Monday, April 23, 2012
‘Segubal’, Makanan Lampung ala Negeri Olokgading
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kelurahan Negeri Olokgading masuk dalam kawasan Kecamatan Telukbetung Barat. Kelurahan yang memiliki luas sekitar 109 ha ini memiliki industri rumahan pembuatan makanan khas Lampung, yakni segubal.
====
Berkunjung ke Tanah Tapis tidak lengkap rasanya kalau tidak menikmati salah satu makanan khas daerah Lampung, yakni segubal. Makanan yang sudah hadir sejak lama ini merupakan makanan kebudayaan masyarakat asli Lampung.
Biasanya, saat Hari Raya, baik Idulfitri maupun Iduladha dan di saat-saat pesta budaya masyarakat Lampung, seperti perkawinan, sunatan, dan acara-acara budaya lainnya, makanan khas daerah Lampung ini keluar dihidangkan untuk tamu-tamu agung.
Segubal adalah bahan dari ketan yang dikukus dengan santan, lalu dibungkus daun pisang, atau daun kelapa (janur). Menyantap makanan ini biasanya ditemani gulai ayam, rendang daging, opor ayam, kari, tapai, dan lain-lain. Selain itu, makanan ini pun dapat dinikmati dengan sambal goreng ati, petai, atau jengkol.
Tak sulit mendapatkan makanan unik ini. Di lokasi Pasar Bambu Kuning, segubal selalu ramai terjual dan terfavorit bagi masyarakat setempat. Harganya pun sekitar Rp15 ribu saja/bungkusnya.
Warga Bandar Lampung yang banyak membuat segubal ini berasal dari Kelurahan Negeri Olokgading. Banyak warga sekitar maupun warga Bandar Lampung yang memesan segubal dalam jumlah besar kepada warga kelurahan ini.
Untuk Hajatan
Segubal yang ada di kelurahan ini dibuat Maisaroh, warga Jalan Setia Budi, RT 01 Lingkungan I. Maisaroh yang juga istri Ketua RT 01 kelurahan setempat, Syahrial, sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar. Baik dari warga sekitar yang ingin hajatan maupun warga lainnya.
"Kami punya segubal, kue tradisi orang Lampung. Penganan ini dibutuhkan saat hajatan dan bisa juga dipesan," kata Lurah Negeri Olokgading M. Badri ketika ditemui Lampung Post di ruang kerjanya, Jumat (20-4).
Pembuatan makanan ini membutuhkan waktu sekitar 10 jam. Caranya, ketan yang telah diberi santan dibungkus dengan daun pisang dan dikukus. Karena terbilang rumit dan membutuhkan ketelatenan ekstra, sudah jarang orang Lampung yang dapat membuat segubal.
Badri mengatakan saat ini warga Lampung lebih suka memesan segubal pada para pembuatnya. Sehingga, dia mendapat banyak pesanan, khusunya pada saat Lebaran maupun hajatan. Bahkan, pemesan segubal juga terkadang untuk oleh-oleh.
Selain itu, segubal ini pun sering dijajakan pengunjung saat ada kegiatan (pameran) di tingkat Kecamatan Telukbetung Barat. Saat MTQ Bandar Lampung beberapa waktu lalu di Pahoman, segubal dari Kelurahan Negeri Olokgading ini pun diperkenalkan ke pengunjung.
Karyawan yang dimiliki Maisaroh yang juga kader PKK kelurahan setempat hanya sebatas keluarganya. Home industry ini pun sudah turun-temurun sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Enggak sembarangan orang yang bisa buat segubal ini. Maisaroh ini salah satu pembuat segubal yang masih ada dan dipertahankan," kata Badri. (MG5/K-2)
Lampost/24 April 2012
Tuesday, April 10, 2012
Sekolah Membentuk Manusia Berbudaya
A. Rifqi Hidayat
Peneliti el-Wahid Center
Universitas Wahid Hasyim Semarang
PROSES kehidupan manusia selalu bergerak dialektis. Alam adalah ruang bagi manusia untuk belajar, memahami segala perubahannya. Alam pun menjelma guru bagi manusia. Manusia lantas menjadi penafsir atas kejadian alam dan memunculkan suatu respons yang menjadi benih lahirnya kebudayaan. Kebudayaan berikutnya menjadi narasi bagi manusia untuk menciptakan peradaban.
