Sunday, April 4, 2010

KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG

MENGGALI KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG
UNTUK PENANGGULANGAN PROBLEMA SOSIAL

Oleh Fachruddin
Peneliti Independen PNS Pada Dinas Pendidikan
Provinsi Lampung.

Makalah disampaikan kepada peserta pelatihan Pemberdayaan Sosial Korban Bencana Sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Lampung di Hotel Arinas Bandar Lampung pada tanggal 28 Mei 2009.


Pengantar.

Problema sosial masyarakat muncul sebagai akibat banyak hal , salah satunya adalah akibat bencana dan bencana alam ataupun bencana sosial. Semua bencana yang besar dan massal akan memiliki dampak sosial yang sangat serius. Sebagai bencana, yang kedatangannya sering dianggap tiba tiba mengakibatkan sulitnya antisipasi yang dilaksanakan. Padahal pada umumnya bencana bagaikan jebolnya sebuah tanggul bendungan air, sebenarnya kedatangan air terproses tetes demi tetes, dan tanggul tergerus senti demi senti bahkan mili demi mili. Tetapi apa yang terjadi tidak terantisipasi dengan baik, kita baru bergerak setelah malapetaka benar benar terjadi. Padahal kita tahu dampak social dari suatu bencana sulit diobati. Antisipasi ini setidaknya harus meliputi dua hal, yaitu antisipasi untuk menjaga agar jangan sampai terjadi bencana, atau bila bencana terlanjur terjadi maka bagaimana upaya agar penderitaan bagi yang tertimpa bencana jangan sampai terlalu pedih.

Bencana lebih sering diakibatkan oleh prilaku manusia, baik karena human eror, maupun adanya sikap sikap dan prilaku salah dan kurang terpuji, seperti keserakahan ataupun ketelodoran akibat kurangnya rasa bertanggung jawab, tidak professional dan lain sebagainya.

Masing masing daerah termasuk Lampung ini sebenarnya memiliki keraifan local untuk mengantisipasi itu semua. Pada umumnya kita sepakat bahwa yang dimaksud kearifan lokal di Lampung adalah “Piil Pesenggiri”. Piil Pesenggiri merupakan sebuah filsafat masyarakat daerah Lampung. Filsafat ini diajarkan oleh masyarakat Lampung dengan cara menyelenggarakan berbagai upacara adat, khususnya upacara daur hidup.

Masyarakat Lampung sebenarnya memiliki berbagai macam upacara daur hidup, mulai dari upacara kelahiran, upacara masa kanak kanak, upacara masa remaja, upacara masa dewasa, upacara masa perkawinan, upacara kehamilan, hingga upacara kematian. Namun lama kelamaan upacara upacara daur hidup tersebut semakin jarang diselenggarakan oleh pendukung budaya ini, akibatnya adalah unsur unsur piil pesenggiri semakin jarang terajarkan kepada generasi penerus. Akhirnya falsafah yang sungguh sungguh memiliki nilai luhur ini menjadi sebuah mutiara yang tenggelam dalam Lumpur.


Kitab Kuntara Raja Niti (KRN).

Di lingkungan masyarakat adat Lampung beredar kitab adat yang dikenal dengan sebutan Kitab Kuntara Raja Niti (KRN). Nampaknya kitab Kuntara Raja Niti ini patut kita duga merupakan pegangan untuk para pimpinan dalam meniti berbagai titian. Katakanlah semacam kitab “Wulang Rech” atau petunjuk bagi para raja. Dalam masyarakat lampung istilah ”titian” adalah merupakan sarana sederhana untuk melintasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang dipisahkan oleh semacam gap. Titian adalah sarana dan metode untuk mengantisipasi garis pemisah tersebut.

Titian juga merupakan sinonim dari ”jan” atau ”ijan” yang berfungsi menghubungkan antara tempat atau bidang yang rendah ke tempat atau bidang yang lebih tinggi dan sebaliknya. Sehingga perbedaan perbedaan tidak lagi menjadi permasalahan untuk berbagai kepentingan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk itu berbagai macam ragam titian yang dibutuhkan, yang dalam bahasa Lampung disebut ”Titi Gementi” atau tatatiti.

