Sunday, April 8, 2012

KEARIFAN LOKAL JAWA BUKAN SYIRIK


KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.

Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.

Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.

Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.

Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.

Perlambang

Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.

"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.

Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.

"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.

Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.

Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.

Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.
(Joko Dwi Hastanto/CN27)

Sumber : Suara Merdeka.

1 comment: