(KETIKA PEMERINTAH MENAFSIR ULANG)
FACHRUDDIN
Juluk adek, salah satu unsur dari piil pesenggiri, yang memicu perdebatan dalam Dialog Kebudayaan tahun 1988. Pada saat itu juru bicara hanya memperkenalkan sebatas praktek ‘upacara adat’ semata. Masa remaja seseorang diupacarai untuk mendapatkan nama juluk, dan pada masa dewasa mendapatkan gelar ata adek/adok, tentu dengan upacara pula. Ada semacam kelalaian yang dilakukan pada saat itu, yaitu ketidak konsisten-an narasumber. Di satu pihak mengajak seluruh masyarakat Lampung untuk menerima piil pesenggiri, tetapi tampa disadari uraian penjelasan dari piil pesenggiri justeru mempersempit peluang kelompok kelompok untuk menerimanya.
Pada saat itu makna filosofi dari juluk adek nyaris tidak tersentuh. Piil pesenggiri yang sejatinya adalah falsafah itu justeru lebih banyak dicontohkan dengan beberapa upacara daur hidup, yang upacara itu lazim diselenggarakan pada beberapa daerah daerah tertentu saja. Itulah sebabnya lantas ada salah seorang peserta yang mengatakan “ … Jangan mengaku sebagai orang Lampung, bila bejuluk tidak beadokpun tidak …” karena untuk disebut sebagai orang Lampung harus memiliki nama juluk dan nama adek, serta tidak gampang untuk menjadi orang Lampung.
Kalau juluk adek hanya diartikan sedangkal itu, maka berarti sebagian besar peserta dialog kebudayaan tidak diakui ke-Lampung-annya. Lalu mengapa pula para narsumber dan beberapa tokoh pada saat itu mengajak untuk menerima piil pesenggiri sebagai kekayaan bersama. Dan mengajak Pemerintah untuk membangun masyarakat Lampung ini dengan piil pesenggiri sebagai nilai nilai luhurnya.
Tentu saja sebuah falsafah harus dibicarakan dengan pendekatan filosofis, nilai yang terkandung dalam sebuah filsafat sebenarnya jauh lebih luas dibanding sebuah upacara ritual sekalipun. Sebenarnya silang sengketa pendapat pada saat itu dapat dihindari manakala peserta dialog diajak memahami sebuah falsafah, apalagi falsafah bersinonim ’wisdom’ yang bermakna bijaksana. Sehingga kedalaman nilai juluk adek dan piil pesenggiri tertangkap secara mendalam pula.
Itulah sebabnya Kanwil Depdikbud pada saat itu merasa berkewajiban untuk menafsirkan secara filosofis. Berfikir secara filosofis adalah berfikir secara radic atau mendalam. Ciri berfikir filosofis adalah kebebasan, selama masih menggunakan kaidah kaidah cara berfikir yang benar, serta tidak keluar dari inti kandungan nilai nilai yang selama ini dianut masyarakat. Kita harus mengurai mana adat dan mana budaya.
Silakan saja komunitas adat menyelenggarakan upacara dalam melaksanakan juluk adek. Tetapi masyarakat Lampung dalam skala yang lebih luas perlu diajak memahami secara arif akan kandungan juluk adek tersebut. Sehingga tidak perlu mempersoalkan bagiaman komunitas adat tertentu dalam menyelenggarakan upacara pengambilan nama juluk dan nama adek atau gelar keadatan. Dan juga tidak mempersoalkan komunitas yang telah meninggalkan upacara upacara semacam itu.
Tetapi juluk adek memang memiliki makna filosofis yang sangat dalam, dan sangat layak diwariskan, serta berpeluang untuk diterima oleh semua pihak. pendekatan filosofis dapat ditelusuri melalui bahasa, bukankah bahasa merupakan salah satu cabang dari filsafat, artinya dari bahasa juluk adek sangat mungkin untuk diuraikan.
Juluk adek yang terdiri dari dua kata itu. Juluk adalah nama baru yang diberikan kepada seorang anak, tetkala anak yang bersangkutan telah mampu merumuskan cita citanya. Sebagaimana kita ketahui lazimnya seorang anak yang baru dilahirkan, maka kedua orang tuanya akan bersegera memberikan sebuah nama kepada anak tersebut. Tetapi ketika anak tersebut telah mampu merumuskan cita citanya, maka anak tersebut layak diberikan nama baru, nama tersebut adalah nama juluk.
Nama juluk adalah nama untuk merayakan sebuah perubahan besar yang terjadi pada seorang anak, karena dengan kemampuan seorang anak merumuskan cita citanya maka berarti ia telah memiliki kemampuan merespon lingkungannya serta keberadaan dirinya. Dengan kemampuan merespon lingkungan itulah ia akan memposisikan dirinya. Itulah sebabnya nama juluk selalu disesuaikan dengan cita cita yang berhasil dirumuskannya.
Nama juluk merupakan simbol simbol akan keinginan seorang untuk lebih maju dan berhasil dibanding keadaan orang tua dan lingkungannya sekarang. Seorang anak layak mendapat nama juluk ’Gedung Itten” manakala ia memiliki cita cita ingin memiliki rumah besar, gedung permanen, yang bertatahkan intan berlian. Ini merupakan keinginan seorang anak yang tertangkap oleh orang tua atau orang dewasa yang memperhatikan perkembangannya.
Tetapi idealnya nama juluk adalah sebagai simbol atau peran sosial yang akan diperankan oleh sianak kelak setelah dewasa. Itulah sebabnya nama juluk juga akan diwarnai oleh konsep orang tua dan lingkungannya, dan bahkan nama jukuk itu juga lebih sebagai konsep akan diarahkan kemana kelak itu akan dididik. Dengan segala konsekuensinya yang tak akan dilepaskan dari orang tua dan lingkungannya. Jasi nama juluk pada hakekatnya adalah nama idealita, bagi sianak. Dan orang tua serta lingkungannya harus mengkondisikannya, agar sebuah idealita menjadi realita adanya.
Bagi seorang dewasa yang telah mencapai cita citanya atau mampu mewujudkan konsep yang dirumuskan oleh orang tua serta lingkungannya, maka yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan gelar keadatan. Tetapi sekali lagi gelar keadatan itu esensinya adalah simbol keberhasilan. Yang paling penting adalah peran sosial yang mampu dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, baik dengan atau tampa gelar sekalipun.
Upacara keadatan seperti ’Cakak Pepadun’ tentu saja menjadi pengikat erat akan komitmen yang bersangkutan yang kini telah tercapai, yang harus dipertahankan dan bahkan masih harus dikembangkan lagi. Formalitas upacara keadatan yang dahulu terbilang sakral itu jelas memiliki sisi positif yang jelas. Terlepas dari biaya yang harus dikeluarkan.
Makna gelar atau adok menggambarkan besarnya tanggung jawab moral dan sosial seseorang terhadap lingkungannya. Dan rasa tanggung jawab moral dan sosial adalah di atas segala galanya. Dan itu juga merupakan simbol dukungan komunitas lingkungan tersebut, yang etntu saja lebih awal merasakan kemanfaatan atas kehadirannya.
Juluk adek adalah simbol keparipurnaan seseorang, itulah sebabnya Tim Kanwil Depdikbud bersikukuh meletakkannya pada puncak falsafah piil pesenggiri, bukan tiang pancang eksistensi diri. Karena tiang pancang eksistensi diri adalah nemui nyimah, dengan segala kemampuannya untuk memulai interaksi antar sesama. Simbol keparipuraan seseorang dalam piil pesenggiri, bukan berarti seseorang itu mencapai puncak lalu TurĂn atau berakhir, konsep itu adalah sebuh siklus.
Nemui nyimah – nengah nyappur – sakai sambaian – juluk adek, bukanlah merupakan batas batas perjalanan, tetapi adalah sebuah siklus, dan siklus siklus berikutnya adalah lebih berkualitas. Itulah sebabnya juga didapatkan titi gemeti. Sebuah tata titi, atau titian yang dapat menghantar dari satu posisi ke posisi yang lain yang semula terpisahkan oleh sesuatu. Titi ini juga berarti jan atau ijan yang akan mampu menghantarkan seseorang dari tempat yang rendak ke tempat yang lebih tinggi.
Juluk adek secara sederhana adalah nama nama baru yang diberikan ketika seseorang mencapai prestasi baru, itulah sebabnya kita memahami juluk adek sebagai sebuah inovasi. Sebuah inovasi adalah sebuah siklus. Dalam hidup manusia itu siklus adalah sesuatu yang berlangsung tampa akhir. Karena perputaran juga bermakna peralihan karena dapat dilanjutkan oleh yang lain (titi gemeti) Titi gemeti secara luas akan bermakna pembelajaran. Itulah kandungan juluk adek secara filosofis.
Tafsir filosofis adalah tafsiran tampa batas, tidak dibatasi oleh kenyataan operacional yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keterbatasan lapangan. Tafsir filosofis akan memperkaya hazanah. Sedang tafsir berdasarkan operacional justeru membuat kandungan yang demikian luas dan mendalam menjadi dangkal. Pendangkalan piil pesenggiri adalah sesuatu yang sejatinya kita hindari.
Sunday, April 11, 2010
Friday, April 9, 2010
Sunday, April 4, 2010
LAMPUNG BERBUDAYA EGALITER
Semangat egaliter pada pendukung dan pelaku budaya Lampung memang mengesankan penonjolan klaim. Tetapi bukan bererati budaya Lampung dibentuk dengan kelaim yang bisa benar atau bisa salah, lalu kita menyerahkannya kepada perjalanan sejarah. Bisa saja pengamat memvonis, tetapi itu bukan tindakan yang bijak dan dapat diwariskan kepada anak didik.
Niat Budi P Hatees atau Budi Hutasuhut untuk menulis dan menerbitkan buku tentang Lampung yang bahannya diambil dari berbagai penulis yang tulisannya pernah dimuat di media massa atau belum dipublikasikan saya dukung seratus persen, tetapi mengecap tulisan tulisan yang sebagain dipolemikkan itu hanya sekedar hasil klaim semata jelas hal ini harus didiskusikan terlebih dahulu. Karena memvonis budaya Lampung hanya sekedar kelaim belaka nampaknya kurang realistis. Apalagi tulisan tersebut dimaksudkan akan untuk dijadikan bahan pelajaran di sekolah formal pada tingkat dasar dan menengah. Bahan pelajaran yang diambilkan dari bahan yang masih kontroversi akan bertentangan dengan kaidah pembelajaran.
Secara geografis Lampung ini memiliki wilayah yang jelas, serta penghuninyapun jelas. Dan budayapun sejatinya juga jelas. Heteroginitas Lampung yang juga egaliterian lalu melahirkan keanekaragaman menurut hemat saya itu semua masih berada pada koridor nuansa bening, bukan sesuatu yang keruh, kusut yang yang tak mungkin dapat diuraikanm. Hanya saja itu membutuhkan waktu. Memang dari sudut pandang tertentu akan membuat kita menyerah, tetapi kepasrahan itu tak layak untuk diwariskan atau diajarkan kepada generasi muda yang sedang mencari jatidirinya.
Saya lebih memandang keanekaragaman di lampung adalah sesuatu yang wajar, yang kita harapkan sekarang agar pendukung budaya Lampung mampu mencari dan menemukan titik temu, sehingga keanekaraggaman merupakan kekayaan semata. Saya tidak menutup mata akan adanya pihak pihak yang ingin memaksakan pendapatnya untuk diakui sebagai pendapat yang paling benar. Tetapi itu wajar saja, asalkan tidak berlarut larut, karena akan merugikan generasi mendatang. Tetapi bukanlah berarti kalim itu yang harus kita tangkap sebagai inti budaya Lampung, karena hanya merupakan proses semata.
Karakter egaliterian di lampung yang didorong oleh unsur piil pesenggiri ”Nengah Nyappur” bukan sebuah ’aib, melainkan kekayaan jua adanya. Tetapi tidak semua budaya daerah memiliki karakter yang egaliterian, karena ada juga budaya yang sangat dialogis, yang memiliki kemampuan mengaksep sesuatu yang abu abu. Tetapi ini juga bukan merupakan ’aib. Saya ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah kekayaan.
Kalaupun kita ingin mewariskan sesuatu melalui pendidikan formal pada level pendidikan dasar dan menengah, maka yang harus kita wariskan adalah nilai nilai (value) yang mampu membimbing peserta didik kedalam sikap sikap (attitude) yang benar. Oleh karena bahan ajarpun harus klear. Bukan sesuatu yang kontroversial dan bukan pula hasil klaim semata, yang harus kita serahkan pula kepada sejarah untuk menghakiminya.
Tetapi kalau yang kan ditanamkan adalah semangat egaliter melalui budaya Lampung, maka itu adalah sesuatu yang positif, generasi muda kita membutuhkan semangat egaliter ini, apalagi seperti dalam Piil Pesenggiri semangat egaliter ini dikuatkan dengan dua kata, yaitu Nengah dan Nyappur, nengah yang juga berarti kerja keras, berketerampilan selain bertanding atau bersaing yang disandingkan dengan nyappur yang artinya tenggang rasa. Dengan demikian kepada peserta didik kita buykan mewariskan sebuah pertengkaran tetapi justeru mewariskan sesuatu yang bernilai.
Tetapi kita nelum melihat bagaimana sebenarnya gagasan Budi Hutasuhut dalam menulis buku ajar. Tetapi yang jelas pasti yang bersangkutan memang butuh masukan dari berbagai pihak. Terimalah ini sebagai sebuah masukan. Terlepas dari seberapa benar kebenarannya. Terima kasih.
KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG
MENGGALI KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG
UNTUK PENANGGULANGAN PROBLEMA SOSIAL
Oleh Fachruddin
Peneliti Independen PNS Pada Dinas Pendidikan
Provinsi Lampung.
Makalah disampaikan kepada peserta pelatihan Pemberdayaan Sosial Korban Bencana Sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Lampung di Hotel Arinas Bandar Lampung pada tanggal 28 Mei 2009.
Pengantar.
Problema sosial masyarakat muncul sebagai akibat banyak hal , salah satunya adalah akibat bencana dan bencana alam ataupun bencana sosial. Semua bencana yang besar dan massal akan memiliki dampak sosial yang sangat serius. Sebagai bencana, yang kedatangannya sering dianggap tiba tiba mengakibatkan sulitnya antisipasi yang dilaksanakan. Padahal pada umumnya bencana bagaikan jebolnya sebuah tanggul bendungan air, sebenarnya kedatangan air terproses tetes demi tetes, dan tanggul tergerus senti demi senti bahkan mili demi mili. Tetapi apa yang terjadi tidak terantisipasi dengan baik, kita baru bergerak setelah malapetaka benar benar terjadi. Padahal kita tahu dampak social dari suatu bencana sulit diobati. Antisipasi ini setidaknya harus meliputi dua hal, yaitu antisipasi untuk menjaga agar jangan sampai terjadi bencana, atau bila bencana terlanjur terjadi maka bagaimana upaya agar penderitaan bagi yang tertimpa bencana jangan sampai terlalu pedih.
Bencana lebih sering diakibatkan oleh prilaku manusia, baik karena human eror, maupun adanya sikap sikap dan prilaku salah dan kurang terpuji, seperti keserakahan ataupun ketelodoran akibat kurangnya rasa bertanggung jawab, tidak professional dan lain sebagainya.
Masing masing daerah termasuk Lampung ini sebenarnya memiliki keraifan local untuk mengantisipasi itu semua. Pada umumnya kita sepakat bahwa yang dimaksud kearifan lokal di Lampung adalah “Piil Pesenggiri”. Piil Pesenggiri merupakan sebuah filsafat masyarakat daerah Lampung. Filsafat ini diajarkan oleh masyarakat Lampung dengan cara menyelenggarakan berbagai upacara adat, khususnya upacara daur hidup.
Masyarakat Lampung sebenarnya memiliki berbagai macam upacara daur hidup, mulai dari upacara kelahiran, upacara masa kanak kanak, upacara masa remaja, upacara masa dewasa, upacara masa perkawinan, upacara kehamilan, hingga upacara kematian. Namun lama kelamaan upacara upacara daur hidup tersebut semakin jarang diselenggarakan oleh pendukung budaya ini, akibatnya adalah unsur unsur piil pesenggiri semakin jarang terajarkan kepada generasi penerus. Akhirnya falsafah yang sungguh sungguh memiliki nilai luhur ini menjadi sebuah mutiara yang tenggelam dalam Lumpur.
Kitab Kuntara Raja Niti (KRN).
Di lingkungan masyarakat adat Lampung beredar kitab adat yang dikenal dengan sebutan Kitab Kuntara Raja Niti (KRN). Nampaknya kitab Kuntara Raja Niti ini patut kita duga merupakan pegangan untuk para pimpinan dalam meniti berbagai titian. Katakanlah semacam kitab “Wulang Rech” atau petunjuk bagi para raja. Dalam masyarakat lampung istilah ”titian” adalah merupakan sarana sederhana untuk melintasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang dipisahkan oleh semacam gap. Titian adalah sarana dan metode untuk mengantisipasi garis pemisah tersebut.
Titian juga merupakan sinonim dari ”jan” atau ”ijan” yang berfungsi menghubungkan antara tempat atau bidang yang rendah ke tempat atau bidang yang lebih tinggi dan sebaliknya. Sehingga perbedaan perbedaan tidak lagi menjadi permasalahan untuk berbagai kepentingan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk itu berbagai macam ragam titian yang dibutuhkan, yang dalam bahasa Lampung disebut ”Titi Gementi” atau tatatiti.
Para peneliti menemukan istilah ”Piil” dalam kitab Kuntara raja Niti. Disebutkan bahwa piil itu terdiri dari lima perkara (1) laki laki piilnya adalah perempuan, (2) perempuan piilnya adalah uang, makanan dan perhiasan, (3) anak laki laki piilnya adalah pada perkataan dan (4) anak perempuan piilnya adalah kelakuan. Piil dalam kitab itu berarti harga diri. Kuntara Raja Niti oleh seorang pakar hukum adat budaya Lampung Prof. Hilman Hadikusuma, SH. (alm) adalah kitab yang masih diwarnai kepercayaan animisme dan Hindu.
