Thursday, September 19, 2013

Mental Membina Budaya Lampung

Kalau boleh saya berterus terang, saya sangat kecewa dengan pernyataan Bapak Ratu Perwira sebagai pimpinan lembaga adat dan Bapak Khairullah AY sebagai pengamat budaya Lampung, yang mengatakan bahwa : "Paksi Pak Skala Brak merupakan sebuah lagenda yang terjadi secara turun temurun dan tidak ada bukti autentik yang menyebutkan siapa dan bagaimana silsilah kerajaan itu." (Ratu Perwira) " Sedangkan Chairullah AY mengatakan  "Saya hanya mengetahui di Lampung Barat, atau saat ini sudah menjadi Pesisir Barat, tidak mengetahui ada raja atau atau tidak. Dulu saya memang mendengar ada Kerajaan Skala Brak, namun tidak pernah mengetahui keturunan vertikal kerajaan itu. Dari tahun 1980 tidak pernah ada dan sudah saya telusuri," 


Sikap keduanya menggambar sikap pengulangan terhadap pertemuan dialog kebudayaan yang berakhir dengan luka dihati. Pada acara dialog kebudayaan Lampung pada saat itu ada yang mengatakan "Jangan mengaku aku sebagai orang lampung jika bejuluk tidak dan beadekpun tidak" celakanya pernyataan seorang peserta ini mendapat tepuk tangan yang sangat meriah. Yang berarti bahwa mereka mereka yang tidak memiliki gelar atau adok/adek tidak diakui eksistensinya sebagai orang Lampung. Lantas saja banyak pihak yang spontan protes dan acara dialog ditutup dalam suasana yang ricuh itu. Sampai sampai Rosihan Anwar yang pada saat itu mewakili Pemerintah mengatakan bahwa beliau akan melaporkan ke Mendikdikbud bahwa Lampung masih menyisakan satu persoalan yang krusial, persoalan itu bernama Piil Pesenggiri.

           Lamban Gedung Istana Sekala Brak di Pekonbalak Lambar

Jika daalam dialog kebudayaan yang saya maksud ada orang Lampung yang tidak mengakui keberadaan dan keabsahan orang Lampung lainnya, dengan pernyataan jangan mengaku ngaku sebagai orang Lampung, maka dalam pertemuan kali ini muncul pernyataan yang tidak mengakui keabsahan sebuah sejarah terhadap sekelompok komunitas pewaris peninggalan sejarah. Dua pernyataan itu memiliki bobot dan daya  penghancuran yang sama dahsyatnya. terlepas dari pernyatan itu benar atau salah, tetapi benih perpecahan terlanjur ditabur, yang mau tidak mau kita semua harus menerima buahnya kelak

Itulah sebabnya melalui Kanwil Depdikbud dahulu yang saya ditunjuk sebagai vocal paoitnya saya menganjurkan agar Piil Pesenggiri jangan hanya ditafsirkan dalam tatanan adat istiadat semata, tetapi harus ditafsirkan secara filosofis. sehingga unsur Juluk Adek tidak hanya dipahami sebagai pemebrian gelar pada masa remaja (juluk) dan pemberian gelar masa dewasa (adok/Adek). Melainkan nama nama baru atas prestasi baru, juluk adalah nama idealita dan adok adalah nama realita. Adok atau Adek diberikan kepada seseorang yang telah mencapai cita citanya, maka juluk adek adalah kita fahami sebagai Inovasi. Tetapi sesemangat itu pihak Kanwil Depdikbud mengkampanyekan tafsir filosofis, sekeras itu pula mereka menolak mendengar ulang kata Piil Pesenggiri dan yang sebagiannya lagi menolak adanya penafsiran Pilosofis Piil Pesenggiri. Tidak ada hasil yang signifikan atas respon para pelaku adat istiadat lampung. Kecuali rasa lapang bagi mereka mereka yang kita utus untuk mengikuti even nasional untuk mengatas namakan Lampung, kendati mereka bukan Pesisir saibatin serta bukan pula Pepadun.

Pada saat kita mengalami kegalauan, lantaran bahasa Lampung sedang berada ditubir jurang kehilangan, tiba tiba saja dua sahabat ini menohok dari belakang, serasa akan terseraklah apa yang selama ini kita himpunkan dengan susah payah dan sedikit demi sedikit. Serasa tusukan ini seperti mengenai uluhati bagi mereka mereka yang selama ini berusaha membesarkan lampung. berusaha menggali kekayaan Lampung sehingga menjadi kebanggan bersama. Jangan sampai kekayaan budaya Lampung bernasip seperti peninggalan Kerajaan Tulangbawang, yang pewaris serta warisannya seperti lenyap ditelan bumi. Sementara nama
Kerajaan Tulangbawang sendiri tertulis jelas di naskah naskah kuno yang kini disimpan di perpustakaan terkenal. Janganlah kita bersikap seperti pungguk merindukan bulan, mengharap burung yang terbang punai ditangan dilepaskan, mengharap hujan turun air ditempaian dibuang. Kalau memang benar sebagai pegiat menghidupkan lembaga adat dan kebudayaan Lampung, dan akalau memang benar sebagai pengamat kebudayaan Lampung segera enyahkan sifat sifat yang tak membangun  itu.Marilah kita singsingkan lengan baju kita untuk bekerjasama membangun Lampung tercinta.

Dalam waktu yang bersamaan dengan segala kerendahan hati kita meminta kepada para pewaris Kerajaan Sekala Brak agar berkenan menjadikan Lamban Gudung Pekonbalak sebagai "site Museum" Benda benda pusaka serta artefak bergerak lainnya kita pamerkan di situ, untuk memudahkan para pengamat dan peneliti untuk mengenali apa apa benda peninggalan sejarah daru kerajaan Sekala Brak. Saya meyakini masih banyak peninggalan dari masing masing kebuayan yang tersimpan rapat di pemegangnya masing masing. Bila para pewaris Kerajaan Sekala Brak memiliki 'site museum' maka itu semua akan menolong upaya komunitas ini lebih mengenali identitas kelompoknya. Kalau ada kekhawatiran akan keselamatan benda benda itu dari tangan tangan yang gak bertanggung jawab, maka kita
dapat membuat duplikasinya. Kita meminta agar komunitas ini mampu memelihara peninggalan peninggalan itu, karena sementara ini peninggalan Kerajaan Sekala Brak masih merupakan satu satunya Kerajaan tradisional di lampung yang masih memiliki peninggalan dalam bentuk berbagai artefak sekaligus komunitas ahli warisnya.

Kita berharap agar lembaga lembaga adat Pepadun maupun Saibatin secara proaktif melakukan pertemuan pertemuan komunikasi yang lebih produktif, tidak mengapa bila pertemuan itu akan lebih disederhanakan yang penting pertemuan itu didasarkan atas semangat kebersamaan untuk membangun kemajuan adat istiadat dan budaya Lampung.

No comments:

Post a Comment