HIDUP ITU PERJUANGAN
Sebagai seseorang yang sempat dididik di lingkungan pesantren, maka berarti sejulah literasi telah disajikan dengan sistem belajar ala Pesantren. Ciri pesantren itu antara lain adalah literaturnya, litetur di Pesantren itu ditulis disekitar abad ke 13. terutama setelah al-Quran selesai dibukukan, dan menyusul kemudian al-Haditspun dibukukan juga. Ditambah lagi catatan tarikh Islam dan dalam waktu bersamaan Kitab Akhlakpun terhimpun. Dengan serangkaian Kitab Kitab itu maka sudah menjadi modal besar bagi ummat untuk mendapatkan tuntunan untuk berbuat melakukan sesuatu dalam menapaki kehidupan ini. Dan dalam hidup Datuk Kita yang bernama M. Dani atau Muhammad Dani, atau Maddani. Nama Muhammad atau Mad itu adalah nama yang lazim diberikan oleh masyarakat sekitar Sekala Brak kepada Anak pertama atau anak tertua.laki lakik, nma lengkap datuk adalah Muhammad Dani Rajidin.
Wednesday, April 18, 2018
Tuesday, April 17, 2018
MEWARISI SEMANGAT PIIL PESENGGIRI (2)
HIDUP DENGAN HARAPAN.
Mengetahui latarbelakang pendidikan Ayahanda M Dani yang merupakan alumni atau setidaknya bertahun tahun nyantri di Padang maka saya menjadi sangat mafhum mengapa Beliau memilih Ibunda saya almarhumah Siti Aisyiah sebagai pendamping hidupnya. Dari penuturan Ibunda, yang kami biasa memanggilnya Emak dan Tamong panggilan cucunyha yang perempuan serta Ajjong bagi cucunya yang laki laki, tetapi setelah lahirnya Yusran yaitu putera pertama dari Kakanda Tarmizi, beliau dipanggil cucuinya dengan sebutan Andung, sebutan Andung itu sangat lazim digunakan di daerah kelahiran Ibunda, yaitu Kembahang, Andung juga lazim digunakan di daerah Liwa dan kerui, bahkan sampai Bengkulu.
Andung yang bernama Siti Aisyiah itu adalah puteri seorang da'i yang cukup kesohor, Ibunda sering ceritera akan kerinduannya terhadap sejumlah makanan yang memang langka, kata beliau setiap kali Datuk pulang dari Besurah di darah jauh, disebut besurah karena aktivitasnya banyak membacakan Surat Surat Al-Quran, beliau biasa membawa oleh oleh anekaragam makanan yang terbilang langka dan mewah. Cerita andung oleh olehnya antara lain, susu manis, leci, sardemcis, biskuit, aneka permen dan banyak lagi yang lain, ceritera beliau, itu bukan dapat beli, tetapi oleh oleh hadiah dari jama'ah yang dikunjungi.
Bila teringat hal tersebut di atas, saya bisa membayangkan kerinduan almuarhumah Andung akan kesenangan itu, saya meneteskan air mara karena itu diceriterakannya pada tahun tahun sulit, menjelang pecahnya pemberontakan G 30 S PKI. Zaman itu zaman sulit,kamimengalami paceklik, stok beras kami menipis, belum dapat menanam padi karena kemarau terliwat panjang, jualan beraspun tak ada dipasaran. Pada saat demikian susah itulah, ceritera itu dicetuskan bahkan sampai bebera kali ulangan. Bapa kamu ingin salah satu anaknya menjadi penceramah terkenal seperti datuk kamu Almarhum. Terus terang saya pada saat itu masih belum paham atas pesan itu berat itu. Tahun 1963 saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, sayamasih ingat guru saya di SR Pagelaran itu namanya Djauhari.