Piil Pesenggiri.
Selain Piil, masyarakat lampung mengenal istilah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini menjadi bahan kajian skripsi yang disusun oleh Rizani Puspawijaya tetkala menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas lampung tahun 1966. sejak saat itu piil pesenggiri telah dianggap juga menjadi milik para akademisi. Sejak saat itu juga Prof. Hilman Hadikusuma.SH. dan beberapa penulis lainnya mulai gencar memperkenalkan Piil Pesenggiri.
Banyak pihak yang terperanjat dengan munculnya kata pesenggiri dalam Piil Pesenggiri. Yang diusung oleh Rizani Puspawijaya. Penulispun berusaha mencari dari mana kata pesenggiri ini berasal. Pada akhirnya penulis menemukan adanya istilah ”pasanggiri” pada bahasa Sunda Kuno yang artinya adalah ”lomba” atau kontes.
Kedekatan hubungan Kesultanan Cirebon dan Banten dengan tokoh tokoh masyarakat adat Lampung yang pada saat itu telah mulai memeluk agama Islam. Yang menurut beberapa literatur bahwa Cirebon Banten bergiat membantu agar masyarakat Lampung dapat mendirikan Kesultana Islam Lampung. Maka penulis menduga bahwa modal dasar pendirian kesultanan Islam Lampung adalah sebuah falsafah yang cerdas yang mereka namakan Piil Pesenggiri.
Dalam al-Quran kita mengenal istilah ”Fastabiq al-Khoirot” yang artinya ’berlomba dalam kebaikan’. Berat dugaan penulis kata pesenggiri pada hakekatnya adalah terjemahan dari kata fastabiq (sabaqo). Yang oleh tokoh tokoh yang menyebarkan Islam di Lampung diterjemahkan menjadi kata pasanggiri (Banten) atau pesenggiri (Lampung). Hal yang biasa terjadi atas dua daerah yang bersentuhan, maka akan terjadi kognit. Kalau seandainya dugaan ini benar, maka berarti piil pesenggiri ini sebenarnya terinspirasi atas kepemelukan mereka terhadap agama Islam. Bukan seperti dugaan Hilman Hadikusuma yang mengatakan pesenggiri dari nama pasukan perang di Kerajaan Bali (Pasunggiri).
Menggali Nilai Nilai Piil Pesenggiri.
Rizani Puspawijaya dan Hilaman Hadikusuma, meperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa falsafah piil pesenggiri yang diketemukan terdiri dari (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, (4) sakai sambaian. Kita sangat berterima kasih kepada dua tokoh ini, berkat jasa keduanya istilah piil pesenggiri masih mengumandang. Walaupun keduanya gagal mensosialisasikan nilai nilai ini pada dialog kebudayaan daerah Lampung tahun 1991, suatu kegagalan yang tak boleh terulang lagi.
Tibalah saatnya bagi kita untuk melanjutkan apa yang telah dirintis oleh oleh Rizani dan Hilman Hadikusuma, saatnya menggali nilai nilai luhur budaya bangsa Lampung, sebagai kearifan lokal ini untuk kita kembangkan dan dimanfaatkan untuk mengantisipasi problema sosial baik dampak bencara, maupun kemajuan sain dan teknologi. Marilah kita gali piil pesenggiri ini dengan memanfaat keluasan hati, sehingga kita mampu mengangkat mutiara mutu manikam yang selama ini terendam bersamaan dengan semakin langkanya upacara daur hidup yang dahulu menjadi media sosialisasi piil pesenggiri.
Untuk itu tentu saja kita harus memanfaatkan berbagai peluang untu melakukan penggalian nilai nilai piil pesenggiri dan mensosialisasikannya. Tentu suasa telah berubah, kebutuhan dan problema sosial masyarakat semakin komplek. Kompleksitas permasalahan membutuhkan kreatifitas kita bersama, sehingga piil pesenggiri ini akan semakin fungsional.
Nemui Nyimah.
Nemui nyimah terdiri dari kata, yaitu kata nemui dan kata nyimah. Nemui yang berasal dari kata temui artinya tamu, tepat sekali kalau falsafah tamu ini kita kembangkan. Istilah tamu erat sekali dengan kegiatan saling memulyakan, saling menghormati. Tidak berlebihan rasanya kalau eksistensi seseorang di mulai dari ketika seseorang itu mampu menghargai orang lain, dan dihargai oleh orang lain.
Sikap saling menghargai ini dilaksanakan dengan menegakkan ”nyimah” yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Setiap seseorang itu baru eksis manakala telah mampu berbuat santun, baik santun terhadap lingkungan alamnya, maupun lingkungan sosialnya. Sungguh tepat manakala piil pesenggiri menjadikan unsur nemui nyimah ini sebagai tonggak eksistensi seseorang.
Seseorang dianggap ada manakala ia telah berbuat bagi lingkungannya, tentu saja dengan suatu rumusan ”Siapa Berbuat Apa”. Sebelum seseorang berbuat sesuatu maka berarti belum eksis. Apa yang diperbuat tentunya adalah sesuatu yang bermanfaat bukan saja bermanfaat bagi dirinya, orang orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, maupun lingkungan dan masyarakat luas lainnya.
Manakala setiap seseorang memiliki andil untuk mengakomodir hajat hidup manusia banyak, otomatis berarti telah berperan pula untuk mengantisipasi dan menanggulangi problema sosial masyarakat yang semakin lama semakin komplek ini. Persoalan itu menurut piil pesenggiri adalah dengan cara setiap seseorang harus memiliki kemampuan mengeluarkan sebuah produk (produktif)
Nengah Nyappur.
Terdiri dari dua kata yaitu kata nengah dan kata nyappur. Setidaknya ada tiga macam arti nengah, yaitu : kerja keras, berketerampilan dan pertandingan. Yang ketiga tiganya bernuansa persaingan (lomba), namun lomba tersebut guna mencari yang terbaik, tercepat, terbanyak, terkuat bagi kepentingan masyarakat (nyappur), buykan untuk pribadi.
Seseorang yang sedang bekerja di ladang, sawah, laut disebut nengah, orang yang memiliki ketarmpilan untuk menari, bernyanyi dan mampu memperagakan keterampilannya itu dalam bahasa Lampung disebut nengah, seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertanding dalam sebuah perlombaan ataupun sayembara juga disebut nengah. Tetapi dalam waktu yang samaan kerja keras, keterampilan dan daya tanding seseorang itu diniatkan bagi kepentingan masyarakat luas.
Upaya piil pesenggiri untuk mengembangkan daya saing setiap seseorang dapat diduga adalah merupakan kelanjutan dari unsur yang pertama, nemui nyimah (produktie), yang harus dilanjutkan dengan kemampuan bersaing (kompetitif). Sikap kompetitif setelah mampu produktif adalah sebuah keniscayaan.
Semangat kompetisi adalah garansi kemandirian seseorang. Kemandirian adalah sesuatu yang sangat penting dalam menanggulangi bencana sosial dan persoalan sosial lainnya, tetntu saja membantu mereka yang memiliki semangat dan kemampuan kemandiriasn akan lebih mudah ketimbang membantu mereka yang tidak memiliki sifat dan semangat kemandirian.
Sakai sambaian.
Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai yang artinya terbuka dan kata sambai/ sumbai yag artinya lihat, amati dan pelihara. Sikap terbuka merupakan sikap sikap yang sangat dibutuhkan untuk melakukan berbagai perubahan. Peruahan perubahan adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap kelompok manusia yang menginginkan kemajuan. Terbuka bermakna siap untuk dikoreksi, siap untuk menerima berbagai masukan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, karakter serta nilai nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut.
Tetapi dalam waktu yang bersamaan menurut piil pesenggiri, setiap seseorang harus memiliki sikap yang sambai atau sumbai. Sambai bermakna siap untuk mengeritik, siap untuk menilai, siap meberi masukan, serta siap untuk memelihara.
Dengan demikian maka berarti piil pesenggiri telah mendorong setiap seseorang untuk setiap saat siap menolong orang lain, dan terbuka pula disaat butuh pertolongan. Siap menolong artinya terampil untuk memahami apa kebutuhan ornag lain, serta bagaimana cara membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan itu seoptimal mungkin.. Dalam waktu yang bersamaan kalaupun ia membutuhkan pertolongan dari orang lain maka ia akan meminimalisir kebuthan atas pertolongan itu. Karena dia siap untuk mandiri.
Juluk Adek.
Terdiri dari dua kata yaitu juluk, juluk adalah nama baru yang diberikan dengan upacara kepada anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan untuk menyusun cita citanya sebagai rencana hidupnya. Dan adek atau adok yaitu nama baru yang diberikan kepada seseorang dengan upacara kebesaran (”Cakak Pepadun”) yang diselenggarakan karena yang bersangkutan mampu meraih cita citanya itu.
Dengan demikian piil pesenggiri menggariskan bahwa dalam hidup manusia ada tiga momen penting, ketiga momen itu ditandai dengan adanya perubahan perubahan atau pembaharuan pembaharuan. Ketika seseorang dilahirkan adalah momentum penting, sebuah perubahan besar, yaitu dari tiada menjadi ada. Momentum yang kedua adalah seseorang anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan merumuskan cita citanya, tujuan hidupnya, pemantapan semangat dan keinginan kerasnya. Momentum yang ketiga adalah ketika seseorang ternyata berhasil mencapai dan merealisasikan cita citanya.
Nilai pendidikan yang paling penting dalam piil pesenggiri pada unsur yang satu ini adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pembaharuan pembaharuan. Dalam dinamika hidup manusia setiap seseorang, generasi, komunitas akan membutuhkan pembaharuan pembaharuan dalam menuju kesempurnaan hidupnya. Oleh karenanya maka setiap seseorang justeru diharuskan memiliki program sendiri untuk melakukan perubahan tersebut hingga mencapai menusia paruprna.
Egaliter.
Piil pesenggiri mengarahkan setiap seseorang untuk bersikap yang egaliter, unsur unsur agliterianisme pada piil pesenggiri tergambar dari pasangan kata pada semua unsur unsur piil pesenggiri itu sendiri. ’Namui – Nyimah’ yang kita tafsirkan sebagai produktif, secara gamblang menggambarkan sikap egaliter itu. Falsafah ’tamu’ memang mengajarkan tuan rumah untuk berlaku hormat kepada tamu, tetapi keduanya, kedua belah pihak harus ’simah’ atau santun, tidak ada atasan tidak ada bawahan, yang satu tidak lebih baik dari yang, tetapi siapa yang lebih mampu berbuat simah maka dialah yang lebih mulia.
’Nengah - Nyappur’, yang kita tafsirkan sebagai kemampuan bertanding (kompetitif), semangat bertanding juga menggambarkan keharusan memiliki sikap yang egaliter. Sikap egaliter ini menujukkan kepada kita bahwa piil pesenggiri ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap seseorang harus menekan serendah rendahnya rasa ketergantungan kepada pihak lain. Setiap seseorang harus mempunyai potensi lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapui seseorang harus memiliki fungsi sosial yang tinggi.
’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, juga menggambarkan sikap yang egaliter, karena bahasa yang diapakai sakai yang berarti siap menerima dan sambai yang berarti siap memberi. Seseorang tidak dibenarkan hanya dengan siap memberi saja atau hanya siap menerima. Tetapi hiduplah dalam kesetaraan, egaliter. Sikap egaliter pada masyarakat akan memudahkan penanggulangan dan penyelesaian masalah masalah sosial di masyarakat, secara murni, bukan semu.
Kemandirian.
Piil Pesenggiri sebagai kearifan lokal masyarakat Lampung juga mendorong agar setiap seseorang hidup secara mandiri. Hal ini bisa kita lihat dari unsur unsurnya. ”Nemui –Nyimah” secara jelas mengahruskan setiap seseorang itu produktif. Bahkan menurut piil pesenggiri bahwa eksistensi seseorang hendaknya dimulai tetkala seseorang itu telah mampu memproduksi sesuatu.
’Nengah - Nyappur’ yang kita tafsirkan sebagai daya saing adalah adalah merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi problema sosial masyarakat. Masyarakat yang sedang menghadapi persoalan sosial memang membutuhkan semangat dan kemampuan bersaing, karena dengan kemampuan bersaing itulah masyarakat akan dapat memaksimalkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan baik dirinya maupun orang lain.
’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, adalah merupakan sikap yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi masalah sosial, sikap koperatif ini perlu dikembangkan di kalangan masyarakat, karena setiap seseorang pasti akan membutuhkan orang lain, setiap komunitas juga akan membutuhkan komunitas yang lainnya pula. Dengan demikian falsafah piil pesenggiri ini sangat realistis dalam menganalisis keadaan.
’Juluk - Ade’ yang kita tafsirkan sebagai inovatif, juga merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam penanggulangan masalah masalah sosial yang menimpa masyarakat. Menurut falsafah piil pesenggiri maka setiap seseorang harus memiliki program untuk melakukan inovasi diri. Seperti diuraikan tergdahulu bahwa setidaknya setiap seseorang menetapkan tiga tajhap dalam pelaksanaan inovasi.
Piil Pesenggiri sebagai Etika.
Falsafah piil pesenggiri adalah falsafah etika. Etika adalah suatu ilmu yang membahas berbagai tawaran untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian bebarti piil pesenggiri adalah salah satu model yang ditawarkan kepada masyarakat agar masyarakat mencapai kebahagiaan yang diidam idamkan.
Dalam hal ini piil pesenggiri menawarkan adanya empat faktor yang harus dilaksanakan, dicapai oleh seseorang sehingga kebahagiaan itu akan dapat diraih, yaitu : produktif, kompetitif, kooperatif dan inovatif. Itulah yang selama ini di tawarkan oleh nilai nilai luhur budaya masyarakat lampung yang selanjutnya kita kategorikan sebagai kearifan lokal, kearifan tradisional masyarakat Lampung.
Tawaran piil pesenggiri selain sangat logis, juga nampaknya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman modern. Sulit mencari bandingannya nilai nilai yang dikembangkan pada era sezaman di tanah air ini.
Bayangkan pada saat itu mereka telah berfikir bahwa untuk menuju kebahagiaan seseorang mampu memproduksi sesuatu yang mereka butuhkan dalam jumlah yang lebih agar dapat menyantuni (nemui nyimah), produk produk yang dikeluarkan harus mampu bersaing dipasaran (nengah nyappur), namun walaupun demikian kita masih membuthkan orang lain, maka lakukanlah kerjasama kerjasama dengan pihak lain (sakai sambaian), dan juga jangan lupa selalu memperbahruai produk produk itu secara kreatif, agar produk itu selalu diminati masyarakat (juluk adek).
Demokratis.
Piil pesenggiriu juga adalah falsafah yang terbilang demokratis. Ciri ciri demokratisnya akan telihat jelas pada anjuran anjuran untuk membolehkan setiap seseorang bersaing secara baik (nengah nyappur) untuk mensosialisasikan pikiran pikiran, pendapat dan aspirasi (nemui nyimah), serta mengadakan kerjasama kerjasama ataupun koalisis dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan (sakai sambaian), guna melaksanakan atau melanjutkan, pembangunan bagi masyarakat luas, terutama masyarakat kecil, secara lebih cepat dan lebih baik.
Penutup.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan dalam acara ini semoga bermanfaat, dan tak lupa pula kami mengucapkan maaf bila ternyata apa yang kami sampaikan kurang berkenan.
UNTUK PENANGGULANGAN PROBLEMA SOSIAL
Oleh Fachruddin
Peneliti Independen PNS Pada Dinas Pendidikan
Provinsi Lampung.
Makalah disampaikan kepada peserta pelatihan Pemberdayaan Sosial Korban Bencana Sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Lampung di Hotel Arinas Bandar Lampung pada tanggal 28 Mei 2009.
Pengantar.
Problema sosial masyarakat muncul sebagai akibat banyak hal , salah satunya adalah akibat bencana dan bencana alam ataupun bencana sosial. Semua bencana yang besar dan massal akan memiliki dampak sosial yang sangat serius. Sebagai bencana, yang kedatangannya sering dianggap tiba tiba mengakibatkan sulitnya antisipasi yang dilaksanakan. Padahal pada umumnya bencana bagaikan jebolnya sebuah tanggul bendungan air, sebenarnya kedatangan air terproses tetes demi tetes, dan tanggul tergerus senti demi senti bahkan mili demi mili. Tetapi apa yang terjadi tidak terantisipasi dengan baik, kita baru bergerak setelah malapetaka benar benar terjadi. Padahal kita tahu dampak social dari suatu bencana sulit diobati. Antisipasi ini setidaknya harus meliputi dua hal, yaitu antisipasi untuk menjaga agar jangan sampai terjadi bencana, atau bila bencana terlanjur terjadi maka bagaimana upaya agar penderitaan bagi yang tertimpa bencana jangan sampai terlalu pedih.
Bencana lebih sering diakibatkan oleh prilaku manusia, baik karena human eror, maupun adanya sikap sikap dan prilaku salah dan kurang terpuji, seperti keserakahan ataupun ketelodoran akibat kurangnya rasa bertanggung jawab, tidak professional dan lain sebagainya.
Masing masing daerah termasuk Lampung ini sebenarnya memiliki keraifan local untuk mengantisipasi itu semua. Pada umumnya kita sepakat bahwa yang dimaksud kearifan lokal di Lampung adalah “Piil Pesenggiri”. Piil Pesenggiri merupakan sebuah filsafat masyarakat daerah Lampung. Filsafat ini diajarkan oleh masyarakat Lampung dengan cara menyelenggarakan berbagai upacara adat, khususnya upacara daur hidup.
