Saturday, April 3, 2010

POLITISASI MASYARAKAT ADAT LAMPUNG

UDO Z. KARZI


TERBATA-bata Fachrudin (Lampung Post, 12 Juni 2007) menuliskan sebuah apologi -- kalau tidak mau disebut sebagai sebuah upaya justifikasi -- atas napak tilas Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang disertai Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Kesultanan Kecirebonan. Tulisan Fachrudin dihajatkan untuk menanggapi esai A. Ichlas Syukuri, "Matinya 'Penyimbang' Adat" (Lampung Post, 26 Mei 2007).

Fachrudin memang mengatakan ada dua masalah yang diangkat Ichlas Syukurie, yaitu mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang mengklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung dan meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napak tilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat. Namun, sesungguhnya Fachrudin sama sekali tidak menyentuh esensi dari esai Ichlas tersebut.

Selain dua masalah itu, hal yang lebih substansi apa yang ingin dikatakan Ichlas melalui esainya itu, antara lain betapa rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini. Lampung, kata Ichlas, termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-ga-nga. Namun, kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.

Meneruskan apa yang dinyatakan Ichlas, yang secara tersirat ingin mengatakan "kekagumannya" pada kebudayaan Lampung yang memiliki sistem aksara sendiri (kaganga), saya ingin menambahkan sebuah fakta baru yang dikemukakan Louis-Charles Damais (1995) dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta hlm. 26-45. Menurut Damais, di antara Liwa dan Gunung Pesagi, terdapat Prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 M) yang (mungkin) ada kaitannya dengan Kerajaan Sekalabrak.

Saya pikir, bukti-bukti sejarah seperti ini lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable. Saya lebih sepakat dengan Ichlas bahwa untuk mencari jejak (kebudayaan) ulun Lampung; bukan dengan mencari bukti atau napak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, kalau itu yang dilakukan, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa-apa.

Ini kontradiksi dengan pernyataan (kenyataan?) bahwa kebudayaan Lampung yang ‘adiluhung’ telah berkembang lama, jauh sebelum masuknya Islam dari Cirebon dan Banten. Lihat saja prasasti yang berangka tahun 997 M atau bahkan jauh sebelum itu.

Meskipun Fachrudin berusaha sekuat tenaga menjelaskan, apa pentingnya napak tilas, piil pesenggiri, Kesultanan Islam, serta perjanjian Lampung dan Banten; sulit bagi saya untuk menyetujui betapa berartinya napak tilas para "tokoh adat Lampung" itu ke Kesultanan Kecirebonan. Sampai hari ini, saya tidak mengerti apa yang telah dilakukan Gubernur Sjachroedin Z.P. dan juga MPAL (dulu: Lembaga Masyarakat Adat Lampung) dalam membangun kebudayaan Lampung. Saya juga bertanya-tanya strategi kebudayaan yang seperti apa yang dikembangkan Pemprov Lampung dan juga LPAL untuk membangun Kebudayaan Lampung (dengan K huruf besar)?

***

Saya justru mendapati bagaimana kebudayaan Lampung menjadi tidak berarti apa-apa setelah Fachrudin mengatakan, "pesinggiri" berasal dari kata bahasa Sunda, "pasanggiri" yang berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Lalu, di Lampung berhasil disandingkan dengan piil, sehingga terformulasi dalam piil pesenggiri bersama unsurnya. Dst.

Kalaulah benar piil pesenggiri itu justru dipengaruhi (terpengaruhi) oleh Kesultanan Kecirebonan, maka runtuhlah kemuliaan "piil pesenggiri" yang diagung-agungkan selama ini. Benarlah kata Firdaus Augustian yang menyebut piil pesenggiri sebagai puzzle. Konsep piil pesenggiri sebagai unsur kebudayaan Lampung bukan asli, melainkan diadopsi dari Cirebon.

Cerita Fachrudin selanjutnya, dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka, pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.

