Membelenggu Lembaga Adat, Berarti Sedang Berupaya Menghapus Kearifan Lokal.
Jangankan Piil Pesenggiri, Pancasila saja yang selama ini secara bulat kita bersepakat sebagai satu satunya azas dalam berbangsa dan berbegara, pada saat ini nyaris tercerabut dari pertimbangan dalam bertindak sebagai seorang Warga Negara. Masyarakat cenderung buarbuat seenaknya, dan keadaan ini diperparah pula kehilangan kepercayaan terhadap penyelenggara negara, sebagai konsekuensi logis akibat banyaknya mereka yang menyandang kepercayaan untuk memajukan bangsa justeru terlibat pada konspirasi berbagai tindak pidana, utamanya korupsi.
Pengamalan pancasila kini kehilangan keteladanan, dahulu pejabat kita jadikan anutan, karena di mata p;ejabat para tokoh agama adalah mereka mereka yang tidak paham pembangunan dan bahkan dituduh anti pembangunan. Jadi satu satunya teladan adalah para pejabat tinggi negara baik sipil maupun militer. Setelah militer dikembalikan ke barak barak dan banyaknya pejabat Pemerintah yang tersandung kasus hukum maka masyarakatpun kehilangan pegangan.
Kita dipertontonkan berbagai adegan cakar cakaran antar aparat meliputi Legislatif - Ekskutif dan - Yudikatif, masyarakat juga dioertontonkan bagaimana cara cara mereka saling menyandra, serta bagaimana pula cara mereka saling berbagi dengan win win solution. Itu semua diakibatkan oleh ketidaktepatan atas sistem yang kita terapkan. Masing masing bertindak sebagai predator yang siap memangsa, yang berujung kepada berlakunya politik transaksional, karena memang masing masing pihak relatif sama buruknya.
Demikian juga dengan Piil Pesenggiri yang merupakan salah satu Lokal Wisdom, kearifan lokal. Manakala tidak ada upaya upaya para pihak untuk memelihara dan mengembangkannya maka Piil Pesenggiri ini labat tetapi pasti akan hanya tinggal kenangan belaka, hanya merupakan sejarah masa lalu, menjadi kebanggan sesaat. Sesudah itu akan hilang untuk selama lamanya. Jangan ada pihak yang berupaya untuk mengambil alih peran lembaga adat, karena akan sama dengan membelenggu lembaga adat itu sendiri. membelenggu lembaga adat berarti berupaya menghapus kearifan lokal milik komunitas adat itu.
Kalau dahulu penanaman nilai nilai Piil Pesenggiri ini dilakukan sejalan dengan penyelenggaraan upacara daur hidup. dan penglaku upacara sepenuhnya didampingi oleh para punyimbang adat, sehingga demikian terikatnya masyarakat dengan para punyimbang itu, tetapi saat sekarang upacara daur hidup itu mulai dirasakan sebagai upacara langka, sehingga penanaman dan pendidikan Piil Pesenggiri menjadi kehilangan lahan.
Akibat berbagai sebab tebtunya, para punyimbang adat kini telah banyak kejilangan kewenangan. Lalu lembag adatpun nyaris vakum. Itu juga barangkali yang mendorong munculnya lembaga adat buatan. Pseudo Lembaga Adat. Lalu apa pula fungsinya lembaga adat buatan ini. Itu sangat tergantung dari niatan para pendirinya yang tertuang dalam AD dan ART lembaga itu.
Kalau lembaga itu bertujuan untuk memberdayakan lembaga adat yang ada, maka tentu saja kehadirannya akan sangat bermanfaat, den keberhasilnanya adalah harapan kita semua. Tetapi bila kehadiran lembaga baru itu untuk mengambil alih peran lembaga adat, maka upaya itu tidak akan mungkin berhasil memffungsikan dirinya, tetapi di lain pihaj dia akan sukses mematikan lembaga adat yang ada. megapa.
Pimpinan adat dan warga adat memiliki ikatan yang sangat spesial. dalam bentuk ikatan kekeluargaan, baik dari pertalian darah maupun akibat perkawinan. Ikatan itu akan mempererat hubungan antar mereka, yang tidak ada bandingannya.
Lalu apa huibungannya dengan Kearifan Lokal Piil Pesenggiri .... ?
Sejak zaman Orde Baru para pimpinan kita sebenarnya telah banyak melakukan kebohongan kolektif, para pejabat sebagian besar justeru terlibat konspirasi untuk melakukan kebohongan kebohongan itu. Itulah yang telah menghancurkan nilai nilai luhur Pancasila. Pada zaman Orde Baru Pemilihan Umum hanya merupakan kepura puraan belaka, karena pemenangnya sudah dapat dipastikan, dan bahkan hasilnya sudah dapat ditetapkan jauh sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum. Sidang sisang di DPR/ MPR tidak lebih hanya kepura puraan belaka.
Kepura puraan inilah yang menghasilkan bukan hanya ketidakpercayaan masyarakat kepada semua aturan yang diberlakukan, tetapi semangat untuk menentang dan bahkan keberutalan dalam bersikap lebih berani diperlihatkan dalam menyelesaikan semua persoalan. Keberutalan keberutalan itu merupakan ekspressi pemaksaan kehendak.
kalau seandainya telah terjadi pengambil alihan kewenangan pimpinan adat, lalu dilengkapi pula dengan berbagai kepura puraan, seperti pura pura pimpinan adat serta serta krbohongan dan lain sebagainya. Maka hampir dapat dipastikan pawa warga adat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga terakhir yang kita harapkan mampu mempertahankan nilai nilai warisan luhur, yaitu Piil pesenggiri.
Sunday, June 26, 2011
Thursday, May 5, 2011
Memperbanyak Karya Seni Sastra Daerah
Dalam Rangka Mempertahankan Bahasa Daerah Lampung.
Bahasa yang modern adalah bahasa yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan prihal isi alam, sains dan teknologi. Semua benda benda di alam ini terdapat namanya dalam bahasa itu, dan seluk beluk sains dan teknologi juga dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tersebut.
Barangkali sulit bahasa daerah Lampung untuk memiliki peran seperti itu. Namun walaupun demikian bahasa Lampung masih harus dipertahankan sehubungan dengan adanya wilayah dan komunitas masyarakat pendukung budaya Lampung. Sebagai sebuah kekayaan budaya Indonesia, semuanya layak kita pertahankan.
Mempertahankan budaya dan bahasa suatu daerah tidak terlepas dari upaya upaya mempertahankan nilai nilai yang selama ini dianut, sehingga nilai nilai itu tetap dapat dipertahankan aktualitasnya. Nilai nilai itu diharapkan memiliki kekuatan untuk mengarahkan sikap dan karakter komunitasnya, tetapi dalam waktu bersamaan sikap dan karakter itu akan mampu mempertahankan keberadaan serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena tidak aka nada manfaatnya memperthankan sesuatu yang tak bermanfaat.
Tidak akan banyak manfaatnya mempertahankan bahasa daerah manakala bahasa itu tiudak diarahkan untuk mempertahankan nilai nuilai yang dimiliki oleh daerah itu, yaitu nilai yang telah berhasil menghantarkan masyarakat hingga era globalisasi sekarang ini. Nilai nilai akan berada dan tersimpan antara lain dalam karya karya seni. Maka mempertahankan bahasa daerah harus bersamaan dengan upaya upaya memoerbanyak karya seni daerah itu. Karya seni tidak akan terlepas dari nilai-nilai. Oleh karenanya maka kita berharap agar mereka yang memiliki potensi memproduksi karya seni daerah Lampung, hendaklah lebih mengenali nilai nilai daerah Lampung.