Masyarakat Lampung sebenarnya memiliki berbagai macam upacara daur hidup, mulai dari upacara kelahiran, upacara masa kanak kanak, upacara masa remaja, upacara masa dewasa, upacara masa perkawinan, upacara kehamilan, hingga upacara kematian. Namun lama kelamaan upacara upacara daur hidup tersebut semakin jarang diselenggarakan oleh pendukung budaya ini, akibatnya adalah unsur unsur piil pesenggiri semakin jarang terajarkan kepada generasi penerus. Akhirnya falsafah yang sungguh sungguh memiliki nilai luhur ini menjadi sebuah mutiara yang tenggelam dalam Lumpur.
Kitab Kuntara Raja Niti (KRN).
Di lingkungan masyarakat adat Lampung beredar kitab adat yang dikenal dengan sebutan Kitab Kuntara Raja Niti (KRN). Nampaknya kitab Kuntara Raja Niti ini patut kita duga merupakan pegangan untuk para pimpinan dalam meniti berbagai titian. Katakanlah semacam kitab “Wulang Rech” atau petunjuk bagi para raja. Dalam masyarakat lampung istilah ”titian” adalah merupakan sarana sederhana untuk melintasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang dipisahkan oleh semacam gap. Titian adalah sarana dan metode untuk mengantisipasi garis pemisah tersebut.
Titian juga merupakan sinonim dari ”jan” atau ”ijan” yang berfungsi menghubungkan antara tempat atau bidang yang rendah ke tempat atau bidang yang lebih tinggi dan sebaliknya. Sehingga perbedaan perbedaan tidak lagi menjadi permasalahan untuk berbagai kepentingan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk itu berbagai macam ragam titian yang dibutuhkan, yang dalam bahasa Lampung disebut ”Titi Gementi” atau tatatiti.
Para peneliti menemukan istilah ”Piil” dalam kitab Kuntara raja Niti. Disebutkan bahwa piil itu terdiri dari lima perkara (1) laki laki piilnya adalah perempuan, (2) perempuan piilnya adalah uang, makanan dan perhiasan, (3) anak laki laki piilnya adalah pada perkataan dan (4) anak perempuan piilnya adalah kelakuan. Piil dalam kitab itu berarti harga diri. Kuntara Raja Niti oleh seorang pakar hukum adat budaya Lampung Prof. Hilman Hadikusuma, SH. (alm) adalah kitab yang masih diwarnai kepercayaan animisme dan Hindu.
Piil Pesenggiri.
Selain Piil, masyarakat lampung mengenal istilah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini menjadi bahan kajian skripsi yang disusun oleh Rizani Puspawijaya tetkala menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas lampung tahun 1966. sejak saat itu piil pesenggiri telah dianggap juga menjadi milik para akademisi. Sejak saat itu juga Prof. Hilman Hadikusuma.SH. dan beberapa penulis lainnya mulai gencar memperkenalkan Piil Pesenggiri.
Banyak pihak yang terperanjat dengan munculnya kata pesenggiri dalam Piil Pesenggiri. Yang diusung oleh Rizani Puspawijaya. Penulispun berusaha mencari dari mana kata pesenggiri ini berasal. Pada akhirnya penulis menemukan adanya istilah ”pasanggiri” pada bahasa Sunda Kuno yang artinya adalah ”lomba” atau kontes.
Kedekatan hubungan Kesultanan Cirebon dan Banten dengan tokoh tokoh masyarakat adat Lampung yang pada saat itu telah mulai memeluk agama Islam. Yang menurut beberapa literatur bahwa Cirebon Banten bergiat membantu agar masyarakat Lampung dapat mendirikan Kesultana Islam Lampung. Maka penulis menduga bahwa modal dasar pendirian kesultanan Islam Lampung adalah sebuah falsafah yang cerdas yang mereka namakan Piil Pesenggiri.
Dalam al-Quran kita mengenal istilah ”Fastabiq al-Khoirot” yang artinya ’berlomba dalam kebaikan’. Berat dugaan penulis kata pesenggiri pada hakekatnya adalah terjemahan dari kata fastabiq (sabaqo). Yang oleh tokoh tokoh yang menyebarkan Islam di Lampung diterjemahkan menjadi kata pasanggiri (Banten) atau pesenggiri (Lampung). Hal yang biasa terjadi atas dua daerah yang bersentuhan, maka akan terjadi kognit. Kalau seandainya dugaan ini benar, maka berarti piil pesenggiri ini sebenarnya terinspirasi atas kepemelukan mereka terhadap agama Islam. Bukan seperti dugaan Hilman Hadikusuma yang mengatakan pesenggiri dari nama pasukan perang di Kerajaan Bali (Pasunggiri).
Menggali Nilai Nilai Piil Pesenggiri.
Rizani Puspawijaya dan Hilaman Hadikusuma, meperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa falsafah piil pesenggiri yang diketemukan terdiri dari (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, (4) sakai sambaian. Kita sangat berterima kasih kepada dua tokoh ini, berkat jasa keduanya istilah piil pesenggiri masih mengumandang. Walaupun keduanya gagal mensosialisasikan nilai nilai ini pada dialog kebudayaan daerah Lampung tahun 1991, suatu kegagalan yang tak boleh terulang lagi.
Tibalah saatnya bagi kita untuk melanjutkan apa yang telah dirintis oleh oleh Rizani dan Hilman Hadikusuma, saatnya menggali nilai nilai luhur budaya bangsa Lampung, sebagai kearifan lokal ini untuk kita kembangkan dan dimanfaatkan untuk mengantisipasi problema sosial baik dampak bencara, maupun kemajuan sain dan teknologi. Marilah kita gali piil pesenggiri ini dengan memanfaat keluasan hati, sehingga kita mampu mengangkat mutiara mutu manikam yang selama ini terendam bersamaan dengan semakin langkanya upacara daur hidup yang dahulu menjadi media sosialisasi piil pesenggiri.
Untuk itu tentu saja kita harus memanfaatkan berbagai peluang untu melakukan penggalian nilai nilai piil pesenggiri dan mensosialisasikannya. Tentu suasa telah berubah, kebutuhan dan problema sosial masyarakat semakin komplek. Kompleksitas permasalahan membutuhkan kreatifitas kita bersama, sehingga piil pesenggiri ini akan semakin fungsional.
Nemui Nyimah.
Nemui nyimah terdiri dari kata, yaitu kata nemui dan kata nyimah. Nemui yang berasal dari kata temui artinya tamu, tepat sekali kalau falsafah tamu ini kita kembangkan. Istilah tamu erat sekali dengan kegiatan saling memulyakan, saling menghormati. Tidak berlebihan rasanya kalau eksistensi seseorang di mulai dari ketika seseorang itu mampu menghargai orang lain, dan dihargai oleh orang lain.
Sikap saling menghargai ini dilaksanakan dengan menegakkan ”nyimah” yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Setiap seseorang itu baru eksis manakala telah mampu berbuat santun, baik santun terhadap lingkungan alamnya, maupun lingkungan sosialnya. Sungguh tepat manakala piil pesenggiri menjadikan unsur nemui nyimah ini sebagai tonggak eksistensi seseorang.
Seseorang dianggap ada manakala ia telah berbuat bagi lingkungannya, tentu saja dengan suatu rumusan ”Siapa Berbuat Apa”. Sebelum seseorang berbuat sesuatu maka berarti belum eksis. Apa yang diperbuat tentunya adalah sesuatu yang bermanfaat bukan saja bermanfaat bagi dirinya, orang orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, maupun lingkungan dan masyarakat luas lainnya.
Manakala setiap seseorang memiliki andil untuk mengakomodir hajat hidup manusia banyak, otomatis berarti telah berperan pula untuk mengantisipasi dan menanggulangi problema sosial masyarakat yang semakin lama semakin komplek ini. Persoalan itu menurut piil pesenggiri adalah dengan cara setiap seseorang harus memiliki kemampuan mengeluarkan sebuah produk (produktif)
Nengah Nyappur.
Terdiri dari dua kata yaitu kata nengah dan kata nyappur. Setidaknya ada tiga macam arti nengah, yaitu : kerja keras, berketerampilan dan pertandingan. Yang ketiga tiganya bernuansa persaingan (lomba), namun lomba tersebut guna mencari yang terbaik, tercepat, terbanyak, terkuat bagi kepentingan masyarakat (nyappur), buykan untuk pribadi.
Seseorang yang sedang bekerja di ladang, sawah, laut disebut nengah, orang yang memiliki ketarmpilan untuk menari, bernyanyi dan mampu memperagakan keterampilannya itu dalam bahasa Lampung disebut nengah, seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertanding dalam sebuah perlombaan ataupun sayembara juga disebut nengah. Tetapi dalam waktu yang samaan kerja keras, keterampilan dan daya tanding seseorang itu diniatkan bagi kepentingan masyarakat luas.
Upaya piil pesenggiri untuk mengembangkan daya saing setiap seseorang dapat diduga adalah merupakan kelanjutan dari unsur yang pertama, nemui nyimah (produktie), yang harus dilanjutkan dengan kemampuan bersaing (kompetitif). Sikap kompetitif setelah mampu produktif adalah sebuah keniscayaan.
Semangat kompetisi adalah garansi kemandirian seseorang. Kemandirian adalah sesuatu yang sangat penting dalam menanggulangi bencana sosial dan persoalan sosial lainnya, tetntu saja membantu mereka yang memiliki semangat dan kemampuan kemandiriasn akan lebih mudah ketimbang membantu mereka yang tidak memiliki sifat dan semangat kemandirian.
Sakai sambaian.
Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai yang artinya terbuka dan kata sambai/ sumbai yag artinya lihat, amati dan pelihara. Sikap terbuka merupakan sikap sikap yang sangat dibutuhkan untuk melakukan berbagai perubahan. Peruahan perubahan adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap kelompok manusia yang menginginkan kemajuan. Terbuka bermakna siap untuk dikoreksi, siap untuk menerima berbagai masukan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, karakter serta nilai nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut.
Tetapi dalam waktu yang bersamaan menurut piil pesenggiri, setiap seseorang harus memiliki sikap yang sambai atau sumbai. Sambai bermakna siap untuk mengeritik, siap untuk menilai, siap meberi masukan, serta siap untuk memelihara.
Dengan demikian maka berarti piil pesenggiri telah mendorong setiap seseorang untuk setiap saat siap menolong orang lain, dan terbuka pula disaat butuh pertolongan. Siap menolong artinya terampil untuk memahami apa kebutuhan ornag lain, serta bagaimana cara membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan itu seoptimal mungkin.. Dalam waktu yang bersamaan kalaupun ia membutuhkan pertolongan dari orang lain maka ia akan meminimalisir kebuthan atas pertolongan itu. Karena dia siap untuk mandiri.
Juluk Adek.
Terdiri dari dua kata yaitu juluk, juluk adalah nama baru yang diberikan dengan upacara kepada anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan untuk menyusun cita citanya sebagai rencana hidupnya. Dan adek atau adok yaitu nama baru yang diberikan kepada seseorang dengan upacara kebesaran (”Cakak Pepadun”) yang diselenggarakan karena yang bersangkutan mampu meraih cita citanya itu.
Dengan demikian piil pesenggiri menggariskan bahwa dalam hidup manusia ada tiga momen penting, ketiga momen itu ditandai dengan adanya perubahan perubahan atau pembaharuan pembaharuan. Ketika seseorang dilahirkan adalah momentum penting, sebuah perubahan besar, yaitu dari tiada menjadi ada. Momentum yang kedua adalah seseorang anak/ remaja yang telah memiliki kemampuan merumuskan cita citanya, tujuan hidupnya, pemantapan semangat dan keinginan kerasnya. Momentum yang ketiga adalah ketika seseorang ternyata berhasil mencapai dan merealisasikan cita citanya.
Nilai pendidikan yang paling penting dalam piil pesenggiri pada unsur yang satu ini adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pembaharuan pembaharuan. Dalam dinamika hidup manusia setiap seseorang, generasi, komunitas akan membutuhkan pembaharuan pembaharuan dalam menuju kesempurnaan hidupnya. Oleh karenanya maka setiap seseorang justeru diharuskan memiliki program sendiri untuk melakukan perubahan tersebut hingga mencapai menusia paruprna.
Egaliter.
Piil pesenggiri mengarahkan setiap seseorang untuk bersikap yang egaliter, unsur unsur agliterianisme pada piil pesenggiri tergambar dari pasangan kata pada semua unsur unsur piil pesenggiri itu sendiri. ’Namui – Nyimah’ yang kita tafsirkan sebagai produktif, secara gamblang menggambarkan sikap egaliter itu. Falsafah ’tamu’ memang mengajarkan tuan rumah untuk berlaku hormat kepada tamu, tetapi keduanya, kedua belah pihak harus ’simah’ atau santun, tidak ada atasan tidak ada bawahan, yang satu tidak lebih baik dari yang, tetapi siapa yang lebih mampu berbuat simah maka dialah yang lebih mulia.
’Nengah - Nyappur’, yang kita tafsirkan sebagai kemampuan bertanding (kompetitif), semangat bertanding juga menggambarkan keharusan memiliki sikap yang egaliter. Sikap egaliter ini menujukkan kepada kita bahwa piil pesenggiri ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap seseorang harus menekan serendah rendahnya rasa ketergantungan kepada pihak lain. Setiap seseorang harus mempunyai potensi lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapui seseorang harus memiliki fungsi sosial yang tinggi.
’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, juga menggambarkan sikap yang egaliter, karena bahasa yang diapakai sakai yang berarti siap menerima dan sambai yang berarti siap memberi. Seseorang tidak dibenarkan hanya dengan siap memberi saja atau hanya siap menerima. Tetapi hiduplah dalam kesetaraan, egaliter. Sikap egaliter pada masyarakat akan memudahkan penanggulangan dan penyelesaian masalah masalah sosial di masyarakat, secara murni, bukan semu.
Kemandirian.
Piil Pesenggiri sebagai kearifan lokal masyarakat Lampung juga mendorong agar setiap seseorang hidup secara mandiri. Hal ini bisa kita lihat dari unsur unsurnya. ”Nemui –Nyimah” secara jelas mengahruskan setiap seseorang itu produktif. Bahkan menurut piil pesenggiri bahwa eksistensi seseorang hendaknya dimulai tetkala seseorang itu telah mampu memproduksi sesuatu.
’Nengah - Nyappur’ yang kita tafsirkan sebagai daya saing adalah adalah merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi problema sosial masyarakat. Masyarakat yang sedang menghadapi persoalan sosial memang membutuhkan semangat dan kemampuan bersaing, karena dengan kemampuan bersaing itulah masyarakat akan dapat memaksimalkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memenuhi kebutuhan baik dirinya maupun orang lain.
’Sakai – Sambaian’ yang kita tafsirkan sebagai kooperatif, adalah merupakan sikap yang sangat dibutuhkan dalam menanggulangi masalah sosial, sikap koperatif ini perlu dikembangkan di kalangan masyarakat, karena setiap seseorang pasti akan membutuhkan orang lain, setiap komunitas juga akan membutuhkan komunitas yang lainnya pula. Dengan demikian falsafah piil pesenggiri ini sangat realistis dalam menganalisis keadaan.
’Juluk - Ade’ yang kita tafsirkan sebagai inovatif, juga merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam penanggulangan masalah masalah sosial yang menimpa masyarakat. Menurut falsafah piil pesenggiri maka setiap seseorang harus memiliki program untuk melakukan inovasi diri. Seperti diuraikan tergdahulu bahwa setidaknya setiap seseorang menetapkan tiga tajhap dalam pelaksanaan inovasi.
Piil Pesenggiri sebagai Etika.
Falsafah piil pesenggiri adalah falsafah etika. Etika adalah suatu ilmu yang membahas berbagai tawaran untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian bebarti piil pesenggiri adalah salah satu model yang ditawarkan kepada masyarakat agar masyarakat mencapai kebahagiaan yang diidam idamkan.
Dalam hal ini piil pesenggiri menawarkan adanya empat faktor yang harus dilaksanakan, dicapai oleh seseorang sehingga kebahagiaan itu akan dapat diraih, yaitu : produktif, kompetitif, kooperatif dan inovatif. Itulah yang selama ini di tawarkan oleh nilai nilai luhur budaya masyarakat lampung yang selanjutnya kita kategorikan sebagai kearifan lokal, kearifan tradisional masyarakat Lampung.
Tawaran piil pesenggiri selain sangat logis, juga nampaknya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman modern. Sulit mencari bandingannya nilai nilai yang dikembangkan pada era sezaman di tanah air ini.
Bayangkan pada saat itu mereka telah berfikir bahwa untuk menuju kebahagiaan seseorang mampu memproduksi sesuatu yang mereka butuhkan dalam jumlah yang lebih agar dapat menyantuni (nemui nyimah), produk produk yang dikeluarkan harus mampu bersaing dipasaran (nengah nyappur), namun walaupun demikian kita masih membuthkan orang lain, maka lakukanlah kerjasama kerjasama dengan pihak lain (sakai sambaian), dan juga jangan lupa selalu memperbahruai produk produk itu secara kreatif, agar produk itu selalu diminati masyarakat (juluk adek).
Demokratis.
Piil pesenggiriu juga adalah falsafah yang terbilang demokratis. Ciri ciri demokratisnya akan telihat jelas pada anjuran anjuran untuk membolehkan setiap seseorang bersaing secara baik (nengah nyappur) untuk mensosialisasikan pikiran pikiran, pendapat dan aspirasi (nemui nyimah), serta mengadakan kerjasama kerjasama ataupun koalisis dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan (sakai sambaian), guna melaksanakan atau melanjutkan, pembangunan bagi masyarakat luas, terutama masyarakat kecil, secara lebih cepat dan lebih baik.
Penutup.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan dalam acara ini semoga bermanfaat, dan tak lupa pula kami mengucapkan maaf bila ternyata apa yang kami sampaikan kurang berkenan.
BUAT PERDA HAK-HAK ADAT
Mar.31, 2010
KADARSYAH IRSA : “pembangunan Lampung tidak dapat terlaksana jika investor tidak dapat masuk karena persoalan pembebasan tanah adat”
BANDAR LAMPUNG (31/03) , Majelis Penyimbang Adat Lampung –MPAL- mengusulkan kepada DPRD Lampung pembuatan peraturan daerah -perda- terkait hak-hak adat dan hukum adat. Dengan begitu, majelis mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan adat.
