KATA PESENGGIRI DARI BAHASA SUNDA
Berbeda dengan Bapak Hilman Hadikusuma SH. Saya berkeyakinan kata Pesenggiri pada Piil Pesenggiri berasal dari Bahasa Sunda yang dibawa Banten. Tidak seperti dugaan Bapak Hilman yang mengatakan dari Bali Pasunggiri, nama tim tentara elit di Kerajaan sana dahulu. Setelah ada kesepakatan antara tokoh tokoh Lampung dengan Banten untuk memebangun Kesultanan Lampung maka Piil nya Lampung itu disepakati untuk ditambah dengan kata Pesenggiri, dari kata Pasanggiri yang dalam Bahasa Sunda artinya lomba.
Tapi pemakaian kata pasanggiri yang artinya lomba itu sendiri mengacu kepada ajaran al-Quran yaitu "fastabiqul khoiroot" Karena Lampung bila akan mendirikan Kesultanan Lampung harus memiliki daya lomba atau daya saing. Piil Pesenggiri disosialisasikan adalah dalam rangka meningkatkan daya saing masyarakat.
Semangat daya saing pada piil pesenggiri akan nampak pada unsur unsur piil pewsenggiri tersebut antara lain (1) nemui nyimah (2) nengah nyappur (3) sakai sambaian (4) juluk adek. Daya saing pada unsur yang pertama nemui nyimah. Terdiri dari dua kata yang masing masing memang memiliki semangat daya saing. Yaitu nemui dari kata temui yang artinya tamu. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk menerima tamu dan bertamu, kedua aktivitas itu mengharuskan seseorang memiliki daya saing. Seseorang akan menjadi tamu yang dihormati manakala memiliki daya saing, setidaknya dengan tuan rumah, sehingga hubungan dengan tuan rumah akan menjadi hubungan yang setara, begitu juga sebagai tuan rumah. Apalalagi ditambah dengan kata nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Santun dalam bertamu atau menerima tamu adalah kemampuan seseorang untuk mengakomodir hajat lawan bicara, tuan rumah terhadap tamu dan tamu terhadap tuan rumah.
Unsur yang kedua nengah nyappur, ini sangat jelas untuk menggaris bawahi dayasaing pada piil pesenggiri. Kata nengah setidaknya ada tiga macam arti yaitu kerja keras, di sawah, di ladang atau ditengah laut dalam bahasa Lampung disebut nengah. arti nengah yang kedua adalah berketerampilan, seperti terampil menyanyi, menari dan sebagainya dan kesanggupan tampil, dalam bahasa Lampung juga disebut nengah. dan yang ketiga bertanding, seseorang yang sanggup bertanding d gelanggang pertandingan dalam bahasa Lampung disebut nengah. Tetapi disamping kata nengah diimbangi dengan kata nyappur yang artinya tenggang rasa.buka dan sambaian yang artinya kiritis, pelihara. Sakai berasal dari kata seakai ..., dari kata kakkai ...! Yang artinya terbuka atau membuka. Seseorang akan sanggup terbuka manakala ia telah memiliki daya saing yang tinggi. Seseorang barfu akan sanggup terbuka atau sakai manakala memiliki kemampuan bersaing. mampu menerima dikritik dan mendapatkan masukan, berdiskusi, berpolemik dan seterusnya. Tetapi selain memiliki sifat yang sakai itu, juga harus sambai atau sumbai. Kata sambai bermakna kemampuan menilai, mengoreksi dan kritis. Tetapi kata sumbai juga bermakna kemampuan memelihara, mengantisipasi dan sebagainya.
Unsur yang keempat adalah juluik adek, terdiri dario dua kata yaitu juluk dan adek. Juluk adalah nama idealita sedang adek adalah nama realita. Jukuk adalah nama baru yang diberikan kepada seseorang anak remaja ketika si anak menampakkan daya saingnya. Nama jukuk disesuaikan dengan kualitas dayasaing yang ditunjukkan si anak. Contoh nama juluk antara lain adalah "Gedung Itten" dari nama itu akan nampak keinginan keras pencapaian tentang keberhasilan yang membutuhkan daya saing yang tinggi, itu sebagai idealita. Sedang adek atau adok adalah nama yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil mencapai sebagian besar dari idealita yang ditanamkan ketuika memilihkan nama juluk untuknya. Manusia yang ideal adalah manusia yang telah beberapa kali mendapatkan nama atau gelar, nama atau gelar adalah terkait dengan prestasi baru yang berhasil dicapainya. Capaian atas prestasi itu adalah menggambarkan ketinggian dayasaing yang ia miliki.
Ternyata walaupun kata pesenggiri dalam piil pesenggiri yang saya katakan berasal dari bahasa Sunda memiliki perbedaan yang sangat essensial dengan kata pasanggiri dari Bahasa Sunda. Karena pasanggiri dalam bahasa sunda yang ada sekarang adalah sekedar lomba terutama lomba kebudayaan, seperti pasanggiri degung, pasanggiri maca cerpewun dan sebagainya.
