Banyak pihak yang sangat menghawatirkan akan kepunahan bahasa Lampung, tetapi dalam waktu bersamaan tidak segan segan mempertunjukkan antipatinya terhadap falsafah Piil Pesenggiri, prilaku seperti ini tak ubahnya ibarat menggantang anak ayam, yang tak kunjung selesai untuk tidak dikatakan justeru akan menambah masalah baru. Apalah artinya belajar bahasa Lampung tampa memahami filosofi yang hidup menyertai bahasa Lampung itu. Kata para ahli pembelajaran bahasa asing, bahwa seseorang tak akan berhasil memahami suatu bahasa asing tampa memahami budaya dan filosofi bahasa itu. Dahulu ada seseorang yang bernama Inke Maris adalah presenter bahasa Inggris pada saat televisi Indonesia hanya TVRI. Inke Maris mewawancarai seorang profesor sebagai seorang peserta pertemuan internasional lingkungan hidup yang diselenggarakan di Indonesia pada saat itu. Siapa yang meragukan kemampuan bahasa Inggris seorang Inke Maris, tetapi Inke Maris pada saat itu tak mampu menrejemahkan apa yang disampaikan oleh sang profwesor. Lantaran Inke memang kurang paham perkembangan ilmu Lingkungan Hidup.
Itulah pula sebabnya maka pembelajaran bahasa Lampung yang dijadikan mulok di sekolah sekolah sontak berubah mnjadi pembelajaran aksara Lampung yang hampa tanpa makna, seperti tidak memiliki missi apapun, memang kini banyak generasi muda kita yang memiliki pemahaman menulis dan membacara aksara yang dikenal dengan kaganga ini, tetapi justeru bahasa Lampung tetap saja ternacam kepunahan. Apalagi pelajaran bahasa yang berubah menjadi pelajaran aksara itu justeru digunakan untuk menulis bahasa Indonesia dengan aksara Lampung.
Falsafah Piil Pesenggiri bukan milik
subetnis Lampung tetapi milik semua masyarakat Lampung, lihat saja dari komposisinya, bahwa unsur unsur Piil Pesenggiri itu masing masing terdiri dari dua kata seperti : nemui - nyimah, nengah - nyappur, sakai sambaian. Kalau kata nemui yang berasal dari kata temui itu jelas jelas populer dilingkungan pengguna bahasa Pepadun, maka kata sambai justeru sangat populer di lingkungan pengguna bahasa Pesisir. Kata nengah sudah jelas lebih populer di lingkungan Pesisir, tetapi kata nyappur lebih lazim di lingkungan Pepadun. Sementara kata sakai yang berasal dari se-akai, atau kakai, atau kakkai populer di lingkungan Pesisir maka sumbai lebih populer di lingkungan Pepadun.
Seperti telah sering saya tuliskan bahwa janganlah membatasi makna Piil Pesenggiri hanya sebagai adat, karena Piil Pesenggiri akan terlokalisir, jadikanlah Piil Pesenggiri sebagai filsafat, sehingga akan lebih memiliki wawasan, perbedaan dalam menafsirkan makna Piil pesenggiri dengan segala unsurnya justeru akan menambah luasnya wawasan Piil Pesenggiri itu sendiri.Perbedaan dalam penafsiran tak menjadi masalah karena perbedaan menunjukkan realitas kekayaannya, Merupakan cabang filsafat juga antara lain adalah seni.
Melalui seni pelajaran bahasa lampung akan lebih menarik, berbagai cabang seni pembelajaran bahasa Lampung akan masuk, haruslah dijelaskan bahwa inti seni itu adalah Piil Pesenggiri. Pernah ada pihak yang menterjemahkan puisi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Lampung, pada umumnya menterjemahkan puisi secara literlek ke dalam bahasa Lampung akan dirasakan para pembaca yang memahami suasana batin Lampung sebagai terjemahan yang hambar. Pembaca akan lebih mampu mengapresiasi puisi itu dalam bahasa aslinya, ketimbang membawa puisi itu ke dalam bahasa Lampung. Puisi itu akan memenuhi jiwa ke-Lampungannya manakala memiliki ikatan secara langsung atau tidak langsung dengan posisi geografis, historis dan filosofis Lampung. Itulah sebabnya maka belajar bahasa Lampung juga akan hambar manakala belajar bahasa Lampung dengan materi ajar yang terlepas dari ikatan geografis, historis dan filosofis Lampung.semoga.
No comments:
Post a Comment