Karena pembanguan akan terlaksana dengan baik jika stabilitas masyarakat terjaga dan diharapkan perda tersebut akan mampu mencipatakan suasana kondusif.
Ketua MPAL Kadar Syah Irsah saat rapat bersama pimpinan DPRD Lampung di ruang Badan Anggaran, Rabu (31/3). Mencontohkan pembangunan Lampung tidak dapat terlaksana jika investor tidak dapat masuk karena persoalan pembebasan tanah adat, oleh karenanya, MPAL harus menjadi penengah, dan punya kewajiban untuk menyelesaikan persoalan dengan adat.
Kadar menambahkan, sejatinya MPAL menjadi partner pemerintah, yakni penyelesaian masalah yang berhubungan dengan adat istiadat, perda tersebut juga harus menjelaskan keberadaan MPAL yang berfungsi membangun masyarakat melalui adat dan budaya.
Selain itu, dia menuturkan, MPAL juga berfungsi untuk pemberian gelar adat kepada pejabat gubernur dan ketua DPRD Lampung, sebagai bentuk tanggung jawab mereka memimpin masyarakat Lampung..
Rencananya, saat HUT Lampung ke 32 kemarin, MPAL akan memberikan gelar adat, namun izin birokrasinya tidak selesai, sehingga, akan memberikan gelar adat kepada gubernur dan ketua DPRD pada festifal krakatau akhir Juli mendatang.//////////////LAPORAN : ANGGORO AP////////aap//////
rri tanjungkaramg
KADARSYAH IRSA : “pembangunan Lampung tidak dapat terlaksana jika investor tidak dapat masuk karena persoalan pembebasan tanah adat”
BANDAR LAMPUNG (31/03) , Majelis Penyimbang Adat Lampung –MPAL- mengusulkan kepada DPRD Lampung pembuatan peraturan daerah -perda- terkait hak-hak adat dan hukum adat. Dengan begitu, majelis mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan adat.
Karena pembanguan akan terlaksana dengan baik jika stabilitas masyarakat terjaga dan diharapkan perda tersebut akan mampu mencipatakan suasana kondusif.
Ketua MPAL Kadar Syah Irsah saat rapat bersama pimpinan DPRD Lampung di ruang Badan Anggaran, Rabu (31/3). Mencontohkan pembangunan Lampung tidak dapat terlaksana jika investor tidak dapat masuk karena persoalan pembebasan tanah adat, oleh karenanya, MPAL harus menjadi penengah, dan punya kewajiban untuk menyelesaikan persoalan dengan adat.
Kadar menambahkan, sejatinya MPAL menjadi partner pemerintah, yakni penyelesaian masalah yang berhubungan dengan adat istiadat, perda tersebut juga harus menjelaskan keberadaan MPAL yang berfungsi membangun masyarakat melalui adat dan budaya.
Selain itu, dia menuturkan, MPAL juga berfungsi untuk pemberian gelar adat kepada pejabat gubernur dan ketua DPRD Lampung, sebagai bentuk tanggung jawab mereka memimpin masyarakat Lampung..
Rencananya, saat HUT Lampung ke 32 kemarin, MPAL akan memberikan gelar adat, namun izin birokrasinya tidak selesai, sehingga, akan memberikan gelar adat kepada gubernur dan ketua DPRD pada festifal krakatau akhir Juli mendatang.//////////////LAPORAN : ANGGORO AP////////aap//////
rri tanjungkaramg
MPAL MINTA PEMERINTAH BUAT PERDA ADAT
ATURAN HUKUM:
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) meminta pemerintah membuat peraturan daerah (perda) tentang hak-hak adat dan hukum adat. DPRD Lampung harus konsisten membahasnya, saat rancangan aturan itu telah dibuat.
Ketua MPAL Kadarsyah Irsah mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) sudah sering melontarkan niatnya memberdayakan MPAL dalam pembangunan. Dengan adanya perda itu, kata Kadar, keikutsertaan MPAL dalam mengisi pembangunan di Lampung, misalnya, dengan ikut menyelesaikan berbagai persoalan adat.
"Kita sama-sama tahu kalau pembangunan sering berbenturan dengan hal-hal adat, seperti pembebasan tanah adat dan lainnya. Kalau ada perdanya kan kita memiliki dasar yang kuat dalam ikut menyelesaikannya. Agar masalah ini tidak mengganggu situasi yang kondusif di msayarakat adat," kata Kadarsyah dalam hearing dengan pimpinan DPRD Provinsi Lampung di ruang Badan Anggaran, Rabu (31-3).
Saat ini, menurut Kadarsyah, banyak investasi di Lampung yang pelaksanaannya terkendala kejelasan tanah atau lahan. Sebab, sebagian tanah oleh masyarakat adat tidak diizinkan untuk dibangun.
Tidak selesainya masalah itu, menurut Kadar, bisa disebabkan tidak terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat adat setempat. "Oleh sebab itu, kami harus menjadi penengah, dan punya kewajiban menyelesaikan persoalan dengan tata cara adat yang berlaku," ujarnya. (MG3/U-3)
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) meminta pemerintah membuat peraturan daerah (perda) tentang hak-hak adat dan hukum adat. DPRD Lampung harus konsisten membahasnya, saat rancangan aturan itu telah dibuat.
Ketua MPAL Kadarsyah Irsah mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) sudah sering melontarkan niatnya memberdayakan MPAL dalam pembangunan. Dengan adanya perda itu, kata Kadar, keikutsertaan MPAL dalam mengisi pembangunan di Lampung, misalnya, dengan ikut menyelesaikan berbagai persoalan adat.
"Kita sama-sama tahu kalau pembangunan sering berbenturan dengan hal-hal adat, seperti pembebasan tanah adat dan lainnya. Kalau ada perdanya kan kita memiliki dasar yang kuat dalam ikut menyelesaikannya. Agar masalah ini tidak mengganggu situasi yang kondusif di msayarakat adat," kata Kadarsyah dalam hearing dengan pimpinan DPRD Provinsi Lampung di ruang Badan Anggaran, Rabu (31-3).
Saat ini, menurut Kadarsyah, banyak investasi di Lampung yang pelaksanaannya terkendala kejelasan tanah atau lahan. Sebab, sebagian tanah oleh masyarakat adat tidak diizinkan untuk dibangun.
Tidak selesainya masalah itu, menurut Kadar, bisa disebabkan tidak terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat adat setempat. "Oleh sebab itu, kami harus menjadi penengah, dan punya kewajiban menyelesaikan persoalan dengan tata cara adat yang berlaku," ujarnya. (MG3/U-3)
Saturday, April 3, 2010
MAWARDI HARIRAMA
PELESTARI BUDAYA LAMPUNG
Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG -Kepunahan budaya lokal akibat terpaan budaya global tentunya merugikan bangsa Indonesia.
Apalagi bagi Lampung, yang budayanya lebih sempurna karena memiliki aksara dan bahasa sendiri. Namun tidak banyak warga Lampung yang peduli terhadap pelestarian budaya nenek moyangnya tersebut.
Di antara yang sedikit itu, terdapat Mawardi Harimana Sultan Pengiran Pesirah Mergo (56). Ketua Paguyuban Seni Budaya Lampung Tangkai Mas Jaya ini menyatakan gelisah terhadap kelestarian budaya Lampung mengingat kian minimnya minat generasi muda untuk mempelajarinya.
Saat ini memang melalui mata pelajaran muatan lokal, aksara Lampung dipelajari dari SD hingga SMP. Tapi itu saja belum cukup, karena bahasa dan aksara yang dipelajari itu tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan atraksi budaya dan pesta-pesta adatnya, baru mulai mendapat tempat sejak Sjachrudin ZP menjadi Gubernur Lampung. Bahkan kini gedung-gedung pemerintah dan swasta mulai dihiasi dengan motif-motif khas Lampung.
Mawardi mengusulkan agar ke depan, nama-nama gedung perkantoran dan toko juga dilengkapi dengan aksara Lampung, seperti di Thailand dan Jepang. “Sehingga begitu ada tamu, mereka benar-benar merasa berada di Lampung,” ujarnya dalam sebuah percakapan di rumah adatnya yang asri dan luas di bilangan Kota Sepang, Kedaton, Bandar Lampung.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian dan pengembangan adat budaya Lampung, Mantan pejabat Pemprov DKI Jaya ini membangun rumah adat seluas 6.000 meter persegi yang diberi nama Nuwo Balak Kedatun Keagungan Lampung yang di dalamnya terdapat berbagai benda budaya. Pembangunannya dimulai tahun 1995 dan baru selesai lima tahun kemudian.
Persiapan lahan dan kayu sudah dimulai jauh sebelum pembangunan dikerjakan. Bahkan jenis kayu tembesu, unglen, dan lain-lain didatangkan dari Jambi jauh sebelum rumah tersebut dibangun. Kayu-kayu berkualitas tinggi tersebut diawetkan secara tradisional dengan cara dibenamkan dalam lumpur bertahun-tahun agar tidak dimakan rayap. Sekarang rumah ini tidak saja digunakan untuk atraksi, pesta, atau acara adat dan budaya, melainkan juga menjadi objek wisata budaya Lampung.
“Sai Bumi Ruwa Jurai”
Mawardi mengakui budaya Lampung terdiri dari dua (rua) jurai, yakni pepadun dan sai batin sehingga disebut SaiBumi Ruwa Jurai (satu bumi yang dibentuk oleh dua ragam adat istiadat). Adat pepadun yang dijalankan warga yang bermukim di pedalaman dan sai batin di wilayah pesisir.
Contohnya, sewaktu Gubernur Sjachrudin membangun menara siger di Bakauheni yang sigernya berjumlah tujuh, sempat dipersoalkan tokoh adat pepadun yang jumlah sigernya sembilan. Menurut Mawardi, yang berdiri di Bakauheni tersebut bukan siger, sebab menurut adat budaya Lampung, siger adalah tutup kepala pengantin wanita. Dengan begitu menara siger di Bakauheni adalah bangunan yang atapnya bermotif siger. Jadi berapa pun jumlah siger-nya tidak perlu dipersoalkan.
Demikian pula berbagai even budaya yang dilakukan di Pemprov Lampung, sah-sah saja menggunakan budaya pepadun atau sai batin. Malah, semakin banyak even budaya yang dilaksanakan semakin baik dalam upaya pelestarian budaya lokalnya.
Dalam rangka pelestarian budaya lokal, ia menyarankan jangan hanya terbatas pada bentuk fisik seperti tarian, dan atraksi tapi yang lebih penting adalah pewarisan nilai-nilai dan falsafah budaya. Misalnya, piil pesenggiri yang berarti semua gerak langkah masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-hari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa(hatinurani).
Dalam penerapannya sehari-hari akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sehingga bila dibutuhkan akan muncul keberanian untuk berkorban, baik harta maupun nyawa sekalipun demi mempertahankannya.
Begitu juga nilai-nilai lainnya berupa sakai sembayan, yang berarti masyarakat Lampung senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Nilai-nilai falsalah budaya itulah yang di mata suami Hj Sofia Hanum Sutan Mahkota ini mulai banyak ditinggalkan. Padahal jika warga Lampung menerapkan sepenuhnya nilai sakai sembayan, tentu daerah ini sudah lama terbebas dari kemiskinan karena ada kebersamaan dan tolong-menolong di antara sesama warga.
Demikian pula penerapan piil pesenggiri, akan menjadikan Lampung bebas dari korupsi karena kuatnya keimanan warganya, terutama pemimpinnya. Ia percaya nilai-nilai budaya tersebut tidak akan mati dimakan usia.
Tapi apakah generasi penerus masih menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Itulah yang dirisaukan Mawardi. Dicontohkannya, makin banyak generasi muda yang enggan berbahasa daerah karena merasa kolot dan terbelakang jika menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
“Ini masalah besar karena bahasa Lampung bisa punah dalam satu generasi ke depan,” ia mengkhawatirkan. Lagi pula, banyak orang tua yang memandang tidak perlu mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang bersuku asli Lampung juga tidak menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah tangganya.
“Oleh karena itu, tugas berat pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat Lampung adalah ikut peduli pada kelangsungan budayanya jika ingin tetap mengaku sebagai warga Lampung,” imbaunya. Jangan biarkan Mawardi sendiri yang risau dan gamang terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya lelulurnya. n
Source: Sinar Harapan
Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG -Kepunahan budaya lokal akibat terpaan budaya global tentunya merugikan bangsa Indonesia.
Apalagi bagi Lampung, yang budayanya lebih sempurna karena memiliki aksara dan bahasa sendiri. Namun tidak banyak warga Lampung yang peduli terhadap pelestarian budaya nenek moyangnya tersebut.
Di antara yang sedikit itu, terdapat Mawardi Harimana Sultan Pengiran Pesirah Mergo (56). Ketua Paguyuban Seni Budaya Lampung Tangkai Mas Jaya ini menyatakan gelisah terhadap kelestarian budaya Lampung mengingat kian minimnya minat generasi muda untuk mempelajarinya.
Saat ini memang melalui mata pelajaran muatan lokal, aksara Lampung dipelajari dari SD hingga SMP. Tapi itu saja belum cukup, karena bahasa dan aksara yang dipelajari itu tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan atraksi budaya dan pesta-pesta adatnya, baru mulai mendapat tempat sejak Sjachrudin ZP menjadi Gubernur Lampung. Bahkan kini gedung-gedung pemerintah dan swasta mulai dihiasi dengan motif-motif khas Lampung.
Mawardi mengusulkan agar ke depan, nama-nama gedung perkantoran dan toko juga dilengkapi dengan aksara Lampung, seperti di Thailand dan Jepang. “Sehingga begitu ada tamu, mereka benar-benar merasa berada di Lampung,” ujarnya dalam sebuah percakapan di rumah adatnya yang asri dan luas di bilangan Kota Sepang, Kedaton, Bandar Lampung.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian dan pengembangan adat budaya Lampung, Mantan pejabat Pemprov DKI Jaya ini membangun rumah adat seluas 6.000 meter persegi yang diberi nama Nuwo Balak Kedatun Keagungan Lampung yang di dalamnya terdapat berbagai benda budaya. Pembangunannya dimulai tahun 1995 dan baru selesai lima tahun kemudian.
Persiapan lahan dan kayu sudah dimulai jauh sebelum pembangunan dikerjakan. Bahkan jenis kayu tembesu, unglen, dan lain-lain didatangkan dari Jambi jauh sebelum rumah tersebut dibangun. Kayu-kayu berkualitas tinggi tersebut diawetkan secara tradisional dengan cara dibenamkan dalam lumpur bertahun-tahun agar tidak dimakan rayap. Sekarang rumah ini tidak saja digunakan untuk atraksi, pesta, atau acara adat dan budaya, melainkan juga menjadi objek wisata budaya Lampung.
“Sai Bumi Ruwa Jurai”
Mawardi mengakui budaya Lampung terdiri dari dua (rua) jurai, yakni pepadun dan sai batin sehingga disebut SaiBumi Ruwa Jurai (satu bumi yang dibentuk oleh dua ragam adat istiadat). Adat pepadun yang dijalankan warga yang bermukim di pedalaman dan sai batin di wilayah pesisir.
Contohnya, sewaktu Gubernur Sjachrudin membangun menara siger di Bakauheni yang sigernya berjumlah tujuh, sempat dipersoalkan tokoh adat pepadun yang jumlah sigernya sembilan. Menurut Mawardi, yang berdiri di Bakauheni tersebut bukan siger, sebab menurut adat budaya Lampung, siger adalah tutup kepala pengantin wanita. Dengan begitu menara siger di Bakauheni adalah bangunan yang atapnya bermotif siger. Jadi berapa pun jumlah siger-nya tidak perlu dipersoalkan.
Demikian pula berbagai even budaya yang dilakukan di Pemprov Lampung, sah-sah saja menggunakan budaya pepadun atau sai batin. Malah, semakin banyak even budaya yang dilaksanakan semakin baik dalam upaya pelestarian budaya lokalnya.
Dalam rangka pelestarian budaya lokal, ia menyarankan jangan hanya terbatas pada bentuk fisik seperti tarian, dan atraksi tapi yang lebih penting adalah pewarisan nilai-nilai dan falsafah budaya. Misalnya, piil pesenggiri yang berarti semua gerak langkah masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-hari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa(hatinurani).
Dalam penerapannya sehari-hari akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sehingga bila dibutuhkan akan muncul keberanian untuk berkorban, baik harta maupun nyawa sekalipun demi mempertahankannya.
Begitu juga nilai-nilai lainnya berupa sakai sembayan, yang berarti masyarakat Lampung senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Nilai-nilai falsalah budaya itulah yang di mata suami Hj Sofia Hanum Sutan Mahkota ini mulai banyak ditinggalkan. Padahal jika warga Lampung menerapkan sepenuhnya nilai sakai sembayan, tentu daerah ini sudah lama terbebas dari kemiskinan karena ada kebersamaan dan tolong-menolong di antara sesama warga.
Demikian pula penerapan piil pesenggiri, akan menjadikan Lampung bebas dari korupsi karena kuatnya keimanan warganya, terutama pemimpinnya. Ia percaya nilai-nilai budaya tersebut tidak akan mati dimakan usia.
Tapi apakah generasi penerus masih menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Itulah yang dirisaukan Mawardi. Dicontohkannya, makin banyak generasi muda yang enggan berbahasa daerah karena merasa kolot dan terbelakang jika menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
“Ini masalah besar karena bahasa Lampung bisa punah dalam satu generasi ke depan,” ia mengkhawatirkan. Lagi pula, banyak orang tua yang memandang tidak perlu mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang bersuku asli Lampung juga tidak menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah tangganya.