Mengajarkan sebuah bahasa daerah tampa menanamkan nilai nilai yang dimiliki maka pembelajaran itu akan menjadi hambar. Seperti pembelajaran bahasa Lampung umpamanya akan berubah menjadi sekedar pembelajaran aksara Lampung. Dan pembelajaran aksara Lampung sendiri tidak akan banyak manfaatnya manakala tidak didapatkan buku buku yang ditulis dengan aksara Lampung. Ketiadaan buku buku dengan menggunakan aksara lampung itu merupakan penyebab pembelajaran bahasa Lampung menjadi hambar.
Agar Pemerintah tidak hanya sekedar mendorong pembelajaran bahasa daerah belaka, tetapi juga mendorong dan memfasilitasi munculnya karya karya seni daerah Lampung. Nilai nilai budaya daerah lampung hendaknya menjadi beban bagi pencipta karya seni darah lampung, karena karya seni lebih mudah untuk dicerna, bukan hanya oleh komunitas pendukung budaya Lampung, tetapi oleh siapapun, karena pada hakekatnya manusia tak terpisahkan dari karya seni, yaitu karya yang memenuhi standar estetika.
Bahasa yang modern adalah bahasa yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan prihal isi alam, sains dan teknologi. Semua benda benda di alam ini terdapat namanya dalam bahasa itu, dan seluk beluk sains dan teknologi juga dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tersebut.
Barangkali sulit bahasa daerah Lampung untuk memiliki peran seperti itu. Namun walaupun demikian bahasa Lampung masih harus dipertahankan sehubungan dengan adanya wilayah dan komunitas masyarakat pendukung budaya Lampung. Sebagai sebuah kekayaan budaya Indonesia, semuanya layak kita pertahankan.
Mempertahankan budaya dan bahasa suatu daerah tidak terlepas dari upaya upaya mempertahankan nilai nilai yang selama ini dianut, sehingga nilai nilai itu tetap dapat dipertahankan aktualitasnya. Nilai nilai itu diharapkan memiliki kekuatan untuk mengarahkan sikap dan karakter komunitasnya, tetapi dalam waktu bersamaan sikap dan karakter itu akan mampu mempertahankan keberadaan serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena tidak aka nada manfaatnya memperthankan sesuatu yang tak bermanfaat.
Tidak akan banyak manfaatnya mempertahankan bahasa daerah manakala bahasa itu tiudak diarahkan untuk mempertahankan nilai nuilai yang dimiliki oleh daerah itu, yaitu nilai yang telah berhasil menghantarkan masyarakat hingga era globalisasi sekarang ini. Nilai nilai akan berada dan tersimpan antara lain dalam karya karya seni. Maka mempertahankan bahasa daerah harus bersamaan dengan upaya upaya memoerbanyak karya seni daerah itu. Karya seni tidak akan terlepas dari nilai-nilai. Oleh karenanya maka kita berharap agar mereka yang memiliki potensi memproduksi karya seni daerah Lampung, hendaklah lebih mengenali nilai nilai daerah Lampung.
Mengajarkan sebuah bahasa daerah tampa menanamkan nilai nilai yang dimiliki maka pembelajaran itu akan menjadi hambar. Seperti pembelajaran bahasa Lampung umpamanya akan berubah menjadi sekedar pembelajaran aksara Lampung. Dan pembelajaran aksara Lampung sendiri tidak akan banyak manfaatnya manakala tidak didapatkan buku buku yang ditulis dengan aksara Lampung. Ketiadaan buku buku dengan menggunakan aksara lampung itu merupakan penyebab pembelajaran bahasa Lampung menjadi hambar.
Agar Pemerintah tidak hanya sekedar mendorong pembelajaran bahasa daerah belaka, tetapi juga mendorong dan memfasilitasi munculnya karya karya seni daerah Lampung. Nilai nilai budaya daerah lampung hendaknya menjadi beban bagi pencipta karya seni darah lampung, karena karya seni lebih mudah untuk dicerna, bukan hanya oleh komunitas pendukung budaya Lampung, tetapi oleh siapapun, karena pada hakekatnya manusia tak terpisahkan dari karya seni, yaitu karya yang memenuhi standar estetika.
Sunday, May 1, 2011
Membangun Budaya Daerah.
Fachruddin
Final Goal pembangunan budaya daerah Lampung hendaknya adalah meningkatnya kreatifitas masyarakat pendukung dan pelaku budaya untuk mengembangkan budayanya, sehingga memiliki kemampuan untuk mencapai taraf hidup dan kesejahteraan yang lebih baik, berdasarkan potensi lingkungan dan geografisnya. Upaya membangun budaya daerah harus dimulai dari mengenali lebih dalam akan potensi yang dimiliki baik dalam bentuk nilai nilai luhur serta keadaan alam yang harus dipertahankan dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung kesejahteraan bersama.
Sebagaimana lazimnya setiap daerah memiliki nilai nilai yang selama ini dianut dan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan keutuhan komunitas, nilai nilai itu terakumulasi dalam kearifan lokal. Oleh karena itu kearifan lokal harus terindentifikasi dengan baik dan diperkuat agar kearifan lokal ini memiliki kekuatan untuk mengarahkan komunitas penganutnya memiliki kemampuan menyerap dan mengolah serta mengembangkan budaya asing, atau budaya lain, sebagai hasil konmtak budaya, sesuai dengan watak sendiri serta lingkungan dan geografis di mana mereka berada.
Tugas Pemerintah adalah memfasilitasi kemampuan mereka berkembang, serta memperkenalkan kekayaan budaya dan alam lingkungannya kepada masyarakat luas untuk dijadikan objek wisata serta memperluas pergaulan masyarakat umum. Dan dengan pergaulan masyarakat secara umum itu akan terjadi kontak budaya secara terus menerus.
Oleh sebab itu maka nilai budaya, kesenian, benda budaya, naskah kuno, artefak serta situs situs harus dipertahankan keberadaannya dan teridentifikasi dengan baik. Dan tidak kalah pentingnya adalah memberdayakan lembaga lembaga adapt. Karena ternyata manakala lembaga lembaga adat ini melemah maka terjadi pula kelemahan intelektual pada komunitas adapt dan budaya, serta terjadinya kelambatan kelambatan dalam perkembangannya, atau perkembangan terjadi dengan tercerabut dari akar nilai budaya mereka selama ini.
Trend Lampung justeru bukan memperkuat lembaga adat yang ada, tetapi justeru membentuk lembaga adat baru yang nampaknya memiliki kecenderungan untuk mengambil alih peran lembaga lembaga adat yang ada. Kelemahan lembaga lembaga adapt budaya buatan baru ini hamper dapat dipastikan tidak akan mengakar kebawah dengan baik. Untuk tidak dikatakan akan mengalami kehilangan arah.
Final Goal pembangunan budaya daerah Lampung hendaknya adalah meningkatnya kreatifitas masyarakat pendukung dan pelaku budaya untuk mengembangkan budayanya, sehingga memiliki kemampuan untuk mencapai taraf hidup dan kesejahteraan yang lebih baik, berdasarkan potensi lingkungan dan geografisnya. Upaya membangun budaya daerah harus dimulai dari mengenali lebih dalam akan potensi yang dimiliki baik dalam bentuk nilai nilai luhur serta keadaan alam yang harus dipertahankan dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung kesejahteraan bersama.
Sebagaimana lazimnya setiap daerah memiliki nilai nilai yang selama ini dianut dan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan keutuhan komunitas, nilai nilai itu terakumulasi dalam kearifan lokal. Oleh karena itu kearifan lokal harus terindentifikasi dengan baik dan diperkuat agar kearifan lokal ini memiliki kekuatan untuk mengarahkan komunitas penganutnya memiliki kemampuan menyerap dan mengolah serta mengembangkan budaya asing, atau budaya lain, sebagai hasil konmtak budaya, sesuai dengan watak sendiri serta lingkungan dan geografis di mana mereka berada.
Tugas Pemerintah adalah memfasilitasi kemampuan mereka berkembang, serta memperkenalkan kekayaan budaya dan alam lingkungannya kepada masyarakat luas untuk dijadikan objek wisata serta memperluas pergaulan masyarakat umum. Dan dengan pergaulan masyarakat secara umum itu akan terjadi kontak budaya secara terus menerus.
Oleh sebab itu maka nilai budaya, kesenian, benda budaya, naskah kuno, artefak serta situs situs harus dipertahankan keberadaannya dan teridentifikasi dengan baik. Dan tidak kalah pentingnya adalah memberdayakan lembaga lembaga adapt. Karena ternyata manakala lembaga lembaga adat ini melemah maka terjadi pula kelemahan intelektual pada komunitas adapt dan budaya, serta terjadinya kelambatan kelambatan dalam perkembangannya, atau perkembangan terjadi dengan tercerabut dari akar nilai budaya mereka selama ini.
Trend Lampung justeru bukan memperkuat lembaga adat yang ada, tetapi justeru membentuk lembaga adat baru yang nampaknya memiliki kecenderungan untuk mengambil alih peran lembaga lembaga adat yang ada. Kelemahan lembaga lembaga adapt budaya buatan baru ini hamper dapat dipastikan tidak akan mengakar kebawah dengan baik. Untuk tidak dikatakan akan mengalami kehilangan arah.
Monday, April 25, 2011
Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman
DEDI MUHTADI
DI sekitar Situ Cisanti, tempat pertama kali sungai purba Citarum mengalirkan air dari kawasan hutan Gunung Wayang, Bandung Selatan, terdapat beragam mitos yang diungkapkan sejumlah juru kunci. Namun, titah leluhur Priangan, Jawa Barat, terkait dengan pelestarian alam itu kini tinggal cerita.
Oman (58), seorang juru kunci yang turun-temurun tinggal di sana, mengungkapkan, dulu pamali (tabu) orang masuk hutan Gunung Wayang. Larangan ini sudah dipatok oleh karuhun (leluhur). Siapa saja yang berani masuk, apalagi beritikad buruk, bakal tersesat dan terkena mamala (musibah). ”Pernah ada orang masuk dan menebang pohon di Gunung Wayang, pulangnya meninggal,” ujar Oman.
”Dulu hutan ini angker, siapa saja yang masuk ke hutan ini sering kasarung (tersesat). Dia terus berputar-putar di sekitar hutan dan tidak bisa pulang,” timpal Ma Abu (75), juru kunci lainnya, menguatkan.
Makna dari ketabuan itu sebenarnya adalah agar hutan di kawasan itu tidak rusak dijamah oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Namun, warga sekarang sudah tidak lagi memerhatikan ketabuan. ”Sekarang zamannya sudah lain,” kata Oman menambahkan, seraya menunjuk ribuan petani masuk ke areal hutan dan menyulapnya menjadi lahan pertanian semusim, seperti sayur-mayur.
Padahal, penggunaan mitos atau kepercayaan masyarakat setempat untuk mengeramatkan sebuah tempat masih efektif sebagai upaya melestarikan alam di sekitar tempat tersebut. Bahkan, cara itu bisa berdampingan dengan institusi formal yang sudah ada, seperti undang-undang, termasuk aparat penegak hukum.
”Itulah sebabnya, banyak komunitas adat yang dulu sering menggelar ritual adat di sebuah lokasi bertujuan agar menimbulkan kesan angker atau harus diperlakukan dengan hati-hati oleh masyarakat biasa,” kata Dadan Madani, tokoh pemuda dari Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu.
Generasi keenam dari kuncen atau penjaga Gunung Wayang, Ujang Suhanda, menambahkan, institusi formal seperti undang-undang disertai aparatnya sebenarnya bisa berjalan bersama dengan institusi budaya.
”Masyarakat masih percaya ada peraturan tersendiri ketika memasuki kawasan yang dianggap angker. Peraturan tersebut bisa berupa pantangan ataupun kewajiban yang harus dilakukan sebelum beraktivitas,” tuturnya.
Di hulu Citarum, penggunaan mitos belum sebanyak yang dilakukan berbagai komunitas adat untuk melindungi alam dari perusakan oleh manusia. Pasalnya, mitos sering dibenturkan dengan agama sehingga yang tampak hanya ideologi atau keyakinan. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal dalam konservasi alam selalu bertujuan pada kemaslahatan bersama.
Acara ritual adat untuk menyelamatkan hutan dan air yang pernah ada di sana, misalnya, upacara Kuwera Bakti Darma Wisada. Terakhir, upacara ini digelar pada pertengahan 2007 dan tidak pernah digelar lagi karena menuai kontroversi.
”Kami akhirnya melakukan pendekatan rasional bahwa sumber air itu milik bersama dan harus dilestarikan. Pengetahuan warga kami cukup terbuka karena akses pendidikan di Kota Bandung relatif dekat,” ungkap Agus Darajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari.
Konservasi-ekonomis
Perambahan yang menyebabkan alih fungsi lahan dari penangkap air (catchment area) menjadi pertanian semusim, terkait kepemilikan tanah yang sempit akibat tekanan penduduk. Di Kecamatan Kertasari, menurut Dede Jauhari, seorang penggerak Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam setempat, berdiam 70.000 penduduk atau 12.000 keluarga yang hampir seluruhnya berusaha tani.
Secara umum, Kawasan Hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan didominasi oleh Kawasan Hutan Lindung dan sebagian besar kawasan itu masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Salah satu area yang menjadi pusat perhatian Perum Perhutani adalah Situ Cisanti yang merupakan hulu Sungai Citarum. Aliran sungainya mengalir melalui kawasan hutan yang berada di Resor Pemangkuan Hutan Pacet Bagian KPH Ciparay petak 59, 60.
Sebagian besar kawasan hutan yang berada pada aliran utama DAS Citarum Hulu lebar kawasan hutan hanya antara 50 dan 200 meter. Adapun areal di sekitarnya merupakan tanah milik masyarakat yang dijadikan areal pertanian sayuran dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
”Mengingat posisinya yang sangat vital, maka diperlukan kegiatan peningkatan kualitas sempadan sungai DAS Citarum Hulu yang berada dalam kawasan hutan,” ujar Bambang Julianto, administratur Perum Perhutani Bandung Selatan.
