sehingga terhambatlah rencana pembentukan Kesultanan Islam itu, karena kepentingan bisnis dan politis semakin mengkristal. Banyak tenaga dihabiskan secara sia sia.

Ada beberapa kelompok yang sengaja “seba” ke Banten dengan harapan akan mendapatkan mandat untuk menduduki tahta Kerajaan di Lampung. Dalam waktu yang bersamaan Benten dipimpin oleh Sultan yang lemah, keluarga Kesultanan banyak melakukan judi, minum minuman keras, serta menyabung ayam.

Kelengahan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa asing untuk masuk ke Lampung, tetapi ketika mereka akan masukpun terjadi persaingan tajam antara Belanda, Inggris dan Portugis untuk masuk ke Lampung. Masing masing bangsa penjajah itu mendaptkan celah dari daerah yang berbeda. Belanda dapat tempat di pimpinan adat Terbanggi – Tulangbawang, Inggris bersahabat dengan Pesisir Kalianda, Portugis berhasil membuat patok di Mesuji. Politik adu domba bangsa penjajah membuat daerah yang satu dengan daerah yang lain mengalami konflik.

Tetapi walaupun demikian niat untuk menjadikan daerah Lampung sebagai Kesultanan Islam yang modern ternyata sempat meninggalkan karya gemilang yang ssnagt berharga, yaitu terumuskannya sebuah falsafah yang sangat egaliter, yaitu apa yang kita kenal sebagai Piil Psenggiri. Dari sekian banyak kearifan tradisional Lampung, maka piil pesenggiri adalah kearifan tradisional Lampung yang lebih bermutu.

PEMBAHASAN

A. Mengenal Budaya daerah lampung.

Budaya Lampung bisa dibilang budaya egaliter, egaliterianismenya didapat dari tidak adanya Raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dalam tidak ada Raja di Lampung yang benar benar berkuasa sebagaimana layaknya seorang raja. Situasi ini membawa masyarakatnya berkembang kearah sikap yang egaliterian. Artinya masing masing indifidu memiliki hak sama. Pimponan komunitas adat sangat terikat dengan kesepakatan kesepakatan bersama, atau setiap ketetapan pimpinan komunitas adat sangat mempertimbangkan kepentingan public, sehingga kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan.

Kelompok masyarakat terdiri dari dua golongan, yaitu masyarakat Pepadun dan masyarakat Pesisir saibatin. Perbedaan keduanya adalah terletak pada system rekruitmen kepemimpinan kelompok.
Bagi masyarakat Pesisir Saibatin kepemimpinan seseorang dalam kelompok adalah berdasarkan keturunan. Anak tertua laki-laki seorang pimpinan kelompok kebuwayan otomatis menjadi pewaris tahta keadatan. Pemecahan kelompok yang disebabkan oleh banyaknya anggota komunitas, hanya mungkin dilakukan pada tingkat garis kedua ke bawah.

Berbeda dengan kelompok pendukung Adat Pepadun, yang memberikan peluang secara lebih longgar kepada setiap seseorang untuk meningkatkan kedudukannya dalam status adatnya. Pengembangan subkelompok menjadi kelompok kelompok sederajat, melalui proses Cakak Pepadun. Cakak Pepadun adalah salah satu upacara daur hidup masyarakat darah Lampung.

Masyarakat Lampung mengenal berbagai upacara daur hidup, mulai dari kelahiran, upacara masa kanak kanak, upacara masa remaja, upacara perkawinan, upacara masa dewasa, upacara kehamilan dan upacara kematian. Masyarakat lampung sangat menghargai perubahan perubahan yang terjadi pada setiap seseorang. Setiap tahap tahapan daur hidup ini dahulu selalu dirayakan sebagai momentum yang ideal untuk mengkomuniasikan berbagai ajaran dan sosialisasi berbagai aturan, terutama terkait dengan perubahan yang sekarang diupacarai. Upacara daur hidup praktis sebagai media pembelajaran bagi semua klas dan level.

Dalam penyelenggaraan upacara daur hidup ini memang melibatkan banyak pihak, selain mereka yang diupacarai juga melibatkan, pihak pelaku upacara, pihak penyelenggara upacara, pihak yang hadir dalam upacara. Dari kesemuanya mereka adalah berasal dari segala usia, jenis kelamin, dan kelompok kelompok lainnya..

B. Penggalian Dimensi kearifan Lokal.

Keraifan lokal daerah lampung tidak terlepas dari letak geografis dan perjalanan sejarah politik daerah Lampung. Kedekatan jarak Lampung dengan Kesultanan Banten yang telah lama menganut Islam sangat memberikan pengaruh terhadap Lampung. Ketika ada kesepakatan untuk mendirikan Kesultanan islam di Lampung maka dieketmukanlah kata “Pesenggiri” yang bermakna yang sangat dalam baik bagi Lampung maupun Banten setelah keduanya mengacu kepada ajaran Islam “Fastabiqul khaoiroot” (berlomba menuuju kebaikan).

Kata pesenggiri di Lampung dengan pasunggiri di Banten (Sunda) ternyata adalah semacam cognit, di mana dengan kata kata yang sangat mirip dan pengertian yang mirip pula. Kalau kata pasunggiri di Banten (Sunda) bermakna perlombaan, maka di lampung lebih dekat dengan persaingan. Namun persaingan dan perlombaan hakekatnya adalah sama.

Kalaupun masyarakat Lampung sebelumnya memang telah memiliki prinsip yang disebut dengan piil, maka kata pesenggiri tinggal menambahkan saja sehingga menjadi “Piil Pesenggiri”. Selanjutnya piil pesenggiri disepakati untuk menjadi pandangan hidup atau falsafah hidup yang sekaligus juga menjadi titik temu dalam proses pembentukan Kesultanan Islam, baik secara internal maupun eksternal.

Sebagai pandangan hidup ternyata Falsafah piil pesenggiri menjadi sesuatu yang sangat berharga, memiliki pandangan yang demikian luas dan mendalam. Rencana pembentukan Kesultanan Islam yang modern di Lampung, yang melahirkan falsafah piil pesenggiri merupakan torehan sejarah perkembangan intellektualitas masyarakat Lampung. Ternyata piil pesenggiri mengandung nilai demokratis, yang bermakna luas, semangat demokrasi yang bukan sekedar ditandai dengan perolehan jumlah suara mayoritas dan mengidentikkannya dengan kebenaran.

Tetapi piil pesenggiri memiliki demikian banyak konsep untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Piil pesenggiri dengan unsur unsurnya mengembangkan sikap dan semangat produktif (nemui nyimah), kompetitif (nengah nyappur), koperatif (sakai sambaian) dan inovatif (juluk adek). Dengan keempat unsur itu maka diharapkan kita akan mampu menciptakan gagasan gagasan yang didukung serta memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi lingkungan. Sebagaimana dimaksudkan dalam teori gelombang keempat yang digagas oleh Alfin Toffler.

Piil pesenggiri yang berunsurkan (1) nemui nyiman, (2) nengah nyappur, (3) sakai sambaiann dan (4) juluk adek.
Nemui nyimah, terdiri dari dua kata yaitu nemui yang berarti tamu dan nyimah yang berasal dari kata simah, yang berarti santun. Unsur ini kita jadikan sebagai unsur yang pertama dan utama, karena merupakan titik tolak eksistensi manusia. Aktivitas pertemuan atau pertamuan adalah mempertemukan dua konsep atau kepentingan yang berbeda, untuk mencari persamaan. Persamaan itu sangat mungkin didapatkan ketika setiap seseorang memeiliki produksi atau penghasilan yang melebihi kebutuhan dirinya dan orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Core nemui nyimah adalah produktif.
Nengah Nyappur, terdiri dari dua kata, yaitu kata nengah dan nyappur, nengah memiliki arti (1) kerja keras, (2) berketerampilan dan (3) pertandingan. Sedang kata nyappur berarti tenggang rasa. Untuk mamapu melaksanakan dan menjaga atau kemampuan melaksanakan nemui nyimah seseorang harus kerja keras agar produksi selalu bertambah. Kerja keras itu juga harus memiliki makna tenggang rasa, karena seseorang harus bekerja bukanlah untuk kepentingan pribadi semata, melainkan dapat dinikmati bersama. Untuk mempertahankan itu maka seseorang harus memeiliki karakter dan kemampuan bersaing, kompetitif.
Sakai Sambaian, terdiri dari dua kata yaitu kata sakai yang berasal dari akai yang artinya terbuka untuk dibaca, dianalisis dan bahkan di kritisi. Dan kata sambai yang berarti melihat atau meneliti, atau membaca, memelihara dan sebagainya. Setelah dua kata ini digabung maka akan bermakna sebagai siap diberi dan siap memberi, atau dengan kata lain take and give. Kooperatif.
Juluk Adek, terdiri dari dua kata juluk adalah nama yang diberikan ketika seorang anak telah mampu merumuskan cita citanya, kemampuan ini dianggap sebagai perubahan pertama yang paling menentukan masa depannya. Dan kata Adek yaitu nama atau gelar yang diberikan kepada seseorang , ketika seseorang itu telah mencapai apa yang dicitakan. Dengan demikian maka juluk dan adek ini menghendaki akan adanya perubahan atau pembaharuan, inovatif.

Inilah kearifan tradisional yang paling bermutu yang dimiliki oleh budaya daerah Lampung, yang terumuskan dalam rangka pembentukan Kesultanan Islam di Lampung yang modern, yang akan menjadi ajang proses akulturasi budaya Jawa dan Sumatera (melayu). Itulah sebabnya maka nilai nilai kearifan lokal tradisional ini sebenarnya juga berbobot universal, dengan bukti adanya nilai demokratis egalitarian dalam falsafah piil pesenggiri.

C. Aktualisasi Nilai Nilai kearifan Lokal

Bermula memang piil pesenggiri ini terumuskan dan lebih diperuntukkan bagi masyarakat agraris, tetapi karena filsafat piil pesenggiri yang dijadikan modal dasar pembentukan Kesultanan Islam di Lampung, benar benar memiliki bobot filosofi yang tinggi, maka falsafah inipun ternyata dapat dipertimbangkan pada segala zaman. Merujuk pada teori Alfin Toffler falsafah inipun sebenarnya masih harus dipertimbangkan baik pada era industrialisasi, komunikasi, maupun gelombang keempat, yaitu penuntutan kemampuan setiap seseorang untuk menyusun konsep berdasarkan nilai nilai yang berkembang dan potensi lingkungan. Oleh karenanya hingga pada saat inipun piil pesenggiri layak disosialisasikan, bukan hanya sekedar dikenal tetapi justeru perlu undtuk di-aktualisasi-kan.

