Friday, July 20, 2012
Eksistensi Piil Pesenggiri Dalam Naskah Tulisan
Lounching buku Mamak Kenut orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi beberapa hari yang lalu berhasil menambah deretan jumlah karya tulis dari penulis daerah Lampung. Dari judulnya akan memberikan harapan kepada kita semua bahwa isi tulisan ini akan mengaitkan pemikiran penulis kepada berbagai hal yang ditinjaunya dari sudut tertentu melalui tokoh yang menjadi judul buku itu, yaitu Mamak Kenut.
Bagi masyarakat Lampung pesisir khususnya khususnya Lampung Barat dan tanggamus serta beberapa daerah lainnya, yaitu Pagelaran, Kalirejo dan Tangkitserdang serta Tulungitik Metro dan beberapa wilayah tertentu yang ditempati pindahan yang berasal dari Lampung Barat, bagi mereka Mamak Kenut adalah tokoh yang tidak asing lagi. Mamak kenut adalah tokoh hayal yang kontroversial, karena Mamak kenut adalah tokoh yang bisa bicara apa saja termasuk yang tak lazim dibicarakan oleh orang lain.
Walaupun Udo Z.Karzi belum sepenuhnya mengeksploitir kenakalan dan celotehan Mamak Kenut, tetapi setidaknya Udo Z. Karzi telah membuka pintu gerbang bagi penulis lain atau karya Udo Z. Karzi sendiri kedepan. Penulis bisa menambahkan beberapa tokoh yang menjadi teman teman Mamak Kenut untuk mengemban karakter karakter tertentu baik sejalan, atau bertentangan yang intinya adalah mendukung kenakalan pemikiran Mamak Kenut. Untuk mengeksploitir kenakalan dan keisengan serta kebodohan Mamak Kenut penulis bisa memisahkan mana pemikiran mamak kenut dan mana pula pemikiran si penulis aslinya.
kepada para penulis saya berharap agar siappun tokoh yang ditampilkannya, terlebih tokoh itu Mamak Kenut, maka sang tokoh sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengusung dan mengembangkan falsafah " Piil Pesenggiri " dengan unsur unsurnya yang tak asing lagi yaitu nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Sehingga karya tulis kitapun layak disebut sebagai pengembangan budaya Lampung.
Nilai nilai yang diemban oleh piil pesenggiri sebenarnya nampak jelas, nilai nilai itu bukan nilai masa lalu yang tinggal kenangan, tetapi memiliki bobot kekinian. Lihat saja unsur unsurnya yang sangat kontemporer.
Nilai nilai Piil Pesenggiri itu sesungguhnya adalah nilai nilai yang akan dikembangkan atas kesepakatan Lampung, Banten, Cirebon dan Demak yang berencana untuk mendiriksn Kesultanan Islam yang modern di Lampung, yang akan menggabungkan karakter Sumatera yang egaliter dengan karakter jawa yang telah teruji memiliki kemampuan mempertahan kekuasaan. Sayang niat mendirikan Kesultanan Islam di lampung yang diawali dengan perkawinan Sultan Cirebon dengan Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung itu juga gagal mendirikan Kesultanan Islam, akibat berbagai hal tentunya.
Terlepas dari kegagalan itu, maka nilai nilai Piil Pesenggiri adalah merupakan nilai nilai yang harus kita pertahankan, dan bahkan harus kita kembangluaskan, kepada masyarakat luas khususnya generasi penerus kita. Penulisan naskah opini seperti yang dilakukan oleh Udo Z. Karzi dengan menampilkan Mamak Kenut sebagai tokoh utamanya dalam penulisan naskah itu sebenarnya memiliki peluang mengusung nilai nilai piil pesenggiri itu.
Apalagi Udo Z. Karzi memang terlahir dari komunitas pendukung budaya Lampung, beliau dilahirkan di Negarabatin Liwa lampung Barat, dan aktivitas beliau sebagai jurnalis, yang kesehariannya akrab dengan pemikiran dan penulisan, serta tersedianya media yang siap untuk mempublikasikannnya.