Guna meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan hutan perlu dilakukan pengayaan dengan penanaman tanaman yang berfungsi sebagai penahan erosi permukaan ataupun longsor. Jenis-jenis vegetasi yang dipilih adalah kaliandra, bambu, dan rumput gajah. Pemilihan jenis tersebut dimaksudkan selain berfungsi sebagai penahan erosi dan longsor, fungsi ekonomi dari ketiga jenis tersebut juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat sekitar. Warga dapat mengembangkan perlebahan ataupun peternakan.
Terhadap warga perlu dilakukan pendekatan konservasi dan ekonomis. Pemilihan jenis tanaman kaliandra, misalnya, membantu pengembangan perlebahan di samping sebagai penyedia kebutuhan kayu bakar bagi masyarakat sekitar.
Pengembangan rumput gajah sebagai penahan erosi permukaan juga sebagai penyedia hijauan makanan ternak yang merupakan salah satu budaya usaha masyarakat sekitar. Adapun pengembangan bambu yang memiliki perakaran kuat akan berfungsi menahan sempadan sungai dari gerusan air.
Apa pun inisiatifnya, upaya pelestarian daerah hulu Sungai Citarum harus dilakukan semua pihak karena sungai purba sepanjang 310 kilometer yang mengalir dari Situ Cisanti hingga Laut Jawa di ujung Kabupaten Karawang-Bekasi, Jawa Barat, ini ini sangat strategis. Salah satu fungsinya, mendukung keberlanjutan listrik interkoneksi Pulau Jawa Bali untuk menggerakkan usaha dan menerangi hampir setengah dari penduduk republik ini.
Luas daerah alirannya mencapai 718.289 hektar. Itu terdiri dari hutan negara 158.174 hektar (22 persen), yakni milik Perhutani 137.298 hektar (19 persen) dan kesatuan pemangkuan hutan Bandung Selatan 55.446 hektar (8 persen). Kawasan konservasinya sendiri hanya 3 persen.
Sebagian besar lahan di daerah aliran sungai terpanjang di Jawa Barat ini milik masyarakat, 560.094 hektar (78 persen) yang didominasi oleh lahan pertanian, permukiman, industri, dan lain-lain. Semua limbah dari aktivitas kehidupan di kawasan ini dibuang ke Citarum.
Betapa strategisnya ekosistem tersebut bagi kehidupan masyarakat, kiranya kearifan lokal tadi perlu diaktualisasikan kembali dalam konteks kekinian.
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 April 2011
DI sekitar Situ Cisanti, tempat pertama kali sungai purba Citarum mengalirkan air dari kawasan hutan Gunung Wayang, Bandung Selatan, terdapat beragam mitos yang diungkapkan sejumlah juru kunci. Namun, titah leluhur Priangan, Jawa Barat, terkait dengan pelestarian alam itu kini tinggal cerita.
Oman (58), seorang juru kunci yang turun-temurun tinggal di sana, mengungkapkan, dulu pamali (tabu) orang masuk hutan Gunung Wayang. Larangan ini sudah dipatok oleh karuhun (leluhur). Siapa saja yang berani masuk, apalagi beritikad buruk, bakal tersesat dan terkena mamala (musibah). ”Pernah ada orang masuk dan menebang pohon di Gunung Wayang, pulangnya meninggal,” ujar Oman.
”Dulu hutan ini angker, siapa saja yang masuk ke hutan ini sering kasarung (tersesat). Dia terus berputar-putar di sekitar hutan dan tidak bisa pulang,” timpal Ma Abu (75), juru kunci lainnya, menguatkan.
Makna dari ketabuan itu sebenarnya adalah agar hutan di kawasan itu tidak rusak dijamah oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Namun, warga sekarang sudah tidak lagi memerhatikan ketabuan. ”Sekarang zamannya sudah lain,” kata Oman menambahkan, seraya menunjuk ribuan petani masuk ke areal hutan dan menyulapnya menjadi lahan pertanian semusim, seperti sayur-mayur.
Padahal, penggunaan mitos atau kepercayaan masyarakat setempat untuk mengeramatkan sebuah tempat masih efektif sebagai upaya melestarikan alam di sekitar tempat tersebut. Bahkan, cara itu bisa berdampingan dengan institusi formal yang sudah ada, seperti undang-undang, termasuk aparat penegak hukum.
”Itulah sebabnya, banyak komunitas adat yang dulu sering menggelar ritual adat di sebuah lokasi bertujuan agar menimbulkan kesan angker atau harus diperlakukan dengan hati-hati oleh masyarakat biasa,” kata Dadan Madani, tokoh pemuda dari Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu.
Generasi keenam dari kuncen atau penjaga Gunung Wayang, Ujang Suhanda, menambahkan, institusi formal seperti undang-undang disertai aparatnya sebenarnya bisa berjalan bersama dengan institusi budaya.
”Masyarakat masih percaya ada peraturan tersendiri ketika memasuki kawasan yang dianggap angker. Peraturan tersebut bisa berupa pantangan ataupun kewajiban yang harus dilakukan sebelum beraktivitas,” tuturnya.
Di hulu Citarum, penggunaan mitos belum sebanyak yang dilakukan berbagai komunitas adat untuk melindungi alam dari perusakan oleh manusia. Pasalnya, mitos sering dibenturkan dengan agama sehingga yang tampak hanya ideologi atau keyakinan. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal dalam konservasi alam selalu bertujuan pada kemaslahatan bersama.
Acara ritual adat untuk menyelamatkan hutan dan air yang pernah ada di sana, misalnya, upacara Kuwera Bakti Darma Wisada. Terakhir, upacara ini digelar pada pertengahan 2007 dan tidak pernah digelar lagi karena menuai kontroversi.
”Kami akhirnya melakukan pendekatan rasional bahwa sumber air itu milik bersama dan harus dilestarikan. Pengetahuan warga kami cukup terbuka karena akses pendidikan di Kota Bandung relatif dekat,” ungkap Agus Darajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari.
Konservasi-ekonomis
Perambahan yang menyebabkan alih fungsi lahan dari penangkap air (catchment area) menjadi pertanian semusim, terkait kepemilikan tanah yang sempit akibat tekanan penduduk. Di Kecamatan Kertasari, menurut Dede Jauhari, seorang penggerak Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam setempat, berdiam 70.000 penduduk atau 12.000 keluarga yang hampir seluruhnya berusaha tani.
Secara umum, Kawasan Hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan didominasi oleh Kawasan Hutan Lindung dan sebagian besar kawasan itu masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Salah satu area yang menjadi pusat perhatian Perum Perhutani adalah Situ Cisanti yang merupakan hulu Sungai Citarum. Aliran sungainya mengalir melalui kawasan hutan yang berada di Resor Pemangkuan Hutan Pacet Bagian KPH Ciparay petak 59, 60.
Sebagian besar kawasan hutan yang berada pada aliran utama DAS Citarum Hulu lebar kawasan hutan hanya antara 50 dan 200 meter. Adapun areal di sekitarnya merupakan tanah milik masyarakat yang dijadikan areal pertanian sayuran dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
”Mengingat posisinya yang sangat vital, maka diperlukan kegiatan peningkatan kualitas sempadan sungai DAS Citarum Hulu yang berada dalam kawasan hutan,” ujar Bambang Julianto, administratur Perum Perhutani Bandung Selatan.