Proses belajar kepada alam, dengan demikian adalah fondasi terbentuknya apa yang kemudian disebut sebagai pendidikan. Sekolah adalah hasil peradaban kemusiaan ketika proses pendidikan terinstitusi, lengkap dengan segala aturannya.
Kebudayaan dari akar kata "budaya", dalam bahasa sansekerta buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi, yang artinya sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki pribadi berharga, ia memiliki hak-hak yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa oleh komunitasnya (masyarakat). Manusia sebagai pribadi yang utuh berpikir, menghamba (memiliki Tuhan), kesadaran yang utuh ini menjadikan manusia mampu berjalan selaras dengan alam, manusia yang berpendidikan.
Pendidikan menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya. Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, animal rationale, lebih dari sekadar binatang yang hanya memiliki insting. Manusia memiliki akal pikiran yang berfungsi mengendalikan diri dari naluri hewani. Masyarakat yang berpendidikan adalah masyarakat yang berbudaya. Dalam berbudaya manusia memiliki ketertarikan akan keindahan. Secara sederhana, kesenian adalah bentuk kebudayaan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Norma, etika, dan nilai sosial adalah kebudayaan yang menjadi spirit masyarakat.
Pemberdayaan Manusia
Sebagai sebuah proses, pendidikan lalu terfaksionalisasi ke dalam berbagai ragam, sesuai dengan nilai-nilai (ideologis, politis, agama) di mana institusi pendidikan itu berdiri. Pendidikan dalam perspektif Islam diistilahkan dengan kata tarbiyyah. Said Aqil Siraj menjelaskan tentang makna tarbiyyah dalam etimologi yang meliputi riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah yang tinggi), dan rabb (sifat Allah yang memelihara, mencintai dan mendidik).
Dengan demikian, pendidikan memiliki makna yang lebih luas dari sebatas pengajaran. Pendidikan mengandung makna menambah (pengetahuan), cita-cita luhur (tinggi), harapan dan tujuan memuliakan entitas lain, dan cinta kasih.
Paulo Freire merumuskan tentang pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala penindasan. Ini tak lepas dari ideologi Freire yang Marxis. Pendidikan bagi Freire menjadi narasi bagi masyarakat arus bawah untuk bangkit melawan tirani kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan sosial. Proses pendidikan harus mampu berada pada posisi yang sebenarnya dan tidak terbatas pada ruang kelas formal di lembaga pendidikan. Unsur pendidikan harus dapat dipraktekkan oleh setiap warga negara Indonesia, terlepas ia memiliki kemampuan pedagogis (mengajar secara formal) ataupun tidak.
Pendidikan dengan perspektif modernisasi mengurai berbagai persoalan kebangsaan. Pendidikan dalam etika sekolah formal harus memiliki nilai plus, kreativitas yang mengacu pada kemampuan produk pendidikan untuk bertahan dan hidup sesuai kemajuan peradaban karena maju berkembangnya suatu negara ditentukan oleh kemajuannya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan kemajuan pendidikan suatu bangsa mengacu pada kedewasaan dan budaya bangsa itu sendiri dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan juga harus mampu menjadi sebuah kebudayaan atau education is culture of human life's. Persoalan pendidikan, tidak hanya menyangkut pada pendidikan formal semata, akan tetapi pendidikan yang terarah dan terpadu dari lingkungan terkecil (keluarga). Pendidikan dalam skala nasional harus mampu menyadarkan manusia tentang potensi diri dan lingkungan sehingga tercipta semangat peningkatan kemampuan bangsa atau inner will.
Pendidikan Nonformal
Modernisasi dalam sistem pendidikan membawa dampak yang luar biasa bagi kebudayaan. Nilai-nilai yang sejatinya mengejawantah dalam sikap dan perilaku siswa di masyarakat. Namun, nilai-nilai berbasis pengetahun dan karakter hanya jatuh pada sifatnya yang banal; nilai dalam rapor atau UN.