Kiranya pantas saya mengucapkan salut kepada Udo Z. Karzi seraya mendoakan agar beliau lebih produktif lagi, dan menitip secercah harapan agar beliau berkenan menuliskan para tokoh semisal Mamak Kenut untuk mengusung Piil Pesenggiri yang memiliki nilai nilai yang modern itu. Semoga (Fachruddin)
Tuesday, July 3, 2012
Menghargai Tokoh Adat.
-
Pasca penetapan UU Pemerintahan Pedesaan orang mulai berpaling dari tokoh lembaga adat setempat, kalau dahulu mereka sangat berperan dalam berkomunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah, maka kini peran itu banyak diambil alih oleh Lurah, Kepala Desa (Kades) atau kepala Pekon. Otomatis komunikasi antara pemerintah dan lembaga adat setempat semakin langka. Tokoh tokoh adat dimata Pemerintah semakin tak populer. Bahkan sekarang pemerintah cenderung membentuk lembaga adat buatan.
Namun demikian bukan berarti pengaruh tokoh tokoh lembaga adat itu sirna sesirnanya lembaga adat dari mata Pemerintah. Pemerintah boleh boleh saja menganggap tokoh adat itu tidak ada kecuali tokoh adat yang telah dibentuk dan dibiayai operasionalnya itu, tetapi tidak demikian dimata anggota lembaga adat. bagi anggota lembaga adat pimpinan adat yang syah adalah tokoh lembaga adat yang asli. Jangan heran bila ada tokoh lembaga adat buatan yang terpaksa merunduk runduk kepada tokoh lembaga adat yang asli meminta maaf atas keberadaannya sebagai tokoh lembaga adat buatan Pemerintah.
Bisa bisa saja pemerintah membentuk lembaga adat buatan mulai dari gtingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Hingga Tingkat kecamatan bahkan Tingkat Kampung atau desa. Tunjuk mereka yang bergelar S1, 2 ataupun 3, piloh mereka yang kaya kaya dan sejahtera dari segi ekonomi. tetapi bila maksudnya adalah untuk mengambil alih hak para tokoh lembaga adat yang aslinya, maka yakinlah kemanfaatannya sangatlah minim, dan bahkan salah salah justeru akan melahirkan konflik konflik baru.
Sepengapengetahuan saya dahulu Pemerintah Daerah Provinsi Lampung memang memprogramkan pemberdayaan lembaga adat, setidaknya itu termasuk dalam visi dan misi Instansi pembina Kebudayaan. Tetapi sepertinya itu tidak pernah dilaksanakan, dan bahkan belakangan kita dikejutkan oleh terbentuknya lembaga adat yang baru. kalau seandainya lembaga ini merupakan forum komunikasi antar lembaga lembaga adat yang ada itu justeru sangat masuk akal.
Tetapi dengan terbentuklnya lembaga adat buatan, maka tokmoh lembaga adat yang asli akan semakin tersingkirkan. Dengan tidak berdayanya tokoh lembaga adat yang asli kita semua akan mendapatkan kerugian karena telah kehilangan peluang pemanfaatan ikatan antara kepemimpinan tokoh adat dengan komunitas yangh dipimpinnya.
Seharusnya justeru kita memberikan peluang dan memfasilitasi peran pimpinan lembaga adat untuk melakukan upaya peningkatan kesejahteraan masing masing mereka. sebagaimana kita ketahui bahwa tingkat pendidikan akar rtumput bangsa kita yang masih SLTP ke bawah, dan sebagian besar mereka itu adalah merupakan komunitas adat.
Pimpinan tokoh adat bagi komunitas pada lembaga adat adalah merupakan tokoh yang sangat dihormati, apalagi mereka memang terkait kekerabatan yang sangat kental, hubungan yang demikian itu sebenarnya sebuah potensi besar untuk melakukan upaya peningkatan wawsan bagi komunitas bersangkutan.
Hendaklah kita ingat bahwa dalam suatu mata rantai, maka mata rantai yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu, tentu saja mata rantai yang paling lemah, karena mata rantai yang paling lemah itulah yang akan mendatangkan malapetaka yang sebelumnya tak pernah kita sangka sangka.