Guna meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan hutan perlu dilakukan pengayaan dengan penanaman tanaman yang berfungsi sebagai penahan erosi permukaan ataupun longsor. Jenis-jenis vegetasi yang dipilih adalah kaliandra, bambu, dan rumput gajah. Pemilihan jenis tersebut dimaksudkan selain berfungsi sebagai penahan erosi dan longsor, fungsi ekonomi dari ketiga jenis tersebut juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat sekitar. Warga dapat mengembangkan perlebahan ataupun peternakan.
Terhadap warga perlu dilakukan pendekatan konservasi dan ekonomis. Pemilihan jenis tanaman kaliandra, misalnya, membantu pengembangan perlebahan di samping sebagai penyedia kebutuhan kayu bakar bagi masyarakat sekitar.
Pengembangan rumput gajah sebagai penahan erosi permukaan juga sebagai penyedia hijauan makanan ternak yang merupakan salah satu budaya usaha masyarakat sekitar. Adapun pengembangan bambu yang memiliki perakaran kuat akan berfungsi menahan sempadan sungai dari gerusan air.
Apa pun inisiatifnya, upaya pelestarian daerah hulu Sungai Citarum harus dilakukan semua pihak karena sungai purba sepanjang 310 kilometer yang mengalir dari Situ Cisanti hingga Laut Jawa di ujung Kabupaten Karawang-Bekasi, Jawa Barat, ini ini sangat strategis. Salah satu fungsinya, mendukung keberlanjutan listrik interkoneksi Pulau Jawa Bali untuk menggerakkan usaha dan menerangi hampir setengah dari penduduk republik ini.
Luas daerah alirannya mencapai 718.289 hektar. Itu terdiri dari hutan negara 158.174 hektar (22 persen), yakni milik Perhutani 137.298 hektar (19 persen) dan kesatuan pemangkuan hutan Bandung Selatan 55.446 hektar (8 persen). Kawasan konservasinya sendiri hanya 3 persen.
Sebagian besar lahan di daerah aliran sungai terpanjang di Jawa Barat ini milik masyarakat, 560.094 hektar (78 persen) yang didominasi oleh lahan pertanian, permukiman, industri, dan lain-lain. Semua limbah dari aktivitas kehidupan di kawasan ini dibuang ke Citarum.
Betapa strategisnya ekosistem tersebut bagi kehidupan masyarakat, kiranya kearifan lokal tadi perlu diaktualisasikan kembali dalam konteks kekinian.
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 April 2011
Sunday, January 23, 2011
Pengakuan Warisan Budaya Bisa Dicabut
Jakarta, kompas - Pengakuan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap warisan budaya Indonesia bisa dicabut. Itu terjadi jika Indonesia tidak mampu melestarikan dan mengembangkannya dengan baik.
Indonesia mendapat pengakuan dari UNESCO untuk warisan budaya tak benda, yakni wayang, keris, batik, dan angklung.
”Dalam waktu empat tahun setelah pengakuan, UNESCO akan melihat keseriusan kita melestarikan kebudayaan warisan dunia benda dan tak benda yang ada di Tanah Air. Jika tak bisa melestarikan dan mengembangkannya, pengakuan itu bisa dicabut,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi yang hadir dalam acara pertemuan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan mitra kerjanya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara di Jakarta, Rabu (19/1).
Pada kesempatan itu, Tresna juga menyerahkan sertifikat pengakuan UNESCO terhadap angklung Indonesia yang masuk dalam warisan budaya tak benda (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) pada November 2010. Sertifikat diterima Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang disaksikan antara lain Taufik Hidayat Udjo, CEO Saung Angklung Udjo.
Hadir pula pada acara tersebut Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, serta Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata.
Menurut Tresna, pengakuan UNESCO yang sudah diterima Indonesia mesti memberi manfaat. Yang utama memang untuk pelestarian. Namun tidak kalah penting, pengakuan itu mesti bisa mendatangkan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Arief Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menambahkan, pengakuan UNESCO diberikan karena Indonesia mampu meyakinkan tindak lanjut untuk pelestariannya. ”Jadi, kita harus betul-betul menindaklanjuti pengakuan UNESCO tersebut,” ujar Arief.
Menurut Arief, pengakuan UNESCO mesti mendorong adanya penelitian ilmiah yang semakin mendalam soal budaya yang diakui tersebut. Untuk itu, peran perguruan tinggi dan ahli dalam bidang tersebut dibutuhkan untuk bisa mengembangkan penelitian ilmiah yang mendukung pelestariannya.
Selain itu, Indonesia juga mesti mampu menyediakan literatur yang semakin banyak. Pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan lembaga dalam bidang yang diakui UNESCO juga mesti dikembangkan. (ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Januari 2011
Indonesia mendapat pengakuan dari UNESCO untuk warisan budaya tak benda, yakni wayang, keris, batik, dan angklung.
”Dalam waktu empat tahun setelah pengakuan, UNESCO akan melihat keseriusan kita melestarikan kebudayaan warisan dunia benda dan tak benda yang ada di Tanah Air. Jika tak bisa melestarikan dan mengembangkannya, pengakuan itu bisa dicabut,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi yang hadir dalam acara pertemuan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan mitra kerjanya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara di Jakarta, Rabu (19/1).
Pada kesempatan itu, Tresna juga menyerahkan sertifikat pengakuan UNESCO terhadap angklung Indonesia yang masuk dalam warisan budaya tak benda (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) pada November 2010. Sertifikat diterima Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang disaksikan antara lain Taufik Hidayat Udjo, CEO Saung Angklung Udjo.
Hadir pula pada acara tersebut Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, serta Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata.
Menurut Tresna, pengakuan UNESCO yang sudah diterima Indonesia mesti memberi manfaat. Yang utama memang untuk pelestarian. Namun tidak kalah penting, pengakuan itu mesti bisa mendatangkan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Arief Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menambahkan, pengakuan UNESCO diberikan karena Indonesia mampu meyakinkan tindak lanjut untuk pelestariannya. ”Jadi, kita harus betul-betul menindaklanjuti pengakuan UNESCO tersebut,” ujar Arief.
Menurut Arief, pengakuan UNESCO mesti mendorong adanya penelitian ilmiah yang semakin mendalam soal budaya yang diakui tersebut. Untuk itu, peran perguruan tinggi dan ahli dalam bidang tersebut dibutuhkan untuk bisa mengembangkan penelitian ilmiah yang mendukung pelestariannya.
Selain itu, Indonesia juga mesti mampu menyediakan literatur yang semakin banyak. Pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan lembaga dalam bidang yang diakui UNESCO juga mesti dikembangkan. (ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Januari 2011
Foto Fachruddin
.blogspot.com/-pMZg3rlWgYI/UFOvR3Twy-I/AAAAAAAABlA/REkEn-rdslU/s1600/New%2BPicture%2B%252849%2529.bmp" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em">
AKTUALISASI PIIL PESENGGIRI MELALUI PENDIDIKAN FORMAL
Aktualisasi falsafah Piil Pesenggiri melalui pendidikan formal merupakan satu satunya upaya setelah ketidakberdayaan lembaga adat, dan Pemerintah daerah Provinsi Lampung lebih memilih membentuk lembaga adat buatan, sebagai pseudo lembaga adat, ketimbang pemberdayaan lembaga adat yang asli. Sedang lembaga adapt buatan entah apapun namanya tak akan bias menggantikan peran lembaga adat.