Para peneliti menemukan istilah ”Piil” dalam kitab Kuntara raja Niti. Disebutkan bahwa piil itu terdiri dari lima perkara (1) laki laki piilnya adalah perempuan, (2) perempuan piilnya adalah uang, makanan dan perhiasan, (3) anak laki laki piilnya adalah pada perkataan dan (4) anak perempuan piilnya adalah kelakuan. Piil dalam kitab itu berarti harga diri. Kuntara Raja Niti oleh seorang pakar hukum adat budaya Lampung Prof. Hilman Hadikusuma, SH. (alm) adalah kitab yang masih diwarnai kepercayaan animisme dan Hindu.


Piil Pesenggiri.

Selain Piil, masyarakat lampung mengenal istilah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini menjadi bahan kajian skripsi yang disusun oleh Rizani Puspawijaya tetkala menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas lampung tahun 1966. sejak saat itu piil pesenggiri telah dianggap juga menjadi milik para akademisi. Sejak saat itu juga Prof. Hilman Hadikusuma.SH. dan beberapa penulis lainnya mulai gencar memperkenalkan Piil Pesenggiri.

Banyak pihak yang terperanjat dengan munculnya kata pesenggiri dalam Piil Pesenggiri. Yang diusung oleh Rizani Puspawijaya. Penulispun berusaha mencari dari mana kata pesenggiri ini berasal. Pada akhirnya penulis menemukan adanya istilah ”pasanggiri” pada bahasa Sunda Kuno yang artinya adalah ”lomba” atau kontes.

Kedekatan hubungan Kesultanan Cirebon dan Banten dengan tokoh tokoh masyarakat adat Lampung yang pada saat itu telah mulai memeluk agama Islam. Yang menurut beberapa literatur bahwa Cirebon Banten bergiat membantu agar masyarakat Lampung dapat mendirikan Kesultana Islam Lampung. Maka penulis menduga bahwa modal dasar pendirian kesultanan Islam Lampung adalah sebuah falsafah yang cerdas yang mereka namakan Piil Pesenggiri.

Dalam al-Quran kita mengenal istilah ”Fastabiq al-Khoirot” yang artinya ’berlomba dalam kebaikan’. Berat dugaan penulis kata pesenggiri pada hakekatnya adalah terjemahan dari kata fastabiq (sabaqo). Yang oleh tokoh tokoh yang menyebarkan Islam di Lampung diterjemahkan menjadi kata pasanggiri (Banten) atau pesenggiri (Lampung). Hal yang biasa terjadi atas dua daerah yang bersentuhan, maka akan terjadi kognit. Kalau seandainya dugaan ini benar, maka berarti piil pesenggiri ini sebenarnya terinspirasi atas kepemelukan mereka terhadap agama Islam. Bukan seperti dugaan Hilman Hadikusuma yang mengatakan pesenggiri dari nama pasukan perang di Kerajaan Bali (Pasunggiri).

Menggali Nilai Nilai Piil Pesenggiri.

Rizani Puspawijaya dan Hilaman Hadikusuma, meperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa falsafah piil pesenggiri yang diketemukan terdiri dari (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, (4) sakai sambaian. Kita sangat berterima kasih kepada dua tokoh ini, berkat jasa keduanya istilah piil pesenggiri masih mengumandang. Walaupun keduanya gagal mensosialisasikan nilai nilai ini pada dialog kebudayaan daerah Lampung tahun 1991, suatu kegagalan yang tak boleh terulang lagi.

Tibalah saatnya bagi kita untuk melanjutkan apa yang telah dirintis oleh oleh Rizani dan Hilman Hadikusuma, saatnya menggali nilai nilai luhur budaya bangsa Lampung, sebagai kearifan lokal ini untuk kita kembangkan dan dimanfaatkan untuk mengantisipasi problema sosial baik dampak bencara, maupun kemajuan sain dan teknologi. Marilah kita gali piil pesenggiri ini dengan memanfaat keluasan hati, sehingga kita mampu mengangkat mutiara mutu manikam yang selama ini terendam bersamaan dengan semakin langkanya upacara daur hidup yang dahulu menjadi media sosialisasi piil pesenggiri.

Untuk itu tentu saja kita harus memanfaatkan berbagai peluang untu melakukan penggalian nilai nilai piil pesenggiri dan mensosialisasikannya. Tentu suasa telah berubah, kebutuhan dan problema sosial masyarakat semakin komplek. Kompleksitas permasalahan membutuhkan kreatifitas kita bersama, sehingga piil pesenggiri ini akan semakin fungsional.

Nemui Nyimah.