Pendidikan nonformal yang memiliki kelebihan pada keteraturan dan keterukuran moralitas masyarakat, hadir menjadi autokritik bagi pendidikan resmi ala pemerintah. Pendidikan nonformal memiliki keterikatan pada nilai yang berarti norma dan etika. Mencermati hal tersebut selayaknya sekolah tidak hanya menjadi sebuah lembaga pendidikan formal, tetapi juga nonformal. Dwifungsi ini akan mampu menjadikan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat. n
Peneliti el-Wahid Center
Universitas Wahid Hasyim Semarang
PROSES kehidupan manusia selalu bergerak dialektis. Alam adalah ruang bagi manusia untuk belajar, memahami segala perubahannya. Alam pun menjelma guru bagi manusia. Manusia lantas menjadi penafsir atas kejadian alam dan memunculkan suatu respons yang menjadi benih lahirnya kebudayaan. Kebudayaan berikutnya menjadi narasi bagi manusia untuk menciptakan peradaban.
Proses belajar kepada alam, dengan demikian adalah fondasi terbentuknya apa yang kemudian disebut sebagai pendidikan. Sekolah adalah hasil peradaban kemusiaan ketika proses pendidikan terinstitusi, lengkap dengan segala aturannya.
Kebudayaan dari akar kata "budaya", dalam bahasa sansekerta buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi, yang artinya sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki pribadi berharga, ia memiliki hak-hak yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa oleh komunitasnya (masyarakat). Manusia sebagai pribadi yang utuh berpikir, menghamba (memiliki Tuhan), kesadaran yang utuh ini menjadikan manusia mampu berjalan selaras dengan alam, manusia yang berpendidikan.
Pendidikan menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya. Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, animal rationale, lebih dari sekadar binatang yang hanya memiliki insting. Manusia memiliki akal pikiran yang berfungsi mengendalikan diri dari naluri hewani. Masyarakat yang berpendidikan adalah masyarakat yang berbudaya. Dalam berbudaya manusia memiliki ketertarikan akan keindahan. Secara sederhana, kesenian adalah bentuk kebudayaan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Norma, etika, dan nilai sosial adalah kebudayaan yang menjadi spirit masyarakat.
Pemberdayaan Manusia
Sebagai sebuah proses, pendidikan lalu terfaksionalisasi ke dalam berbagai ragam, sesuai dengan nilai-nilai (ideologis, politis, agama) di mana institusi pendidikan itu berdiri. Pendidikan dalam perspektif Islam diistilahkan dengan kata tarbiyyah. Said Aqil Siraj menjelaskan tentang makna tarbiyyah dalam etimologi yang meliputi riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah yang tinggi), dan rabb (sifat Allah yang memelihara, mencintai dan mendidik).
Dengan demikian, pendidikan memiliki makna yang lebih luas dari sebatas pengajaran. Pendidikan mengandung makna menambah (pengetahuan), cita-cita luhur (tinggi), harapan dan tujuan memuliakan entitas lain, dan cinta kasih.
Paulo Freire merumuskan tentang pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala penindasan. Ini tak lepas dari ideologi Freire yang Marxis. Pendidikan bagi Freire menjadi narasi bagi masyarakat arus bawah untuk bangkit melawan tirani kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan sosial. Proses pendidikan harus mampu berada pada posisi yang sebenarnya dan tidak terbatas pada ruang kelas formal di lembaga pendidikan. Unsur pendidikan harus dapat dipraktekkan oleh setiap warga negara Indonesia, terlepas ia memiliki kemampuan pedagogis (mengajar secara formal) ataupun tidak.
Pendidikan dengan perspektif modernisasi mengurai berbagai persoalan kebangsaan. Pendidikan dalam etika sekolah formal harus memiliki nilai plus, kreativitas yang mengacu pada kemampuan produk pendidikan untuk bertahan dan hidup sesuai kemajuan peradaban karena maju berkembangnya suatu negara ditentukan oleh kemajuannya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan kemajuan pendidikan suatu bangsa mengacu pada kedewasaan dan budaya bangsa itu sendiri dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan juga harus mampu menjadi sebuah kebudayaan atau education is culture of human life's. Persoalan pendidikan, tidak hanya menyangkut pada pendidikan formal semata, akan tetapi pendidikan yang terarah dan terpadu dari lingkungan terkecil (keluarga). Pendidikan dalam skala nasional harus mampu menyadarkan manusia tentang potensi diri dan lingkungan sehingga tercipta semangat peningkatan kemampuan bangsa atau inner will.