Semula aktualisasi piil pesenggiri ini hanya diselenggarakan pada saat dilaksanakannya upacara daur hidup, karena pada saat upacra dauh hidup relatif dihadiri oleh keluarga besar yang dalam jumlah relatif banyak. Unsur demi unsur dari piil pesenggiri diperkenalkan dan sosialisasikan untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari.

Dalam setiap upacara selalu saja pimpinan adat menjadi pengarah bagi komunitas adat, sehingga setiap pimpinan adat menjadi guru bagi komunitas yang bersangkutan. Nilai nilai kearifan tradisional diajarkan oleh pendukung, pelaku dan pelaksanan dari kearifan tradisional itu sendiri. Sehingga komunitas dapat dengan mudahnya diterima serta difahami secara emndalam akan isinya.

Tetapi peraturan lebih lanjut, ketika Pemerintah mengeluarkan UU tentang Pemerintahan Pedesaan, maka terjadilah pergeseran pengaruh, yang semula kepemimpinan lebih banyak diemban oleh pemangku adat, maka sejak saat itu kepemimpinan dijalankan oleh Kepala Desa yang dipilih. Imbas dari kebijakan ini adalah melemahnya kepemimpinan adat.

Sebenarnya upaya revitalisasi lembaga adat sebagai antisipasi dari melemahnya kepemimpinan adat, telah tercantum dalam Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tahun 2001 – 2006, tetapi ternyata program itu tidak berjalan secara maksimal.

Kini para pimpinan adat nyaris kehilangan popularitasnya, mereka nyaris tak dikenal. Popularitas itu redup bersamaan dengan kurangnya peran yang dimainkan oleh pimpinan adat. Pimpinan adat sering hanya diperankan dalam upacara perhelatan perkawinan, yaitu sekitar acara pelamaran serta beberapa upacara seremonial lainnya. Dan ini memang masih tetap dipertahankan terutama oleh mereka mereka yang memiliki kekuatan ekonomi yang memadai, karena upacara yang berbau adat membutuhkan biaya yang relatif tinggi.

Untuk mempertahankan kearifan lokal budaya daerah Lampung, maka Pemerintah daerah memliliki tanggung jawab yang besar, bukan hanya sekedar mempersiapkan bantuan finansial, tetapi juga merumuskan langkah langkah teknis yang akan ditempuh. Bukan menmgambil alih peran lembaga adat, tetapi justeru harus melakukan revitalisasi lembaga adat yang hingga sekarang masih eksis.

Program revitalisasi lembaga adat bukan berarti memutar balik jarum jam, tetapi karena lembaga adat memiliki kelebihan ikatan dibanding ikatan ikatan yang lain, yaitu ikatan kekeluargaan, karena perkawinan dan lain sebagainya. Apalagi kini banyhak sekali desa desa sebagai konsentrasi komunitas adat banyak yang tinggal di daerah yang mengalami kelambatan dalam sentuhan pembangunan. Banyak sekali kampung kampung tua yang justeru baru disentuh pembangunan setelah era reformasi. Di Lampung umpamanya muncul program “Tiyuh Toho” untuk membangun desa desa tua yang benar benar tertinggal, karena minus fasilitas layanan umum, seperti sekolah, Puskesmas, dan lain sebagainya.

Kita berharap kehadiran lembaga adat yang memiliki kemampuan untuk memberdayakan perekonomian komunitas adatnya. Pergeseran peradaban juga menggeser aktivitas agraris yang semula menjadi andalan, guna memasuki era industrialisasi dan bahkan era komunikasi. Bahkan sekarang sebenarnya telah memasuki era keempat. Yang mengandalkan kemampuan untuk menyusun konsep berdasarkan nilai nilai budaya serta potensi lingkungan. Dan selanjutnya perkembangan nilai budaya milik lembaga adat berada di tangan para intelektual dari kelompok adat yang ada. Memang akan sulit dan bahkan mustahil pihak luar akan memiliki kemampuan melakukan interfensi ke dalam lembaga adat. Walau membentuk lembaga adat buatan sekalipun.

Kita akan memiliki peluang menanamkan nilai nilai budaya milik komunitas beserta lembaga adat melalui dunia pendidikan baik, formal maupun nonformal. Manfaatnya adalah menanmkan kemampuan untuk mengapresiasi nilai nilai tersebut kepada publik melalui peserta didik ataupun pelatihan.

Kita harus melakukan pembenahan dalam dunia pendidikan, piil pesenggiri tidak cukup diajarkan dengan pendekatan akademis belaka, tetapi harus diciptakan model pembelajarannya, metode dan teknologi pembelajarannya serta media belajar. Nilai nilai ini akan diapresiasi berdasarkan banyaknya pengalaman belajar, pengalaman belajar didapatkan dari tingginya kesempatan bersentuhan dengan media pembelajaran.


D. Kearifan Lokal Sebagai Ketahanan Sosial.

Kearifan tradisional daerah Lampung ternyata memiliki bobot dan potensi sebagai kearifan universal, melihat unsur unsurnya yaitu (1) produktif, (2) kompetitif, (3) kooperatif, (4) inovatif. Keempat unsur tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka membangun ekonomi kreatif. Karena ekonomi kreatif adalah kemampuan menyusun konsep berdasarkan nilai budaya yang ada serta potensi lingkungan. Dengan demikian maka falsafah piil pesenggiri seyogyanya bukan sekedar panutan komunitas kelompok adat di lampung, tetapi layak menjadi panutan seluruh masyarakat dan penduduk Lampung.

Tetkala piil pesenggiri tidak lagi hanya sekedar ditafsirkan sebatas aktivitas adat, tetapi labih ditekankan pada nilai filosofisnya yang universal, maka siapapun kita akan menjadi layak dan berhak menganutnya. Adalah kerugian besar menelantarkan piil pesenggiri terlebih disaat kita butuh memperkuat karakter bangsa serta ekonomi kreatif, untuk kita wariskan kepada generasi penerus. Karena piil pesenggiri berpotensi untuk menjadi pertahanan sosial masyarakat bangsa.

Keharusan begi seseorang untuk nemui nyimah (produktif), berarti keharusan memiliki produksi lebih. Setiap seseorang dituntut untuk santunan, yang kesantunan itu harus ditandai dengan kemampuan berproduksi lebih, melebihi kebutuhan bagi dirinya serta bagi orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Menyertai keharusan ini tentu saja juga harus dilengkapi dengan usaha kerja keras, hemat, serta mampu berkomunikasi secara baik. Memiliki kemampuan memahami kebutuhan masyarakat, serta bersedia bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama itu.

Keharusan untuk nengah nyappur (berkompetisi), yaitu produk yang dihasilkan selain berkualitas yang terbaik (nengah), juga memiliki keberpihakan kepada mereka yang lemah (nyappur), artinya seseorang tidak memikirkan keuntungan belaka, melainkan mengutamakan ketersediaan bahan kebutuhan, sehingga membuat kehidupan bersama menjadi langgeng.

Keharusan sakai sambaian (kooperatif), yaitu memiliki sikap keterbukaan (sakai) dan juga sikap kritis (sambai), apalagi sambai memiliki makna yang lain yaitu memelihara. Dengan sakai sambaian maka berarti secara bersama sama memiliki semangat kebersamaan, yang mampu menggunakan oyo aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.

Keharusan juluk adek, adalah keharusan untuk melakukan pembaharuan pembaharuan, menyesuaikan dengan kemajuan sain dan teknologi serta berbagai perubahan akibat dari keberadaan kita secara geografis dan politis. Dengan demikian maka jelas bahwa piil pesenggiri memiliki potensi menjadi ketahanan sosial, bagi berbagai bencana sosial yang menimpa masyarakat, baik yang dikarenakan keadaan lam, atau akibat ulah manusia itu sendiri.

Mendiang Abraham Lincoln dahulu mengatakan bahwa karakter adalah bagaikan pohon, dan reputasi adalah bayangan di bawah pohon itu. Unsur piil pesenggiri yang terdiri dari produktif, kompetitif. Kooperatif dan inovatif adalah merupakan rimbun pohon, yang menghasilkan keteduhan di bawahnya. Maka piil pesenggiri akan memiliki kemampuan meningkatkan reputasi seseorang, sehingga orang lain akan merasakan kenyamanan untuk berteduh di bawahnya.

Piil pesenggiri adalah value atau nilai nilai yang akan mempengaruhi sikap atau attitude. Sikap, perspektif, adalah bagaimana kita merasakan diri kita dan juga bagaimana kita merasakan orang lain, oleh karenanya sikap ini akan menentukan bagaimana kita memilih prioritas tindakan kita, serta bagaimana kita memilih komunikasi yang akan kita lancarkan bersama orang lain.


KESIMPULAN

1. Berdasarkan letak geografis dan sejarah politik di lampung, maka lampung memiliki potensi untuk terjadinya konflik yang berujung pada bencana sosial. Keadaan alam daerah Lampung yang termasuk kategori rawan gempa, longsor dan bahkan banjir adalah sesuatu yang harus diwaspadai, karena manakala itu terjadi akan mengakibatkan problema sosial yang tidak mudah untuk diselesaikan.
2. Keanekaragaman pendudk Lampung, plus pendatang yang menjadi mayoritas, selain merupakan rahmat bagi Lampung, juga dalam waktu yang bersamaan merupakan ancaman keutuhan sosial. Karena berbagai perbedaan juga menjadi potensi konflik konflik yang akan mendatangkan bencana sosial.
3. Tetapi walaupun demikian ternyata Lampung memiliki filosofi yang bermutu sangat tinggi, sebuah filosofi yang demikian demokratis, egaliterian. Filosofi ini didapatkan lampung ketika direncanakan untuk mendirikan sebuah Kesultanan Islam yang modern. Filosofi yang kita kenal sebagai ‘Piil Pesenggiri’ ini berunsurkan nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetuitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif).
4. Falsafah piil pesenggiri ternyata bukan hanya sekedar kearifan lokal, tetapi juga berpotensi menjadi kebenaran universal. Bukan hanya berlaku bagi komunitas pendukung adat dan budaya lampung, tetapi layak diterima oleh masyarakat umum, di luar komunitas tersebut, karena ppil pesenggiri memiliki nilai demokratis.
5. Sebagai pandangan filosofis yang mendalam, maka piil pesenggiri bukan saja sesuai bagi masyarakat agraris, tetapi sesuai juga bagi dunia industri, era komunikasi serta era gelombang keempat yang mengutamakan kemampun penyusunan konsep berdasarkan nilai dan potensi sekitar.
6. Falsafah piil pesenggiri yang kaya nilai (value) manakala difahami secara benar, akan mampu mempengaruhi sikap, bagaimana kita merasakan sebagai orang lain, sebagai diri sendiri, yang selanjutnya akan mempengaruhi cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Dengan nilai kehormatan (nemui nyimah), nilai kesetaraan (nengah nyappur), nilai kebersamaan (sakai sambaian) dan semangat pembaharuan (julik adek). Dengan demikian maka piil pesenggiri dapat dijadikan landasan bagi pembangunan ketahanan sosial.
7. Dengan demikian maka piil pesenggiri harus kita pertahankan, harus kita gali lebih dalam, harus kita sosialisasikan. Dengan cara memberdayakan lembaga adat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bagi ummat manusia, baik komunitas pendukung adat dan budaya Lampung, serta setiap seseorang yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan kelompok tersebut, atau berada pada wilayah geografis yang sama.
8. Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap piil pesenggiri sehingga piil pesenggiri akan mampu berkembang ditangan komunitas pendukung dan pelaku adat dan budaya Lampung. Karena nilai nilai piil pesenggiri bukan hanya sekedar diajarkan, tetapi yang lebih penting justeru pengembangannya.
9. Piil pesenggiri akan berkebang manakala terjadi kontak kontak budaya. Kontak budaya akan terjadi manakala komunitas pendukung adat budaya Lampung mampu tetap eksis.