“Oleh karena itu, tugas berat pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat Lampung adalah ikut peduli pada kelangsungan budayanya jika ingin tetap mengaku sebagai warga Lampung,” imbaunya. Jangan biarkan Mawardi sendiri yang risau dan gamang terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya lelulurnya. n
Source: Sinar Harapan
REVISTING KELAMPUNGAN
I M E L D A
Reformasi membawa udara perubahan di mana-mana. Salah satu tema yang kembali diangkat ialah identitas. Merespons hal ini, elite intelektual-politis Lampung kembali terilhami dengan pertanyaan mendasar mengenai siapa orang Lampung itu sebenarnya? Sebelum sampai pada apa yang menjadi inti kelampungan, akan diberikan ide-ide kelampungan dari latar politis Orde Baru. Baru kemudian kepada konsep kelampungan di era otonomi daerah.
Orde Baru dan Kelampungan
Hilman Hadikusuma adalah seorang elite intelektual Lampung yang merumuskan kelampungan pada era reformasi. Bukunya yang berjudul Masyarakat dan Adat Istiadat Lampung (1990) memuat beberapa kumpulan tulisan yang diakui pernah diangkat dalam seminar-seminar. Ada satu inti penjelasan mengenai kelampungan yang ia paparkan, yaitu piil pesenggiri.
Di dalam inti kelampungan tersebut, beliau memaparkan empat unsur piil pesenggiri, antara lain: (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, dan (4) sakai sambayan. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas apa makna setiap bagian piil pesenggiri tersebut, tetapi saya hanya ingin memfokuskan pada dua hal penting yang diangkat oleh Hadikusuma untuk menjawab persatuan dan kesatuan yang menjadi terma penting di era Orde Baru.
Persatuan ini ditafsirkan sebagai penghilangan feodalisme yang berpremordialisme dengan sepakat dengan pembedaan manusia berdasarkan strata sosial. Untuk menghilangkan itu, Hadikusuma menghadapkannya dengan modernisme yang sifatnya terbuka: one man one vote.
Dalam memasukkan idenya mengenai ini, pemikir Lampung ini melemahkan poin pertama dalam piil pesenggiri dan menguatkan tiga poin terakhir. Baginya, pelaksanaan juluk adek "mengambil gelar" dengan cakak begawei "naik adat" hanya menghambur-hamburkan uang. Upacara adat tersebut, menurut dia, dihilangkan saja dan gelar-gelar adat diganti dengan gelar-gelar kesarjanaan yang lebih cocok untuk menaklukan dunia pada zaman modern ini.
Sementara itu, nemui nyimah, nengah nyapur dan sakai sambayan diangkat sebagai nilai yang baik karena dengan itu orang Lampung menjadi orang yang terbuka dengan pendatang dan bisa berbagi karena suka saling memberi, dengan atau tanpa pamrih. Baginya, nilai-nilai ini sangat mengakomodasi "persatuan dan kesatuan" yang disinyalkan dari Jakarta.
Otda dan Kelampungan
Seiring dengan perubahan politik, terma persatuan dan kesatuan kembali diinterpretasi ulang: bersatu tidak berarti satu. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk kembali menentukan identitas dirinya. Untuk kepentingan identitas Lampung itu, seorang pemikir Lampung kembali memformulasikan kelampungan dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
Puspawidjaja ialah seorang penerus Hadikusuma yang menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006). Serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, sarjana ini juga kembali memikirkan tentang inti kelampungan yang bermuara pada piil pesenggiri.
Meski demikian, pemikiran yang dibuat oleh Puspawidjaja membalik apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya. Ia kembali mengangkat juluk adek sebagai ritual yang penting untuk dilakukan. Baginya hal tersebut tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme untuk menguatkan Kepunyimbangan "kepemimpinan" Adat Lampung. Tentu saja argumen tersebut benar karena dengan juluk adek akan kembali terbentuk stratifikasi sosial yang kembali kepada bentuk masa lalunya karena ada mekanisme pemilihan pemimpin atau raja hingga kepada pemimpin di ranah kerumahtanggaan.
Tiga poin lain juga menjadi tema penting yang dibahas oleh Puspawidjaja. Ini karena, baginya, menjadi Lampung adalah melaksanakan empat poin dalam piil pesenggiri. Namun, ada satu poin yang menjadi perhatian penting di dalam tiga poin terakhir, yaitu mawarei "bersaudara". Untuk hal tersebut, ia menulis satu bab khusus mengenai ritual mawarei, dari makna hingga cara pelaksanaannya.
Kelampungan: Bahasa Minoritias
Mengikuti ide-ide kelampungan dari Orde Baru hingga otonomi daerah seperti mendengarkan cerita mengenai kelompok minoritas. Mengapa demikian?
Pada era Orde Baru, Hadikusuma melihat orang Lampung sebagai kelompok minoritas secara eksplisit. Baginya daerah ini sudah penuh disesaki oleh pendatang-pendatang Jawa yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk asli Lampung. Ia menggambarkan peta Lampung seperti kepala ikan yang terbuka, yang siap memangsa para pendatang dari tanah Jawa.
Kata kunci minoritas ini kemudian diterjemahkan oleh Hadikusuma sebagai kelompok yang bisa menerima siapa saja dengan menghilangkan ritual-ritual yang menguatkan resistensi penduduk asli dengan pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut pendapat saya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk Lampung yang sedikit, tetapi juga posisi politis yang lemah. Pada masa Orde Baru, tentu kita tahu bahwa jabatan gubernur Lampung dan jabatan-jabatan penting yang menentukan, kebanyakan, ditunjuk dari atas dan, faktanya, mayoritas pejabat tersebut adalah orang Jawa. Selain itu, tekanan dari rezim Orba cukup kuat untuk meredam suara-suara dari kelompok minoritas.
Di masa otonomi daerah, sebenarnya suara keminoritasan itu tidak berkurang. Hanya nyalak aum-nya menjadi sedikit keras karena ada peluang bagi orang Lampung untuk berbicara. Namun, pada masa ini, sebagian intelektual lampung, termasuk Puspawidjaja, orang Jawa tidak dilihat sebagai eksistensi oposisi Lampung, tetapi sebagai rekan sederajat. Mengapa demikian? Bagi Puspawidjaja, kehadiran orang Jawa sudah sebagai realitas yang tidak bisa ditampikkan lagi sehingga menghilangkan Jawa, boleh dikatakan penghilangan identitas kelampungan. Hal ini bisa ditelisik dari pemikirannya mengenai mawarei karena melalui ritual ini adalah ia mengusulkan agar melampungkan orang non-Lampung (baca: Jawa) dengan ritual adat sehingga menjadi saudara yang dekat hubungannya.
Bagi saya, penafsiran identitas Lampung pada era otonomi daerah ialah sebuah langkah yang baik. Hal ini karena di saat daerah-daerah lain sibuk meliyankan dirinya dengan pengusiran-pengusiran penduduk pendatang atau melakukan aksi demo untuk membuat provinsi sendiri, sebaliknya, orang Lampung malah merangkul saudara se-Indonesia-nya (baca: Jawa) untuk menjadi mawarei.
Penduduk Lampung asli memang minoritas dan itu sebuah realitas. Akan tetapi, kelapangan hati orang Lampung membuat saya belajar sesuatu, yaitu menjadi minoritas di tengah Indonesia yang beragam ini tidak selalu harus menjadi terpojok. Dominasi minoritas dan mayoritas memang kapan saja bisa menghantui, tetapi, rasanya, di Lampung kontestasi tersebut tidak cukup beriak karena posisi politis yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Lampung dan kerja sama yang baik dari orang Jawa menjadi sinergi yang baik untuk membangun Provinsi Lampung.
Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Lampung Post, 17 Oktober 2009
Reformasi membawa udara perubahan di mana-mana. Salah satu tema yang kembali diangkat ialah identitas. Merespons hal ini, elite intelektual-politis Lampung kembali terilhami dengan pertanyaan mendasar mengenai siapa orang Lampung itu sebenarnya? Sebelum sampai pada apa yang menjadi inti kelampungan, akan diberikan ide-ide kelampungan dari latar politis Orde Baru. Baru kemudian kepada konsep kelampungan di era otonomi daerah.
Orde Baru dan Kelampungan
Hilman Hadikusuma adalah seorang elite intelektual Lampung yang merumuskan kelampungan pada era reformasi. Bukunya yang berjudul Masyarakat dan Adat Istiadat Lampung (1990) memuat beberapa kumpulan tulisan yang diakui pernah diangkat dalam seminar-seminar. Ada satu inti penjelasan mengenai kelampungan yang ia paparkan, yaitu piil pesenggiri.
Di dalam inti kelampungan tersebut, beliau memaparkan empat unsur piil pesenggiri, antara lain: (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, dan (4) sakai sambayan. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas apa makna setiap bagian piil pesenggiri tersebut, tetapi saya hanya ingin memfokuskan pada dua hal penting yang diangkat oleh Hadikusuma untuk menjawab persatuan dan kesatuan yang menjadi terma penting di era Orde Baru.
Persatuan ini ditafsirkan sebagai penghilangan feodalisme yang berpremordialisme dengan sepakat dengan pembedaan manusia berdasarkan strata sosial. Untuk menghilangkan itu, Hadikusuma menghadapkannya dengan modernisme yang sifatnya terbuka: one man one vote.
Dalam memasukkan idenya mengenai ini, pemikir Lampung ini melemahkan poin pertama dalam piil pesenggiri dan menguatkan tiga poin terakhir. Baginya, pelaksanaan juluk adek "mengambil gelar" dengan cakak begawei "naik adat" hanya menghambur-hamburkan uang. Upacara adat tersebut, menurut dia, dihilangkan saja dan gelar-gelar adat diganti dengan gelar-gelar kesarjanaan yang lebih cocok untuk menaklukan dunia pada zaman modern ini.
Sementara itu, nemui nyimah, nengah nyapur dan sakai sambayan diangkat sebagai nilai yang baik karena dengan itu orang Lampung menjadi orang yang terbuka dengan pendatang dan bisa berbagi karena suka saling memberi, dengan atau tanpa pamrih. Baginya, nilai-nilai ini sangat mengakomodasi "persatuan dan kesatuan" yang disinyalkan dari Jakarta.
Otda dan Kelampungan
Seiring dengan perubahan politik, terma persatuan dan kesatuan kembali diinterpretasi ulang: bersatu tidak berarti satu. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk kembali menentukan identitas dirinya. Untuk kepentingan identitas Lampung itu, seorang pemikir Lampung kembali memformulasikan kelampungan dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
Puspawidjaja ialah seorang penerus Hadikusuma yang menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006). Serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, sarjana ini juga kembali memikirkan tentang inti kelampungan yang bermuara pada piil pesenggiri.
Meski demikian, pemikiran yang dibuat oleh Puspawidjaja membalik apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya. Ia kembali mengangkat juluk adek sebagai ritual yang penting untuk dilakukan. Baginya hal tersebut tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme untuk menguatkan Kepunyimbangan "kepemimpinan" Adat Lampung. Tentu saja argumen tersebut benar karena dengan juluk adek akan kembali terbentuk stratifikasi sosial yang kembali kepada bentuk masa lalunya karena ada mekanisme pemilihan pemimpin atau raja hingga kepada pemimpin di ranah kerumahtanggaan.
Tiga poin lain juga menjadi tema penting yang dibahas oleh Puspawidjaja. Ini karena, baginya, menjadi Lampung adalah melaksanakan empat poin dalam piil pesenggiri. Namun, ada satu poin yang menjadi perhatian penting di dalam tiga poin terakhir, yaitu mawarei "bersaudara". Untuk hal tersebut, ia menulis satu bab khusus mengenai ritual mawarei, dari makna hingga cara pelaksanaannya.
Kelampungan: Bahasa Minoritias
Mengikuti ide-ide kelampungan dari Orde Baru hingga otonomi daerah seperti mendengarkan cerita mengenai kelompok minoritas. Mengapa demikian?
Pada era Orde Baru, Hadikusuma melihat orang Lampung sebagai kelompok minoritas secara eksplisit. Baginya daerah ini sudah penuh disesaki oleh pendatang-pendatang Jawa yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk asli Lampung. Ia menggambarkan peta Lampung seperti kepala ikan yang terbuka, yang siap memangsa para pendatang dari tanah Jawa.
Kata kunci minoritas ini kemudian diterjemahkan oleh Hadikusuma sebagai kelompok yang bisa menerima siapa saja dengan menghilangkan ritual-ritual yang menguatkan resistensi penduduk asli dengan pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut pendapat saya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk Lampung yang sedikit, tetapi juga posisi politis yang lemah. Pada masa Orde Baru, tentu kita tahu bahwa jabatan gubernur Lampung dan jabatan-jabatan penting yang menentukan, kebanyakan, ditunjuk dari atas dan, faktanya, mayoritas pejabat tersebut adalah orang Jawa. Selain itu, tekanan dari rezim Orba cukup kuat untuk meredam suara-suara dari kelompok minoritas.
Di masa otonomi daerah, sebenarnya suara keminoritasan itu tidak berkurang. Hanya nyalak aum-nya menjadi sedikit keras karena ada peluang bagi orang Lampung untuk berbicara. Namun, pada masa ini, sebagian intelektual lampung, termasuk Puspawidjaja, orang Jawa tidak dilihat sebagai eksistensi oposisi Lampung, tetapi sebagai rekan sederajat. Mengapa demikian? Bagi Puspawidjaja, kehadiran orang Jawa sudah sebagai realitas yang tidak bisa ditampikkan lagi sehingga menghilangkan Jawa, boleh dikatakan penghilangan identitas kelampungan. Hal ini bisa ditelisik dari pemikirannya mengenai mawarei karena melalui ritual ini adalah ia mengusulkan agar melampungkan orang non-Lampung (baca: Jawa) dengan ritual adat sehingga menjadi saudara yang dekat hubungannya.
Bagi saya, penafsiran identitas Lampung pada era otonomi daerah ialah sebuah langkah yang baik. Hal ini karena di saat daerah-daerah lain sibuk meliyankan dirinya dengan pengusiran-pengusiran penduduk pendatang atau melakukan aksi demo untuk membuat provinsi sendiri, sebaliknya, orang Lampung malah merangkul saudara se-Indonesia-nya (baca: Jawa) untuk menjadi mawarei.
Penduduk Lampung asli memang minoritas dan itu sebuah realitas. Akan tetapi, kelapangan hati orang Lampung membuat saya belajar sesuatu, yaitu menjadi minoritas di tengah Indonesia yang beragam ini tidak selalu harus menjadi terpojok. Dominasi minoritas dan mayoritas memang kapan saja bisa menghantui, tetapi, rasanya, di Lampung kontestasi tersebut tidak cukup beriak karena posisi politis yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Lampung dan kerja sama yang baik dari orang Jawa menjadi sinergi yang baik untuk membangun Provinsi Lampung.
Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Lampung Post, 17 Oktober 2009
PIIL PESENGGIRI ANTARA LANGIT DAN BUMI
INTAN ADE KEMALA DEVI
Masyarakat Lampung, sebagai kelompok etnik dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradaban dunia. Era itu saya sebut sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnik Lampung. Beberapa ciri suatu masyarakat memiliki peradaban ditandai adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Memiliki kebudayaan yang tercermin dalam ilmu pengetahuan, budaya, tradisi, bahasa, arsitektur, sastra (seni), termasuk adat istiadat yang establish secara turun-temurun.
Filsafat dan falsafah hidup piil pasenggiri, bahasa Lampung dalam dialek nyow dan api, aksara-baca tulis (ka ga nga), tatanan pemerintahan yang terbukukan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), kerajaan dan keratuan, sastra lisan dan tulisan, hasil kerajinan tenun tapis, teknologi arsitektur rumah panggung, sesat agung, pakaian, senjata, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan adalah bukti masyarakat etnik Lampung pernah mengalami kebudayaan dan puncak peradaban.
Sebagai daerah strategis dan terbuka, komunitas Lampung kemudian diketahui dunia luar, sehingga mengundang orang datang berinteraksi menjalin hubungan politik dan dagang, baik dari Cina maupun Eropa. Kisah sukses ini karena orang Lampung memiliki semangat dan etos piil pesenggiri. Etos ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat (status sosial).
Adakah jejak-jejak dan bekas-bekas kebudayaan dan peradaban yang amat agung tersebut di era kontemporer dewasa ini?
Orang Lampung hari ini sudah mulai tak kenal bahasanya sendiri. Aksara baca tulisnya, tidak banyak yang tahu tentang hukum adatnya, banyak yang kurang memahami falsafah hidup piil pesenggiri. Bahkan, yang sangat ironis orang Lampung dipersepsikan banyak orang sebagai orang yang malas, etos kerjanya rendah, pendidikannya rendah, dan stereotipe kurang baik lainnya.
Alhasil sebagai kelompok etnik, Lampung telah terjadi mobilitas sosial vertikal yang turun secara tajam dan terkesan menjadi penonton, bahkan tamu di rumahnya sendiri. Faktanya, kita akan mengalami kesulitan mencari dan menemukan di tengah-tengah komunitas (pekon, tiyuh, anek) yang masih memegang teguh nilai-nilai piil pesenggiri secara genuine.
Dahulu, piil pesenggiri sebagai falsafah hidup dan sistem nilai, norma sosial terintegrasi dalam sikap dan perilaku hidup masyarakat. Meskipun terdapat dalam kitab dan melembaga dalam kehidupan, belum menjadi kajian secara akademik.
Bagi masyarakat etnik Lampung, tradisi lisan lebih mendominasi khususnya di kalangan masyarakat awam. Tradisi tulisan (kitab-kitab hukum adat, sastra, dalam aksara Lampung) hanya ada di kalangan elite (tokoh adat) yang tidak diwariskan melalui proses belajar/diajarkan. Belakangan nilai-nilai tersebut disistematisasikan secara akademik oleh Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya. Kemudian wacana ini meluas di tingkat elite pemerintahan maupun tokoh masyarakat, dan akhirnya diakomodasi sebagai pendekatan politik-kultural dalam pembangunan di Lampung.