Pendidikan Nonformal
Modernisasi dalam sistem pendidikan membawa dampak yang luar biasa bagi kebudayaan. Nilai-nilai yang sejatinya mengejawantah dalam sikap dan perilaku siswa di masyarakat. Namun, nilai-nilai berbasis pengetahun dan karakter hanya jatuh pada sifatnya yang banal; nilai dalam rapor atau UN.
Pendidikan nonformal yang memiliki kelebihan pada keteraturan dan keterukuran moralitas masyarakat, hadir menjadi autokritik bagi pendidikan resmi ala pemerintah. Pendidikan nonformal memiliki keterikatan pada nilai yang berarti norma dan etika. Mencermati hal tersebut selayaknya sekolah tidak hanya menjadi sebuah lembaga pendidikan formal, tetapi juga nonformal. Dwifungsi ini akan mampu menjadikan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat. n
Sunday, April 8, 2012
Sedekah Bumi, Simbol Syukur Masyarakat Kedungsuren
SEBAGAI rasa syukur terhadap hasil bumi yang melimpah, masyarakat Desa Kedungsuren Kecamatan Kaliwungu Selatan melaksanakan ritual sedekah bumi, Jumat (17/12). Selain sedekah bumi, dalam pelaksanaan tradisi tahunan tersebut juga dibarengi dengan haul Kiai Abdillah Baqik yang dipercaya sebagai sesepuh yang pernah membangun alias "mbabat alas" Desa Kedungsuren.
Menurut Kepala Desa Kedungsuren, Nandirin, kegiatan sedekah bumi yang dilaksanakan di desanya meruapakan kegiatan turun menurun yang dilaksanakan tiap tahun. Pelaksanaannya, kata dia, diselenggarakan setiap hari kesepuluh bulan Suro, atau bulan Muharam. Namun, lanjutnya, baru dua tahun terakhir, sejak dirinya menjadi Kades, kegiatan sedekah bumi dibuat meriah.
"Sebelumnya acara ini hanya dirayakan dengan sederhana. Saya memandang momentum ini bisa dibuat lebih meriah dan bisa menjadi suatu tradisi yang menarik untuk diritualkan guna mengundang warga dari daerah lain untuk ikut ritual," ujar Nandirin.
Menurut cerita Nandirin, Desa Kedungsuren merupakan desa tempat beristirahatnya Kiai Abdillah Baqik atau Ki Ageng Karto Suryo Widjaja, ketika mengambil kayu untuk pilar pembangunan Masjid Demak. Saat pembangunan Masjid Demak, salah satu pilar masjid diambil dari daerah Tunggak Ombo, Desa Kedungsuren.
Kala itu, Kiai Abdillah Baqik beserta anak buahnya berusaha membawa kayu yang akan dijadikan pilar masjid dengan cara melarungnya melalui Kali Blorong yang mengalir di daerah itu. "Kayu tersebut diceritakan dilarung hingga Demak. Peristiwa larung kayu pilar Masjid Demak tersebut, juga kami peringati dengan sedekah bumi dan ritual melarung kepala kambing ke kali Blorong," jelasnya.
Berbut Berkah
Dalam kegiatan sedekah bumi ini, penyelenggaran juga menggelar pagelaran wayang kulit semalam suntuk dan tahlilan di makam Abdillah Baqik sebagai puncak acara. Sebelum acara tahlilan, warga di tiga dusun yang ada di Desa Kedungsuren, yaitu Dusun Glagah, Dusun Krajan Barat dan Krajan Timur membawa hasil buminya untuk dikumpulkan di petilasan Kiai Abdillah Baqik.
Setelah hasil bumi dikupulkan, kemudian diserahkan ke Kepala Desa. Selanjutnya, hasil bumi yang telah terkumpul itu kembali diberikan kepada warga. Biasanya, ratusan warga yang datang ikut berebut untuk mendapatkan hasil bumi tersebut.