Nemui nyimah terdiri dari kata, yaitu kata nemui dan kata nyimah. Nemui yang berasal dari kata temui artinya tamu, tepat sekali kalau falsafah tamu ini kita kembangkan. Istilah tamu erat sekali dengan kegiatan saling memulyakan, saling menghormati. Tidak berlebihan rasanya kalau eksistensi seseorang di mulai dari ketika seseorang itu mampu menghargai orang lain, dan dihargai oleh orang lain.

Sikap saling menghargai ini dilaksanakan dengan menegakkan ”nyimah” yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Setiap seseorang itu baru eksis manakala telah mampu berbuat santun, baik santun terhadap lingkungan alamnya, maupun lingkungan sosialnya. Sungguh tepat manakala piil pesenggiri menjadikan unsur nemui nyimah ini sebagai tonggak eksistensi seseorang.

Seseorang dianggap ada manakala ia telah berbuat bagi lingkungannya, tentu saja dengan suatu rumusan ”Siapa Berbuat Apa”. Sebelum seseorang berbuat sesuatu maka berarti belum eksis. Apa yang diperbuat tentunya adalah sesuatu yang bermanfaat bukan saja bermanfaat bagi dirinya, orang orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, maupun lingkungan dan masyarakat luas lainnya.

Manakala setiap seseorang memiliki andil untuk mengakomodir hajat hidup manusia banyak, otomatis berarti telah berperan pula untuk mengantisipasi dan menanggulangi problema sosial masyarakat yang semakin lama semakin komplek ini. Persoalan itu menurut piil pesenggiri adalah dengan cara setiap seseorang harus memiliki kemampuan mengeluarkan sebuah produk (produktif)

Nengah Nyappur.

Terdiri dari dua kata yaitu kata nengah dan kata nyappur. Setidaknya ada tiga macam arti nengah, yaitu : kerja keras, berketerampilan dan pertandingan. Yang ketiga tiganya bernuansa persaingan (lomba), namun lomba tersebut guna mencari yang terbaik, tercepat, terbanyak, terkuat bagi kepentingan masyarakat (nyappur), buykan untuk pribadi.

Seseorang yang sedang bekerja di ladang, sawah, laut disebut nengah, orang yang memiliki ketarmpilan untuk menari, bernyanyi dan mampu memperagakan keterampilannya itu dalam bahasa Lampung disebut nengah, seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertanding dalam sebuah perlombaan ataupun sayembara juga disebut nengah. Tetapi dalam waktu yang samaan kerja keras, keterampilan dan daya tanding seseorang itu diniatkan bagi kepentingan masyarakat luas.

Upaya piil pesenggiri untuk mengembangkan daya saing setiap seseorang dapat diduga adalah merupakan kelanjutan dari unsur yang pertama, nemui nyimah (produktie), yang harus dilanjutkan dengan kemampuan bersaing (kompetitif). Sikap kompetitif setelah mampu produktif adalah sebuah keniscayaan.

Semangat kompetisi adalah garansi kemandirian seseorang. Kemandirian adalah sesuatu yang sangat penting dalam menanggulangi bencana sosial dan persoalan sosial lainnya, tetntu saja membantu mereka yang memiliki semangat dan kemampuan kemandiriasn akan lebih mudah ketimbang membantu mereka yang tidak memiliki sifat dan semangat kemandirian.





Sakai sambaian.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai yang artinya terbuka dan kata sambai/ sumbai yag artinya lihat, amati dan pelihara. Sikap terbuka merupakan sikap sikap yang sangat dibutuhkan untuk melakukan berbagai perubahan. Peruahan perubahan adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap kelompok manusia yang menginginkan kemajuan. Terbuka bermakna siap untuk dikoreksi, siap untuk menerima berbagai masukan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, karakter serta nilai nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut.

Tetapi dalam waktu yang bersamaan menurut piil pesenggiri, setiap seseorang harus memiliki sikap yang sambai atau sumbai. Sambai bermakna siap untuk mengeritik, siap untuk menilai, siap meberi masukan, serta siap untuk memelihara.

Dengan demikian maka berarti piil pesenggiri telah mendorong setiap seseorang untuk setiap saat siap menolong orang lain, dan terbuka pula disaat butuh pertolongan. Siap menolong artinya terampil untuk memahami apa kebutuhan ornag lain, serta bagaimana cara membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan itu seoptimal mungkin.. Dalam waktu yang bersamaan kalaupun ia membutuhkan pertolongan dari orang lain maka ia akan meminimalisir kebuthan atas pertolongan itu. Karena dia siap untuk mandiri.