Wacana piil pesenggiri dewasa ini marak secara teoritik, filosofis, dan historis, namun realitas empirik sosiologis sudah mulai tak terlihat aktualitasnya. Kesan ini dianggap Firdaus Augustian bahwa piil pesenggiri telah kehilangan relevansinya dalam dunia yang mengglobal. Bagi saya, pandangan ini tidak keliru, meskipun tidak sepenuhnya benar. Seharusnya ini menjadi starting point melakukan otokritik atas nilai-nilai yang disadari atau tidak sudah mulai pudar.
Masyarakat etnik Lampung sebagai sebuah komunitas sedang mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar dan dramatis akibat developmentalisme dan modernisme sebagai paradigma pembangunan pasca-Indonesia merdeka. Nilai-nilai kearifan lokal, termasuk piil pesenggiri dan sistem budaya lainnya, dianggap kurang mendukung pembangunan kalau tidak dikatakan menghambat pembangunan.
Terpisahnya nilai-nilai "langit" dengan sikap hidup aktual sebagai implementasi dalam domain "bumi" menyebabkan perdebatan dan polemik piil pesenggiri semakin abstrak, yang berada pada posisi antara langit dan bumi.
Mewacanakan piil pesenggiri dengan sengaja melepaskan nilai-nilai historis filosofis adalah naif dan ahistoris. Begitu pun sebaliknya dengan asyiknya kita bermain di tataran filosofis historis tanpa berpijak pada realitas perubahan dan kondisi kekinian akan terjebak pada sikap romantisme dan apologetik.
Adalah hal yang menarik bila keprihatinan ini mengarah pada kesadaran melakukan penelitian dengan pertanyaan mendasar mengapa hal itu bisa terjadi dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya dan akibatnya?
Dalam perkembangan sejarah yang cukup panjang dengan melewati fase-fase pemerintahan dari keratuan, kerajaan, masa penjajahan, era kemerdekaan, dan pembangunan, masyarakat Lampung mengalami proses perubahan sosial yang cukup signifikan dalam berbagai aspek, yaitu meliputi perubahan struktur sosial politik budaya dan ekonomi.
Perubahan sosial tersebut disebabkan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, kebijakan penjajah Belanda menerapkan kebijakan kolonisasi tahun 1905 untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan, kebijakan pemerintah sejak Indonesia merdeka dan diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Faktor internal adalah kelambanan adaptasi atas perubahan sosial yang terjadi. Di antara yang cukup penting adalah perubahan pola nafkah di sektor pertanian ke luar sektor pertanian, seperti lapangan pekerjaan baru di birokrasi pemerintahan, dan industri tanpa diikuti akses pengetahuan dan keterampilan. Proses ini terjadi secara alamiah tanpa dukungan desain perencanaan dan kebijakan pemerintah.
Untuk itu patut kita cermati perkembangan tersebut. Mengkritisi dan mempertanyakan, menemukan pola dan kebijakan baru dan tepat. Kenyataan atas pluralitas, khususnya dari segi kesukubangsaan pendatang?
Tidakkah pluralitas kesukubangsaan ini menawarkan sistem nilai lain? Apakah proses asimiliasi, akulturasi, dan integrasi sudah terjadi di masyarakat kita? Mungkinkah kita mampu membangun falsafah hidup dan sistem nilai baru dalam bingkai pluralitas kesukubangsaan? Apakah relevan kita meredefinisi, reinterpretasi, dan reaktualisasi piil pesenggiri yang dibangun dari fenomena empirik masyarakat kita hari ini dan dalam perspektif ke depan? Betapa urgenkah itu untuk kita risaukan?
Sumber : Intan Ade Kemala Devi blog
Masyarakat Lampung, sebagai kelompok etnik dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradaban dunia. Era itu saya sebut sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnik Lampung. Beberapa ciri suatu masyarakat memiliki peradaban ditandai adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Memiliki kebudayaan yang tercermin dalam ilmu pengetahuan, budaya, tradisi, bahasa, arsitektur, sastra (seni), termasuk adat istiadat yang establish secara turun-temurun.
Filsafat dan falsafah hidup piil pasenggiri, bahasa Lampung dalam dialek nyow dan api, aksara-baca tulis (ka ga nga), tatanan pemerintahan yang terbukukan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), kerajaan dan keratuan, sastra lisan dan tulisan, hasil kerajinan tenun tapis, teknologi arsitektur rumah panggung, sesat agung, pakaian, senjata, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan adalah bukti masyarakat etnik Lampung pernah mengalami kebudayaan dan puncak peradaban.
Sebagai daerah strategis dan terbuka, komunitas Lampung kemudian diketahui dunia luar, sehingga mengundang orang datang berinteraksi menjalin hubungan politik dan dagang, baik dari Cina maupun Eropa. Kisah sukses ini karena orang Lampung memiliki semangat dan etos piil pesenggiri. Etos ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat (status sosial).
Adakah jejak-jejak dan bekas-bekas kebudayaan dan peradaban yang amat agung tersebut di era kontemporer dewasa ini?
Orang Lampung hari ini sudah mulai tak kenal bahasanya sendiri. Aksara baca tulisnya, tidak banyak yang tahu tentang hukum adatnya, banyak yang kurang memahami falsafah hidup piil pesenggiri. Bahkan, yang sangat ironis orang Lampung dipersepsikan banyak orang sebagai orang yang malas, etos kerjanya rendah, pendidikannya rendah, dan stereotipe kurang baik lainnya.
Alhasil sebagai kelompok etnik, Lampung telah terjadi mobilitas sosial vertikal yang turun secara tajam dan terkesan menjadi penonton, bahkan tamu di rumahnya sendiri. Faktanya, kita akan mengalami kesulitan mencari dan menemukan di tengah-tengah komunitas (pekon, tiyuh, anek) yang masih memegang teguh nilai-nilai piil pesenggiri secara genuine.
Dahulu, piil pesenggiri sebagai falsafah hidup dan sistem nilai, norma sosial terintegrasi dalam sikap dan perilaku hidup masyarakat. Meskipun terdapat dalam kitab dan melembaga dalam kehidupan, belum menjadi kajian secara akademik.
Bagi masyarakat etnik Lampung, tradisi lisan lebih mendominasi khususnya di kalangan masyarakat awam. Tradisi tulisan (kitab-kitab hukum adat, sastra, dalam aksara Lampung) hanya ada di kalangan elite (tokoh adat) yang tidak diwariskan melalui proses belajar/diajarkan. Belakangan nilai-nilai tersebut disistematisasikan secara akademik oleh Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya. Kemudian wacana ini meluas di tingkat elite pemerintahan maupun tokoh masyarakat, dan akhirnya diakomodasi sebagai pendekatan politik-kultural dalam pembangunan di Lampung.
Wacana piil pesenggiri dewasa ini marak secara teoritik, filosofis, dan historis, namun realitas empirik sosiologis sudah mulai tak terlihat aktualitasnya. Kesan ini dianggap Firdaus Augustian bahwa piil pesenggiri telah kehilangan relevansinya dalam dunia yang mengglobal. Bagi saya, pandangan ini tidak keliru, meskipun tidak sepenuhnya benar. Seharusnya ini menjadi starting point melakukan otokritik atas nilai-nilai yang disadari atau tidak sudah mulai pudar.
Masyarakat etnik Lampung sebagai sebuah komunitas sedang mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar dan dramatis akibat developmentalisme dan modernisme sebagai paradigma pembangunan pasca-Indonesia merdeka. Nilai-nilai kearifan lokal, termasuk piil pesenggiri dan sistem budaya lainnya, dianggap kurang mendukung pembangunan kalau tidak dikatakan menghambat pembangunan.
Terpisahnya nilai-nilai "langit" dengan sikap hidup aktual sebagai implementasi dalam domain "bumi" menyebabkan perdebatan dan polemik piil pesenggiri semakin abstrak, yang berada pada posisi antara langit dan bumi.
Mewacanakan piil pesenggiri dengan sengaja melepaskan nilai-nilai historis filosofis adalah naif dan ahistoris. Begitu pun sebaliknya dengan asyiknya kita bermain di tataran filosofis historis tanpa berpijak pada realitas perubahan dan kondisi kekinian akan terjebak pada sikap romantisme dan apologetik.
Adalah hal yang menarik bila keprihatinan ini mengarah pada kesadaran melakukan penelitian dengan pertanyaan mendasar mengapa hal itu bisa terjadi dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya dan akibatnya?
Dalam perkembangan sejarah yang cukup panjang dengan melewati fase-fase pemerintahan dari keratuan, kerajaan, masa penjajahan, era kemerdekaan, dan pembangunan, masyarakat Lampung mengalami proses perubahan sosial yang cukup signifikan dalam berbagai aspek, yaitu meliputi perubahan struktur sosial politik budaya dan ekonomi.
Perubahan sosial tersebut disebabkan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, kebijakan penjajah Belanda menerapkan kebijakan kolonisasi tahun 1905 untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan, kebijakan pemerintah sejak Indonesia merdeka dan diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Faktor internal adalah kelambanan adaptasi atas perubahan sosial yang terjadi. Di antara yang cukup penting adalah perubahan pola nafkah di sektor pertanian ke luar sektor pertanian, seperti lapangan pekerjaan baru di birokrasi pemerintahan, dan industri tanpa diikuti akses pengetahuan dan keterampilan. Proses ini terjadi secara alamiah tanpa dukungan desain perencanaan dan kebijakan pemerintah.
Untuk itu patut kita cermati perkembangan tersebut. Mengkritisi dan mempertanyakan, menemukan pola dan kebijakan baru dan tepat. Kenyataan atas pluralitas, khususnya dari segi kesukubangsaan pendatang?
Tidakkah pluralitas kesukubangsaan ini menawarkan sistem nilai lain? Apakah proses asimiliasi, akulturasi, dan integrasi sudah terjadi di masyarakat kita? Mungkinkah kita mampu membangun falsafah hidup dan sistem nilai baru dalam bingkai pluralitas kesukubangsaan? Apakah relevan kita meredefinisi, reinterpretasi, dan reaktualisasi piil pesenggiri yang dibangun dari fenomena empirik masyarakat kita hari ini dan dalam perspektif ke depan? Betapa urgenkah itu untuk kita risaukan?
Sumber : Intan Ade Kemala Devi blog
PIIL PESENGGIRI : NILAI BUDAYA
NILAI BUDAYA
Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga itu tadi (Koentjaraningrat, 1985).
Nilai budaya merupakan konstruk yang disimpulkan sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan, istilah nilai menunjuk pada suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif (C. Kluckhon dalam Berry, 1999).
Sedangkan menurut Hofstede (dalam Berry, 1999) Nilai budaya merupakan kecenderungan umum untuk lebih menyukai keberadaan tertentu dari tata pergaulan dengan orang lain. Nilai biasa dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter (tabiat) dari pada sikap, namun kurang umum jika dibandingkan dengan ideologi. Nilai tampak sebagai ciri individu dan masyarakat yang relatif lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya (Berry Dkk, 1999).
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya tersebut sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diserapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat (Rino, 2007).
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1985).
Sumber :PIIL PESENGGIRI FACEBOOK
Literatur
Berry, J,W. 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Rino, M, A. 2007. Gambaran Perilaku yang Dipahami Masyarakat Lampung Pepadun (Abung Siwo Mego) Sebagai Piil Pesenggiri dan Kesenjangannya Dengan Nilai-nilai Luhur Piil Pesenggiri. Jakarta: FPSI Univ. Gunadarma.
Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga itu tadi (Koentjaraningrat, 1985).
Nilai budaya merupakan konstruk yang disimpulkan sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan, istilah nilai menunjuk pada suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif (C. Kluckhon dalam Berry, 1999).
Sedangkan menurut Hofstede (dalam Berry, 1999) Nilai budaya merupakan kecenderungan umum untuk lebih menyukai keberadaan tertentu dari tata pergaulan dengan orang lain. Nilai biasa dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter (tabiat) dari pada sikap, namun kurang umum jika dibandingkan dengan ideologi. Nilai tampak sebagai ciri individu dan masyarakat yang relatif lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya (Berry Dkk, 1999).
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya tersebut sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diserapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat (Rino, 2007).
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1985).
Sumber :PIIL PESENGGIRI FACEBOOK
Literatur
Berry, J,W. 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Rino, M, A. 2007. Gambaran Perilaku yang Dipahami Masyarakat Lampung Pepadun (Abung Siwo Mego) Sebagai Piil Pesenggiri dan Kesenjangannya Dengan Nilai-nilai Luhur Piil Pesenggiri. Jakarta: FPSI Univ. Gunadarma.
POLITISASI MASYARAKAT ADAT LAMPUNG
UDO Z. KARZI
TERBATA-bata Fachrudin (Lampung Post, 12 Juni 2007) menuliskan sebuah apologi -- kalau tidak mau disebut sebagai sebuah upaya justifikasi -- atas napak tilas Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang disertai Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Kesultanan Kecirebonan. Tulisan Fachrudin dihajatkan untuk menanggapi esai A. Ichlas Syukuri, "Matinya 'Penyimbang' Adat" (Lampung Post, 26 Mei 2007).
Fachrudin memang mengatakan ada dua masalah yang diangkat Ichlas Syukurie, yaitu mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang mengklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung dan meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napak tilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat. Namun, sesungguhnya Fachrudin sama sekali tidak menyentuh esensi dari esai Ichlas tersebut.
Selain dua masalah itu, hal yang lebih substansi apa yang ingin dikatakan Ichlas melalui esainya itu, antara lain betapa rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini. Lampung, kata Ichlas, termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-ga-nga. Namun, kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Meneruskan apa yang dinyatakan Ichlas, yang secara tersirat ingin mengatakan "kekagumannya" pada kebudayaan Lampung yang memiliki sistem aksara sendiri (kaganga), saya ingin menambahkan sebuah fakta baru yang dikemukakan Louis-Charles Damais (1995) dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta hlm. 26-45. Menurut Damais, di antara Liwa dan Gunung Pesagi, terdapat Prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 M) yang (mungkin) ada kaitannya dengan Kerajaan Sekalabrak.
Saya pikir, bukti-bukti sejarah seperti ini lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable. Saya lebih sepakat dengan Ichlas bahwa untuk mencari jejak (kebudayaan) ulun Lampung; bukan dengan mencari bukti atau napak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, kalau itu yang dilakukan, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa-apa.
Ini kontradiksi dengan pernyataan (kenyataan?) bahwa kebudayaan Lampung yang ‘adiluhung’ telah berkembang lama, jauh sebelum masuknya Islam dari Cirebon dan Banten. Lihat saja prasasti yang berangka tahun 997 M atau bahkan jauh sebelum itu.
Meskipun Fachrudin berusaha sekuat tenaga menjelaskan, apa pentingnya napak tilas, piil pesenggiri, Kesultanan Islam, serta perjanjian Lampung dan Banten; sulit bagi saya untuk menyetujui betapa berartinya napak tilas para "tokoh adat Lampung" itu ke Kesultanan Kecirebonan. Sampai hari ini, saya tidak mengerti apa yang telah dilakukan Gubernur Sjachroedin Z.P. dan juga MPAL (dulu: Lembaga Masyarakat Adat Lampung) dalam membangun kebudayaan Lampung. Saya juga bertanya-tanya strategi kebudayaan yang seperti apa yang dikembangkan Pemprov Lampung dan juga LPAL untuk membangun Kebudayaan Lampung (dengan K huruf besar)?
***
Saya justru mendapati bagaimana kebudayaan Lampung menjadi tidak berarti apa-apa setelah Fachrudin mengatakan, "pesinggiri" berasal dari kata bahasa Sunda, "pasanggiri" yang berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Lalu, di Lampung berhasil disandingkan dengan piil, sehingga terformulasi dalam piil pesenggiri bersama unsurnya. Dst.
Kalaulah benar piil pesenggiri itu justru dipengaruhi (terpengaruhi) oleh Kesultanan Kecirebonan, maka runtuhlah kemuliaan "piil pesenggiri" yang diagung-agungkan selama ini. Benarlah kata Firdaus Augustian yang menyebut piil pesenggiri sebagai puzzle. Konsep piil pesenggiri sebagai unsur kebudayaan Lampung bukan asli, melainkan diadopsi dari Cirebon.
Cerita Fachrudin selanjutnya, dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka, pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Komentar saya: seluruh kisah Fachrudin menempatkan Cirebon dan Banten sebagai "penjajah" yang gagal bagi pembentukan kebudayaan Lampung. Kalau itu benar, Lampung sebagai sebuah masyarakat etnis (society) dan kebudayaan (culture) sungguh tidak memiliki identitas apa-apa. Semua segi kehidupan (kebudayaan) ulun Lampung dipengaruhi dari luar Lampung, yang dalam kisah Fachrudin berasal dipengaruhi oleh Cirebon dan Banten.
* * *
Sebenarnya, sejak dulu saya paling tidak setuju dengan pembentukan LMAL atau MPAL. Bukan soal keterwakilan atau tidak, tetapi yang terjadi dengan keberadaan institusi itu adalah "politisasi adat" untuk merebut kekuasaan dan kemudian menjaga kelanggengan rezim yang berkuasa. Lihat saja pengurus MPAL yang diisi oleh pejabat/mantan pejabat atau orang-orang yang dekat (bisa juga mendekatkan diri) pada sumbu kekuasaan.
Kalau mau jujur, yang disebut penyimbang adat atau saibatin toh tidak otomatis memiliki jabatan di lembaga pemerintahan. Mereka ada di komunitas adat mereka masing-masing dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka itu. Jadi, memang agak susah seorang pejabat mengklaim diri sebagai pemimpin adat bagi seluruh masyarakat adat di Lampung.
Maka, bukan hal berlebihan jika ada yang menuding institusionalisasi masyarakat adat dalam wadah semacam MPAL atau nama lainnya sebagai sebuah upaya sentralisasi adat. Lihat saja, nanti MPAL akan membentuk cabang di kota/kabupaten, bahkan mungkin hingga kecamatan dan kelurahan/pekon. Dengan adanya MPAL, adat-istiadat seakan-akan dibuat formal atau dibakukan berdasarkan versi pengurus MPAL.