"Hasil bumi yang telah diberi doa dalam acara ritual, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai jimat yang bisa membawa kesuksesan maupun rejeki. Warga percaya, jika mendapatkan hasil bumi yang telah diberi doa, akan membawa rejeki melimpah bagi mereka," jelas Nandirin.
Sementara, Siti Nuryati (46), warga Desa Kedungsuren mengatakan, setiap tahun dirinya selalu ikut dan ambil bagian dalam prosesi ritual rebutan hasil bumi. "Saya setiap tahun ikut rebutan, berharap bisa mendapatkan rejeki melimpah dan hasil panen yang baik," ujar Siti.
Sumber : Suara Merdeka
KASIH SAYANG JAWA
Oleh: Suwardi Endraswara
KAKEK saya yang menjadi guru mistik kejawen, pernah berpesan: "Yen urip tetanggan, pagerana piring, aja kok pageri pring." Maksudnya, hidup bertetangga seharusnya penuh kasih sayang dengan memberikan sesuatu. Makanan apa saja, yang diberikan itu sebuah pantulan rasa kasih sayang terhadap sesama. Kalau begitu, pesan kakek itu mirip sekali dengan pengajian Mama Dedeh: rumahmu jangan kau pagari tembok, tapi pagari mangkuk. Kata piring dan mangkuk, identik dengan makanan.
Dari ungkapan itu, saya menjadi ingat ketika pertengahan Januari 2012 lalu diminta bicara di Junggringan (sarasehan) kelompok Ki Ageng Suryamentaram di Jl Barito IV Jakarta. Waktu itu, putera Ki Ageng, Ki Grangsang Suryamentaram, sempat menyampaikan bahwa orang yang benar-benar mendapat kawruh begja sawetah (beruntung sejajti), adalah yang tahu kalau dirinya memiliki kasih sayang pada sesama atau tidak. Menurut dia, senyum itu kasih sayang yang mahal harganya, dibanding harta berjuta-juta. Ketika senyum itu tulus, tidak pura-pura (lamis), itu kasih sayang yang jauh melebihi mutiara dibanding memberi uang, ternyata hasil korupsi.
Kasih sayang Jawa, sudah ditanamkan sejak sebelum orang lahir. Tradisi sesaji (mitoni) misalnya, adalah potret kasih sayang prenatal. Terlebih lagi, ketika seorang suami mengelus perut isteri yang sedang mengandung, dengan kelembutan dan rona hati, akan menanamkan kasih sayang luar biasa. Begitu pula, ketika seorang ibu melagukan "tak lela-lela lela ledhung", sambil menyusui dan menimang-nimang anaknya, adalah bentuk kasih sayang orang tua yang tiada tara. Kata orang, kasih sayang orang tua itu sak rendheng, artinya sangat besar, sebaliknya kasih sayang anak kepada orang tua hanya sak klentheng, artinya amat kecil. Maka, kalau anaknya sedang sakit, ibu mengompres dengan daun dadap sreb. Waktu anaknya rewel, dibelikan sesuatu, ketika pegal dipijat, dan seterusnya.
Tanpa Pamrih Kasih sayang di mata orang Jawa, tidak seperti orang asing.
Jika orang asing kasih sayang mereka wujudkan dengan cara membagi-bagi bunga, orang Jawa cenderung membagi-bagi makanan. Konsep memberi (weweh), menjadi hal penting dalam kasih sayang. Namun, yang diagungkan orang Jawa adalah memberi yang tanpa pamrih. Jika masih ada pamrih, itu bukan kasih sayang, melainkan kasih sayang terselubung. Seorang raja, pada tempo dulu, mewujudkan kasih sayang dengan memberikan triman dan kekucah kepada bawahan. Triman, biasanya wujud wanita yang boleh dipersunting bawahan, dengan tujuan ngalap berkah. Kekucah, adalah pemberian harta benda. Sebaliknya, wujud kasih sayang bawahan dengan memberikan asok glondhong miwah pengarem-arem (upeti).
Orang Jawa, membangun mitos kasih sayang sudah begitu panjang. Mereka rangkai secara simbolik ke dalam patung loro blonyo.