DAFTAR LITERATUR.

Fachruddin, (1996), Piil Pesenggiri, Kanwil depdikbud Provinsi Lampung
--------------(2003), Peranan Nilai Nilai tradisional daerah Lampung dalam melestarikan Lingkungan Hidup, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, cet, ke 2.
--------------(2006) Telah berpulang jurubicara Piil Pesenggiri, Opini Lampost, Edisi Sabtu 2 September 2006
--------------(2006) Konflik Mengakar sepanjang Abad, Opini Lampost Edisi Selasa 19 September 2006.
--------------(2006) Konflik Hilang Sukses Menjelang, Opini Lampost Edisi Kamis 7 desember 2006.
--------------(2010), Memfungsikan Kembali peran Kearifan Tradional daerah Lampung dalam menyelesaikan konflik, Bahan ceramah pada pelatihan Penanggulangan bencana Sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Prov. Lampung, http://www.fachruddin.dani.blog
Hilman hadikusuma, Aturan Aturan Adat Lampung, Makalah disampaikan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 1991, http://www.fachruddin54.blog
Henk Schulte Nordholt & Gusti Asnan (ed), 2003, Indonesia in Transition, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
M. Syafi’i Antonio, 2007, Muhammad SAW sebagai Super leader Super manajer, Tazkia Publising, jakarta
Solikin Abu Izuddin, 2006, Zero to Hero, Pro-U Media, Yogyakarta.
Tim Pusat Kurikulum, 2010, Penguatan Metodologi pembelajaran Berdasarkan Nilai Nilai kebudayaan Untuk mebentuk dayasaing dan Karakter bangsa, Pusat Kurikulum Depdiknas, Jakarta.
------------- (2010) Bahan Pelatihan pengembangan Kewirausahaan, dalam rangka pendidikan karakter bangsa dan Ekonomi Kreatif, Pusat Kurikulum Depdiknas, jakarta.
------------- (2010) Pengembangan Pendidikan Budaya dan karakter bangsa, Pusat Kurikulum Depdiknas Jakarta.

Friday, August 13, 2010

MEMFUNGSIKAN KEMBALI PERAN KEARIFAN TRADISIONAL DAERAH LAMPUNG DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK

Oleh FACHRUDDIN





Peneliti Kebudayaan Indevenden
Staf Dinas Pendidikan Provinsi Lampung

Pendahuluan.

Nampaknya konflik adalah sesuatu yang pasti akan terjadi di tengah masyarakat, terlebih pada masyarakat yang semakin padat dan manjemuk. Era reformasi ini sebenarnya yang diharapkan adalah masyarakat semakin demokratis, tetapi nyatanya dalam menuju demokrasi kita dihadapkan dengan berbagai konflik. Konflik konflik pada era ini mengharuskan penyelesaiannya melalui lembaga hukum se-
belum terlanjur mereka selesaikan dengan cara kekerasan, karena kekerasan dalam menyelesaikan konflik justeru akan menambah masalah baru. Lalu dapatkah kita memanfaatkan kearifian tradisional untuk mencegah konflik.?

Dahulu masyarakat adat daerah Lampung mampu menyelesaikan konflik konflik eksternal yang terjadi di tengah masyarakat dengan cara menyesuikan dengan hukum yang brlaku umum, hal tersebut direkam sepenuhnya dalam naskah “Dalung Kuripan”. Sedang masalah internal diselesikan melalui pertemuan pertemuan intensif antar sesama pemimpin adat, mereka menyelesaikan masalah tersebut dengan mengacu kepada aturan aturan yang mereka miliki, seperti kitab kuntara rajaniti, keterem, cepalo dan lain sebagainya, yang sekarang terakumulasi dalam falsafah piil pesenggiri.

Falsafah piil pesenggiri daerah Lampung adalah merupakan kearifan tradisional daerah Lampung. Mengingat mudah dan banyaknya peluang untuk terjadinya konflik di masyarakat maka tidak salahnya bila kita berharap masyarakat akan mampu menyelesaikan konflik konflik yang terjadi secara damai tampa memakan korban yang tidak perlu. Masyarakat diharapkan memiliki peluang untuk memanfaatkan kearifan tradisional masyarakat Lampung. Sebagai alternative ketika penyelesaian konflik melalui lembaga peradilan selain membutuhkan waktu yang panjang, juga biaya. Sedang hasilnya selalu saja kurang diterima secara bulat oleh mereka para pihak yang terkena konflik, dan selalu saja meninggalkan luka yang berpotensi memperpanjang konflik.

Nilai Kearifan Tradisional Lampung.

Sungguh merupakan kekayaan yang tidak ternilai atas kepemilikan masyarakat Lampung terhadap falsafah piil pesenggiri. Falsafah ini memang dirancang sebagai persiapan mendirikan Kesultanan Islam di Lampung atas advokasi Kesultanan Islam Banten-Cirebon dan Demak, karena dibanding ketiga Kesultanan Islam itu maka Lampung lebih memiliki nilai prospektif. Produk hutan dan perkebunan di Lampung mendominasi perniagaan melalui pelabuhan Banten, maka Lampung yang memiliki beberapa pantai yang dapat dijadikan pelabuhan besar yang disinggahi kapal besar, dan sungai sungaipun dapat diarungi hingga jauh ke pedalaman.

Kearifan tradisional daerah Lampung adalah konsep matang tentang proses akulturasi dengan dasar persamaan dan kesetaraan antara satu dengan yang lain. Dengan bermodalkan nilai nilai kesetaraan dalam piil pesenggiri maka akan banyak hal yang dapat diselesaikan dengan cara yang proporsional. Bukan penyelesaian dengan cara mengorbankan ketidak berdayaan seseorang atau kelompok serta kesewenangan orang atau kelompok lain.


Nilai Kehormatan, akan kita dapatkan dari unsure piil pesenggiri yang pertama yaitu nemui nyimah, terdiri dari dua kata yaitu nemui yang artinya tamu dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Falsafah tamu atau pertemuan menjadi penting artinya dalam tata hubungan masyarakat, karena aktivitas pertamuan atau pertemuan pada umumnya adalah bertemunya dua atau bahkan berbagai (banyak) kepentingan untuk mencari suatu titik sentuh yaitu kepentingan bersama, itulah sebabnya kata nemui atau tamu disandingkan dengan simah yang artinya santun. Karena ketercapaian kesepakatan dari aktivitas pembicaraan dalam sebuah pertemuan atau pertamuan adalah kesantunan.

Kesepakatan kesepakatan yang dihasilkan dari sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para pihak hanya akan dicapai dengan kesantunan para pihak semua. Kesepakatan itu juga hanya akan dicapai setelah masing masing mengesampingkan berbagai kepentingan pribadi maupun golongagan. Kesantunan dan semangat kebersamaan akan menyelesaikan konflik yang terjadi antar para pihak, apalagi kalau kesantunan dan kebersamaan itu di praktikkan oleh para pihak yang setara.

Nilai kesetaraan, akan kita dapatkan dalam unsure piil pesenggiri yang kedua, yaitu nengah nyappur. Terdiri dari dua kata yaitu kata nengah yang berarti bersaing atau ertanding dan kata nyappur yang artinya tenggang rasa. Kata nengah yang sebenarnya memiliki tiga arti, yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding adalah menunjukkan bahwa sebenarnya setiap seseorang dalam menyelesaikan permasalahan harus tetap dijamin hak hak civicsnya. Orang yang bekerja keras umpamanya berhak untuk mendapatkan hasil yang banyak, orang yang memiliki keterampilan akan berhak menghasilkan sesuatu yang lebih baik, dan orang yang pilih tanding akan berhak mendapatkan kemenangan.

Tetapi itu semua dilakukan adalah dengan rasa toleransi yang tinggi, artinya mendapatkan hasil yang sebanyak banyaknya, menghasilkan yang terbaik dengan ketermpilan yang dimiliki untuk kesenangan dan kegembiraan banyak orang (public) dan prestasi tinggi atau kemenangan dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan bersama. Sehingga nengah nyappur pada essensinya adalah bukan saling mengalahkan, tetapi adalah justeru memupuk semangat kesetaraan.


Nilai Kebersamaan, tergambar dalam unsur piil pesenggiri sakai sambaian, yang terdiri dari dua kata, sakai yang berasal dari kata kakai, kekai atau akai, yang artinya buka, terbuka atau keterbukaan dan kata sambai atau sumbai yang artinya pelihara. Sikap terbuka ini menunjukkan keharusan seseorang untuk siap dikoreksi, tetapi dilain pihak juga para pihak dalam waktu bersamaan juga harus bersikap memelihara.

Koreksi dalam hal ini bukan berarti keharusan mengikuti keinginan salah satu pihak kepada pihak yang lain, tetapi lebih ditujukan sebagai upaya memeilahara terhadap hal hal yang sudah semestinya, atau dengan kata lain melaksanakan keniscayaan-keniscayaan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain upaya upaya para pihak untuk mencari kebenaran dan bersepakat melaksanakan kebenaran itu. Sekalipun kebenaran itu menjelma menjadi sesuatu yang baru, atau diluar keinginan para pihak sebelumnya. Bila memang itu merupakan titik temu k,ebersamaan para pihak.