Padahal, sudah jelas dalam Lambang Provinsi Lampung tertulis tentang "Sang Bumi Ruwa Jurai" sebagai pengakuan tidak mungkin adanya penyeragaman. Lampung itu kan multikultur. Dan, etnis Lampung juga plural. Tafsir-tafsir tentang kebudayaan Lampung (adat-istiadat, kebiasaan, kesenian, cara-cara berbicara, pola tindakan, dan sebagainya) juga multitafsir. Heterogenitas ini kan harusnya dihormati. Jadi, biarlah kebudayaan Lampung tumbuh dengan pluralitasnya.
* * *
Gugatan terhadap keberadaan lembaga adat itu sebenarnya telah muncul dalam Kongres Masyarakat Adat Nasional atau KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007, yang juga diikuti MPAL. Catatan penting dari kongres adat itu: rawannya posisi masyarakat adat dan hukum adat ketika berhadapan dengan politik kepentingan negara di satu sisi, dan pragmatisme kepentingan modal di daerah.
Kalau wakil MPAL nyaris tidak terdengar suaranya dalam kongres adat itu, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh justru menyatakan keluar dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sebelum KMAN III ditutup. Langkah penguatan struktur organisasi masyarakat adat yang dilakukan dalam kongres dinilai berorientasi sentralistik.
"Kami cukup trauma dengan mekanisme struktural organisasi yang sentralistik. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan ke dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai tingkat wilayah," kata koordinator Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Yuriun waktu itu.
* * *
Jadi, sudahlah MPAL! Tidak usah terlalu berambisi hendak menjadi pemimpin seluruh masyarakat adat Lampung. Perbanyak saja riset dan kajian tentang kebudayaan Lampung untuk melahirkan karya-karya yang bisa dirujuk kebenarannya dan menjadi referensi bagi kita yang ingin memperdalam Kebudayaan Lampung.
* Dengan sedikit perubahan, dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
0 Responses to "Esai: Politisasi Masyarakat Adat Lampung*"
TERBATA-bata Fachrudin (Lampung Post, 12 Juni 2007) menuliskan sebuah apologi -- kalau tidak mau disebut sebagai sebuah upaya justifikasi -- atas napak tilas Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang disertai Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Kesultanan Kecirebonan. Tulisan Fachrudin dihajatkan untuk menanggapi esai A. Ichlas Syukuri, "Matinya 'Penyimbang' Adat" (Lampung Post, 26 Mei 2007).
Fachrudin memang mengatakan ada dua masalah yang diangkat Ichlas Syukurie, yaitu mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang mengklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung dan meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napak tilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat. Namun, sesungguhnya Fachrudin sama sekali tidak menyentuh esensi dari esai Ichlas tersebut.
Selain dua masalah itu, hal yang lebih substansi apa yang ingin dikatakan Ichlas melalui esainya itu, antara lain betapa rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini. Lampung, kata Ichlas, termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-ga-nga. Namun, kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Meneruskan apa yang dinyatakan Ichlas, yang secara tersirat ingin mengatakan "kekagumannya" pada kebudayaan Lampung yang memiliki sistem aksara sendiri (kaganga), saya ingin menambahkan sebuah fakta baru yang dikemukakan Louis-Charles Damais (1995) dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta hlm. 26-45. Menurut Damais, di antara Liwa dan Gunung Pesagi, terdapat Prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 M) yang (mungkin) ada kaitannya dengan Kerajaan Sekalabrak.
Saya pikir, bukti-bukti sejarah seperti ini lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable. Saya lebih sepakat dengan Ichlas bahwa untuk mencari jejak (kebudayaan) ulun Lampung; bukan dengan mencari bukti atau napak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, kalau itu yang dilakukan, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa-apa.
Ini kontradiksi dengan pernyataan (kenyataan?) bahwa kebudayaan Lampung yang ‘adiluhung’ telah berkembang lama, jauh sebelum masuknya Islam dari Cirebon dan Banten. Lihat saja prasasti yang berangka tahun 997 M atau bahkan jauh sebelum itu.
Meskipun Fachrudin berusaha sekuat tenaga menjelaskan, apa pentingnya napak tilas, piil pesenggiri, Kesultanan Islam, serta perjanjian Lampung dan Banten; sulit bagi saya untuk menyetujui betapa berartinya napak tilas para "tokoh adat Lampung" itu ke Kesultanan Kecirebonan. Sampai hari ini, saya tidak mengerti apa yang telah dilakukan Gubernur Sjachroedin Z.P. dan juga MPAL (dulu: Lembaga Masyarakat Adat Lampung) dalam membangun kebudayaan Lampung. Saya juga bertanya-tanya strategi kebudayaan yang seperti apa yang dikembangkan Pemprov Lampung dan juga LPAL untuk membangun Kebudayaan Lampung (dengan K huruf besar)?
***
Saya justru mendapati bagaimana kebudayaan Lampung menjadi tidak berarti apa-apa setelah Fachrudin mengatakan, "pesinggiri" berasal dari kata bahasa Sunda, "pasanggiri" yang berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Lalu, di Lampung berhasil disandingkan dengan piil, sehingga terformulasi dalam piil pesenggiri bersama unsurnya. Dst.
Kalaulah benar piil pesenggiri itu justru dipengaruhi (terpengaruhi) oleh Kesultanan Kecirebonan, maka runtuhlah kemuliaan "piil pesenggiri" yang diagung-agungkan selama ini. Benarlah kata Firdaus Augustian yang menyebut piil pesenggiri sebagai puzzle. Konsep piil pesenggiri sebagai unsur kebudayaan Lampung bukan asli, melainkan diadopsi dari Cirebon.
Cerita Fachrudin selanjutnya, dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka, pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Komentar saya: seluruh kisah Fachrudin menempatkan Cirebon dan Banten sebagai "penjajah" yang gagal bagi pembentukan kebudayaan Lampung. Kalau itu benar, Lampung sebagai sebuah masyarakat etnis (society) dan kebudayaan (culture) sungguh tidak memiliki identitas apa-apa. Semua segi kehidupan (kebudayaan) ulun Lampung dipengaruhi dari luar Lampung, yang dalam kisah Fachrudin berasal dipengaruhi oleh Cirebon dan Banten.
* * *
Sebenarnya, sejak dulu saya paling tidak setuju dengan pembentukan LMAL atau MPAL. Bukan soal keterwakilan atau tidak, tetapi yang terjadi dengan keberadaan institusi itu adalah "politisasi adat" untuk merebut kekuasaan dan kemudian menjaga kelanggengan rezim yang berkuasa. Lihat saja pengurus MPAL yang diisi oleh pejabat/mantan pejabat atau orang-orang yang dekat (bisa juga mendekatkan diri) pada sumbu kekuasaan.
Kalau mau jujur, yang disebut penyimbang adat atau saibatin toh tidak otomatis memiliki jabatan di lembaga pemerintahan. Mereka ada di komunitas adat mereka masing-masing dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka itu. Jadi, memang agak susah seorang pejabat mengklaim diri sebagai pemimpin adat bagi seluruh masyarakat adat di Lampung.
Maka, bukan hal berlebihan jika ada yang menuding institusionalisasi masyarakat adat dalam wadah semacam MPAL atau nama lainnya sebagai sebuah upaya sentralisasi adat. Lihat saja, nanti MPAL akan membentuk cabang di kota/kabupaten, bahkan mungkin hingga kecamatan dan kelurahan/pekon. Dengan adanya MPAL, adat-istiadat seakan-akan dibuat formal atau dibakukan berdasarkan versi pengurus MPAL.
Padahal, sudah jelas dalam Lambang Provinsi Lampung tertulis tentang "Sang Bumi Ruwa Jurai" sebagai pengakuan tidak mungkin adanya penyeragaman. Lampung itu kan multikultur. Dan, etnis Lampung juga plural. Tafsir-tafsir tentang kebudayaan Lampung (adat-istiadat, kebiasaan, kesenian, cara-cara berbicara, pola tindakan, dan sebagainya) juga multitafsir. Heterogenitas ini kan harusnya dihormati. Jadi, biarlah kebudayaan Lampung tumbuh dengan pluralitasnya.
* * *
Gugatan terhadap keberadaan lembaga adat itu sebenarnya telah muncul dalam Kongres Masyarakat Adat Nasional atau KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007, yang juga diikuti MPAL. Catatan penting dari kongres adat itu: rawannya posisi masyarakat adat dan hukum adat ketika berhadapan dengan politik kepentingan negara di satu sisi, dan pragmatisme kepentingan modal di daerah.
Kalau wakil MPAL nyaris tidak terdengar suaranya dalam kongres adat itu, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh justru menyatakan keluar dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sebelum KMAN III ditutup. Langkah penguatan struktur organisasi masyarakat adat yang dilakukan dalam kongres dinilai berorientasi sentralistik.
"Kami cukup trauma dengan mekanisme struktural organisasi yang sentralistik. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan ke dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai tingkat wilayah," kata koordinator Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Yuriun waktu itu.
* * *
Jadi, sudahlah MPAL! Tidak usah terlalu berambisi hendak menjadi pemimpin seluruh masyarakat adat Lampung. Perbanyak saja riset dan kajian tentang kebudayaan Lampung untuk melahirkan karya-karya yang bisa dirujuk kebenarannya dan menjadi referensi bagi kita yang ingin memperdalam Kebudayaan Lampung.
* Dengan sedikit perubahan, dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
0 Responses to "Esai: Politisasi Masyarakat Adat Lampung*"
SETELAH NAPAK TILAS BUDAYA 'WHAT NEXT'
FACHRUDDIN
MEMBACA tulisan A. Ichlas Syukuri, editor pada penerbit Matakata dengan judul "Matinya Penyimbang Adat" yang dimuat di harian Lampung Post tercinta ini pada Sabtu, 26 Mei 2007, dapat dipastikan akan mengejutkan banyak pihak yang tergabung dari berbagai lembaga adat Lampung yang hingga kini pada umumnya masih eksis dan terikat dalam ikatan kekerabatan.
Setidaknya ada dua persoalan yang diangkat dalam tulisan tersebut. Pertama, mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang diklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung. Kedua, tampaknya penulis meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napaktilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat.
Tanggapan Beragam
Selaku putera daerah Lampung, saya tergabung dalam salah satu marga Kebuayan, antara saya dan pimpinan adat Kebuayan beserta anggota-anggota lainnya tentu memiliki hubungan tali menali dalam garis keturunan dan kekerabatan lainnya. Saya pantas kecewa bila saya tidak terwakili. Namun, walaupun demikian kita tidak boleh larut dalam kekecewaan karena merasa tak terwakili dalam rombongan napaktilas tersebut.
Patut menjadi catatan kita bersama, bahwa sekalipun dalam lingkup terbatas masyarakat pendukung dan pelaku budaya Lampung cukup beragam, oleh karena itu kita dituntut bijak, karena akan sulit untuk melakukan keterwakilan secara keseluruhan, kendati dalam rombongan besar sekalipun. Karena kita akan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Apalagi dari kelompok Pepadun, setiap saat kepenyimbangan dapat berkembang dengan dibukanya keran untuk "Cakak Pepadun" kendati dengan berbagai sarat yang tidak ringan sekalipun.
Esensi Napaktilas
Tidak ada pemimpin yang akan mampu mengakomodasi seluruh aspirasi komunitas yang dipimpinnya, dengan demikian dalam hal ini yang paling penting kita harus memelihara esensi dari napaktilas tersebut beserta tindaklanjutnya. Apalagi bila Gubernur Lampung Sjachroedin, Z.P. ada dalam rombongan tersebut, banyak hal yang dapat diperbuatnya untuk kemajuan kebudayaan daerah Lampung.
Di tengah-tengah kesibukannya selaku Gubernur ternyata masih sempat memperhatikan masalah kebudayaan, yang barangkali belum pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Siapa yang tidak bangga melihat "kilau tapis" yang bertengger melingkupi gedung gubernuran yang berdiri kekar itu. Kalaupun ada pihak-pihak yang memilki power dan memberikan perhatiannya kepada kebudayaan, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya saya kira patut kita terima secara ikhlas dan rasa syukur.
Juga sebagaimana Alhusniduki Hamim yang kita kenal selama ini, dengan kapabilitas dan kompetensinya, sebenarnya kita mempunyai keyakinan dan harapan bahwa yang bersangkutan mampu menindaklanjuti hasil napaktilas ini.
'Piil Pesenggiri'
Napaktilas ke Keraton Kacirebonan memiliki arti yang sangat penting karena dari sana kata Pesenggiri berasal. Kata pesenggiri (Pasanggiri : Sunda) di Cirebon berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Dan di Lampung berhasil disandingkan dengan kata piil. Sehingga terformulasi dalam Piil Pesenggiri bersama unsurnya.
Setelah kata pesenggiri dapat disandingkan dengan kata piil melalui proses islamisasi, sehingga kebanggaan piil seperti: Laki-laki ber-piil kepada perempuan, perempuan ber-piil pada makanan serta uang, anak gadis ber-piil pada kelakuan, dan anak laki-laki ber-piil pada ucapan yang konsekuen.
Maka setelah bersanding dengan pesenggiri menjadi nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Rumusan ini pada waktu itu diyakini representatif sebagai perekat akulturasi budaya Jawa-Lampung.
Kesultanan Islam
Dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Memang, program besar Cirebon untuk mengakulturasikan Jawa dengan pengalaman memimpin kerajaan dengan Sumatera yang relatif demokratis di Lampung, gagal sudah. Padahal, Lampung yang dikelilingi laut dan berpotensi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar sehingga dapat dujadikan pusat pendidikan dan kebudayaan tak kesampaian, akibat berbagai faktor.
MOU Lampung-Banten
Paskapenandatanganan MOU Lampung Banten yang diwakili Rartu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking, yang pada waktu ditindaklanjuti dengan kerja sama bilateral sebagaimana termaktub dalam "Prasasti Dalung Kuripan" antara lain ditindaklanjuti dengan kerja sama keprajuritan.
"Lamun ana musuh Lampung Banten Tutwuri, Lamun ana musuh Banten Lampung tutwuri" Lasykar Lampung memberikan dukungan invantri dalam berbagai peperangan yang dilakukan Banten, bahkan konon sebagian dari mereka hingga kini masih menetap di Banten dan beranak pinak di sana.
Tentu saja kerja sama keprajuritan ini tidak tepat dengan perkembangan sekarang, tetapi Alhusniduki Hamim dan rombongan kita yakini menemukan esensi hubungan Cirebon-Banten-Lampung, dalam bentuk berbagai peluang untuk dapat ditindaklanjuti guna membangun budaya Lampung, sehingga Lampung tidak kalah dengan daerah lainnya, sebagaimana disebutkan dalam visi Lampung. Semoga.
* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 12 Juni 2007
MEMBACA tulisan A. Ichlas Syukuri, editor pada penerbit Matakata dengan judul "Matinya Penyimbang Adat" yang dimuat di harian Lampung Post tercinta ini pada Sabtu, 26 Mei 2007, dapat dipastikan akan mengejutkan banyak pihak yang tergabung dari berbagai lembaga adat Lampung yang hingga kini pada umumnya masih eksis dan terikat dalam ikatan kekerabatan.
Setidaknya ada dua persoalan yang diangkat dalam tulisan tersebut. Pertama, mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang diklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung. Kedua, tampaknya penulis meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napaktilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat.
Tanggapan Beragam
Selaku putera daerah Lampung, saya tergabung dalam salah satu marga Kebuayan, antara saya dan pimpinan adat Kebuayan beserta anggota-anggota lainnya tentu memiliki hubungan tali menali dalam garis keturunan dan kekerabatan lainnya. Saya pantas kecewa bila saya tidak terwakili. Namun, walaupun demikian kita tidak boleh larut dalam kekecewaan karena merasa tak terwakili dalam rombongan napaktilas tersebut.
Patut menjadi catatan kita bersama, bahwa sekalipun dalam lingkup terbatas masyarakat pendukung dan pelaku budaya Lampung cukup beragam, oleh karena itu kita dituntut bijak, karena akan sulit untuk melakukan keterwakilan secara keseluruhan, kendati dalam rombongan besar sekalipun. Karena kita akan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Apalagi dari kelompok Pepadun, setiap saat kepenyimbangan dapat berkembang dengan dibukanya keran untuk "Cakak Pepadun" kendati dengan berbagai sarat yang tidak ringan sekalipun.
Esensi Napaktilas
Tidak ada pemimpin yang akan mampu mengakomodasi seluruh aspirasi komunitas yang dipimpinnya, dengan demikian dalam hal ini yang paling penting kita harus memelihara esensi dari napaktilas tersebut beserta tindaklanjutnya. Apalagi bila Gubernur Lampung Sjachroedin, Z.P. ada dalam rombongan tersebut, banyak hal yang dapat diperbuatnya untuk kemajuan kebudayaan daerah Lampung.
Di tengah-tengah kesibukannya selaku Gubernur ternyata masih sempat memperhatikan masalah kebudayaan, yang barangkali belum pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Siapa yang tidak bangga melihat "kilau tapis" yang bertengger melingkupi gedung gubernuran yang berdiri kekar itu. Kalaupun ada pihak-pihak yang memilki power dan memberikan perhatiannya kepada kebudayaan, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya saya kira patut kita terima secara ikhlas dan rasa syukur.
Juga sebagaimana Alhusniduki Hamim yang kita kenal selama ini, dengan kapabilitas dan kompetensinya, sebenarnya kita mempunyai keyakinan dan harapan bahwa yang bersangkutan mampu menindaklanjuti hasil napaktilas ini.
'Piil Pesenggiri'
Napaktilas ke Keraton Kacirebonan memiliki arti yang sangat penting karena dari sana kata Pesenggiri berasal. Kata pesenggiri (Pasanggiri : Sunda) di Cirebon berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Dan di Lampung berhasil disandingkan dengan kata piil. Sehingga terformulasi dalam Piil Pesenggiri bersama unsurnya.