Piil pesenggiri adalah perangkat nilai yang selama ini mewarnai sikap masyarakat komunitas adat Lampung. Adalah wajar adanya bila terdapat berbagai perbedaan nuansa penafsiran, karena bila setiap seseorang seseorang berfikir secara filosofis dengan bahasa yang sama sekalipun, maka perbedaan nuansa penafsiran bias saja terjadi. Namun tak dapat dipungkiri akan peran piil pesenggiri dalam mebentuk sikap dan prilaku luhuir masyarakat Lampung melalui tatanan adat mereka selama ini.
Essensi konten piil pesenggiri tidak lah menjadi persoalan yang serius, sekalipun didapatkan perbedaan tataurut penyebutan, tetapi perbedaan itu dapat difahami, karena terkait kebutuhan untuk mempermudah pemahaman. Tetapi isi piil pesenggiri yang meliputi produktif (nemui nyiman), kompetitif (nengah nyappur), kooperatif sakai sambaian dan inovatif (juluk adek) serta metodologis (titi gemeti), jelas merupakan nilai nilai luhur yang sesuai dengan era modern. Skarang ini.
Peluang aktualisasi falsafah piil pesenggiri melalui lembaga pendidikan formal jauh lebih besar dibanding lembaga adat dan apalagi sekedar pseudo adat, yang tak akan mengakar dan memucuk itu. Mata pelajaran muatan lokal yang untuk SD diisi dengan pelajaran Aksara Lampung, sedang di SMP dan di SMA mata pelajaran Keterampilan Kesenian, dan SMK dapat disesuaikan dengan jurusan yang ada.
Sebagai falsafah, maka piil pesenggiri ini bias dijadikan bahan ajar dengan sarat gurupun harus memahami mata pelajaran hingga ke falsafahnya. Sebagaimana kurikulum terdiri dari falsafah, dokumen, proses dan hasil atau evaluasi, maka banyak sekali guru yang pemahamannya terhenti pada dokumen. Sehingga mata pelajaran yang disajikan oleh guru pengampu tidak menyentuh roh dari mata pelajaran itu.
Itulah sebabnya maka mata pelajaran muatan lokal ‘Aksara Lampung’ sering dikeluhkan baik oleh peserta didik maupun orang tua siswa. Mata pelajaran itu seperti berjalan tampa arah. Padehal arah pendidikan itu jelas, melalui mata pelajaran baik sains maupun knowledge harus memperkaya value atau nilai guna mempengaruhi attitude atau sikap peserta didik.
Para guru yang mengajarkan muatan lokal kurang maksimal dalam berusaha menghantar para peserta didik untuk mendapatkan persepsi baru tentang nuansa ke”Lampung”an melalui mata pelajaran itu. Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever dalam Sasanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Proses pembelajaran ini akan kurang berhasil manakala guru kurang memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal.
Penanaman nilai nilai filosofis memang bukan untuk dihafal, tetapi nilai nilai itu harus dikembangkan, oleh karenanya maka dalam memanamkan nilai nilai itu selalu dibutuhkan nilai nilai pembanding. Tetapi nilai pembanding itu sendiri tidak akan banyak berperan dalam pengembangan nilai nilai manakala kita tidak memperkenalkan nilai essensial piil pesenggiri, melalui mata pelajaran muatan lokal yang dimaksudkan sebagai aktualisasi nilai falsafah piil pesenggiri.
Sedangkan bahasa, aksara, seni, ornament dan lingkungan hidup Lampung dapat dijadikan dijadikan gerbang untuk mencapai nilai essensial sebuah pemikiran filsafat. Yang sesai dengan kaidah penyusunan kurikulum filsafat adalah sesuatu yang akan mewarnai konten, dokumen yang akan dibawa ke suatu proses pembelajaran.
Dinas Pendidikan Provinsi Lampung selama ini ternyata dalam pelatihan pelatihan kepada para guru mata pelajaran, masih berkutat di sekitar konten dokumen yang didadapatkan dari buku bahan ajar yang ditawarkan oleh berbagai penulis, dan guru merasa sudah segala galanya ketika menampilkan bahan ajar itu, bahkan ada yang menjadikannya sumber ajar.
Tuesday, January 18, 2011
Diskusi Kebudayaan di Fakultas Ushuluddin IAIN Rd.Intan Bandar Lampung
Kampus IAIN Rd. Intan Lampung
Pengantar
Indonesia tidak hanya menarik untuk diteliti karena berkembangnya agama agama besar di lingkungan penduduk setempat, tetapi juga dari segi perpindahan masyarakat dari pulau yang satu ke pulau yang lain, ternyata dapat berjalan lancar dan tidak menemui hambatan yang berarti, demikian dewasa dan demokratisnya kah masyarakat Indonesia yang belum tergolong bangsa maju, atau termasuk anggota OECD.
I Itu pulalah barangkali mengapa Isshabel (peneliti asal Kanada) memilih untuk melakukan penelitian di Lampung. Adakah aspek positif dan negatifnya dari kontak budaya yang berlangsung besar besaran itu. Penelitian ini akan dilakukan dibeberapa komunitas masyarakat Lampung yang dalam sehari harinya banyak melakukan mkontak budaya seperti di daerah Pringsewu, Gedung Tatan (Pesawaran) dan Menggala (Tulangbawang)tetapi Isshabel dalam penelitian ini lebih stressing dalam rasa keamanan dan kenyamanan, istimewanya dalam upaya meraih kesejahteraan hidup.
Apa yang anda rasakan sebagai masyarakat pendatang di lampung ini, Tanya Issabel melalui perantara Dr.Imelda dari LIPI Jakarta. Yang juga sekaligus bertindak sebagai moderator dalam diskusi itu
Sebagai seseorang yang dilahirkan di daratan Jawa dan kini telah 30 tahun lebih saya tinggal di Lampung, saya merasakan kenyamanan yang teramat sangat di Lampung ini, demikian kata Dr. Baharuddin, Dekan fakultas Ushuluddin IAIN Rd. Intan Lampung. Tentu saja bagi Dr.Baharuddin kenyamanan yang paling indah adalah ketika beliau dipilih oleh rekan rekannya yang memiliki hak suara dan bicara dalam pemilihan Dekan, dan menjatuhkan pilihannya kepada dirinya, sehingga sudah satu periode penuh ini melaksanakan tugasnya sebagai Dekan. Ini hanya sebagai contoh kecil yang dirasakan oleh Dr. Baharuddin yang selanjutnya dipahaminya sebagai implementasi dari pandangan hidup masyarakat lampung, yang dikenal sebagai ‘Piil Pesenggiri’.
Dr. Baharuddin juga sempat membuat makalah tentang falsafah Piil Pesenggiri untuk memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa di Fakultas Filsafat Gajahmada. Ketika makalah itu ditayangkan, dosen dan banyak mahasiswa seangkatan yang berdecak kagum. Makalah tersebut mengangkat akan adanya nilai nilai moden dalam falsafah piil pesenggiri, seperti demokratis, kesetaraan, serta pembaharuan dan lain sebagainya. Yang pandangan filosofi seperti tidak banyak diketemukan di daerah lain. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, saya juga tercengang mengapa falsafah piil pesenggiri seperti akan tertanggalkan, padehal piil pesenggiri yang islami itu adalah falsafah yang modern.
bagaimana pendapat yang lain ? apakah nilai nilai piil pesenggiri ini lebih merupakan nilai nilai yang modern ataukah Islami, Tanya Imelda dari LIPI. Bagi saya nilai nilai piil pesenggiri lebih cenderung ke nilai nilai keislamannya. Saya telah melakukan pengkajian yang agak serius, di mana nilai nilai piil pesenggiri itu ternyata sangat sejalan dengan ajaran ajaran islam, bukan saja bersumber dari hadits, tetapi juga al_quran. Semua unsure piil pesenggiri ada sandarannya dalam Islam. Demikian kata Zarkasi, M.Ag. serius. Zarkasi mermbacakan beberapa ayat dan hadits yang sejalan dengan unsur unsur dalam piil pesenggiri, yang sangat dukaguminya itu.
Sejarah Lampung tidak terlepas dari geliat perkembangan Pemerintahan Kesultanan Banten. Demikian dekatnya hubungan antara Lampung-Banten, sehingga kedatangan Islam ke Lampung berjalan sangat lancar. Tambah Efendy Zarkasi, M.Hum. Apalagi setelah terjadinya perkawinan antara Sultan Cirebon dengan Putri Alam dari keratuan Darah Putih. Walaupun anak keturunan Fatahillah pernah terjadi persengketaan, tetapi persengketaan itu dapat diselesaikan dan bahkan terjalin kerjasama, bukan hanya sekedar kakak beradik, tetapi ada hubungan bilateral antara banten dengan lampung, yang ditandai kerjasama infantry, karena secara kebetulan banten harus mengangkat senjata dengan berbagai daerah, yang dianggap oleh banten akan mengganggu kedaulatannya.
Dr. Arsyad SyabiKusuma, yang juga dalam kekerabatan beliau bertindak sebagai penyimbang pemangku adat selalu merasa berkewajiban menyampaikannya dalam berbagai kesempatan acara kekeluargaan. Maka sangat beralasan manakala banyak masyarakat pendatang yang merasakan kenyamanan selama tinggal di Lampung.
Pendapat Dr. Arsyad Sahbi dibenarkan oleh Drs. Muhadi, M.Si. bahkan ditambahkan ketika semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai ditafsirkan dengan menyatunya antara penduduk pendatang dengan penduduk setempat, maka kami kami sebagai pendatang ini benar benar merasa terayomi. Tetapi ada sedikit kritik dari saya, kata Dr.Baharuddin kadang kala saudara saudara saya dari etnis Lampung ini tidak segan segan berbeda paham dengan saudaranya sendiri demi mendukung orang lain. Itu sisi lain ketika orang Lampung harus memilih. Dengan cepat Dr. Arsyad Sahbi Kesuma membantah, itu hanya kasuistik yang tidak dapat digeneralisir, karena peristiwa demikian itu tidak selalu berulang setiap kali ada pemilihan.Lihat saja ketika dilaksanakannya Pilkada.
Apakah di lampung di Lampung Pilkada tidak menunjukkan rawan perpecahan, dari beberapa kali Pilkada apakah yang menggejala, Tanya Imelda.
Fachruddin berpendapat : Kerawanan akan perpecahan saat dilaksanakan Pilkada itu kan berlaku umum, bukan hanya di Lampung, ketika masyarakat dihadapkan dengan berbagai pilihan, maka konflik otomatis terjadi, dan peluang perpecahan bisa muncul. Contohnya seperti Pilkada di Lampung Utara. Tetapi sekarang ada perkembangan baru, bahwa masyarakat sekarang ini cenderung fragmatis. Ada seloroh setiap kali akan ada Pilkada, dan ditanyakan kepada masyarakat, akan memilih pasangan yang mana ? Masyarakat banyak yang mengatakan bawa mereka masih menunggu Uangsit (“bukan wangsit”), uangsit artinya 'uang disit' (uangnya dulu … ).
Kalau hitung hitungan mata pilih berdasarkan kelompok etnis, maka semestinya yang terpilih dan pemenang dalam Pilkada di Lampung ini seharusnya adalah etnis Jawa, sebagai kelompok mayoritas. Tetapi kenyataannya tidak dibeberapa tempat seperti Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Barat, Tanggamus, Tulangbawang, Pesawaran serta Kota Bandar Lampung, pemenangnya ternyata adalah etnis Lampung.
Dr.Baharuddin menolak ada peran uang dalam Pilkada, kalaupun terjadi itu hanya kecil sekali presentasenya, dan terbatas kalangan di bawah menengah, sehingga sulit digenelasir. Kalangan terpelajar menurut Dr. Baharuddin tidak akan terprovokasi dengan iming iming uang. Masyarakat intelektual dan elit memang tidak akan terprovokasi dengan uang dalam jumlah sedikit, semakin tinggi harkat seseorang itu semakin mahal harga ongkosnya, kata Fachruddin.Ketika yang memiliki suara pilih hanya anggota DPRD untuk memilih Pimpinan daerah, harga suara itu akan menjadi tinggi sekali. Itu sudah menjadi rahasia umum.
Modal uang dalam Pilkada itu Mutlak, setiap pasangan calon harus menyiapkan miliaran rupiah untuk memenangkan Pilkada. Berbicara masalah politik dan uang dalam Pilkada di Lampung maka bukan otomatis berarti semua akan dibagi bagi uang, kata Dr.Sidi Ritauddin. Bisa juga uang itu sebagai ongkos politik. Antara lain untuk biaya makan minum secretariat ketika kumpul kumpul para pimpinan dan anggota Tim Sukses. Tetapi untuk masyarakat kelas bawah ada juga yang terdengar bagi bagi sembako.dan penggalangan penggalangan yang membutuhkan makan minum serta ongkos transport.
Fachruddin menegaskan : Saya menangkap telah terjadi pergeseran nilai, perkara pemilihan calon dalam Pilkada, asal sudah memenuhi keriteria Lampung – non Lampung atau sebaliknya, maka bagi masyarakat tinggal lagi masalah siapa yang memberikan keuntungan sekarang, sebagian besar pemilih tidak mempersoalkan visi dan missi.
Sikap fragmatis masyarakat itulah yang harus kita waspadai, karena akan merendahkan mutu Pilkada itu sendiri.
Nampaknya ada trend yang menunjukkan gejala krisis kepercayaan, Masyarakat tidak lagi begitu percaya kepada calon yang akan terpilih, mereka tidak lagi menggantungkan harapan terlalu banyak, hal ini barangkali terdorong oleh kenyataan akan tidak ada yang signifikan dapat dirasakan kemanfaatannya dari pemenang Pilkada. Semua sama dan sebangu serta tak memberikan dampak yang akan meringankan beban hidup ini. Tetapi sekali lagi ini bukan gejala Lampung, tetapi sudah berlaku umum.
Kepemimpinan Punyimbang Adat.
Dalam diskusi itu juga dipertanyakan, bagaimana dengan kepemimpinan para punyimbang adat. Fachruddin mengatakan bahwa : Dengan diberlakukannya UU Pemerintahan desa, maka sejak saat itu kepemimpinan adat dan kepunyimbangan tergeser. Padehal kepemimpinan tokoh adat akan lebih memantapkan penghayatan terhadap falsafah piil pesenggiri, seperti apa yang diungkapkan oleh Dr. Baharuddin tadi, secara lambat laun masyarakat akan menanggalkan piil pesenggiri itu, itu terjadi karena kepemimpinan punyimbang adat tidak lagi efektif.