Juluk Adek.

Terdiri dari dua kata yaitu juluk, juluk adalah nama baru yang diberikan dengan upacara kepada anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan untuk menyusun cita citanya sebagai rencana hidupnya. Dan adek atau adok yaitu nama baru yang diberikan kepada seseorang dengan upacara kebesaran (”Cakak Pepadun”) yang diselenggarakan karena yang bersangkutan mampu meraih cita citanya itu.

Dengan demikian piil pesenggiri menggariskan bahwa dalam hidup manusia ada tiga momen penting, ketiga momen itu ditandai dengan adanya perubahan perubahan atau pembaharuan pembaharuan. Ketika seseorang dilahirkan adalah momentum penting, sebuah perubahan besar, yaitu dari tiada menjadi ada. Momentum yang kedua adalah seseorang anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan merumuskan cita citanya, tujuan hidupnya, pemantapan semangat dan keinginan kerasnya. Momentum yang ketiga adalah ketika seseorang ternyata berhasil mencapai dan merealisasikan cita citanya.

Nilai pendidikan yang paling penting dalam piil pesenggiri pada unsur yang satu ini adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pembaharuan pembaharuan. Dalam dinamika hidup manusia setiap seseorang, generasi, komunitas akan membutuhkan pembaharuan pembaharuan dalam menuju kesempurnaan hidupnya. Oleh karenanya maka setiap seseorang justeru diharuskan memiliki program sendiri untuk melakukan perubahan tersebut hingga mencapai menusia paruprna.

Egaliter.

Piil pesenggiri mengarahkan setiap seseorang untuk bersikap yang egaliter, unsur unsur agliterianisme pada piil pesenggiri tergambar dari pasangan kata pada semua unsur unsur piil pesenggiri itu sendiri. ’Namui – Nyimah’ yang kita tafsirkan sebagai produktif, secara gamblang menggambarkan sikap egaliter itu. Falsafah ’tamu’ memang mengajarkan tuan rumah untuk berlaku hormat kepada tamu, tetapi keduanya, kedua belah pihak harus ’simah’ atau santun, tidak ada atasan tidak ada bawahan, yang satu tidak lebih baik dari yang, tetapi siapa yang lebih mampu berbuat simah maka dialah yang lebih mulia.

’Nengah - Nyappur’, yang kita tafsirkan sebagai kemampuan bertanding (kompetitif), semangat bertanding juga menggambarkan keharusan memiliki sikap yang egaliter. Sikap egaliter ini menujukkan kepada kita bahwa piil pesenggiri ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap seseorang harus menekan serendah rendahnya rasa ketergantungan kepada pihak lain. Setiap seseorang harus mempunyai potensi lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapui seseorang harus memiliki fungsi sosial yang tinggi.

’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, juga menggambarkan sikap yang egaliter, karena bahasa yang diapakai sakai yang berarti siap menerima dan sambai yang berarti siap memberi. Seseorang tidak dibenarkan hanya dengan siap memberi saja atau hanya siap menerima. Tetapi hiduplah dalam kesetaraan, egaliter. Sikap egaliter pada masyarakat akan memudahkan penanggulangan dan penyelesaian masalah masalah sosial di masyarakat, secara murni, bukan semu.

Kemandirian.

Piil Pesenggiri sebagai kearifan lokal masyarakat Lampung juga mendorong agar setiap seseorang hidup secara mandiri. Hal ini bisa kita lihat dari unsur unsurnya. ”Nemui –Nyimah” secara jelas mengahruskan setiap seseorang itu produktif. Bahkan menurut piil pesenggiri bahwa eksistensi seseorang hendaknya dimulai tetkala seseorang itu telah mampu memproduksi sesuatu.

’Nengah - Nyappur’ yang kita tafsirkan sebagai daya saing adalah adalah merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi problema sosial masyarakat. Masyarakat yang sedang menghadapi persoalan sosial memang membutuhkan semangat dan kemampuan bersaing, karena dengan kemampuan bersaing itulah masyarakat akan dapat memaksimalkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan baik dirinya maupun orang lain.

’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, adalah merupakan sikap yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi masalah sosial, sikap koperatif ini perlu dikembangkan di kalangan masyarakat, karena setiap seseorang pasti akan membutuhkan orang lain, setiap komunitas juga akan membutuhkan komunitas yang lainnya pula. Dengan demikian falsafah piil pesenggiri ini sangat realistis dalam menganalisis keadaan.