Pasca penetapan UU Pemerintahan Pedesaan orang mulai berpaling dari tokoh lembaga adat setempat, kalau dahulu mereka sangat berperan dalam berkomunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah, maka kini peran itu banyak diambil alih oleh Lurah, Kepala Desa (Kades) atau kepala Pekon. Otomatis komunikasi antara pemerintah dan lembaga adat setempat semakin langka. Tokoh tokoh adat dimata Pemerintah semakin tak populer. Bahkan sekarang pemerintah cenderung membentuk lembaga adat buatan.
Namun demikian bukan berarti pengaruh tokoh tokoh lembaga adat itu sirna sesirnanya lembaga adat dari mata Pemerintah. Pemerintah boleh boleh saja menganggap tokoh adat itu tidak ada kecuali tokoh adat yang telah dibentuk dan dibiayai operasionalnya itu, tetapi tidak demikian dimata anggota lembaga adat. bagi anggota lembaga adat pimpinan adat yang syah adalah tokoh lembaga adat yang asli. Jangan heran bila ada tokoh lembaga adat buatan yang terpaksa merunduk runduk kepada tokoh lembaga adat yang asli meminta maaf atas keberadaannya sebagai tokoh lembaga adat buatan Pemerintah.
Bisa bisa saja pemerintah membentuk lembaga adat buatan mulai dari gtingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Hingga Tingkat kecamatan bahkan Tingkat Kampung atau desa. Tunjuk mereka yang bergelar S1, 2 ataupun 3, piloh mereka yang kaya kaya dan sejahtera dari segi ekonomi. tetapi bila maksudnya adalah untuk mengambil alih hak para tokoh lembaga adat yang aslinya, maka yakinlah kemanfaatannya sangatlah minim, dan bahkan salah salah justeru akan melahirkan konflik konflik baru.
Sepengapengetahuan saya dahulu Pemerintah Daerah Provinsi Lampung memang memprogramkan pemberdayaan lembaga adat, setidaknya itu termasuk dalam visi dan misi Instansi pembina Kebudayaan. Tetapi sepertinya itu tidak pernah dilaksanakan, dan bahkan belakangan kita dikejutkan oleh terbentuknya lembaga adat yang baru. kalau seandainya lembaga ini merupakan forum komunikasi antar lembaga lembaga adat yang ada itu justeru sangat masuk akal.
Tetapi dengan terbentuklnya lembaga adat buatan, maka tokmoh lembaga adat yang asli akan semakin tersingkirkan. Dengan tidak berdayanya tokoh lembaga adat yang asli kita semua akan mendapatkan kerugian karena telah kehilangan peluang pemanfaatan ikatan antara kepemimpinan tokoh adat dengan komunitas yangh dipimpinnya.
Seharusnya justeru kita memberikan peluang dan memfasilitasi peran pimpinan lembaga adat untuk melakukan upaya peningkatan kesejahteraan masing masing mereka. sebagaimana kita ketahui bahwa tingkat pendidikan akar rtumput bangsa kita yang masih SLTP ke bawah, dan sebagian besar mereka itu adalah merupakan komunitas adat.
Pimpinan tokoh adat bagi komunitas pada lembaga adat adalah merupakan tokoh yang sangat dihormati, apalagi mereka memang terkait kekerabatan yang sangat kental, hubungan yang demikian itu sebenarnya sebuah potensi besar untuk melakukan upaya peningkatan wawsan bagi komunitas bersangkutan.
Hendaklah kita ingat bahwa dalam suatu mata rantai, maka mata rantai yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu, tentu saja mata rantai yang paling lemah, karena mata rantai yang paling lemah itulah yang akan mendatangkan malapetaka yang sebelumnya tak pernah kita sangka sangka.
Galau, Penilik Kebudayaan Lampung.
-
Pasca Dialog kebudayaan Lampung 1988 yang silang sengkarut itu, para penilik kebudayaan di Lampung meminta untuk tidak dipaksa merasa sebagai orang Lampung, "Biarlah kami dianggap pendatang yang tidak mengerti budaya Lampung" , katanya. mereka benar benar trauma mengenang dialog kebudayaan yang harus ditutup disaat acungan tangan peserta yang meminta diberikan waktu untuk bicara.
Kegalauan para penilik kebudayaan di Lampung yang hampir seluruhnya orang pendatang itu nampaknya diakibatkan oleh prilaku beberapa orang peserta dialog yang terpancing emosi ketika ada yang mengatakan jangan mengaku ngaku sebagai orang lampung bila bejuluk tidak beadek/ adokpun tidak, jangan dikira gampang jadi orang Lampung. berdasarkan ucapan itu maka pemahaman yang ada pada para penilik kebudayaan itu antara lain adalah : Jangankan mereka yang memang pendatang, mereka yang putera daerahpun sebagian tidak diakui ke"Lampung"annya, oleh sebagian peserta dialog kebudayaan itu karena tidak memiliki gelar keadatan.
Itulah nasib dialog kebudayaan yang tiba tiba berubah menjadi dialog adat. Ada beberapa orang peserta dialog yang tidak mahir membedakan adat dengan kebudayaan. Mereka mengira budaya Lampung itu identik dengan adat Lampung, dan celakanya lagi yang diamksud dengan adat itu adalah adat mereka masing masing.
Sulit untuk menetralisir kegalauan yang dialami para penilik kebudayaan, walaupun pada akhirnya berhasil juga. Penilik kebudayaan pada saat itu adalah pejabat eselon V yang bertugas di ujung tombak dalam pembidaan budaya dalam arti luas. Mereka ditugaskan di masing masing Kecamatan. Tugas mereka adalah melakukan pemutakhiran data, tentang organisasi seni lembaga adat, aliran kepercayaan dan lain sebagainya, lalu melaporkannya setiap triwulan. Mwreka diberikan pelatihan untuk menambah wawasan serta berbagai keterampilan yang mendukung kelancaran tugas mereka.
Kepada mereka piil pesenggiri selanjutnya diperkenalkan sebagai etika dan filsafat daerah Lampung. Dengan demikian mereka merasa lebih nyaman, dan yang lebih penting lagi adalah mereka tidak segan segan merasa sebagai orang lampung, setiap saat mereka bisa menjelaskan siapa saja tokoh budaya, tokoh adat serta kesenian yang berkembang di dadrah masing masing.
Pasca Dialog kebudayaan Lampung 1988 yang silang sengkarut itu, para penilik kebudayaan di Lampung meminta untuk tidak dipaksa merasa sebagai orang Lampung, "Biarlah kami dianggap pendatang yang tidak mengerti budaya Lampung" , katanya. mereka benar benar trauma mengenang dialog kebudayaan yang harus ditutup disaat acungan tangan peserta yang meminta diberikan waktu untuk bicara.
Kegalauan para penilik kebudayaan di Lampung yang hampir seluruhnya orang pendatang itu nampaknya diakibatkan oleh prilaku beberapa orang peserta dialog yang terpancing emosi ketika ada yang mengatakan jangan mengaku ngaku sebagai orang lampung bila bejuluk tidak beadek/ adokpun tidak, jangan dikira gampang jadi orang Lampung. berdasarkan ucapan itu maka pemahaman yang ada pada para penilik kebudayaan itu antara lain adalah : Jangankan mereka yang memang pendatang, mereka yang putera daerahpun sebagian tidak diakui ke"Lampung"annya, oleh sebagian peserta dialog kebudayaan itu karena tidak memiliki gelar keadatan.
Itulah nasib dialog kebudayaan yang tiba tiba berubah menjadi dialog adat. Ada beberapa orang peserta dialog yang tidak mahir membedakan adat dengan kebudayaan. Mereka mengira budaya Lampung itu identik dengan adat Lampung, dan celakanya lagi yang diamksud dengan adat itu adalah adat mereka masing masing.