Tidak terlalu saya hiraukan tentang Datuk dari Ibu yang sebagai pesurah, atau memiliki pekerjaan membacakan ayat ayat Al-Quran, dan harapan Bapak saya untuk menjadi seorang penceramah, tetapi janji Ibu saya untuk disekolahkan di Tanjungkarang, adalah sesuatu yang selalu saya nanti nantikan. Pada saat itu yang terbayang di otak saya, saya pintar berbahasa Indonesia, dan hapal lagu lagu anak anak dan lagu orang dewasa, karena beberapa kali saya menyaksikan anak Tanjungkarang yang pintar bicara dan pintar menyanyi. Itu saja. Sedang saran untuk bisa beli sendiri beberapa makanan lezat dan mahal itu tak terlalu memepengaruhi pikiran saya pada saat itu.
Dengan kemampuan yang sangat terbatas,maka berangkatlah sekolah ke Tanjungkarang, atas dorongan seorang Andung, perempuan renta yang nyaris tak punya apa apa, melainkan secuil asa, secuil harapan dari seorang Andung yang juga tak banyak memiliki kemampuan untuk merumuskan sebuah pemikiran yang utuh. Sekali lagi hanya asa atau harapan, yang benar benar membara,dan pernah padam di hatinya. Itulah sebabnya seseorang tak boleh merasa putus asa, atau putus harapan. Walaupun hanya sebuah asa yang kecil, harapan yang kecil yang tertanama di dada seorang tua, Tetapi dia punya doa yang tinggi dan besar, yang dibacanya pagia, siang sore dan malam.
Maka akhirnya selesai juga sekolah ini, selesai juga S1 dan selesai juga S2. Hidup itu adalah karena kita masih memiliki harapan, tetkala harapan itu sirna, dan apalagi doapun terputus, maka sesungguhnya kita telah mati. Itu yang kudapat dari Andung. Harapan dan doa, lalu bekerja semampunya, tetapi tak pernah berhenti bekerja.
Mengetahui latarbelakang pendidikan Ayahanda M Dani yang merupakan alumni atau setidaknya bertahun tahun nyantri di Padang maka saya menjadi sangat mafhum mengapa Beliau memilih Ibunda saya almarhumah Siti Aisyiah sebagai pendamping hidupnya. Dari penuturan Ibunda, yang kami biasa memanggilnya Emak dan Tamong panggilan cucunyha yang perempuan serta Ajjong bagi cucunya yang laki laki, tetapi setelah lahirnya Yusran yaitu putera pertama dari Kakanda Tarmizi, beliau dipanggil cucuinya dengan sebutan Andung, sebutan Andung itu sangat lazim digunakan di daerah kelahiran Ibunda, yaitu Kembahang, Andung juga lazim digunakan di daerah Liwa dan kerui, bahkan sampai Bengkulu.
Andung yang bernama Siti Aisyiah itu adalah puteri seorang da'i yang cukup kesohor, Ibunda sering ceritera akan kerinduannya terhadap sejumlah makanan yang memang langka, kata beliau setiap kali Datuk pulang dari Besurah di darah jauh, disebut besurah karena aktivitasnya banyak membacakan Surat Surat Al-Quran, beliau biasa membawa oleh oleh anekaragam makanan yang terbilang langka dan mewah. Cerita andung oleh olehnya antara lain, susu manis, leci, sardemcis, biskuit, aneka permen dan banyak lagi yang lain, ceritera beliau, itu bukan dapat beli, tetapi oleh oleh hadiah dari jama'ah yang dikunjungi.
Bila teringat hal tersebut di atas, saya bisa membayangkan kerinduan almuarhumah Andung akan kesenangan itu, saya meneteskan air mara karena itu diceriterakannya pada tahun tahun sulit, menjelang pecahnya pemberontakan G 30 S PKI. Zaman itu zaman sulit,kamimengalami paceklik, stok beras kami menipis, belum dapat menanam padi karena kemarau terliwat panjang, jualan beraspun tak ada dipasaran. Pada saat demikian susah itulah, ceritera itu dicetuskan bahkan sampai bebera kali ulangan. Bapa kamu ingin salah satu anaknya menjadi penceramah terkenal seperti datuk kamu Almarhum. Terus terang saya pada saat itu masih belum paham atas pesan itu berat itu. Tahun 1963 saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, sayamasih ingat guru saya di SR Pagelaran itu namanya Djauhari.