Dua patung yang sering diletakkan pada perhelatan pengantin merupakan wujud kasih sayang suami isteri. Loro blonyo juga sering diletakkan pada pasren, di senthong tengah, yang menyerupai patung Sri dan Sadono, dewa kesuburan. Rangkaian kasih sayang, juga diuntai ke dalam ungkapan pidato ular-ular manten, seperti Kamajaya-Kamaratih. Manten demikian dipandang memiliki kasih sayang lahir batin, yang kelak dapat hidup seperti mimi dan mintuna. Itulah sebabnya konteks sarimbit, artinya kedua mempelai bergandengan tangan, merupakan potret kasih sayang hakiki . Terlebih lagi,keduanya akan dilegalkan dalam menjalankan pepasihan, artinya hubungan salaki-rabi (suami-isteri), hingga menjadi sih-sihan, pertanda turunnya kasih sayang.
Rasa kasih sayang itu muncul dari hati yang terdalam, tanpa paksaan. Kasih sayang tidak harus menunggu orang itu memiliki sisa rezeki. Kasih sayang yang muncul karena rasa belas kasihan (mesakake), juga tidak tulus. Kasih sayang Jawa yang luhur, harus lahir dari suksma sekti, artinya batin terdalam. Suksma sekti itu yang menuntun diri pribadi, agar tahu yang dirasakan orang lain.
Tahu rasa orang lain, tanpa didorong oleh rasa iri (ambeg meri), menjadi sinar hadirnya kasih sayang. Kalau hal ini dapat dibina terus-menerus, di tengah hidup Jawa akan hujan kasih sayang (jawahing tresna asih). Pada saat itu, seseorang akan sadar kosmis melakukan kasih sayang. Jika kasih sayang anak pada orang tua, sekedar balas budi, belum dapat disebut luhur. Kalau orang melakukan sumbang-menyumbang dalam hajatan, karena pernah disumbang, hal itu juga kasih sayang semu.
Jadi kasih sayang sejati itu, seperti ketika Resi Seta memberikan wejangan ilmu batin pada Gatutkaca dan pada waktu Bima menyanjung pada anaknya Gatutkaca, dengan cara khas, dicubit, dipukul, digembleng, agar menjadi satria yang otot kawat balung besi. Begitu pula pada waktu Ki Buyut Banyu Biru memberi wejangan ilmu kepada Jaka Tingkir, jelas gambaran kasih sayang. Kasih sayang Jawa mencapai puncaknya ketika ziarah kubur dengan sesaji bunga telasih, artinya telasing sih, artinya habisnya kasih sayang secara lahiriah.
KEARIFAN LOKAL JAWA BUKAN SYIRIK
KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.
"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.
Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.
Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.
Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.
Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.
Perlambang
Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.
"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.
Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.
"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.
Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.
Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.
Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.
(Joko Dwi Hastanto/CN27)
Sumber : Suara Merdeka.
Sebuah Kearifan Lokal dari Lereng Merapi.
Politikindonesia - Kearifan lokal bisa menyelamatkan warga dari erupsi Gunung Merapi. Sejak lama masyarakat di lereng Merapi, memiliki pengetahuan akan terjadinya bencana melalui pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal. Sayangnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak, sehingga kemampuan itu tak lagi diperhatikan.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Damardjati Kun Marjanto, mengemukakan hal itu, di Jakarta, Selasa (23/11).
Dalam penelitiannya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Damardjati menarik kesimpulan, sejak lama masyarakat di lereng Merapi telah akrab dengan bencana letusan gunung. Itulah yang menjadikan masyarakat di sana mengetahui bencana menjelang. Karena mereka telah terbiasa membaca tanda-tanda alam yang sesungguhnya sering berulang.
Pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal itu pada dasarnya menjadi pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan lingkungan. Termasuk nilai-nilai yang harus diketahui sebagai rasionalisasi prinsip kearifan lokal yang didukungnya dan menerjemahkan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa lokal.
