Politikindonesia - Kearifan lokal bisa menyelamatkan warga dari erupsi Gunung Merapi. Sejak lama masyarakat di lereng Merapi, memiliki pengetahuan akan terjadinya bencana melalui pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal. Sayangnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak, sehingga kemampuan itu tak lagi diperhatikan.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Damardjati Kun Marjanto, mengemukakan hal itu, di Jakarta, Selasa (23/11).
Dalam penelitiannya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Damardjati menarik kesimpulan, sejak lama masyarakat di lereng Merapi telah akrab dengan bencana letusan gunung. Itulah yang menjadikan masyarakat di sana mengetahui bencana menjelang. Karena mereka telah terbiasa membaca tanda-tanda alam yang sesungguhnya sering berulang.
Pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal itu pada dasarnya menjadi pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan lingkungan. Termasuk nilai-nilai yang harus diketahui sebagai rasionalisasi prinsip kearifan lokal yang didukungnya dan menerjemahkan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa lokal.
Yang tidak kalah penting, tidak dikonfrontasikannya pengetahuan lokal yang disebut kearifan lokal itu, dengan pengetahuan logis rasional yang disebut vulkanologi. Pasalnya, kata Damar, pengetahuan lokal memiliki relevansi dengan hal praktis kehidupan sehari-hari warga di daerah rawan bencana.
Sekadar diketahui, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan atau kesulitan masyarakat. Semua itu diperoleh dari generasi sebelumnya secara turun temurun, melalui lisan atau contoh tindakan.
Damardjati menyebutkan, sebelum terjadi bencana, ada tanda-tanda alam, yang bagi masyarakat Yogyakarta menjadi kearifan lokal. Ia mencontohkan, perilaku binatang yang tidak seperti biasanya. Di antaranya, monyet dan kijang berlarian turun gunung. Lalu, anjing menggonggong terus menerus, burung kedasih berkicau pada malam hari, hingga cacing banyak keluar dari tanah.
Di luar itu, terjadi tanda alam. Seperti hawa panas, gumpalan hitam berwujud naga, kilatan putih, ada bunyi pecut "ther-ther", dan lain sebagainya. Ada juga wisik atau mimpi yang disampaikan oleh orang tua berpakaian Jawa kepada orang-orang tertentu.
Tetapi, Bambang Sulis, kolega Damardjati, peneliti dari institusi yang sama mengatakan, saat ini sulit menemukan tanda-tanda alam tersebut. Pasalnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak.
Dahulu, sebelum terjadi letusan Merapi, hewan yang pertama keluar dari hutan, turun ke perkampungan, harimau, kemudian burung. Berikutnya, monyet dan kijang. Sekarang sulit, kata dia, karena sudah tidak ada lagi harimau di sana.
Sumber : Politik Indonesia
No comments:
Post a Comment