Tidak terlalu saya hiraukan tentang Datuk dari Ibu yang sebagai pesurah, atau memiliki pekerjaan membacakan ayat ayat Al-Quran, dan harapan Bapak saya untuk menjadi seorang penceramah, tetapi janji Ibu saya untuk disekolahkan di Tanjungkarang, adalah sesuatu yang selalu saya nanti nantikan. Pada saat itu yang terbayang di otak saya, saya pintar berbahasa Indonesia, dan hapal lagu lagu anak anak dan lagu orang dewasa, karena beberapa kali saya menyaksikan anak Tanjungkarang yang pintar bicara dan pintar menyanyi. Itu saja. Sedang saran untuk bisa beli sendiri beberapa makanan lezat dan mahal itu tak terlalu memepengaruhi pikiran saya pada saat itu.
Dengan kemampuan yang sangat terbatas,maka berangkatlah sekolah ke Tanjungkarang, atas dorongan seorang Andung, perempuan renta yang nyaris tak punya apa apa, melainkan secuil asa, secuil harapan dari seorang Andung yang juga tak banyak memiliki kemampuan untuk merumuskan sebuah pemikiran yang utuh. Sekali lagi hanya asa atau harapan, yang benar benar membara,dan pernah padam di hatinya. Itulah sebabnya seseorang tak boleh merasa putus asa, atau putus harapan. Walaupun hanya sebuah asa yang kecil, harapan yang kecil yang tertanama di dada seorang tua, Tetapi dia punya doa yang tinggi dan besar, yang dibacanya pagia, siang sore dan malam.
Maka akhirnya selesai juga sekolah ini, selesai juga S1 dan selesai juga S2. Hidup itu adalah karena kita masih memiliki harapan, tetkala harapan itu sirna, dan apalagi doapun terputus, maka sesungguhnya kita telah mati. Itu yang kudapat dari Andung. Harapan dan doa, lalu bekerja semampunya, tetapi tak pernah berhenti bekerja.
Friday, April 6, 2018
WARISI SEMANGAT PIIL PESENGGIRI
BERENANG SAMPAI SEBERANG.
Umur saya pada saat ini berdasarkan dokumen dan tercatat pada ijazah dan surat surat penting lainnya telah berusia 64 tahun, karena saya tercatat lahir tahun 1954. Yang sebenarnya saya lahir tahun 1953. Artinya usia yang tidak muda lagi. Alhamdulillah syukur kami sebagai anak keturunan Ayahda M. Dani memiliki tradisio melaksanakan Halal Bihalal bersama, yang pada saat itu diharapkan akan berkumpul, mulai dari anak, cucu serta civit Ayahanda kami. Semoga saja mereka yang bertempat tinggal di lain pulau ada saat itu sedang berada di Lampung.
Kalaupun nanti ada kesempatan sedikit bercerita pada saat itu nanti saya berniat ingin sedikit membuka cerita, tentang apa yang telah diperjuangkan Ayahanda Almarhum, dan bagaimana menindaklanjutinya, agar pahala almurhum bersama almarhumah Ibunda Aiisyiah masih tetap menjadi amal beliau dan menghantarkan beliau berdua menuju Syurga.
Pendidikan Pesantren.
Beliau dilahirkan di Pekon Awi Belalau, setelah mengikuti pendidikan yang ada di desa kelahirannya, beliau melanjutkan pendidikan dengan cara Nyantri di Padang, Ceritera lengkap yang dimulai dari pendidiikan beliau ini saya tulis ini hampir seluruhnya 98% adalah berdasarkan tuturan Ibunda yang saya simpan baik baik di ingatan saya, dan sebagian ingin saya tulis di naskah ini dan nanti akan diceritakan ulang pada pertemuan Halal Bihalal nanti. bila memungkinkan.
Di Pesantren manakah beliau nyantri ibunda tidak menjelaskan secara rinci kecuali hanya disebutkan tempatnya di Padang. Walaupun sebenarnya masih bisa ditelusuri karena orang Belalau. Liwa, Krui bahkan sampai ke Sukau mereka umumnya nyantri di Padang Sumatera Barat. Berangkatpun tidak sendiri tetapi bersama beberapa orang, atau setidaknya ada seseorang yang mereka ikuti, yang sebelumnya yang bersangkutan memang mencari cari siapa yang ingin nyantri di Padang. Hanya saja bila boleh menduga duga maka Pesantren pal;ing terkenal pada saat itu adalah Pesantren Tawalib.
Ada suatu cerita yang agak khas bagi beliau ketika nyantri di Padang, adalah beliau tidak memiliki tradisi pulang pada saat libur. Selain tidak pulang beliau juga tidak menitip pesan dan tidak juga berkirim surat. Karena sudah terlalu lama beliau tida muncul,mudik, sampai suatu saat keluarga besar menyimpulkan beliau telah tiada. Sesuai dengan kebiasaan bagi masyarakat desa itu maka diselenggarakanlah doa bersama. membaca yasinan layaknya bagi seseorang yang telah tiada. Sungguh mengejutkan selang beberapa lama diputuskan beliau telah tiada, Beliau; pulang Kampung, dan menghabarkan sudah selesai mengikuti pendidikan di Padang dan tak berniat melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan di Pesantren di Padang selain sudah mengenal sistem klasiial, tetapi mereka juga masih menerapkan ngaji Kitab. Dengan sistem klassikal santri belajar bersama sama, dan dengan ngaji kitab setiap santri diwajibkan membaca atau dibacakan kitab di hadapan Kiyayi nya dan Kiyayi memberikan penjelasan penjelasan terhadap apa apa yang dibaca, atau dibacakan dihadapan santri. Dan Belajar bahasa Arab adalah merupakan aktivitas yang paling pokok. Bahkan di banyak Pesantren, santri dilarang berbahasa selain Bahasa Arab, agar memiliki kemampuan membaca kitab secara mandiri. Jadi ngaji kitab memang membutuhkan waktu yang sangat lama.
Ketika itu Saya sudah duduk di SLTP pernah pada suatu hari saya mendapatkan nasehat dari Ayahanda dengan cara beliau mengutip sebuah pribahasa dengan penggalan : Berenang Hingga ke Seberang. Walaupun ucapan itu indah, tetapi saya tak ingin menyimoannya dalam kenang kenangan, melainkan sebagai sebuah perintah. Belajar itu ibarat berenang, dan keseberang adalah tujuan. Dalam mengarungi arus kita diajarkan berakit rakit ke hulu berenang renang ketetepian. Bersakit sakitlah dahulu untuk bersenang senang kemudian.
Ujaran ini lama saya simpan saja, dalam hati saya katakan bahwa beliau masih memahami dan ingat ujaran para pendidik. Kelak barru saya memahami, kekekehan belaiu dalam belajar, sehingga tak lazim pulang mudik setiap kali libur, itu semua adalah merupakan wujud dari berenang sampai ke seberang.
Dalam arus air, maka arahnya dari hulu ke arah hilir, berkayuh ke hulu lebih membutuhkan tenaga dibanding berkayuh ke hilir. Kelak pada saatnya baru saya dapat memhami dan mebandingkan pengalaman beliau yang demikian berat dan penuh perjuasngan. Tulisan ini akan dibuat dan diterbitkan dalam beberapa tahapan.
(Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)