Sulit untuk menetralisir kegalauan yang dialami para penilik kebudayaan, walaupun pada akhirnya berhasil juga. Penilik kebudayaan pada saat itu adalah pejabat eselon V yang bertugas di ujung tombak dalam pembidaan budaya dalam arti luas. Mereka ditugaskan di masing masing Kecamatan. Tugas mereka adalah melakukan pemutakhiran data, tentang organisasi seni lembaga adat, aliran kepercayaan dan lain sebagainya, lalu melaporkannya setiap triwulan. Mwreka diberikan pelatihan untuk menambah wawasan serta berbagai keterampilan yang mendukung kelancaran tugas mereka.
Kepada mereka piil pesenggiri selanjutnya diperkenalkan sebagai etika dan filsafat daerah Lampung. Dengan demikian mereka merasa lebih nyaman, dan yang lebih penting lagi adalah mereka tidak segan segan merasa sebagai orang lampung, setiap saat mereka bisa menjelaskan siapa saja tokoh budaya, tokoh adat serta kesenian yang berkembang di dadrah masing masing.
Pristiwa Dialog Kebudayaan Lampung 1988
-
Pidato Budayawan Rosihan Anwar dalam Aacara penutupan Dialog Kebudayaan Kanwil Depdikbud Lampung taun 1988 mengatakan : " Akan saya sampaikan kepada bapak menteri bahwa di Lampung masih menyisakan persolan, persoalan itu bernama Piil Pesenggiri " Ucapan itu bagi saya bagaikan sambaran petir. Sejak tahun terakhir sosialisasi piil pesenggiri telah dilakukan di lingkungan para Penilik Kebudayaan. Piil pesenggiri sebagai falsaf daerah yang sangat bermutu.
Tetapi rosihan Anwar tidak salah bila berbicara demikian, Ia melihat sendiri bagaimana peserta dialog kebudayaan terbagi setidaknya tiga bagian. Ada (1) peserta yang merasa sebagai orang Lampung karena ia memiliki gelar atau adek/adok, (2) ada orang Lampung yang tidak boleh mengaku sebagai orang lampung karena tidak memiliki gelar, karena adat mereka tidak membenarkan mereka menyandang gelar, dan ada (3) peserta yang sebenarnya adalah orang pendatang yang mereka diajak ikut acara dialog kebudayaan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Lampung secara keseluruhan. Dialog menjadi hiruk pikuk karena ada dua warning yang muncul " Jangan mengaku sebagai orang Lampung bila bejuluik tidak dan beradekpun tidak" yang lainnya "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Pantas bila piil pesenggiri di mata Rosihan adalah sebagai masalah.
Pengkal kekisruhan adalah ketika dari flor ada yang berteriak mengatakan "Tidak usah mengaku ngaku sebagai orang Lampung bila bejuluk tidak dan beadekpun tidak". Semnetara ada juga narasumber yang mengatakan "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Si-empunya kata nampaknya tidak menyimak pidato pidato pembukaan, bahwa pertemuan dialog kebudayaan itu bermaksud untuk lebih memperekat hubujngan masyarakat yang majemuk ini.
Perdebatan itu juga muncul karena para narasumber lebih menampilkan piil pesenggiri dalam perspektif adat. Ketika kita berbicara adat, maka akan muncul kelompok yang relatif tertutup, dalam artian memang tidak gampang orang luar akan bergabung dalam adat itu. Ketika membicarakan kreteria maka yang muncul adalah kreteria yang dikehendaki adat.
Ada kelompok tertentu yang memang tidak mungkin akan memiliki gelar atau adek/adok. Ada komunitas masyarakat Lampung berdasarkan adat yang ada, tidak memberikan peluang kepada kelompok tertentu untuk memiliki gelar gelar keadatan, komunitas yang satu ini sangat menjaga keaslian darah. Tetapi didak bagi komunitas yang lain, yang memliki keterbukaan untuk setiap saat meningkatkan statusnya dalam dunia adat, meningkatkan statusnya dalam adat.
Perdebatan itu muncul lagi pada sesi terakhir dalam dialog itu, dan dialog itu ditutup secara paksa karena ketiadaan waktu. Tokoh yang akan menutupnya telah lama menunggu dan menyimak jalannya dialog yang berlangsung kisruh dan nyaris tak terkendali. Secara berulang-ulang dua buah mikrofon yang disediakan panitia digunakan oleh peserta secara bersamaan, kita dapat membayangkan betapa bisingnya. Dan wajar bila Rosihan Anwar berbicara seperti itu.