Nilai Pembaharuan, akan nampak pada unsur juluk adek baik juluk maupun adek menunjukkan keharusan akan adanya pembaharuan pembaharuan. Baik juluk maupun adek adalah merupakan nama nama baru, nama baru yang diberikan kepada seseorang yang mencapai prestasi baru. Pembaharuan juga adalah merupakan alternative manakala konflik terhadap hal hal tertentu sulit dicarikan jalan keluarnya, dan akan lebih sulit lagi manakala dipaksakan untuk memilih salah satu opsi dari dua pihak atau lebih yang mengalami konflik.

Pembaharuan merupakan alternative cerdas bagi jalan buntu yang dialami dalam sebuah perundingan, oleh karenanya dua pihak harus mencari alternative lain yang merupakan win win solution, alternative yang dapat diterima oleh para pihak yang mengalami konflik.

Titi Gemeti.

Selain piil pesenggiri ada juga titi gemeti, sebenarnya titi gemeti ini adalah kelanjutan atau keniscayaan dari piil pesenggiri, kalau piil pesenggiri adalah nilai filosofisnya, maka titi gemeti adalah petunjuk operasionalnya. Titi gemeti adalah merupakan tata titi, tata cara serta tata aturan, yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan piil pesenggiri.
Gap yang masih dialami dan belum atau sulit terselesaikan oleh piil pesenggiri maka titi gemeti adalah petunjuk cara penyelesaiannya. Titi adalah jembatan atau tangga yang akan memiliki kemampuan menjembatani berbagai perbedaan.

Kalau titi diartikan jembatan, maka berarti dia berfungsi menghubungkan antara dua wilayah yang terpisah oleh sungai atau jurang, tetapi manakala titi diartikan alat untuk meniti atau menapaki tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah (tangga), maka berarti titi gemeti adalah alat untuk mempertemukan dua posisi yang berbeda (tinggi dan rendah).

Dengan titi gemeti maka semua konflik pada masa lalu dapat diselesaikan dengan tuntas, dan penyelesaian ala titi gemeti pada masa lalu dapat dislesaikan dengan simpul akhir merupakan sebait pantun, sebait sair, sebait kata bijak, dan itupun melahirkan kepuyasan bagi mereka yang mangalami konflik. Artinya nilai nilai seni pada masa lalu memiliki kemampuan untuk membuka dan menggugah hati para pihak yang mengalami konflik, karena memang seni pada masa itu dilahirkan dari semangat dan nilai (1) kehormatan, nilai (2) kesetaraan dan nilai (3) kebersamaan, dengan semangat egaliter.

Masyarakat Egaliter.

Ditinjau dari karakter karakter falsafah piil pesengiri maka masyarakat Lampung terbilang egaliter, tidak menganut strata bertingkat dengan keharusan kepatuhan bagi masyarakat bawah kepada kelompok masyarakat dengan strata yang lebih tinggi. Nampaknya hal ini juga berkaitan dengan perjalanan hystoris masyarakat Lampung yang tidak dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Hubungan antar masyarakat relative setara. Itulah sebabnya maka dalam falsafahnya ditekankan untuk lebih menghayati nilai untuk saling menghormati (nemui nyimah), kesetaraan (nengah nyappur), kebersamaan (sakai sambaian) dan juga pembaharuan (juluk adek). Ditambah lagi dengan tata-titi, sebagai petunjuk pelaksanaan dari piil pesenggiri dalam kehidupan sehari hari.

Sebagai masyarakat egaliter sebenarnya peluang konflik sangat besar, karena masing masing tidak ada keharusan patuh kepada yang lain secara terpaksa. Kepatuhan lebih dikarenakan oleh berbagai factor kesamaan, atau ada kepentingan yang lebih besar, dan itu bukan kepatuhan yang sebenarnya. Tetapi dipihak lain egaliterianisme masyarakat Lampung sebenarnya juga keuntungan yang sangat besar bagi perkembangan masyarakat, atas dasar kesediaan menerima sesuatu yang datang dari luar. Karena dapat secara objektif berfikir untuk menerima sesuatu yang dianggap lebih baik.

Kebersediaan untuk menerima sesuatu yang dinilai lebih baik akan memberikan harapan untuk memiliki keterampilan konyak budaya hingga mengalami kemajuan yang luar biasa. Hal ini akan tergantung kepada intensitas volume kontak masyarajat budaya Lampung dengan pihak lain. Ketermpilan melaksanakan kontak budaya adalah percepatan menuju akulturasi yang akan menjelma menjadi masyarakat modern.



Konflik dan Penyelesaiannya

Jika dahulu konflik dapat diselesaikan dengan pertemuan pertemuan yang intensif antar pemuka adat, maka sekarang, sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Desa, maka pimpinan adat tak lagi banyak berperan, karena perannya telah diambil alih oleh Pemerintahan Desa. Dan konflik konflik yang terjadi harus diselesaikan melalui lembaga lembaga hukum, setidaknya Kepolisian.

Jika dahulu sumber konflik meliputi urusan kepemilikan terhadap lahan atau barang, batas wilayah, perusakan terhadap sumber hajat public seperti sumber air, serta pencemaran nama baik. Maka konflik pada masa sekarang akan lebih cenderung pada masalah kekuasaan dan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui bahwa konflik berkepanjangan pernah terjadi antara ekskutif dan legislative di Lampung, konflik juga akan terjadi setiap kali diselenggarakannya pemilihan Kepala Daerah. Perebutan lahan pekerjaan yang semula sebenarnya masalah pribadi dapat berubah menjadi konflik kelompok.

Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menanamkan piil pesenggiri, sebagai value yang diterima untuk menentukan sikap atau attitude masyarakat, sehingga dalam proses penyelesaian konflik akan menjadi mudah, dan bila perlu tidak berlanjut ke meja persidangan. Kita berharap dengan sikap sikap seperti yang dituntunkan oleh falsafah piil pesenggiri konflik yang terjadi dapat diselesaikan secara arif. Dan bahkan terjadinya konflik dapat terantisipasi.

Peran Pendidikan Formal.

Sebenarnya pendidikan formal berpeluang untuk menanamkan nilai nilai piil pesenggiri melalui pendidikan formal, tepatnya mata pelajaran muatan local (mulok), yang pada saat ini untuk tingkat SD adalah mata pelajaran bahasa atau aksara Lampung. Tetapi sayang pembelajaran mata pelajaran ini lebih ke aksara daripada bahasa. Yang lebih fatal lagi bahwa mata pelajaran ini tidak mengusung value dan nilai nilai yang terdapat dalam falsafah piil pesenggiri. Kalau saja mata pelajaran ini berhasil mengusung nilai ini secara benar, maka falsafah yang demikian bagus dan modern akan menjadi value peserta didik yang akan mempengaruhi attitude mereka.

Mata pelajaran muatan local diharapkan memiliki mission untuk mengkonstribusikan nilai nilai luhur piil pesenggiri senagai kearifan daerah Lampung. Olehkarenanya maka bahan ajar dapat diramu sedemikian rupa sehingga materi tau bahan ajar secara keseluruhan terintegrasi dengan nilai nilai piil pesenggiri.

Dalam proses pembelajaran selain harus memiliki pola pengintegrasian kita juga harus memiliki model pembelajaran yang pas dengan konten sehingga mission dapat diaksep oleh peserta didik dengan mudah, untuk itu maka media atau sarana pendidikan juga harus disiapkan dengan sebaik mungkin. Selain para guru yang juga harus memenuhi semua kompetensinya.

Peran Lembaga Adat.

Lembaga adat sebebanrnya memiliki peran yang sangat strategis untuk menanmkan falsafah piil pesenggiri kepada warganya. Bahasa yang digunakan serta berbagai upacara daur hidup yang lazim dislenggarakan pada komunitas masyarakat adat itu menjadi sesuatu yang paling komunikatif untuk mensosialisasikan serta mengaktualisasikan nilai nilai yang ada dalam piil pesenggiri.

Suatu komunitas yang kait mengait antara satu dengan yang lain dengan ikatan perkawinan akhirnya menjadi system hubungan yang utuh, dan akan dengan mudah bersepakat untuk berpegang pada nilai nilai yang akan memberikan kemampuan untuk mempertahankan keberadaan dan eksistnsi komunitas tersebut. Oleh karenanya maka peran lembaga adat sangat besar untuk mengaktualisasikan nilai nilai piil pesenggiri setidaknya pada komunitas tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa volume kawin silang antar subetnis dengan penduduk pendatang semakin meningkat jumlah volumenya. Hal ini akan memberikan harapan agar piil pesenggiri juga dihayati masyarakat pendatang.

Pemerintah sebaiknya berusaha memberdayakan lembaga adat, sehingga lembaga adat ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan nilai luhur budaya daerah, dan secara otomatis juga akan mempertahankan nilai luhur budaya bangsa. Kelompok utama yang adiharapkan akan mempertahankan nilai luhur budaya daerah adalah pendukung dan pelaku budaya tersebut. Yaitu pendukung dan pelaku budaya piil pesenggiri.

Lembaga Adat Buatan.

Mengingat ketidak berdayaan lembaga adat yang telah berlangsung cukup lama maka seyogyanya instansi Pembina masyarakat adat berupaya menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat dan lembaga adat. Setidaknya menyelenggarakan workshop pemberdayaan lembaga adat dengan mengikut sertakan utusan lembaga adat dan dan juga diikuti oleh aparat instansi pembinaan kebudayaan daerah Lampung. Sehingga selain ada upaya pemerintah maka secara internal lembaga adat memiliki juga kemampuan untuk membina diri untuk menjadi lembaga yang benar benar mandiri.

Walaupun bagaimana lembaga adat tidak dapat direkayasa dengan cara menciptakan lembaga adat buatan, karena tidak akan refresentatif mewakili lembaga adat yang sungguhan, karena masing masing lembaga adat memiliki tradisi yang sulit teridentifikasi secara keseluruhan oleh pihak lain, karena masing masing lembaga adat memiliki mekanisme perubahannya sendiri sendiri. Maka terlalu berharap untuk memerankan lembaga adat buatan untuk mewakili lembaga adat yang sejati menjadi mustahil.

Kecuali bila lembaga adat buatan ini hanya memerankan dirinya sebagai forum komunikasi belaka. Program forum ini hendaknya adalah mengupayakan pemberdayaan lembaga adat, bukan justeru mengambil alih peran lembaga lembaga adat yang ada. Perannya adalah mengkomunikasikan antara lembaga adat dengan Pemerintah dalam rangka pemberdayaan lembaga adat. Dan bukan melakukan konspirasi untuk melangkahi lembaga adat, karena hal tersebut akan sama dengan membunuh eksistensi lembaga adat itu sendiri.


Piil Pesenggiri Bernilai Universal.

Ditinaju dari unsur unsurnya maka piil pesenggiri sebenarnya adalah nilai nilai tradisionmal yang sejatinya bernilai universal, seperti demokrasi, mandiri, dan toleransi seperti yang tergambar dalam unsur unsur piil pesenggiri yaitu (1) nemui nyimah (kehormatan), (2) nengah nyappur (kesetaraan), (3). Sakai sambaian (kebersamaan) dan (4) juluk adek (pembaharuan). Banyak daerah yang memiliki kearifan tradisional, tetapi tidak seperti kearifan tradisonal yang dimiliki daerah Lampung. Masyarakat Lampung adalah masyarakat yang mengenal bahasa, aksara dan filsafat memang sepantasnya memiliki kearifan tradisional yang modern. Keraifan tradisional daerah Lampung memenuhi kaedah masyarakat modern.

Universalitas keraifan tradisional masyarakat Lampung memberikan peluang kepada siapapun untuk menganutinya dan memperaktekkannya. Masyarakat Lampung seyogyanya menawarkan kearifan ini kepada masyarakat pendatang di Lampung, karena piil pesenggiri memiliki kepatutan untuk dianut oleh siapapun yang memiliki wawasan kemoderenan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Universalitas piil pesenggiri seyogyanya dijadikan bahan untuk membentuk karakter building.

Falsafah piil pesenggiri yang memang memiliki karakter modern dan demokratis seyogyanya diterima oleh semua pihak untuk dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik konflik yang terjadi pada masyarakat. Karakter universalitas piil pesenggiri dapat membantu permasalahan yang dihadapi oleh siapa saja yang mengalami konflik konflik di tengah masyarakat. Kearifan tradisional yang memiliki nilai nilai universal adalah sesuatu yang perlu diaktualisasikan.

Peran Pemerintah.

Peran Pemerintah adalah untuk memfasilitasi dan menciptakan suasana yang kondusif untuk kemadirian lembaga adat serta aktualisasi piil pesenggiri. Karena ketidak berdayaan lembaga adat adalah akibat dari diberlakukannya UU Pemerintahan Desa. Oleh karenanya upaya mempertahankan keberadaan lembaga adat membutuhkan payung hukum sehingga pembinaan lemabaga adat teranggarkan secara signifikan baik pada APBD Provinsi dan Kabupaten. Pemberdayaan lembaga adat tidak akan tercapai tampa payung hukum.

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten harus mengeluarkan Perda (Peraturan daerah) untuk keberadaan lembaga adat. Dengan Perda dimaksud maka biaya pembiberdayaan dan pembinaanpun akan teranggarkan. Lembaga adat dan nilai nilai tradisonal bagaikan dua mata uang koin yang tak terpisahkan. Pemberdayaan lembaga adat tak akan memiliki arti yang signifikan tampa adanya konstribusi value untuk merubah dan mengembangkan attitude. Dan aktualisasi piil pesenggiri juga tak akan mencapai hasil optimal tampa adanya dukungan komunitas pelaku adat.

Dengan munculnya Perda keberadaan lembaga adat, maka akan lebih mengikat para pihak terkait untuk melakukan atau melaksanakan tahapan tahapan program secara akutabilitas. Hanya dengan program program itulah maka keberdayaan lembaga adat serta aktualisasi kearifan tradisional piil pesenggiri akan teraktualisasi. Dengan teraktualisasinya piil pesenggiri maka konflik akan terantisipasi. semoga.

Sunday, May 9, 2010

KEINDAHAN “FILOSOFI TITI GEMETI”


Kekayaan falsafah Lampung yang juga diketemukan oleh Rizani Puspawijaya, ketika beliau menyusun skripsi hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 1966 yang lalu, salah satunya adalah filosofi titi gemeti atau “titey gemetey” (dua dialek ini kita anggap sama). Nampaknya lebih lanjut Hilman Hadikusuma Guru Besar Hukum adat Unila dalam berbagai uraiannya tentang piil pesenggiri sering tidak memasukkan titi gemeti ini ke dalam falsafah piil pesenggiri. Akibatnya titi gemeti kurang banyak dikenal masyarakat, karena banyak orang mengenal piil pesenggiri ini adalah melalui tulisan tulisan beliau. Dan diskusi dan polemik tentang titi gemeti, relative tak muncul.

Namun demikian dahulu Kanwil Depdikbud tidak pernah alpa untuk membahas dan memperkenalkan titi gemeti ini kepada para Penilik Kebudayaan, dalam rangka pembekalan kepada mereka yang bertindak sebagai ujung tombak untuk pembina budaya masyarakat Lampung. Juga seperti halnya ketika kami memperkenalkan piil pesenggiri kepada mereka, kami lebih menonjolkan makna filosofis dari titi gemeti, sehingga mereka lebih mudah memahami dan juga sekaligus berpeluang untuk merasa memiliki.

Titi gemeti adalah tata titi atau jamak dari titian. Dalam bahasa Lampung kata titi dapat diartikan jembatan dan tangga. Orang yang berlalu melalui jembatan disebut niti, dan juga menaiki atau menuruni tangga juga niti. Ada niti jambat (jembatan) dan ada juga niti jan (tangga). Maksudnya adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu posisi ke posisi yang lain. Orang meniti jambat adalah untuk berpindah dari posisi semula ke seberang atau sebaliknya. Orang meniti ijan atau jan, untuk berpindah dari atas ke bawah atau sebaliknya dari bawah ke atas. Titi gemeti adalah upaya untuk menjembatani sebuah gap yang terjadi secara terbatas ataupun luas.

Sebagaimana kita tahu bahwa setiap seseorang dalam mengarungi hidupnya akan dihadapkan kepada berbagai pilihan pilihan, pilihan pilihan tersebut akan mendatangkan konflik konflik, baik konflik secara terbatas maupun konflik yang neluas. Konflik konflik itu membutuhkan jalan keluar.

Nampaknya para tokoh adat dahulu secara arief telah memahami akan persoalan persoalan yang akan dihadapi oleh komunitas yang dipimpinnya. Mugkin kontak kontak antara Lampung-Palembang dan Lampung-Banten setidaknya, yang pada saat itu mereka rasakan semakin kerap, dan tentu saja kontak kontak semacam itu selain dirasakan besar manfaatnya, juga tidak tertutup kemungkinan akan menjadi ancaman. Besar dugaan kita ini pulalah yang melatar belakangi munculnya piil pesenggiri, dan juga terumuskannya titi gemeti.

Sungguh suatu pemikiran yang bijak, ternyata titi gemeti ini memiliki kandungan filosofi yang sangat indahnya. Sebuah filosofi yang mengharuskan seseorang untuk melakukan berbagai perubahan dalam hidupnya, karena inti dan tanda tanda hidup adalah perubahan. Dengan perubahan kita harus melakukan perjalanan (meniti), banyak titian (titi gemeti) yang harus ditapaki dalam hidup ini.

Setelah dengan piil pesenggiri yang mengajarkan agar seseorang (1) nemui nyimah atau produkltif, (2) nengah nyappur atau kompetitif, (3) sakai samabaian atau koperatif dan juluk adek atau inovatif. Maka seseorang harus pula titi gemeti. Harus memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan yang bukan hanya sekedar inovasi (juluk adek) tetapi adalah sebuah perubahan total dan bahkan perpindahan lokasi bila perlu. Itulah makna paling essensial dari titi gemeti.

Dorongan kepada masyarakat untuk melakukan perpindahan sebenarnya adalah sebuah sebuah konsep Islam, yang selama ini kita kenal dengan istilah hijrah. Dulu Nabi Muhammad dipersilakan untuk hijrah ke Madinah karna suasana di Makkah tidak lagi kondusif bagi Nabi Muhammad.

Dengan konsep titi gemati maka masyarakat Lampung nantinya diharapkan akan mampu melakukan pesebaran diseantero wilayah Lampung, hingga pada akhirnya seluruh wilayah akan terjelajahi dan semua potensi akan tergarap tentunya. Konsep pesebaran masyarakat pada saat itu patut kita duga akan berkaitan erat dengan upaya upaya mengantisipasi masuknya bangsa penjajah ke Lampung. Di mata para penjajah Lampung adalah alternatif, karena di Lampung sangat berpotensi untuk menghasilkan rempah rempah secara besar besaran,

Titi gemeti akan mendorong tersusunnya berbagai aturan, dan dipatuhinya berbagai aturan yang ada. Aturan aturan itu merupakan ejawantah dari falsafah piil pesenggiri. Tetapi sayang nampaknya dari sekian banyak naskah kuno yang berhasil diketemukan, baik dalam bentuk tambo, cepalo, keterem dan lain sebagainya. Maka produk produk masalah hukum di Lampung terbilang langka. Cuku

Ironi memang, masyarakat Lampung yang memiliki wilayah, memiliki bahasa, memiliki aksara dan memiliki pimpinan tetapi jarang meninggalkan naskah tertulis. Mungkin naskah dimaksud tak terpelihara, karena Lampung tidak memiliki lembaga kepemimpinan yang kuat, sehingga naskah naskah penting itu tercerai berai.

Namun demikian titi gemeti merupakan bukti penting akan adanya upaya menata masyarakat Lampung, sehinga menjadi masyarakat yang tertib dan teratur. Sehingga mampu mencapai kemakmuran, terlebih dengan pandangan falsafah piil pesenggiri yang terdiri dari nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (koperatif) dan juluk adek (inovatif) yang merupakan fondasi terbentuknya masyarakat yang egaliter.

Maka titi gemeti adalah merupakan pemungkas untu mengantisipasi terbentuknya masyarakat pluralisme dan multikultural. Titi gemeti merupakan antisipasi berbagai perbedaan dari masyarakat yang akan semakin majemuk, dan titi gemeti juga adalah antisipasi akan munculnya berbagai konflik yang akan sangat mungkin muncul dikalangan masyarakat yang majemuk dan egaliter, Adalah merupakan kewajiban kita bersama untuk mengadob titi gemeti sebagai sebuah kekayaan yang tidak ternilai, sekalipun terumuskan berabad yang lalu tetapi ternyata dapat dimanfaatkan pada era reformasi ini.

KOPERATIF DALAM PIIL PESENGGIRI (SAKAI SAMBAIAN)


Upaya Cirebo dan Banten untuk mendorong Lampung mendirikan Kesultana Islam atas restu Demak, memang membutuhkan karakter masyarakat koperatif atas sesama. Sikap koperatif ini merupakan modal dasar untuk terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih kondusif. Sebagai daerah yang akan dijadikan Kesultanan yang akan mengatur pemerintahan tersendiri sangat membutuhkan suasana yang kondusif itu.