Yang tidak kalah penting, tidak dikonfrontasikannya pengetahuan lokal yang disebut kearifan lokal itu, dengan pengetahuan logis rasional yang disebut vulkanologi. Pasalnya, kata Damar, pengetahuan lokal memiliki relevansi dengan hal praktis kehidupan sehari-hari warga di daerah rawan bencana.
Sekadar diketahui, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan atau kesulitan masyarakat. Semua itu diperoleh dari generasi sebelumnya secara turun temurun, melalui lisan atau contoh tindakan.
Damardjati menyebutkan, sebelum terjadi bencana, ada tanda-tanda alam, yang bagi masyarakat Yogyakarta menjadi kearifan lokal. Ia mencontohkan, perilaku binatang yang tidak seperti biasanya. Di antaranya, monyet dan kijang berlarian turun gunung. Lalu, anjing menggonggong terus menerus, burung kedasih berkicau pada malam hari, hingga cacing banyak keluar dari tanah.
Di luar itu, terjadi tanda alam. Seperti hawa panas, gumpalan hitam berwujud naga, kilatan putih, ada bunyi pecut "ther-ther", dan lain sebagainya. Ada juga wisik atau mimpi yang disampaikan oleh orang tua berpakaian Jawa kepada orang-orang tertentu.
Tetapi, Bambang Sulis, kolega Damardjati, peneliti dari institusi yang sama mengatakan, saat ini sulit menemukan tanda-tanda alam tersebut. Pasalnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak.
Dahulu, sebelum terjadi letusan Merapi, hewan yang pertama keluar dari hutan, turun ke perkampungan, harimau, kemudian burung. Berikutnya, monyet dan kijang. Sekarang sulit, kata dia, karena sudah tidak ada lagi harimau di sana.
Sumber : Politik Indonesia
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Damardjati Kun Marjanto, mengemukakan hal itu, di Jakarta, Selasa (23/11).
Dalam penelitiannya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Damardjati menarik kesimpulan, sejak lama masyarakat di lereng Merapi telah akrab dengan bencana letusan gunung. Itulah yang menjadikan masyarakat di sana mengetahui bencana menjelang. Karena mereka telah terbiasa membaca tanda-tanda alam yang sesungguhnya sering berulang.
Pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal itu pada dasarnya menjadi pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan lingkungan. Termasuk nilai-nilai yang harus diketahui sebagai rasionalisasi prinsip kearifan lokal yang didukungnya dan menerjemahkan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa lokal.
Yang tidak kalah penting, tidak dikonfrontasikannya pengetahuan lokal yang disebut kearifan lokal itu, dengan pengetahuan logis rasional yang disebut vulkanologi. Pasalnya, kata Damar, pengetahuan lokal memiliki relevansi dengan hal praktis kehidupan sehari-hari warga di daerah rawan bencana.
Sekadar diketahui, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan atau kesulitan masyarakat. Semua itu diperoleh dari generasi sebelumnya secara turun temurun, melalui lisan atau contoh tindakan.
Damardjati menyebutkan, sebelum terjadi bencana, ada tanda-tanda alam, yang bagi masyarakat Yogyakarta menjadi kearifan lokal. Ia mencontohkan, perilaku binatang yang tidak seperti biasanya. Di antaranya, monyet dan kijang berlarian turun gunung. Lalu, anjing menggonggong terus menerus, burung kedasih berkicau pada malam hari, hingga cacing banyak keluar dari tanah.
Di luar itu, terjadi tanda alam. Seperti hawa panas, gumpalan hitam berwujud naga, kilatan putih, ada bunyi pecut "ther-ther", dan lain sebagainya. Ada juga wisik atau mimpi yang disampaikan oleh orang tua berpakaian Jawa kepada orang-orang tertentu.
Tetapi, Bambang Sulis, kolega Damardjati, peneliti dari institusi yang sama mengatakan, saat ini sulit menemukan tanda-tanda alam tersebut. Pasalnya, telah terjadi perubahan iklim dan kondisi yang sulit ditebak.
Dahulu, sebelum terjadi letusan Merapi, hewan yang pertama keluar dari hutan, turun ke perkampungan, harimau, kemudian burung. Berikutnya, monyet dan kijang. Sekarang sulit, kata dia, karena sudah tidak ada lagi harimau di sana.
Sumber : Politik Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)