Thursday, September 13, 2012

Piil Pesenggiri Bukan Kirotoboso

Mempertahankan Piil Pesenggirik

Ada teman yang menmpertanyakan "Apa manfaatnya Membahas Piil Pesenggiri" sesuatu yang tak memiliki prospek yang jelas. Jangankan piil pesenggiri, pancasila sebagai dasar negarapun orang tak tertarik membicarakannya lagi. Sebagai salah seorang yang mengikuti proses pelaksanaan dialog kebudayaan yang menghebohkan itu, saya akan paham benar dengan pemikiran teman tadi, apalagi beliau juga hadir dalam dialog itu. Tetapi bagi saya perdebatan itu justeru menarik, karena perdebatan itu muncul ketika piil pesenggiri difahami oleh mereka sebagai adat, kita tahu sendiri dengan pola pemikiran adat. Padahal piil pesenggiri itu sebuah filsafat.

Rumus sebuah filsafat adalah sesuatu yang dilahirkan dari sebuah pemikiran yang bebas, free thinkers, itulah sebabnya maka manakala kita mengmpulkan beberapa orang filosof dan kita mintakan untuk membahas tentyang sesuatu, maka hasilnya bisa sama, bisa berbeda dan bahkan bisa bertentangan. dengan kata lain hampir tak mungkin dapat disatukan. Itu pula sebabnya, ada pihak yang berfikir bahwa berbicara tentang piil pesenggiri hanya mengundang perdebatan yang nyaris tak bermanfaat.

Tak tahan dengan keanekaragaman pendapat dan tafsiran akan piil pesenggiri, Firdaus Agustian yang semula mengaku sebagai pemilik sah piil pesenggiri karena dia telah 'berjuluk dan beradek' belakangan justeru berpendapat bahwa piil pesenggiri itu ibarat fuzzle belaka, sebuah mainan anak. Celakanya pendapat Firdaus Agustian ini banyak diamini oleh anak anak muda, aktivis seni di Lampung yang menginginkan ekspressi bebas dalam berseni, serta melepaskan diri dari kungkungan piil pesenggiri. sekalipun dia membawa nama Lampung, tetapi dia dapat berpindah pindah identitas, sebagai tafsir bebas semangat nasionalistik.

Tetapi ada yang lebih ekstrim, ketika saya bertanya kepada seorang pakar bahasa Lampung, saya katakan Piil pesenggiri yang sebenarnya dari bahasa apa? dengan enteng Ia mengatakan bahwa piil pesenggiri itu ibarat "kirotoboso" dalam bahasa jawa, yang dicontohkannya adalah kata 'Kodok' itu berasal dari kata kata teKO teKO ndoDok. Dengan kata lain piil pesenggiri itu tidak memiliki bobot kademis untuk dibahas, serta tidak memiliki kaitan historis dengan apapun, karena tidak lebih dari sebuah permainan kata kata, yang digatuk gatukkan saja, sehingga pas.

seperti digambarkan dengan gamblang Mus Mulyadi dalam satu lagu Jawa yang berjudul Kirotoboso, yaitu sebagai berikut : Edan tenan cekaan gawe mumet, pikar pikir nang siro tambah komet, simbah mbiyen gawe mung karu ngantuk, ngono ngini - ngini ngono yang gatuk. Cengkir jari kenceng ing pikir, kuping jari kaku jerpiping ..., kirotoboso itu tidak lebih dari permainan kata kata, "mung kiro kiro tapi yo nyoto". Kirotoboso itu pake rumus terbalik, ada dulu baru dibuat sejarahnya. Ada kata "katok" (celana) dulu baru dibuat kronologinya, diangKAT sikil sitTOK siTOK . Tetapi memang buktinya gatuk. Tapi tak dapat dipertanggungjawabkan. Di mata tokoh perempuan yang ditampilkan dalam seminar aksara daerah dan diperkenalkan sebagai pakar bahasa Lampung itu, sepertinya anti filsafat Lampung.

Semula batin saya protes bagaimana mungkin seorang ahli pakar bahasa Lampung dengan titel Doktor, dan bukunya tentang huruf kaganga menjadi acuan bagi guru guru bahasa daerah Lampung, menganggap bahwa falsafah piil pesenggiri itu tidak lebih dari kirotoboso yang sepakat sebagai sesuatu yang tak bisa dipertanggungjawabkan baik dari segi historis maupun segi filosofisnya. Sedangkan guru bahasa Inggris saja selalu memesankan bahwa untuk memahami bahasa Inggris diharuskan memahami falsafhnya. sementara pakar bahasa lampung menikdakkan falsafah bahasa Lampung. Bila racun ini menebar kepada para guru bahasa daerah lampung maka dapat dipastikan 'gagallah kita mengajarkan bahasa Lampung" kepada generasi muda kita. Apalah artinya bahasa dan aksara tampa budaya dan filsafat.

Tetapi saya tidak ingin memfonis tentang sikap seikap seperti ini, walaupun saya meyakini bahwa cara berfikir mereka itu keliru dalam memandang piil pesenggiri, karena tidak memandangnya dari segi filsafat. Kenalilah sekelompok orang dengan budayanya melalui falsafah yang berkembang di komunitas itu.

Dalam menulis sebuah cerpen saja, maka cerita dalam cerpen itu akan menjadi hambar manakala tidak memiliki dasar filosofis yang jelas dalam menuliskan alur ceritanya, tidak aitu kan menarik, karena sang tokoh tidak berkarakter, tidak kan menggambarkan sebuah pergumulan. cerita tampa perumulan adalah cerita hambar, bagi seorang penulis cerpendia harus memahami benar karakter apa dari tokoh tokoh yang yang dimunculkan dalam cerpen itu. Lalu ada permainan kata untuk menjerlaskan akan terjadinya benturan benturan antara gagasan filosofis itu realita yang ada.

Sebuah cerita akan menjadi menarik manakala ada benturan, dan bahkan sebuah hentakan itu sangat penting, dan dalam sebuah lagu merdu yang dinyanyikan secara lembutpun, tampa ada hentakan dalam lagi itu, maka lagu itu tak akan menjadi meraik, sebuah lagu akan memukau manakala ada terdapat hentakan. Kita sepakat mengatakan bahwa suara Siti Nurhaliza tergolong lembut dan merdu, tetapi perhatikanlah bahwa selalu ada hentakan dalam lagu lagunya, sehingga kita tertarik mendengarnya. Dunia filsafat tidak pernah sunyi dari berbagai hentakan itu.

ketika kita bicara budaya Lampung dengan menidakkan piil pesenggiri, maka dalam waktu bersamaan kita telah berpindah ke filsafat yang lain. Ketika itu yang terjadi maka kita akan mengalami kehilangan atau setidaknya pendangkalan identitas. semakin banyak orang bicara tentang budaya Lampung terlepas dari kontek falsafah yang berkembang di lampung, maka berarti kita sedang kehilangan identitas kelampungan dalam bahasan kita itu. Seperti kita mahir berbahasa Inggris tetapi tidak memiliki kepahaman akan falsafah Inggris, maka kita tidak akan nampak seperti orang yang paham Inggris. ketika para siswa diajarkan bahasa Lampung yang juga minus filsafat lampung, maka mata pelajaran bahasa lampung itu tidak memiliki makna. itu pula sebabnya pelajaran bahasa Lampung tiba tiba berubah menjadi sekedar pelajaran aksara Lampung, yang minus makna lantaran menidakkan filsafat Lampung. Akankah ini kita biarkan berlanjut.camkan itu.

No comments:

Post a Comment