Apalagi niat pembentukan Kesultanan Islam di Lampung adalah untuk mengantisipasi masuknya bangsa penjajah, Portugal, Inggris atau Belanda yang nampaknya berpacu ingin menguasai Lampung. Cirebon tentu saja tidak berperan sebagai penjajah tetapi bahkan sebaliknya, ingin menyelamatkan Lampung dari cengkraman penjajahan. Dan penajajahan buka karakter Cirebon dan Banten sebagai Kesultanan dakwah Islamiyah. Peran Cirebon dan Banten sebagai pembawa missi dakwah akan nampak pada upaya Islamisasi di Lampung.

Memang diberbagai daerah di Lampung, para tokoh telah menganut agama Islam, tetapi karena bukan merupakan raja raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas, maka kepenganutan para tokoh ini tidak serta merta bersifat otomatis untuk menganut agama yang sama, melainkan membutuhkan proses. Namun terbentuknya piil pesenggiri ini akan menampakkan keberhasilan tas upaya proses Islamisasi itu. Dan salah satu unsure piil pesenggiri adalah sakai sambaian.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu sakai yang berasal dari akai atau kakkai yang artinya buka, lalu menajdi se-akai yang artinya saling membuka. Sikap keterbukaan adalah sikap koperatif yang ditanamkan melalui piil pesenggiri. Sikap koperatif ini menjadi sangat penting mengingat penduduk lampung pada saat itu masih sangat terbatas, sehingga Kesultanan Islam Lampung akan menjadi ajang akulturasi.

Persentuhan budaya Lampung dengan budaya lain, khusnya budaya Jawa, untuk mengantisipasi masuknya bangsa penjajah adalah sangat dibutuhkan, karena baik penduduk Lampung maupun pendatang harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Keutuhan itu hanya akan dapat terbentuk melalui sikap keterbukaan belaka. Dan cengkraman bangsa penjajah hanya dapat diantisipasi dengan rasa kesatuan dan persatuan.

Keterbukaan atau sakai, juga bermakna bersedia untuk mengevaluasi diri serta mengakui kekurangan dan kesediaan menerima masukan yang lebih baik. Dalam sikap seperti ini maka kebenaran adalah diatas segala galanya. Itulah sebabnya selain sakai juga diharuskan bersikap sambaian. Berasal dari kata sambai atau sumbai, setidaknya terdapat tiga arti kata sambai atau sumbai yaitu baca, waspadai dan asuh.

Sambai dapat diartikan sebagai membaca, memperhatikan, mempelajari atau membandingkan. Kegiatan membaca ini menyertai keterbukaan, artinya setiap seseorang dituntut untuk terbuka dengan segala resiko bahwa kondisi internal dapat dibaca oleh orang lain, tetapi dalam waktu yang bersamaan kita juga harus mampu membaca lingkungan dan keadaan internal orang lain. Setiapo seseorang dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi lingkungan, lalu melakukan perbandingan serta mempertimbangkan berbagaiaspek untuk selanjutnya memantapkan sikap/

Makna sambai yang lain adalah waspada. Karena resiko dari keterbukaan sikap ini adalah diketahuinya berbagai sikap internal oleh pihak lain, maka dalam waktu yang bersamaan juga diharuskan mempunyai sikap sambai dalam artian waspada. Dengan sambai diharapkan keterbukaan ini bukan justru menjadikan kita sebagai bulan bulanan untuk dimanfaatkan oleh pihak lain. Utuk itu maka kewaspadaan terhadap hal hal yang tak diinginkan adalah merupakan tuntutan utama sikap sambai dalam sakai sambaian. Namun kewaspadaan (sambai) adalah merupakan sesuatu yang tak terlepaskan dari sikap keterbukan (sakai), sikap sambai adalah merupakan upaya untuk memilihara kebersamaan (koperatif).

Makna sambai yang ketiga adalah pelihara, asuh, besarkan. Keterbukaan dalam sakai sambaian dimaksudkan sebagai upaya memelihara (sambai/ sumbai) hubungan dengan pihak lain. Agar pitidak memiliki keraguan. Sikap sumbai atau sambai sangat diperlukan terutama juga bagi para perwatin, pimpinan adat, yang yang harus memiliki sikap asuh kepada segenap komunitas warganya. Sakai bagi seorang perwatin adalah bermakna keteladanan, sementara sambai adalah upaya mendidik sikap para anggota komunitas yang dipimpinnya, agar komunitas itu menjadi utuh. Disamping itu juga sambaoi bermakna membesarkan atau mengembangkan. Dengan bermodalkan keterbukaan maka dengan sumbai adalah wijud upaya untuk membesarkan komunitas kelompok agar dapat berkembang.

Sakai sambaian adalah sikap yang kooperatif yang dikehendaki oleh falsafah piil pesenggiri. Setiap seseorang diharapkan memiliki sikap menerima (sakai), tetapi dalam waktu yang bersamaan dia harus juga memberi (sambaian), dengan sakai seseorang siap dikoerksi, tetapi dalam waktu yang bersamaan dia juga harus mampu memberikan masukan atau koreksi (sambai) kepada pihak lain.

Nampaknya inilah sikap yang disepakati oleh para pimpinan adat sebagai modal untuk mendirikan Kesultanan Islam di Lampung. Dan dengan sikap sikap seperti ini manakala merata dimiliki oleh setiap seseorang sebagai anggota masyarakat pada Kesultanan tersebut, maka diyakini Kesultanan itu akan menjadi kukuh.

KONSEP KESETARAAN SOSIAL DALAM FALSAFAH PIIL PESENGGIRI

(NENGAH NYAPPUR)


Salah satu keunggulan falsafah piil pesenggiri adalah konsep piil pesenggiri tentang kesetaraan social. Apalagi konsep ini disusun nampaknya adalah sebagai persiapan pembentukan Kesultanan Islam di Lampung, bersama Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak. Luasnya wilayah Lampung serta sedikitnya jumlah penduduk yang ada pada saat itu, maka pembauran dengan warga asal jawa adalah suatu keniscayaan. Tetapi dengan telah dianutnya agama Islam oleh penduduk Lampung, maka berarti adalah merupakan peluang untuk bertemunya latar belakang budaya yang berbeda, yaitu antara budaya Jawa dan Sumatera dan Lampung sebagai medianya, serta Islam sebagai titik sentuhnya.

Pertemuan dua budaya di Lampung ini sebenarnya adalah ide cemerlang, karena masing masing pihak memiliki latar belakang karakter budaya yang berbeda. Budaya Jawa yang lebih berhasil melaksanakan ketertiban dan pemerintahan, sementara budaya Lampung Sumatera berlatar belakang budaya egaliter. Apalagi Lampung tidak dikuasai oleh seorang Raja yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Itulah sebabnya mereka menghasilkan kesepakatan yang bernama piil pesenggiri sebagai falsafh yang dianut dan nengah nyappur adalah sebagai salah satu unsurnya.

Tentu akan sangat mengejutkan, akan kemunculan nengah nyappur atau konsep kesetaraan sosial dalam falsafah piil pesenggiri, karena pada saat itu sebenarnya belum ada wacana tentang demokrasi, kekuasaan di daerah Jawa berada sepenuhnya ditangan raja. Namun filosofi ‘nengah nyappur’ yang dimaknai dengan kompetitif tersusun dengan indah. Sungguh konsep ini sebagai keajaiban, karena lahir sebelum eranya. Itulah salah satu keistimewaan piil pesenggiri, yang tidak dimiliki oleh falsafah di berbagai daerah lainnya.

Ditinjau dari segi bahasa atau kata maka nengah nyappur terdiri dari dua kata, yaitu nengah yang paling tidak memiliki tiga arti, yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Sedang nyappur artinya tenggang rasa.

Kerja keras, berketerampilan dan bertanding merupakan terjemahan dari kata nengah, maka jelas bahwa ketiganya bernuansa persaingan. Kerja keras umpamanya, jelas ini sebuah persaingan ntuk mendapatkan yang sebanyak banyaknya, seorang petani tentu mengharap hasil panen yang melimpah, seorang nelaian bekerja keras untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak banyaknya. Sedang keterampilan selalu saja dibutuhkan dalam rangka memberikan yang sebaik baiknya. Seorang pengrajin membutuhkan keterampialan agar dapat memberikan karya karya seni yang terbaik.

Kadangkala keterampilan lebih dibutuhkan dibanding dengan kemampuan akademis, ketika seseorang harus menyelesaikan pekerjaan yang memang kuarang membutuhkan kemampuan akademis seseorang. Dan tidak semua masalah harus diselesaikan secara akademis,tetapi lebih membutuhkan keterampilan, Karena keterampilan itu justeru untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik maka berarti keterampilan juga memiliki nuansa persaingan.

Piil pesenggiri akan menuntut daya saing seorang, manakala nengah diartikan sebagai bertanding, karena semua pertandingan dituntut kemenangan, tidak ada seorangpun petanding yang tampil digelanggang dngan niat untuk menjadi pecundang. Kalaupun ada istilah kalah sebelum bertanding, itu adalah menunjukkan ketiadaan daya saing seseorang, dan itu bukanlah karakter piil pesenggiri.Karena karakter piil pesenggiri adalah berdayasaing yang tinggi.

Tetapi selain memiliki dayasaing yang tinggi juga setiap seseorang dituntut untuk memiliki toleransi yang tinggi (nyappur). Seorang petani dituntut keberhasilannya memanen hasil tanaman sebanyak banyaknya, bukan berarti hasil panenan yang melimpah ruwah itu lalu ditumpuk dan bahkan terbuang percuma karena tak termakan lagi, karena hasil panenan jau melebihi kebutuhannya.

Panenan yang melebihi kebutuhan baik bagi dirinya maupun orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya hendaklah memiliki peran social, artinya memiliki konstribusu untuk masyarakat. Sehingga kelebihan produksi itu merupakan wujud kepedulian social seseorang. Seorang petani menam jauh diatas kebutuhannya adalah karena kepedulian terhadap kebutuhan banyak orang.

Jelas penghasilan yang melebihi kapasitas kebutuhan bukanlah merupakan kerugian melainkan keuntungan adanya. Karena tidak semua orang dapat menghasilkan panenan seperti yang kita lakukan sehingga mereka harus membayar hasil panenan kita untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Walaupun orang lain harus membayar, tetapi mereka akan berterima kasih atas kelebnihan hasil panenan kita. Tidak ada salahnya bila seluruh masyarakat dalam waktu yang bersamaan bekerja keras untuk mencapai posisi puncak dalam profesi masing masing. Itulah yang dikehendaki oleh nengah nyappur, sehingga dapat kita artikan sebagai kompetitif.

