Friday, April 6, 2018
WARISI SEMANGAT PIIL PESENGGIRI
BERENANG SAMPAI SEBERANG.
Umur saya pada saat ini berdasarkan dokumen dan tercatat pada ijazah dan surat surat penting lainnya telah berusia 64 tahun, karena saya tercatat lahir tahun 1954. Yang sebenarnya saya lahir tahun 1953. Artinya usia yang tidak muda lagi. Alhamdulillah syukur kami sebagai anak keturunan Ayahda M. Dani memiliki tradisio melaksanakan Halal Bihalal bersama, yang pada saat itu diharapkan akan berkumpul, mulai dari anak, cucu serta civit Ayahanda kami. Semoga saja mereka yang bertempat tinggal di lain pulau ada saat itu sedang berada di Lampung.
Kalaupun nanti ada kesempatan sedikit bercerita pada saat itu nanti saya berniat ingin sedikit membuka cerita, tentang apa yang telah diperjuangkan Ayahanda Almarhum, dan bagaimana menindaklanjutinya, agar pahala almurhum bersama almarhumah Ibunda Aiisyiah masih tetap menjadi amal beliau dan menghantarkan beliau berdua menuju Syurga.
Pendidikan Pesantren.
Beliau dilahirkan di Pekon Awi Belalau, setelah mengikuti pendidikan yang ada di desa kelahirannya, beliau melanjutkan pendidikan dengan cara Nyantri di Padang, Ceritera lengkap yang dimulai dari pendidiikan beliau ini saya tulis ini hampir seluruhnya 98% adalah berdasarkan tuturan Ibunda yang saya simpan baik baik di ingatan saya, dan sebagian ingin saya tulis di naskah ini dan nanti akan diceritakan ulang pada pertemuan Halal Bihalal nanti. bila memungkinkan.
Di Pesantren manakah beliau nyantri ibunda tidak menjelaskan secara rinci kecuali hanya disebutkan tempatnya di Padang. Walaupun sebenarnya masih bisa ditelusuri karena orang Belalau. Liwa, Krui bahkan sampai ke Sukau mereka umumnya nyantri di Padang Sumatera Barat. Berangkatpun tidak sendiri tetapi bersama beberapa orang, atau setidaknya ada seseorang yang mereka ikuti, yang sebelumnya yang bersangkutan memang mencari cari siapa yang ingin nyantri di Padang. Hanya saja bila boleh menduga duga maka Pesantren pal;ing terkenal pada saat itu adalah Pesantren Tawalib.
Ada suatu cerita yang agak khas bagi beliau ketika nyantri di Padang, adalah beliau tidak memiliki tradisi pulang pada saat libur. Selain tidak pulang beliau juga tidak menitip pesan dan tidak juga berkirim surat. Karena sudah terlalu lama beliau tida muncul,mudik, sampai suatu saat keluarga besar menyimpulkan beliau telah tiada. Sesuai dengan kebiasaan bagi masyarakat desa itu maka diselenggarakanlah doa bersama. membaca yasinan layaknya bagi seseorang yang telah tiada. Sungguh mengejutkan selang beberapa lama diputuskan beliau telah tiada, Beliau; pulang Kampung, dan menghabarkan sudah selesai mengikuti pendidikan di Padang dan tak berniat melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan di Pesantren di Padang selain sudah mengenal sistem klasiial, tetapi mereka juga masih menerapkan ngaji Kitab. Dengan sistem klassikal santri belajar bersama sama, dan dengan ngaji kitab setiap santri diwajibkan membaca atau dibacakan kitab di hadapan Kiyayi nya dan Kiyayi memberikan penjelasan penjelasan terhadap apa apa yang dibaca, atau dibacakan dihadapan santri. Dan Belajar bahasa Arab adalah merupakan aktivitas yang paling pokok. Bahkan di banyak Pesantren, santri dilarang berbahasa selain Bahasa Arab, agar memiliki kemampuan membaca kitab secara mandiri. Jadi ngaji kitab memang membutuhkan waktu yang sangat lama.
Ketika itu Saya sudah duduk di SLTP pernah pada suatu hari saya mendapatkan nasehat dari Ayahanda dengan cara beliau mengutip sebuah pribahasa dengan penggalan : Berenang Hingga ke Seberang. Walaupun ucapan itu indah, tetapi saya tak ingin menyimoannya dalam kenang kenangan, melainkan sebagai sebuah perintah. Belajar itu ibarat berenang, dan keseberang adalah tujuan. Dalam mengarungi arus kita diajarkan berakit rakit ke hulu berenang renang ketetepian. Bersakit sakitlah dahulu untuk bersenang senang kemudian.
Ujaran ini lama saya simpan saja, dalam hati saya katakan bahwa beliau masih memahami dan ingat ujaran para pendidik. Kelak barru saya memahami, kekekehan belaiu dalam belajar, sehingga tak lazim pulang mudik setiap kali libur, itu semua adalah merupakan wujud dari berenang sampai ke seberang.
Dalam arus air, maka arahnya dari hulu ke arah hilir, berkayuh ke hulu lebih membutuhkan tenaga dibanding berkayuh ke hilir. Kelak pada saatnya baru saya dapat memhami dan mebandingkan pengalaman beliau yang demikian berat dan penuh perjuasngan. Tulisan ini akan dibuat dan diterbitkan dalam beberapa tahapan.
(Bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment