Sunday, January 8, 2017

Piil Pesenggiri



PIIL PESENGGIRI itu adalah sebuah Filsafat, filssfat itu adalah sebuah pemikiran yang radic atau mendalam. Falsafah Piil Pesenggiri memiliki kedalaman makna yang sebenarnya jauh melampaui eranya. Bila dibanding dengan beberapa falsafah daerah maka Falsafah lampung memiliki keunggulan luar biasa, keunggulan itu belum banyak mendapatkan perhatian baik dikalangan pendukung adat budaya dan apalagi komunitas dari luar.Oleh karena nya maka keunggulan Piil pesenggiri itu masih perlu disuarakan, dan diharapkan ada pihak pihak yang bersedia memposisikan dirinya sebagai vocal point Piil Pesenggiri secara sukarela, sehingga wawasan Piil Pesenggiri dapat dipahami baik oleh komunitas lain mapun apalagi komunitas Lampung itu sendiri.
Diawal mulanya yang menyiapkan diri sebagai juru bicara Piil Pesenggiri adalah Prof.Hilman Hadikusuma, walaupun yang meneliti secara lebih lengkap adalah Rizani Pupawijaya,SH. ketiuka beliau akan menyelesaikan studynya di Fakultas Huku Universitas Lampung, UNILA,Tetapi nampaknya yang memiliki kesempatan lebih banyak untuk menulis adalah Hilman Hadikusuma, sedang Rizanu Puspawijaya terjebak dalam kesibukan administratif, terkait jabatan yang dibebankan padanya di UNILA. Hampir semua pendukung budaya Lampung mengenal Piil Pesenggiri itu dari tulisan Prof. Hilman Hadikusuma., sebagai Guru Besar Hukum Adat di Fak Hukum UNILA.

Ketika Piil Pesenggri Tak Dipahami Sebagai falsafah.
Nampak ada sedikit kelengahan dalam tulisan tulisan yang ada dan bisa dibaca oleh masyarakat pendukung budaya Lampung prihal Piil Pesenggiri ini yang akibatnya sangat fatal, yaitu kericuhan dipenghujung pelaksanaan dialog kebudayaan Lampung yang menghadirikan banyak masyarakat adat, ada yang menilai bahwa Piil Pesenggiri ini adalah gagah gagahan, sementara ada yang memuji Piil Pesenggiri, yang pada saat itu sebenrnya penyusun makalah sudah menyusun dengan kalimat penuh ke hati hatian, tetapi flor bicara jauh lebih tajam. Perdebatan muncul berkali kali walaupun sudah membahas materi yang lain, Dan pada sesi terakhir kekisruhan itu memuncak, ketika ada peserta yang mengatakan secara sinis "Jangan dikira Gampang menjadi Orang Lampung"  ditimpali lagi oleh yang lain dengan berteriak, "Gak Usah Mengaku Ngaku Sebagai Orang Lampung Bila Bejuluk Tidak Dan Beadekpun Tidak" Baammm .... keributanpun memuncak dan Moderatorpun tak mampu menguasai sidang, ada beberapa orang yang seperti berteriak teriak. Pembahasan disudahi lantaran gelapnya hari. Saya akan laporkan kepada Mendikbud bahwa di Lampung masih menyisakan satu persoalan yang berat, persoalan itu namanya Piil Pesenggiri kata seorang Budayawan yang terkenal sebagai Wartawan tiga zaman  yang memang ditunjuk Menteri untuk mewakilinya. Maka jadilah Piil Pesenggiri itu sebagai sesuatu yang duhundari untuk dibahas.(Lihat tulisan saya Juluk Adek tanggal 11 April 2015, yang juga dimuat di Blog ini).

Ditunjuk sebagai Vocal Point Oleh Kakanwil Depdikbud Lampung.
Sebelum terjadinya poristiwa itu saya sudah melapor kepada atasan saya Kabid Sejarah, Nilai Tradisional Dan Kepurbakalaan (Kabid Jarah Nitra Kala) Bahwa Bapak Subki E.Harun mewanti wanti program ini adalah rawan, sebab sebelumnya telah dilaksakan pertemuan serupa yang berakhir dengan keributan. Untuk menghhindarinya gambang kata Pak Subki pada saat, yaitu yang membuat ribut tempo hari jangan diundang lagi, kata beliau. Artinya antisipasi telah meleset, karena Dialog ini mengalami nasib yang hampir sama.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Gurui Saya alm Prof. Hilam Hadikusuma, SH Guru Besar Hukum Adat Unila. Selam ini  intelektual Lampung dan termasuk saya (pemangku kepentingan) belajar Piil Pesenggiri dari buku yang ditulis oleh beliau, demikian juga ceramahnya ditambah ceramah dari Bpk Rizani, SH peneliti yang berhasil menguisung Piil Pesenggiori ke Sidang Dewan Akademisc Unila dan menggelarinya denga Sarjana Hukum. Dari beliau berdua kita semua belajarPiil Pesenggiri.
Tentu kami semua sangat mengahrgai jerih payah kedua tokoh tersebut, walaupun hingga berakhirnya "Dialog Kebudayaan Daerah Lampung" pada saat itu keduanya belum mencapai hasil yang maksimal, terlepas dari berbagai kesulitan  yang memang poastinya dialami keduanya, Saya akan katakan bahwa secara pribadi saya sangat menaruh hormat kepada keduanya.

Tugas Berat dari Kakanwil.
Melalui Bapak Dulhai Tabahhasaan  Selaku kepala Bidang Permuseuman Kesejarahan  Nilai Tradisional dan Kepurbakalaan saya dipanggil dan dimintai pendapat,prihal keributan kecil yang terjadi disaat saat hampir memasuki acara penutupan di sore hari itu, ketika dislenggarakannya Dialog kebudayaan daerah Lampung. Secara bergurau beliau bertanya apakah sebetulnya hal tersebut bisa dihindari. Saya menjawab andai Bapak Hilman dan Bapak Rizani diberikan umur panjang, dan keduanya sempat duduk bersama kita sebagai pihak pemangku kepentingan, saya katakan bahwa  "Saya yakin Bisa"
Beliau lalu tertawa, yang saya tidak paham apa arti tawanya itu. Lama Pak Dulhai tidak meneruskan bicaranya, bahkan beliau menruskan pekerjaannya, serta membiarkan saya disibukkan dengan berbagai dugaan, beberapa jenak beliau memang membiarkan saya duduk mematung. Tiba tiba beliau berbicara singkat, tetapi bagai disambar petir rasanya mendengar ucapan beliau.
"Kamu mendapat tugas khusus untuk menjelas Piil Pesenggiri kepada Para Penilik kebudayaan, buat mereka mengerti dan yang lebih penting lagi buat mereka mencintai Piil Pesenggiri, dan bahkan bangga dengan Piil Pesenggiri" Itulah kira kira kalimat yang terucap.Disaat saya mematung dihadapannya, beliaupun berkata memutus. Sudah ... !. Dengan gontai sayapun keluar ruiangan kerjanya.

Piil Pesenggiri Untuk Masyarakat Luar Etnis Lampung.
Ternyata menjelaskan Piil Pesenggiri bagi luar etnis Lampung jauh lebih mudah, memang mereka tak suka dan mudah paham tentang contoh kegiatan keseharian. Merekapun kurang suka diceritai tentang upacara adat. Memang belajar filsafat itu lebih gambang melalui historisnya ketimbang sistematikanya. Maka falsafa Piil Pesenggiripun akan paling mudah bila digunakan dengan pengdekatan historik, tetapi mereka juga tak banyak mendapatkan informasi tentang keperiodean, kurangnya peninggalan tertulis atau naskah di Lampung, adalah merupakan kelemahan tersendiri. Maka historis yang dimaksudkan adalah historis kehidupan keseharian, yang tidak diukung periodeisas, tetapi historis dalam artian memang betul betul dilaksanakan dan bukan opini. Itulah catatan historis sementara dalam menggali Piil Pesenggiri.


Piil Pesenggiri Bersandar Acara Adat.
Prof. Hilman Hadikusuima, sebagai Guru Besar Huku Adat di Unila yang merelakan dirinya sebagai vocal poit akademisi nampaknya baru melakukan langkah awal dalam memperkenalkan Piil Pesenggiri. kepada masyarakat luas. Maka dipahami manakala sandarannya baru kepada upacara adat. Sayang dalam waktu yang bersamaan  macam ragam upacara adat Lampung terkait siklus kehidupan seseorang itu mulai jarang diselenggarakan, sehingga contoh jadi agak mengawang dalam tangkapan pendengar, bisadibayangkan maka dipastikan pemahamanpun tidak akan mungkin seutuhnya. Kelemahan yang kedua, Prof. Hilman kurang menguasai adat Pesisir, sehiongga kepesisiran paling jarang dijadikan sandaran atau tautan.
Ini berakibat kepada perasaan memiliki,
Padahal dari subjudul judulnya saja Piil pesenggiri itu menggunakan dua dialek bahasa, umapamnaya. Nemui Nyimah, nemui lebih populer dalam bahasa Pepadun, nyimah lebih populer pada bahasa Pesisir. Nengah Nyappur, Nengah lebih populer dalam bahasa Pesisir, sedang nyappur lebih populer dalam bahasa Pepadun. Sakai Sambaian, Sakai lebih populer dalam bahasa Pesisir sedang kata sambaian atau sumbai lebih populer dalam bahasa Pepadun. Bisa jadi daerah daerah tertentu sangat familiar dengan bahasa bahasa itu secara kesluruhan dari pasangannya, dan bisa jadi ada daerah tertentu yang yang jarang melapalkan kedua duanya dalam pasangannya.

No comments:

Post a Comment