Sunday, April 11, 2010

JULUK ADEK

(KETIKA PEMERINTAH MENAFSIR ULANG)

FACHRUDDIN


Juluk adek, salah satu unsur dari piil pesenggiri, yang memicu perdebatan dalam Dialog Kebudayaan tahun 1988. Pada saat itu juru bicara hanya memperkenalkan sebatas praktek ‘upacara adat’ semata. Masa remaja seseorang diupacarai untuk mendapatkan nama juluk, dan pada masa dewasa mendapatkan gelar ata adek/adok, tentu dengan upacara pula. Ada semacam kelalaian yang dilakukan pada saat itu, yaitu ketidak konsisten-an narasumber. Di satu pihak mengajak seluruh masyarakat Lampung untuk menerima piil pesenggiri, tetapi tampa disadari uraian penjelasan dari piil pesenggiri justeru mempersempit peluang kelompok kelompok untuk menerimanya.

Pada saat itu makna filosofi dari juluk adek nyaris tidak tersentuh. Piil pesenggiri yang sejatinya adalah falsafah itu justeru lebih banyak dicontohkan dengan beberapa upacara daur hidup, yang upacara itu lazim diselenggarakan pada beberapa daerah daerah tertentu saja. Itulah sebabnya lantas ada salah seorang peserta yang mengatakan “ … Jangan mengaku sebagai orang Lampung, bila bejuluk tidak beadokpun tidak …” karena untuk disebut sebagai orang Lampung harus memiliki nama juluk dan nama adek, serta tidak gampang untuk menjadi orang Lampung.

Kalau juluk adek hanya diartikan sedangkal itu, maka berarti sebagian besar peserta dialog kebudayaan tidak diakui ke-Lampung-annya. Lalu mengapa pula para narsumber dan beberapa tokoh pada saat itu mengajak untuk menerima piil pesenggiri sebagai kekayaan bersama. Dan mengajak Pemerintah untuk membangun masyarakat Lampung ini dengan piil pesenggiri sebagai nilai nilai luhurnya.

Tentu saja sebuah falsafah harus dibicarakan dengan pendekatan filosofis, nilai yang terkandung dalam sebuah filsafat sebenarnya jauh lebih luas dibanding sebuah upacara ritual sekalipun. Sebenarnya silang sengketa pendapat pada saat itu dapat dihindari manakala peserta dialog diajak memahami sebuah falsafah, apalagi falsafah bersinonim ’wisdom’ yang bermakna bijaksana. Sehingga kedalaman nilai juluk adek dan piil pesenggiri tertangkap secara mendalam pula.

Itulah sebabnya Kanwil Depdikbud pada saat itu merasa berkewajiban untuk menafsirkan secara filosofis. Berfikir secara filosofis adalah berfikir secara radic atau mendalam. Ciri berfikir filosofis adalah kebebasan, selama masih menggunakan kaidah kaidah cara berfikir yang benar, serta tidak keluar dari inti kandungan nilai nilai yang selama ini dianut masyarakat. Kita harus mengurai mana adat dan mana budaya.

Silakan saja komunitas adat menyelenggarakan upacara dalam melaksanakan juluk adek. Tetapi masyarakat Lampung dalam skala yang lebih luas perlu diajak memahami secara arif akan kandungan juluk adek tersebut. Sehingga tidak perlu mempersoalkan bagiaman komunitas adat tertentu dalam menyelenggarakan upacara pengambilan nama juluk dan nama adek atau gelar keadatan. Dan juga tidak mempersoalkan komunitas yang telah meninggalkan upacara upacara semacam itu.

Tetapi juluk adek memang memiliki makna filosofis yang sangat dalam, dan sangat layak diwariskan, serta berpeluang untuk diterima oleh semua pihak. pendekatan filosofis dapat ditelusuri melalui bahasa, bukankah bahasa merupakan salah satu cabang dari filsafat, artinya dari bahasa juluk adek sangat mungkin untuk diuraikan.

Juluk adek yang terdiri dari dua kata itu. Juluk adalah nama baru yang diberikan kepada seorang anak, tetkala anak yang bersangkutan telah mampu merumuskan cita citanya. Sebagaimana kita ketahui lazimnya seorang anak yang baru dilahirkan, maka kedua orang tuanya akan bersegera memberikan sebuah nama kepada anak tersebut. Tetapi ketika anak tersebut telah mampu merumuskan cita citanya, maka anak tersebut layak diberikan nama baru, nama tersebut adalah nama juluk.

Nama juluk adalah nama untuk merayakan sebuah perubahan besar yang terjadi pada seorang anak, karena dengan kemampuan seorang anak merumuskan cita citanya maka berarti ia telah memiliki kemampuan merespon lingkungannya serta keberadaan dirinya. Dengan kemampuan merespon lingkungan itulah ia akan memposisikan dirinya. Itulah sebabnya nama juluk selalu disesuaikan dengan cita cita yang berhasil dirumuskannya.

Nama juluk merupakan simbol simbol akan keinginan seorang untuk lebih maju dan berhasil dibanding keadaan orang tua dan lingkungannya sekarang. Seorang anak layak mendapat nama juluk ’Gedung Itten” manakala ia memiliki cita cita ingin memiliki rumah besar, gedung permanen, yang bertatahkan intan berlian. Ini merupakan keinginan seorang anak yang tertangkap oleh orang tua atau orang dewasa yang memperhatikan perkembangannya.

Tetapi idealnya nama juluk adalah sebagai simbol atau peran sosial yang akan diperankan oleh sianak kelak setelah dewasa. Itulah sebabnya nama juluk juga akan diwarnai oleh konsep orang tua dan lingkungannya, dan bahkan nama jukuk itu juga lebih sebagai konsep akan diarahkan kemana kelak itu akan dididik. Dengan segala konsekuensinya yang tak akan dilepaskan dari orang tua dan lingkungannya. Jasi nama juluk pada hakekatnya adalah nama idealita, bagi sianak. Dan orang tua serta lingkungannya harus mengkondisikannya, agar sebuah idealita menjadi realita adanya.

Bagi seorang dewasa yang telah mencapai cita citanya atau mampu mewujudkan konsep yang dirumuskan oleh orang tua serta lingkungannya, maka yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan gelar keadatan. Tetapi sekali lagi gelar keadatan itu esensinya adalah simbol keberhasilan. Yang paling penting adalah peran sosial yang mampu dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, baik dengan atau tampa gelar sekalipun.

Upacara keadatan seperti ’Cakak Pepadun’ tentu saja menjadi pengikat erat akan komitmen yang bersangkutan yang kini telah tercapai, yang harus dipertahankan dan bahkan masih harus dikembangkan lagi. Formalitas upacara keadatan yang dahulu terbilang sakral itu jelas memiliki sisi positif yang jelas. Terlepas dari biaya yang harus dikeluarkan.

Makna gelar atau adok menggambarkan besarnya tanggung jawab moral dan sosial seseorang terhadap lingkungannya. Dan rasa tanggung jawab moral dan sosial adalah di atas segala galanya. Dan itu juga merupakan simbol dukungan komunitas lingkungan tersebut, yang etntu saja lebih awal merasakan kemanfaatan atas kehadirannya.

Juluk adek adalah simbol keparipurnaan seseorang, itulah sebabnya Tim Kanwil Depdikbud bersikukuh meletakkannya pada puncak falsafah piil pesenggiri, bukan tiang pancang eksistensi diri. Karena tiang pancang eksistensi diri adalah nemui nyimah, dengan segala kemampuannya untuk memulai interaksi antar sesama. Simbol keparipuraan seseorang dalam piil pesenggiri, bukan berarti seseorang itu mencapai puncak lalu Turín atau berakhir, konsep itu adalah sebuh siklus.

Nemui nyimah – nengah nyappur – sakai sambaian – juluk adek, bukanlah merupakan batas batas perjalanan, tetapi adalah sebuah siklus, dan siklus siklus berikutnya adalah lebih berkualitas. Itulah sebabnya juga didapatkan titi gemeti. Sebuah tata titi, atau titian yang dapat menghantar dari satu posisi ke posisi yang lain yang semula terpisahkan oleh sesuatu. Titi ini juga berarti jan atau ijan yang akan mampu menghantarkan seseorang dari tempat yang rendak ke tempat yang lebih tinggi.

Juluk adek secara sederhana adalah nama nama baru yang diberikan ketika seseorang mencapai prestasi baru, itulah sebabnya kita memahami juluk adek sebagai sebuah inovasi. Sebuah inovasi adalah sebuah siklus. Dalam hidup manusia itu siklus adalah sesuatu yang berlangsung tampa akhir. Karena perputaran juga bermakna peralihan karena dapat dilanjutkan oleh yang lain (titi gemeti) Titi gemeti secara luas akan bermakna pembelajaran. Itulah kandungan juluk adek secara filosofis.

Tafsir filosofis adalah tafsiran tampa batas, tidak dibatasi oleh kenyataan operacional yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keterbatasan lapangan. Tafsir filosofis akan memperkaya hazanah. Sedang tafsir berdasarkan operacional justeru membuat kandungan yang demikian luas dan mendalam menjadi dangkal. Pendangkalan piil pesenggiri adalah sesuatu yang sejatinya kita hindari.

Friday, April 9, 2010

NEMUI NYIMAH

PERTANGGUNG JAWABAN KEPADA HILMAN HADIKUSUMA DAN RIZANI PUSPAWIJAYA

FACHRUDDIN

Dialog Kebudayaan Daerah Lampung tahun 1988, mendadak hiruk pikuk, semua peserta berebut ingin berbicara, untuk menanggapi dan menentang ucapan seorang peserta yang mengatakan “ … Jangan mengaku sebagai orang Lampung, bila bejuluk tidak beadokpun tidak …” sambil memperkenalkan nama juluk yang didapatkannya pada usia remaja dan nama adek yang didapatkannya setelah dewasa, dengan segala kebanggaan.

Pimpinan sidang dan dua orang yang diharapkan mampu menetralisir situasi ini, yaitu Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya kuwalahan, setelah dua termyn berlalu hiruk pikuk tak kunjung reda. Persidangan dianjurkan untuk segera diakhiri oleh panitia penyelenggara, karena kehabisan waktu. Sifat kekanak kanakan itu dipertontonkan dihadapan seorang Rosihan Anwar, yang datang mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta yang cukup istimewa juga hadir belasan orang Penyuluh Kebudayaan, yang didatangkan di ruangan itu untuk mengenal budaya Lampung lebih dekat. Karena mereka adalah ujung tombak dalam pembinaan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Rosihan Anwar dalam sambutannya mengatakan : “Akan saya sampaikan kepada Bapak menteri bahwa di Lampung masih ada yang belum mampu diselesaikan, namanya Piil Pesenggiri”. Para Penilik kebudayaan sebagai pejabat ujung tombak dalam pembinaan kebudayaan merasa bingung, bagaimana menindaklanjuti hasil dialog itu.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan kepada para Penilik kebudayaan yang sebagian besar adalah para pendatang ini, diminta untuk merasa sebagai orang Lampung. Apalagi tugasnya adalah membina kebudayaan di lampung. Tetapi mereka sendiri tersentak ketika ada yang melarang untuk mengaku sebagai orang Lampung manakala yang bersangkutan tidak pernah diupacarai untuk mendapatkan nama “Juluk” dan nama “Adek”, karena berarti akan banyak sekali orang Lampung asli yang dianggap tidak sah ke-Lampung-annya. Apalagi kami kami yang sebagai pendatang ini, kata mereka.