Pidato Budayawan Rosihan Anwar dalam Aacara penutupan Dialog Kebudayaan Kanwil Depdikbud Lampung taun 1988 mengatakan : " Akan saya sampaikan kepada bapak menteri bahwa di Lampung masih menyisakan persolan, persoalan itu bernama Piil Pesenggiri " Ucapan itu bagi saya bagaikan sambaran petir. Sejak tahun terakhir sosialisasi piil pesenggiri telah dilakukan di lingkungan para Penilik Kebudayaan. Piil pesenggiri sebagai falsaf daerah yang sangat bermutu.
Tetapi rosihan Anwar tidak salah bila berbicara demikian, Ia melihat sendiri bagaimana peserta dialog kebudayaan terbagi setidaknya tiga bagian. Ada (1) peserta yang merasa sebagai orang Lampung karena ia memiliki gelar atau adek/adok, (2) ada orang Lampung yang tidak boleh mengaku sebagai orang lampung karena tidak memiliki gelar, karena adat mereka tidak membenarkan mereka menyandang gelar, dan ada (3) peserta yang sebenarnya adalah orang pendatang yang mereka diajak ikut acara dialog kebudayaan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Lampung secara keseluruhan. Dialog menjadi hiruk pikuk karena ada dua warning yang muncul " Jangan mengaku sebagai orang Lampung bila bejuluik tidak dan beradekpun tidak" yang lainnya "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Pantas bila piil pesenggiri di mata Rosihan adalah sebagai masalah.
Pengkal kekisruhan adalah ketika dari flor ada yang berteriak mengatakan "Tidak usah mengaku ngaku sebagai orang Lampung bila bejuluk tidak dan beadekpun tidak". Semnetara ada juga narasumber yang mengatakan "Jangan dikira gampang menjadi orang Lampung". Si-empunya kata nampaknya tidak menyimak pidato pidato pembukaan, bahwa pertemuan dialog kebudayaan itu bermaksud untuk lebih memperekat hubujngan masyarakat yang majemuk ini.
Perdebatan itu juga muncul karena para narasumber lebih menampilkan piil pesenggiri dalam perspektif adat. Ketika kita berbicara adat, maka akan muncul kelompok yang relatif tertutup, dalam artian memang tidak gampang orang luar akan bergabung dalam adat itu. Ketika membicarakan kreteria maka yang muncul adalah kreteria yang dikehendaki adat.
Ada kelompok tertentu yang memang tidak mungkin akan memiliki gelar atau adek/adok. Ada komunitas masyarakat Lampung berdasarkan adat yang ada, tidak memberikan peluang kepada kelompok tertentu untuk memiliki gelar gelar keadatan, komunitas yang satu ini sangat menjaga keaslian darah. Tetapi didak bagi komunitas yang lain, yang memliki keterbukaan untuk setiap saat meningkatkan statusnya dalam dunia adat, meningkatkan statusnya dalam adat.
Perdebatan itu muncul lagi pada sesi terakhir dalam dialog itu, dan dialog itu ditutup secara paksa karena ketiadaan waktu. Tokoh yang akan menutupnya telah lama menunggu dan menyimak jalannya dialog yang berlangsung kisruh dan nyaris tak terkendali. Secara berulang-ulang dua buah mikrofon yang disediakan panitia digunakan oleh peserta secara bersamaan, kita dapat membayangkan betapa bisingnya. Dan wajar bila Rosihan Anwar berbicara seperti itu.