Komentar saya: seluruh kisah Fachrudin menempatkan Cirebon dan Banten sebagai "penjajah" yang gagal bagi pembentukan kebudayaan Lampung. Kalau itu benar, Lampung sebagai sebuah masyarakat etnis (society) dan kebudayaan (culture) sungguh tidak memiliki identitas apa-apa. Semua segi kehidupan (kebudayaan) ulun Lampung dipengaruhi dari luar Lampung, yang dalam kisah Fachrudin berasal dipengaruhi oleh Cirebon dan Banten.

* * *

Sebenarnya, sejak dulu saya paling tidak setuju dengan pembentukan LMAL atau MPAL. Bukan soal keterwakilan atau tidak, tetapi yang terjadi dengan keberadaan institusi itu adalah "politisasi adat" untuk merebut kekuasaan dan kemudian menjaga kelanggengan rezim yang berkuasa. Lihat saja pengurus MPAL yang diisi oleh pejabat/mantan pejabat atau orang-orang yang dekat (bisa juga mendekatkan diri) pada sumbu kekuasaan.

Kalau mau jujur, yang disebut penyimbang adat atau saibatin toh tidak otomatis memiliki jabatan di lembaga pemerintahan. Mereka ada di komunitas adat mereka masing-masing dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka itu. Jadi, memang agak susah seorang pejabat mengklaim diri sebagai pemimpin adat bagi seluruh masyarakat adat di Lampung.

Maka, bukan hal berlebihan jika ada yang menuding institusionalisasi masyarakat adat dalam wadah semacam MPAL atau nama lainnya sebagai sebuah upaya sentralisasi adat. Lihat saja, nanti MPAL akan membentuk cabang di kota/kabupaten, bahkan mungkin hingga kecamatan dan kelurahan/pekon. Dengan adanya MPAL, adat-istiadat seakan-akan dibuat formal atau dibakukan berdasarkan versi pengurus MPAL.

Padahal, sudah jelas dalam Lambang Provinsi Lampung tertulis tentang "Sang Bumi Ruwa Jurai" sebagai pengakuan tidak mungkin adanya penyeragaman. Lampung itu kan multikultur. Dan, etnis Lampung juga plural. Tafsir-tafsir tentang kebudayaan Lampung (adat-istiadat, kebiasaan, kesenian, cara-cara berbicara, pola tindakan, dan sebagainya) juga multitafsir. Heterogenitas ini kan harusnya dihormati. Jadi, biarlah kebudayaan Lampung tumbuh dengan pluralitasnya.

* * *

Gugatan terhadap keberadaan lembaga adat itu sebenarnya telah muncul dalam Kongres Masyarakat Adat Nasional atau KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007, yang juga diikuti MPAL. Catatan penting dari kongres adat itu: rawannya posisi masyarakat adat dan hukum adat ketika berhadapan dengan politik kepentingan negara di satu sisi, dan pragmatisme kepentingan modal di daerah.

Kalau wakil MPAL nyaris tidak terdengar suaranya dalam kongres adat itu, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh justru menyatakan keluar dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sebelum KMAN III ditutup. Langkah penguatan struktur organisasi masyarakat adat yang dilakukan dalam kongres dinilai berorientasi sentralistik.

"Kami cukup trauma dengan mekanisme struktural organisasi yang sentralistik. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan ke dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai tingkat wilayah," kata koordinator Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Yuriun waktu itu.

* * *

Jadi, sudahlah MPAL! Tidak usah terlalu berambisi hendak menjadi pemimpin seluruh masyarakat adat Lampung. Perbanyak saja riset dan kajian tentang kebudayaan Lampung untuk melahirkan karya-karya yang bisa dirujuk kebenarannya dan menjadi referensi bagi kita yang ingin memperdalam Kebudayaan Lampung.

* Dengan sedikit perubahan, dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
0 Responses to "Esai: Politisasi Masyarakat Adat Lampung*"

No comments:

Post a Comment