Upaya reaktualisasi konsep piil pesenggiri yang dilakukan oleh Hilman hadikusuma (alm) dan Rizani Puspawijaya dengan semangat yang menggebu gebu itu justeru melahirkan trauma, bagi Penilik Kebudayaan. Itulah sebabnya Kanwil Depdiknas berusaha untuk merumuskan pendekatan versi baru Piil Pesenggiri dan meletakkan unsur Juluk Adek yang menyulut perdebatan itu pada unsur yang paling akhir.

Piil Pesenggiri yang semula terdiri dari :
1. Juluk Adek
2. Nemui Nyimah
3. Nengah Nyappur
4. Sakai Sambaian dan
5. “Titi gemeti” dalam tanda petik.

Kanwil Depdikbud untuk menindaklanjuti hasil dialog kebudayaan dan kepentingan keutuhan, serta memudahkan pemahaman bagi para Penilkik Kebudayaan, maka susunanpun di rubah menjadi :
1. Nemui Nyimah
2. Nengah Nyappour
3. Sakai sambaian dan
4. Juluk Sdek.
Juluk Adek tidak dijadikan pangkal tolak eksistensi seseorang seperti yang digulirkan dalam dialog kebudayaan. Pemerintah melalui Kanwil berketetapan untuk menjadikan “Nemui Nyimah” sebagai pangkal tolak eksistensi seseorang.

Eksistensi seseorang bukan ketika seseorang mendapatkan nama Juluk atau gelar Adek/ Adok, melainkan ketika seseorang telah memiliki kemampuan bertamu dan atau menerima tamu (Temui) dan bersikap santun dalam pertemuan itu. Eksistensi seseorang dimulai ketika seseorang memiliki kemampuan untuk menyantuni (nyimah) terhadap hajat orang lain. Karena pada saat itu berarti seseorang dianggap telah memiliki kemampuan untuk memproduk sesuatu. Eksistensi seseorang adalah ketika “siapa mampu berbuat apa”.

Filosopi bertamu atau pertemuan memiliki makna yang sangat dalam. Karena dalam sebuah pertemuan atau pertamuan lebih banyak dilandasi berbagai perbedaan perbedaan dan perbedaan kepentingan, tetapi pertemuan atau pertamuan itu umumnya pula dimaksudkan adalah untuk mencapai kesepakatan bersama. Itulah sebabnya maka dalam piil pesenggiri seseorang dikatakan eksis manakala memiliki kesanggupan atau keterampilan untuk mencapai kesepakatan kesepakatan bersama, walaupun semua memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda.

Sebenarnya sejak semula masyarakat Lampung melatih putera puteri mereka untuk santun (simah) dalam bertamu (nemui). Seorang jejaka sangat dilarang untuk bertamu manakala tidak memiliki kesanggupan membawakan buah tangan (kaduw). Tetapi dahulu sebenarnya buah tangan seorang jejaka adalah hasil dari kebun yang dikelolanya sendiri. Dan juga seorang gadis tidak akan menerima tamu jejaka sebelum ia memiliki kemampuan untuk memperlihatkan hasil karyanya seperti taplak meja, lap tangan dan lain lain produk yang bermotifkan ragam hias Lampung. Yang paling istimewa, seorang gadis baru berkenan menerima tamu jejaka manakala kue dan penganan yang disajikan adalah buatannya sendiri.

Artinya baik jejaka maupun gadis baru boleh menyelenggarakan pertemuan manakala keduanya telah produktif. Kebun kebun yang dikelola jejaka sudah menghasilkan buah. Sementara si gadir telah banyak membuat berbagai perabot rumah tangga dengan tangan sendiri. Mereka dianggap layak untuk saling menyesuaikan, saling berusaha menemukan persam,aan persamaan, serta merancang masa depan.

Produktif, adalah inti atau kunci seseorang untuk dapat berbuat santun (simah) dalam pergaulan, pertamuan, pertemuan (nemui). Dengan piil pesenggiri, tetaptnya unsure nemui nyimah adalah sebuah pesan bahwa seseorang akan dapat eksis dalam hidupnya manakala telah memiliki kemampuan untuk menciptakan susuatu, atau berbuat sesuatu yang bermanfaat juga bagi orang lain.

Seseorang dikatakan eksis manaka ia produktif, dan produksinya itu bermanfaat bagi orang lain, dengan kata lain ia telah menghasilkan sesuatu dan penghasilannya itu bukan hanya cukup bagi dirinya dan orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, tetapi juga orang lain dan masyarakat banyak. Itulah makna simah atau nyimah dalam piil pesenggiri.

Dengan demikian maka produktif dan santun tidak diartikan benda semata mata. Tetapi seseorang mampu melaksanakan tugasnya secara profesional juga berarti produktif dan santun. Seorang guru atau dosen umpamanya dia produktif dan santun manakala bekerja secra profesional, melaksanakan kaji literatur, menyelenggarakan penelitian, menyusun karya ilmiah, serta karya tulis lainnya yang akan membuat mahasiswanya mencapai prestasi belajar yang lebih baik.

Piil pesenggiri, yang saya yakini adalah menjadi modal dasar untuk membentuk Kesultanan Islam Lampung, adalah berpangkal tolak pada kemampuan setiap individu memiliki kesanggupan untuk produktif dan santun. Daerah ini akan menjadi daerah yang makmur dan masyarakat yang sejahtera manakala setiap seseorang mampu berproduksi atau berpenghasilan jauh melebihi kebutuhan pribadi serta orang orang yang berada di bawah tangguyng jawabnya, sehingga setiap seseorang menjadi simah atau santun.

Sunday, April 4, 2010

LAMPUNG BERBUDAYA EGALITER


Semangat egaliter pada pendukung dan pelaku budaya Lampung memang mengesankan penonjolan klaim. Tetapi bukan bererati budaya Lampung dibentuk dengan kelaim yang bisa benar atau bisa salah, lalu kita menyerahkannya kepada perjalanan sejarah. Bisa saja pengamat memvonis, tetapi itu bukan tindakan yang bijak dan dapat diwariskan kepada anak didik.

Niat Budi P Hatees atau Budi Hutasuhut untuk menulis dan menerbitkan buku tentang Lampung yang bahannya diambil dari berbagai penulis yang tulisannya pernah dimuat di media massa atau belum dipublikasikan saya dukung seratus persen, tetapi mengecap tulisan tulisan yang sebagain dipolemikkan itu hanya sekedar hasil klaim semata jelas hal ini harus didiskusikan terlebih dahulu. Karena memvonis budaya Lampung hanya sekedar kelaim belaka nampaknya kurang realistis. Apalagi tulisan tersebut dimaksudkan akan untuk dijadikan bahan pelajaran di sekolah formal pada tingkat dasar dan menengah. Bahan pelajaran yang diambilkan dari bahan yang masih kontroversi akan bertentangan dengan kaidah pembelajaran.

Secara geografis Lampung ini memiliki wilayah yang jelas, serta penghuninyapun jelas. Dan budayapun sejatinya juga jelas. Heteroginitas Lampung yang juga egaliterian lalu melahirkan keanekaragaman menurut hemat saya itu semua masih berada pada koridor nuansa bening, bukan sesuatu yang keruh, kusut yang yang tak mungkin dapat diuraikanm. Hanya saja itu membutuhkan waktu. Memang dari sudut pandang tertentu akan membuat kita menyerah, tetapi kepasrahan itu tak layak untuk diwariskan atau diajarkan kepada generasi muda yang sedang mencari jatidirinya.

Saya lebih memandang keanekaragaman di lampung adalah sesuatu yang wajar, yang kita harapkan sekarang agar pendukung budaya Lampung mampu mencari dan menemukan titik temu, sehingga keanekaraggaman merupakan kekayaan semata. Saya tidak menutup mata akan adanya pihak pihak yang ingin memaksakan pendapatnya untuk diakui sebagai pendapat yang paling benar. Tetapi itu wajar saja, asalkan tidak berlarut larut, karena akan merugikan generasi mendatang. Tetapi bukanlah berarti kalim itu yang harus kita tangkap sebagai inti budaya Lampung, karena hanya merupakan proses semata.

Karakter egaliterian di lampung yang didorong oleh unsur piil pesenggiri ”Nengah Nyappur” bukan sebuah ’aib, melainkan kekayaan jua adanya. Tetapi tidak semua budaya daerah memiliki karakter yang egaliterian, karena ada juga budaya yang sangat dialogis, yang memiliki kemampuan mengaksep sesuatu yang abu abu. Tetapi ini juga bukan merupakan ’aib. Saya ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah kekayaan.

Kalaupun kita ingin mewariskan sesuatu melalui pendidikan formal pada level pendidikan dasar dan menengah, maka yang harus kita wariskan adalah nilai nilai (value) yang mampu membimbing peserta didik kedalam sikap sikap (attitude) yang benar. Oleh karena bahan ajarpun harus klear. Bukan sesuatu yang kontroversial dan bukan pula hasil klaim semata, yang harus kita serahkan pula kepada sejarah untuk menghakiminya.

Tetapi kalau yang kan ditanamkan adalah semangat egaliter melalui budaya Lampung, maka itu adalah sesuatu yang positif, generasi muda kita membutuhkan semangat egaliter ini, apalagi seperti dalam Piil Pesenggiri semangat egaliter ini dikuatkan dengan dua kata, yaitu Nengah dan Nyappur, nengah yang juga berarti kerja keras, berketerampilan selain bertanding atau bersaing yang disandingkan dengan nyappur yang artinya tenggang rasa. Dengan demikian kepada peserta didik kita buykan mewariskan sebuah pertengkaran tetapi justeru mewariskan sesuatu yang bernilai.

Tetapi kita nelum melihat bagaimana sebenarnya gagasan Budi Hutasuhut dalam menulis buku ajar. Tetapi yang jelas pasti yang bersangkutan memang butuh masukan dari berbagai pihak. Terimalah ini sebagai sebuah masukan. Terlepas dari seberapa benar kebenarannya. Terima kasih.