Semula penanaman nilai piil pesenggiri juga dilakukan pada saat diselenggarakan uopacara daur hidup, dahulu masyarakat sangat mementingkan upacara daur hidup ini secara lengkap. Mulai dari upacara kehamilan, lalu kelahiran, upacara masa kanak kanak, masa remaja, masa dewasa, perkawinan hingga upacara kematian. Isi pidato para punyimbang adat pada saat diselenggarakannya upacara selalu di sekitar nilai nilai piil pesenggiri dan bagaimana melaksanakannya dalam kehidupn sehari hari.
Tetapi upacara daur hidup itu kini mulai langka diselenggarakan, sehingga nampaknya penanaman nilai piil pesenggiri itu kehilangan media yang paling ideal. sekarang dengan tidak efektifnya kepemimpinan para punyimbang adat, tinggal lagi kita berharap kepada proses pembelajaran di sekolah sekolah formal utamanya untuk mengintegrasikan nilai nilai piil pesenggiri ini melalui mata pelajaran muatan lokal (mulok).
Politik Diskriminatip.
Kalau tadi dikatakan bahwa para pendatang migran umumnya merasa nyaman tinggal di Lampung, dan dalam kesehariannya tidak perlu menanggalkan identitas kedaerahannya. Di lampung ini kesenian daerah jawa dapat berkembang. Tetapi walaupun demikian kata fachruddin, pada era Orde baru dahulu Pemerintah telah menerapkan politik diskriminatif. kalau lokasi transmigrasi dalam waktu cepat telah memiliki berbagai fasilitas umum, maka justeru perkampungan asli lampung sulit akat terjangkau oleh pembangunan. Sarana umum pedesaan seperti lapangan olahraga, gedung sekolah, Puskesmas, listrik dan jalan raya serta jembatan itu lokasi transmigrasi yang lebih dahulu akan mendapatkannya.
Beruntung ketika terjadi reformasi, di era reformasi ini telah muncul proyek yang bernama "Proyek Tiyuh Toho" (Proyek Perkampungan Tua). Tiyuh toho ini adalah perkampungan asli komunitas Lampung, dengan kegiatan mulai dari pengadaan sarana perasarana desa sampai kepada pemberdayaan masyarakat desa.
Politik dekriminatif ini sangat besar pengaruhnya, terutama bagi sikap para komunitas pendudik serta pola hubungan dengan masyarakat pendatang. Kontak budaya menjadi terhambat, sehingga proses akulturasi menjadi tersumbat. Semestinya melalui kontak budaya akan banyak didapatkan kemajuan kemajuan bagi keduabelah pihak. hal ini akan nampak pada perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sering tidak berjalan serempak.
Faktor Ekonomi.
Isshabella, menginginkan adanya informasi tentang perkembangan ekonomi paska kontak budaya dengan masyarakat migran. Yang jelas, dengan berdatangannya orang asal Jawa, maka Lampung mengenal system sawah dalam penanaman padi. Semula masyarakat lampung hanya mengenal ladang. Artinya ketergantungan terhadap curahan hujan itu sangat besar sekali.
Dengan diperkenalkannya system sawah dalam penanaman padi oleh masyarakat jawa berarti masyarakat lampung akan lebih tersejahterakan. Walaupun dalam kenyataanya pencetakan sawah itu tidak terlepas dari bantuan Pemerinmtah. Tapi tampa kehadiran orang asal jawa belum tentu pemerintah secepat itu melakukan pencetakan sawah baru. Karena masyarakat Lampung yang memiliki lahan perladangan yang demikian luwas, maka hasil panennya selalu saja tidak terhabiskan dalam sekali musim. Dengan demikian maka sebenarnya bagi etnis Lampung pencetakan sawah itu belum terlalu mendesak.
Yang paling menarik adalah kasus di Desa Pagelaran kabupaten Pringsewu, yang semula memiliki kepandaian memijah ikan hanyalah pendatang dari jawa Barat, tetapi sekarang yang memiliki aktivitas pemijahan ikan juga dilakukan oleh etnis Lampung. Hal ini terdorong oleh banyaknya air mengalir yang melintas di desa Pagelaran itu, sehingga lahan kolam ikan cukup luas, sehingga memiliki kemampuan mensuplay ikan lele, mujair, emas dan Gurame hamper setiap hari ke Bandar Lampung.
Sebelumnya juga etnis Lampung memelihara ikan dalam kolam dengan system dalam bagian tengah, tetapi setelah berkenalan dengan system pengelolaan kolam dari pendatang asal Jawa Barat, maka kolam merekapun dibuat miring, sehingga pada saat pengeringan tidak membutuhkan tenaga banyak orang, karena dengan sendirinya ikan akan berenang menjemput air bening yang tetap mengalir. Dan sekaligus air tidak keruh dan ikan tidak terancam mati.
Tetapi perkembangan itu juga tergantung kepada jenis kekayaan alam yang tersedia. Di Lampung Barat, masyarakat setempat tidak dapat belajar kepada orang asal jawa, tentang bagaimana mengelola pohon damar. Di Tulangbawang masyarakat setempat tidak daopat belajar kepada masyarakat pendatang, tentang bagaimana merombak sistem 'lebak-lebung' sehingga panen ikan dapat dilakukan berkali kali tampa ketergantungan dengan jadual musim hujan.
Bagi para nelayan daerah Lampung, kedatangan penduduk dari luar daerah seperti Banten dan bahkan Bugis, telah pula membuka cakrawala bagaimana bernelayan dengan baik, serta mendapatkan ikan lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat. Pada saat itu Lampung diperkenalkan dengan perahu bercadik, sehingga pencarian ikan dapat dilaksanakan hingga jauh ke tengah laut.
Tetapi walaupun bagaimana dunia nelayan kita kini masih jauh tertinggal, sebagian besar sejak dahulu hingga kini masih tetap tradisional. Dan dari udara akan nampak kontras dengan eksploitasi tembak udang yang cukup modern, sperti gambar di atas.
Diskusi ditutp setelah Isshabel menyatakan cukup puas dengan pertemuan itu. dari pertemuan itu Ia telah mendapatkan berbagai wawasan yang nantinya akan dibandingkan dengan berbagai temuan di lapangan. Di lapanganpun sebagian data yang dibutuhkan memang telah didapatkan dari Pringsewu dan gedung Tataan. Di Gedungtatan telah mendapat berbagai data dari Museum Trnasmigrasi.
Dari Museum Transmigrasi kita akan mendapatkan berbagai data, selain sejarah transmigrasi, juga berbagai data kemaslahatan yang dicapai dengan adanya transmigrasi itu sendiri
Semula diskusi ini akan dihadiri oleh Prof.Fauzie Nurdin, Prof.Idham Kholid, Dr.Himyari, Dr.M.Agil Ikrom dan Dr.Damanhuri Fattah, mereka dikenal sebagai pakar kebudayaan Lampung. Tetapi sayang mereka berhalangan karena ada tugas tugas lain yang lebih mendesak untuk diselesaikan.
Subscribe to:
Posts (Atom)