Setelah kata pesenggiri dapat disandingkan dengan kata piil melalui proses islamisasi, sehingga kebanggaan piil seperti: Laki-laki ber-piil kepada perempuan, perempuan ber-piil pada makanan serta uang, anak gadis ber-piil pada kelakuan, dan anak laki-laki ber-piil pada ucapan yang konsekuen.
Maka setelah bersanding dengan pesenggiri menjadi nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Rumusan ini pada waktu itu diyakini representatif sebagai perekat akulturasi budaya Jawa-Lampung.
Kesultanan Islam
Dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Memang, program besar Cirebon untuk mengakulturasikan Jawa dengan pengalaman memimpin kerajaan dengan Sumatera yang relatif demokratis di Lampung, gagal sudah. Padahal, Lampung yang dikelilingi laut dan berpotensi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar sehingga dapat dujadikan pusat pendidikan dan kebudayaan tak kesampaian, akibat berbagai faktor.
MOU Lampung-Banten
Paskapenandatanganan MOU Lampung Banten yang diwakili Rartu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking, yang pada waktu ditindaklanjuti dengan kerja sama bilateral sebagaimana termaktub dalam "Prasasti Dalung Kuripan" antara lain ditindaklanjuti dengan kerja sama keprajuritan.
"Lamun ana musuh Lampung Banten Tutwuri, Lamun ana musuh Banten Lampung tutwuri" Lasykar Lampung memberikan dukungan invantri dalam berbagai peperangan yang dilakukan Banten, bahkan konon sebagian dari mereka hingga kini masih menetap di Banten dan beranak pinak di sana.
Tentu saja kerja sama keprajuritan ini tidak tepat dengan perkembangan sekarang, tetapi Alhusniduki Hamim dan rombongan kita yakini menemukan esensi hubungan Cirebon-Banten-Lampung, dalam bentuk berbagai peluang untuk dapat ditindaklanjuti guna membangun budaya Lampung, sehingga Lampung tidak kalah dengan daerah lainnya, sebagaimana disebutkan dalam visi Lampung. Semoga.
* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 12 Juni 2007
MATINYA PENYIMBANG ADAT
A. IKHLAS SYUKURI
NAPAKTILAS rombongan penyimbang dipimpin Alhusniduki Hamim dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan anggota Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Dewan Kesenian Lampung, beberapa elemen sosial, politik dan kultural masyarakat Lampung lainnya ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat beberapa bulan lalu, telah membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pergeseran konsep kepenyimbangan dalam realitas kultural masyarakat Lampung.
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
* A. Ichlas Syukurie, Editor pada Penerbit Matakata
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
NAPAKTILAS rombongan penyimbang dipimpin Alhusniduki Hamim dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan anggota Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Dewan Kesenian Lampung, beberapa elemen sosial, politik dan kultural masyarakat Lampung lainnya ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat beberapa bulan lalu, telah membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pergeseran konsep kepenyimbangan dalam realitas kultural masyarakat Lampung.
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
* A. Ichlas Syukurie, Editor pada Penerbit Matakata
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
'PIIL PESENGGIRI' SEMANGAT KELAMPUNGAN
Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
SUKU bangsa Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Fakta ini bisa disigi dan tercermin dari warisan kebudayaan yang dimiliki ulun--sebutan untuk orang--Lampung baik yang teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible).
Suku bangsa Lampung memiliki aksara baca-tulis yang bernama kaganga. Memiliki bahasa daerah dalam dua dialek nyow dan api, tatanan acuan pemerintahan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), tradisi, arsitektur, sastra serta adat istiadat yang terus bertumbuhkembang turun-temurun.
Bagaimana posisi kebudayaan Lampung dalam pergaulan kampung global kini? Apakah Lampung dengan kekayaan ikon budaya dan kearifan lokalnya bisa ikut menyumbang dan mewarnai kebudayaan global. Atau sebaliknya, Lampung justru tenggelam dalam ikon modernitas dan budaya lokalnya tergerus dan menuju kepunahan?
Budayawan Lampung Anshori Djausal menengarai konservasi budaya Lampung berjalan dinamis. Namun, dia juga tak kalah khawatir dan mengingatkan kalau saat ini eksistensi kebudayaan Lampung dihadapkan pada dua tantangan besar.
Secara internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya, pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana, dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Sedangkan secara eksternal, budaya Lampung dihadapkan pada serbuan budaya global melalui koran, radio, internet, dan televisi yang leluasa masuk ke ruang privasi kita. (Lampung Post, 31 Oktober 2009).
Memang, benar apa yang dikatakan Anshori, kalau kebudayaan Lampung ingin tetap eksis harus menggiatkan konservasi yang lebih terarah, punya visi, dan misi yang jelas.
Menurut pengamatan penulis selama ini yang terjadi langkah konservasi dan pelestarian yang dilakukan oleh berbagai dinas dan lembaga-lembaga terkesan berjalan sendiri-sendiri, bahkan sering tumpang tindih programnya.
Program-program yang ditaja dinas dan lembaga dalam upaya pelestarian terkesan hanya copy-paste dan sasarannya hanya itu ke itu saja. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi antara stakeholder atau miskinnya pemikiran para decicion maker dalam membuat program yang tepat sasaran sehingga asal proyek berjalan mulus dan tahun depan kembali APBD tetap bergulir.
Konservasi budaya Lampung bisa dilakukan bersama-sama dan bersinergi. Selain enam aspek yang ditawarkan Anshori Djausal dalam upaya konservasi budaya Lampung, penulis juga punya beberapa catatan yang bisa dijadikan acuan.
Langkah yang paling penting saat ini, kalau memang punya niatan untuk melakukan konservasi budaya Lampung dengan serius adalah memperkuat database dan membangun jejaring antarlembaga terkait dan pemangku kepentingan (stakeholder) baik yang ada di Lampung maupun di luar Lampung yang concern kepada kebudayaan (kesenian) Lampung.
Langkah selanjutnya, perlunya menginventarisasi para pelaku budaya Lampung dibarengi dengan membangun kantung-kantung kesenian di kampung-kampung atau tiyuh. Ini sekaligus bisa dipetakan sanggar-sanggar. Lembaga adat dan para pelaku budaya yang masih aktif. Kantung kebudayaan (kesenian) ini juga dapat dijadikan wadah pewarisan tradisi, kesenian, budaya, dan adat berlangsung.
Secara berkala bisa digelar festival budaya dan seni tradisi di situsnya, seperti yang dilakukan Soetanto Mendut dengan Festival Lima Gunungnya di kawasan Lembah Tidar, Magelang. Sehingga kantung-kantung kesenian (budaya) ini bisa bertumbuh kembang dan dijadikan destinasi wisata yang unik dan muaranya akan memakmurkan para pelaku budaya dan masyarakat setempat.
Penguatan Lembaga
Penguatan lembaga kesenian dan kebudayaan ini merupakan salah satu langkah penting. Lembaga-lembaga yang concern dengan budaya Lampung harus duduk satu meja sehingga tak jalan sendiri seperti selama ini menggodok konsep konservasi budaya yang bisa digarap bersama dan saling mengisi.
Menurut pengamatan penulis yang terjadi selama ini banyak bendera organisasi yang berkibar mengusung tagline budaya dan kesenian Lampung sebagai ladang pergerakan. Namun, kiprah lembaganya tak jelas, bahkan banyak yang hanya sekadar papan nama. Bahkan, akhir-akhir ini ditengarai beberapa lembaga kebudayaan (kesenian) sudah ikut larut dalam politik praktis. Fenomena ini bisa dilihat jika ada helat pilkada digelar di daerah.
Sekali lagi, penguatan lembaga ini sangat penting, karena lembaga yang profesional dan punya jejaring baik regional maupun internasional bisa menjadi sarana membawa budaya Lampung ke arena pergaulan kampung global. Penguatan lembaga bisa dilakukan baik dari segi administrasi maupun manajemen bisa menjadi bargaining power untuk fundrising dan mencari funding dalam menghidupi organisasi.
Ke depan penting digagas lahirnya lembaga Lampungologi--lembaga kebudayaan yang benar-benar berkosentrasi pada budaya Lampung. Lembaga ini tak harus lahir dari kalangan kampus (akedemisi), tetapi bisa dari kalangan independen terdiri dari budayawan, intelektual, peneliti, dan seniman.
'The Spirit of Lampung'
Selama ini konservasi budaya Lampung berjalan baru sebatas wadag belum menyentuh ruhnya. Lihat saja pada proyek mercusuar Menara Siger, gedung-gedung kantor yang berornamen Lampung dan pakaian adat Lampung yang sesekali dipakai para pejabat dalam acara-acara protokoler.
Tetapi apakah orang Lampung sudah memiliki semangat kelampungan dalam jiwanya? Kalau, ya, tak bakalan terjadi Hadiah Sastra Rancage 2009 lepas dari tangan Lampung, karena tak ada satu pun buku sastra Lampung yang ikut serta dalam seleksi.
Dan, alasannya pun sangat memprihatinkan tak ada penerbit di Lampung yang merilisnya. Di mana piil kita? Sementara miliaran rupiah menggelontor dalam kancah pilkada. Tak satu pun buku sastra Lampung yang terbit sepanjang 2008.
Padahal, orang Lampung sebagai salah satu masyarakat memiliki peradaban tinggi mempunyai falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Masyarakat adat Lampung pun punya piil pesenggiri, etos dan semangat kelampungan (the spirit of Lampung) sebagai dasar filosofinya.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Orang Lampung Pesisir menyebut: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Lampung Pepadun menyebut: piil pesenggiri (prinsip kehormatan); juluk adek (prinsip keberhasilan); nemui nyimah (prinsip penghargaan); nengah nyappur (prinsip persamaan); dan sakai sambayan (prinsip kerja sama).
Kearifan lokal ulun Lampung yang terkandung dalam semangat kelampungan piil pesenggiri ini bisa dijadikan modal dalam melakukan konservasi budaya Lampung.
Falsafah ini pula yang harus menginpirasi dan menjadi spirit dalam mengonservasi budaya Lampung yang sasarannya tak sekadar wadak, tetapi jiwa. Etos kerja dan spirit of Lampung (semangat kelampungan) piil pesenggiri harus terus digelorakan untuk membangun eksistensi budaya Lampung di tengah kampung global. Kalau Lampung tak ingin tenggelam, dengan semangat piil pesenggiri, kita harus berpikir lokal dan bertindak global. Begitu, Puaghi!
* Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, penghayat kearifan lokal
Sumber: Lampung Post, 14 November 2009
SUKU bangsa Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Fakta ini bisa disigi dan tercermin dari warisan kebudayaan yang dimiliki ulun--sebutan untuk orang--Lampung baik yang teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible).
Suku bangsa Lampung memiliki aksara baca-tulis yang bernama kaganga. Memiliki bahasa daerah dalam dua dialek nyow dan api, tatanan acuan pemerintahan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), tradisi, arsitektur, sastra serta adat istiadat yang terus bertumbuhkembang turun-temurun.
Bagaimana posisi kebudayaan Lampung dalam pergaulan kampung global kini? Apakah Lampung dengan kekayaan ikon budaya dan kearifan lokalnya bisa ikut menyumbang dan mewarnai kebudayaan global. Atau sebaliknya, Lampung justru tenggelam dalam ikon modernitas dan budaya lokalnya tergerus dan menuju kepunahan?
Budayawan Lampung Anshori Djausal menengarai konservasi budaya Lampung berjalan dinamis. Namun, dia juga tak kalah khawatir dan mengingatkan kalau saat ini eksistensi kebudayaan Lampung dihadapkan pada dua tantangan besar.
Secara internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya, pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana, dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Sedangkan secara eksternal, budaya Lampung dihadapkan pada serbuan budaya global melalui koran, radio, internet, dan televisi yang leluasa masuk ke ruang privasi kita. (Lampung Post, 31 Oktober 2009).
Memang, benar apa yang dikatakan Anshori, kalau kebudayaan Lampung ingin tetap eksis harus menggiatkan konservasi yang lebih terarah, punya visi, dan misi yang jelas.
Menurut pengamatan penulis selama ini yang terjadi langkah konservasi dan pelestarian yang dilakukan oleh berbagai dinas dan lembaga-lembaga terkesan berjalan sendiri-sendiri, bahkan sering tumpang tindih programnya.
Program-program yang ditaja dinas dan lembaga dalam upaya pelestarian terkesan hanya copy-paste dan sasarannya hanya itu ke itu saja. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi antara stakeholder atau miskinnya pemikiran para decicion maker dalam membuat program yang tepat sasaran sehingga asal proyek berjalan mulus dan tahun depan kembali APBD tetap bergulir.
Konservasi budaya Lampung bisa dilakukan bersama-sama dan bersinergi. Selain enam aspek yang ditawarkan Anshori Djausal dalam upaya konservasi budaya Lampung, penulis juga punya beberapa catatan yang bisa dijadikan acuan.
Langkah yang paling penting saat ini, kalau memang punya niatan untuk melakukan konservasi budaya Lampung dengan serius adalah memperkuat database dan membangun jejaring antarlembaga terkait dan pemangku kepentingan (stakeholder) baik yang ada di Lampung maupun di luar Lampung yang concern kepada kebudayaan (kesenian) Lampung.
Langkah selanjutnya, perlunya menginventarisasi para pelaku budaya Lampung dibarengi dengan membangun kantung-kantung kesenian di kampung-kampung atau tiyuh. Ini sekaligus bisa dipetakan sanggar-sanggar. Lembaga adat dan para pelaku budaya yang masih aktif. Kantung kebudayaan (kesenian) ini juga dapat dijadikan wadah pewarisan tradisi, kesenian, budaya, dan adat berlangsung.
Secara berkala bisa digelar festival budaya dan seni tradisi di situsnya, seperti yang dilakukan Soetanto Mendut dengan Festival Lima Gunungnya di kawasan Lembah Tidar, Magelang. Sehingga kantung-kantung kesenian (budaya) ini bisa bertumbuh kembang dan dijadikan destinasi wisata yang unik dan muaranya akan memakmurkan para pelaku budaya dan masyarakat setempat.
Penguatan Lembaga
Penguatan lembaga kesenian dan kebudayaan ini merupakan salah satu langkah penting. Lembaga-lembaga yang concern dengan budaya Lampung harus duduk satu meja sehingga tak jalan sendiri seperti selama ini menggodok konsep konservasi budaya yang bisa digarap bersama dan saling mengisi.
Menurut pengamatan penulis yang terjadi selama ini banyak bendera organisasi yang berkibar mengusung tagline budaya dan kesenian Lampung sebagai ladang pergerakan. Namun, kiprah lembaganya tak jelas, bahkan banyak yang hanya sekadar papan nama. Bahkan, akhir-akhir ini ditengarai beberapa lembaga kebudayaan (kesenian) sudah ikut larut dalam politik praktis. Fenomena ini bisa dilihat jika ada helat pilkada digelar di daerah.
Sekali lagi, penguatan lembaga ini sangat penting, karena lembaga yang profesional dan punya jejaring baik regional maupun internasional bisa menjadi sarana membawa budaya Lampung ke arena pergaulan kampung global. Penguatan lembaga bisa dilakukan baik dari segi administrasi maupun manajemen bisa menjadi bargaining power untuk fundrising dan mencari funding dalam menghidupi organisasi.
Ke depan penting digagas lahirnya lembaga Lampungologi--lembaga kebudayaan yang benar-benar berkosentrasi pada budaya Lampung. Lembaga ini tak harus lahir dari kalangan kampus (akedemisi), tetapi bisa dari kalangan independen terdiri dari budayawan, intelektual, peneliti, dan seniman.
'The Spirit of Lampung'
Selama ini konservasi budaya Lampung berjalan baru sebatas wadag belum menyentuh ruhnya. Lihat saja pada proyek mercusuar Menara Siger, gedung-gedung kantor yang berornamen Lampung dan pakaian adat Lampung yang sesekali dipakai para pejabat dalam acara-acara protokoler.
Tetapi apakah orang Lampung sudah memiliki semangat kelampungan dalam jiwanya? Kalau, ya, tak bakalan terjadi Hadiah Sastra Rancage 2009 lepas dari tangan Lampung, karena tak ada satu pun buku sastra Lampung yang ikut serta dalam seleksi.
Dan, alasannya pun sangat memprihatinkan tak ada penerbit di Lampung yang merilisnya. Di mana piil kita? Sementara miliaran rupiah menggelontor dalam kancah pilkada. Tak satu pun buku sastra Lampung yang terbit sepanjang 2008.
Padahal, orang Lampung sebagai salah satu masyarakat memiliki peradaban tinggi mempunyai falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Masyarakat adat Lampung pun punya piil pesenggiri, etos dan semangat kelampungan (the spirit of Lampung) sebagai dasar filosofinya.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Orang Lampung Pesisir menyebut: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Lampung Pepadun menyebut: piil pesenggiri (prinsip kehormatan); juluk adek (prinsip keberhasilan); nemui nyimah (prinsip penghargaan); nengah nyappur (prinsip persamaan); dan sakai sambayan (prinsip kerja sama).
Kearifan lokal ulun Lampung yang terkandung dalam semangat kelampungan piil pesenggiri ini bisa dijadikan modal dalam melakukan konservasi budaya Lampung.
Falsafah ini pula yang harus menginpirasi dan menjadi spirit dalam mengonservasi budaya Lampung yang sasarannya tak sekadar wadak, tetapi jiwa. Etos kerja dan spirit of Lampung (semangat kelampungan) piil pesenggiri harus terus digelorakan untuk membangun eksistensi budaya Lampung di tengah kampung global. Kalau Lampung tak ingin tenggelam, dengan semangat piil pesenggiri, kita harus berpikir lokal dan bertindak global. Begitu, Puaghi!
* Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, penghayat kearifan lokal
Sumber: Lampung Post, 14 November 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)