’Juluk - Ade’ yang kita tafsirkan sebagai inovatif, juga merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam penanggulangan masalah masalah sosial yang menimpa masyarakat. Menurut falsafah piil pesenggiri maka setiap seseorang harus memiliki program untuk melakukan inovasi diri. Seperti diuraikan tergdahulu bahwa setidaknya setiap seseorang menetapkan tiga tajhap dalam pelaksanaan inovasi.

Piil Pesenggiri sebagai Etika.

Falsafah piil pesenggiri adalah falsafah etika. Etika adalah suatu ilmu yang membahas berbagai tawaran untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian bebarti piil pesenggiri adalah salah satu model yang ditawarkan kepada masyarakat agar masyarakat mencapai kebahagiaan yang diidam idamkan.

Dalam hal ini piil pesenggiri menawarkan adanya empat faktor yang harus dilaksanakan, dicapai oleh seseorang sehingga kebahagiaan itu akan dapat diraih, yaitu : produktif, kompetitif, kooperatif dan inovatif. Itulah yang selama ini di tawarkan oleh nilai nilai luhur budaya masyarakat lampung yang selanjutnya kita kategorikan sebagai kearifan lokal, kearifan tradisional masyarakat Lampung.

Tawaran piil pesenggiri selain sangat logis, juga nampaknya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman modern. Sulit mencari bandingannya nilai nilai yang dikembangkan pada era sezaman di tanah air ini.

Bayangkan pada saat itu mereka telah berfikir bahwa untuk menuju kebahagiaan seseorang mampu memproduksi sesuatu yang mereka butuhkan dalam jumlah yang lebih agar dapat menyantuni (nemui nyimah), produk produk yang dikeluarkan harus mampu bersaing dipasaran (nengah nyappur), namun walaupun demikian kita masih membuthkan orang lain, maka lakukanlah kerjasama kerjasama dengan pihak lain (sakai sambaian), dan juga jangan lupa selalu memperbahruai produk produk itu secara kreatif, agar produk itu selalu diminati masyarakat (juluk adek).




Demokratis.

Piil pesenggiriu juga adalah falsafah yang terbilang demokratis. Ciri ciri demokratisnya akan telihat jelas pada anjuran anjuran untuk membolehkan setiap seseorang bersaing secara baik (nengah nyappur) untuk mensosialisasikan pikiran pikiran, pendapat dan aspirasi (nemui nyimah), serta mengadakan kerjasama kerjasama ataupun koalisis dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan (sakai sambaian), guna melaksanakan atau melanjutkan, pembangunan bagi masyarakat luas, terutama masyarakat kecil, secara lebih cepat dan lebih baik.


Penutup.

Demikian apa yang dapat kami sampaikan dalam acara ini semoga bermanfaat, dan tak lupa pula kami mengucapkan maaf bila ternyata apa yang kami sampaikan kurang berkenan.

2 comments:

  1. jika dilampung kearifan lokal itu ialah piil pesenggiri dan itu yang bisa untuk mengantisipasi terjadinya bencana baik bencana sosial, bencana alam dan yang lainnya menurut saya sah saja bahkan, jika dilampung memiliki kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana pastinya tidak akan muncul problema masyarakat yang serius.
    memang sebaiknya pada masyarakat lampung khususnya suku lampung, harus benar-benar menanamkan dalam dirinya piil pesenggiri itu sendiri.
    walaupun tanpa mengadakan upacara daur hidup asalkan piil pesenggiri itu bisa dipahami dan di tanamkan maka falsafah hidup masyarakat lampung yang memiliki nilai luhur itu (piil pesenggiri) menjadi sebuah mutiara yang tidak lagi tenggelam dalam lumpur dan akan terlihat keindahan yang ada pada mutiara itu sendiri (yaitu nilai luhur dalam piil pesenggiri itu sendiri).

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas komentarnya, Benar bahwa Piil pesenggiri adalah sebuah pandangan falsafah masyarakat Lampung, sebagai falsafah maka sulit rasanya bila hanya disosialisasikan hanya melalui upacara daur hidup karena upacara itu sebagian semakin semakin langka dilaksanakan, jadi pendidikan piil pesenggiri hendasknya dilakukan melalui lembaga pendidikan

    ReplyDelete