Monday, July 2, 2012
Piil Pesenggiri Sebelum dan Sesudah Islam
Piil Pesenggiri telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, ada piil pesenggiri sebelum Islam, ada piil pesenggiri setelah Islam. Dan piil pesenggiri sepertinya masih akan mengalami perkembangan perkembangan sesuai dengan kehendak zaman. Piil pesenggiri sebelum Islam maknanya adalah harga diri (1) laki laki harga dirinya (piilnya) adalah perempuan, artinya berapa jumlah perempuan yang mampu disuntingnya. (2) perempuan harga dirinya adalah makanan, uang dan perhiasan. Maksudnya harga diri perempuan itu akan tergantung dengan kemampuannya memasak, kemampuannya meyakinkan suaminya untuk mempercayakan kepada istrinya menyimpan uang suaminya, serta seberapa jumlah perhiasan yang dibelikan oleh suaminya.(3) Anak laki laki harga dirinya adalah pada ucapannya, yang mampu diwujudkan atau dibuktikannya. Sedangkan harga diri anak perempuan adalah (4) prilakunya yang membuat banyak orang tua yang ingin meminangnya sebagai anak menantunya.
Piil pesenggiri yang ditemukan oleh Rizani Puspawijaya dalam rangka penulisan skripsanya di Fakultas Hukum di Universitas Lampung adalah piil pesenggiri yang telah dipengaruhi oleh Islam. Unsur piil pesenggiri yang diketemukan adalah (1) Juluk Adek, (2) Nengah nyappur, (3) Nemui nyimah dan (5) sakai sambaia. Para penngamat dan penglaku adat ada yang memasukan piil pesenggiri dan ada juga yang memasukkan titi gemeti sebagai unsur piil pesenggiri.
Piil pesenggiri temuan Rizani Puspawijaya ini langsung mendapat perhatian dari banyak pihak, dan tentu saja menjadi kajian kajian menarik di lingkungan para akademisi. Para pendatang yang jumlahnya di Universitas Lampung adalah mayoritas dan masyarakat Lampung pada umumnya mengharap hasil kajian kajian itu representatif untuk mengenali sosok orang Lampung.
Rumusan Piil Pesenggiri yang ditemukan oleh Rizani Puspawijaya adalah :
1. Bejuluik beadek
2. Nemui Nyimah
3. Sakai sambaian dan
4. Nengah Nyappur.
Ada juga yang memasukkan " Titi gemetei " sebagai unsur piil pesenggiri, dan ada juga yang menjadi piil pesenggiri menjadi salah satu unsur piil pesenggiri itu sendiri.
Hilman Hadikusuma banyak muncul sebagai sosok narasumber untuk membedah apa itu piil pesenggiri. Sebagai Guru Beaar Hukum Adat di Unila kajian kajian Hilman Hadikusuma sangat dipengaruhi oleh kaidah kaidah adat khususnya lingkungan yang membesarkannya. Oleh komunitas adat lampung yang lain Hilman Hadikusuma sering dituduh Pepadun mainded. Sebenarnya tuduhan ini kurang fair, masalahnya informasi tentang adat istiadat Lampung yang tersebar masih minim sekali. bagaimana mungkin seseorang akan berbicara banyak tentang sesuatu yang belum difahaminya benar. Namun demikian kita semua pantas berterima kasih kepada Hilman Hadikusuma, tampa ketelatenan beliau memberikan uraian uraiannya maka temuan Rizani Puspawijaya ini tidk banyak mendapat perhatian.
Piil pesenggiri yang yang baru yang justeru terumuskan setelah Islam masuk Lampung, dan bahkan tetkala ada pihak pihak yang sedang mempersiapkan berdirinya Kesultanan Islam di Lampung hingga saat ini belum banyak mendapatkan bahasan dan kajian yang lebih kritis. Padahal manakala ini lebih didalami maka kita akan menemukan pesan pesan mendalam yang lebih prospektif.
Untuk perkembangan piil pesenggiri dibutuhkan adanya pihak pihak sebagai pembicara awal tentang piil pesenggiri yang lebih prosepektif. Setidaknya ada dua sisi yang sangat terbuka untuk dikaji, yaitu sisi filsafat dan piil pesenggiri dalam perspektif serta prospektif Islam. Untuk membicarakan piil pesenggiri sebagai filsafat ini benar benar menjadi ruang terbuka bagi siapapun. Sedangkan piil pesenggiri dalam prospektif dan perspektif Islam, kita dapat berbicara secara terukur.
Subscribe to:
Posts (Atom)