Gagasan ini tentu saja harus kita uji bersama, karena gagasan saya tidak berdanya dengan gagasan Hiulman Hadikusuma yaitu mencari kata yang sama, hanya bedanya kalau manurut Hilman Hadikusuma kata pesenggiri berasal dari pasunggiri, yaitu pasukan elit yang terkenal poada kerajaan di Bali. Tetapi menurut saya dari bahasa Sunda yang dibawa oleh Banten ketika Lampung dan Banten mulai bersahabat dengan bersama sama menganut agama Islam, sehingga keduanya mampu mengacu kepada al-Quran,
Sumber : Catatan pada facebook Fachruddin Dani 17 Januari 2010
Tuesday, March 30, 2010
ILMU USHULUDDIN DAN GEOGRAFI
FACHRUDDIN
Kajian Ilmu Ushuluddin yang bahasannya mementingkan dalil naqli dan aqli, tentu saja membutuhkan argument pendukung, baik dari al-Quran dan hadits maupun realita alam, apa lagi dikatakan bahwa wahyu Allah bukan saja seperti apa yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, tetapi justeru lebih banyak melalui hamparan alam ini. Ilmu Ushuluddin yang dikatakan sebagai Ilmu ilmu dasar aqidah Islamiyah maka kajian tentang alam khususnya geografi adalah mutlak adanya.
Memang ilmu geografi belum begitu populer pada awal perkembangan Islam, tetapi bukankah demikian banyaknya hadits hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah banyak memberikan penjelasan penjelasan geografis kepada ummat manusia melalui para sahabat pada waktu itu. Dan demikian juga banyaknya ayat ayat al-Quran mengenai jagad raya ini.
Ilmu geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Geografi adalah ilmu yang dikembangkan Herodatus (± 485 – 425). Istilah geografi berasal dari Eratostenes (abad ke 1 M) yang amat dipengaruhi oleh astronomi dan matematika. Geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu geo (bumi) dan graphein (lukisan), lukisan alam, yaitu mengkaji gejala geosfir meliputi atmosfir hidrosfir, biosfir, lithosfir.
Atmosfir adalah lapisan udara yang menyelubungi bumi. Hidrosfir adalah lapisan air yang terdapat pada kulit bumi dan dalam bumi serta atmosfir bumi meliputi air hujan, air sungai, air laut dan air tanah. Biosfir adalah lapisan bumi yang ditempoati oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Itulah hamparan alam yang kata Allah adalah merupakan wahyu wahyu-Nya. Yang hanya mampu direspon oleh orang orang yang ulil albaab.
Gelar Ulil Albaab adalah gelar yang harus diraih melalui Ilmu Ushuluddin. Gelar ulil albaab diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk merespon segala ciptaan Tuhan dan merespon Ketuhanan sekaligus. Dalil dalil Ilmu Ushuluddin harus berkembang sejalan dengan terbukanya tabir yang semula belum terkuakkan, sekitar gejala geosfir yang meliputi atmosfir hidrosfir, biosfir, dan lithosfir. Ilmu Ushuluddin sekarang harus memiliki kemampuan merumuskan argumentasi terkait hal tersebut di atas.
Argumentasi yang dibutuhkan sekarang bukan hanya argumentasi dalam rangka mengantisipasi mereka mereka yang kufur akan keilahian, tetapi argumentasi sekarang adalah juga dalam rangka mensejahterakan ummat manusia secara transformatif. Kita meyakini akan adanya jaminan kesejahteraan bagi mereka yang ulil albaab. Tetapi walaupun bagaimana mereka yang tidak memiliki pemahaman memadai tentang permasalahan geografis sudah dapat dipastikan akan mendapatkan kesulitan untuk menjadi ulil albaab tersebut di atas.
Bagaimana mungkin seseorang akan mampu menjadi orang yang ulil albaab bila tidak memiliki kemampuan merespon segala ciptaan Tuhan. Bagaimana mungkin seseorang akan mengatakan bahwa Allah tidak sia sia menciptakan segala ciptaanNya, sementara ia tidak memiliki pemahaman sedikitpun tentang ciptaan ciptaan itu. Kalaupun Ia mengatakan bahwa Allah tidak sia sia menciptakannya, itu hanyalah membeo belaka, Ia sebenarnya tidak paham dengan apa yang dikatakannya sendiri Dan Allah tentu saja kecewa kepada ummatnya yang mendalami ilmu ushuluddin tetapi tidak mau merespon ciptannya.
Jangankan kita akan merespon ciptaan Allah yang demikian luas serta membutuhkan penguasaan sain dan teknologi, pada paskamodern ini. Kita akan merespon perdebatan yang terjadi dijaman klasik dan menggunakan argument ilmu ushuluddin di awal perkembangannya saja telah mendapatkan kesulitan. Apalagi materi perdebatan bukan saja tentang suatu yang secara mudah dapat tertangkap indera, untuk memahami perdebatan pada saat itu sebenarnya kita membutuhkan pengetahuan tentang saince dasar.
Kalau saja perdebatan itu bisa kita dikembangkan, sejalan perkembangan waktu, tentu saja kita membutuhkan pemahaman tentang matematika, fisika, biologi, kmia dan seterusnya. Tidakkah kita menyadari perdebetan pada masa klasik itu telah menjalar bukan saja di darat, tetapi juga di air, di dalam tanah dan bahkan diudara. Yang sebagian besar terakumulasi dalam manusia, dengan segala hak dan kewajibannya Tidak salah kalu dikatakan bahwa manusia adalah jagad kecil, buana mini. Tetapi Allah mengatakan bahwa manusia adalah puncak ciptaan-Nya.
Para pimpinan Islam meributkan saja pada awal dan akhir puasa dengan “ Hisab dan Ru’yah “ sementara mereka tidak memiliki kemampuannya secara keilmuan. Hampir setiap tahun ummat dihadapkan dengan kericuhan ini, tetapi ummat tidak pula pernah mendapatkan penjelasan dengan forsi yang cukup. Dan bahkan nampaknya para ilmuan tidak mendapatkan peluang untuk bicara banyak tentang itu. Tiba tiba saja para pimpinan ummat menggariskan bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Sementara ia menunjukkan gejala gejala keawamannya tentang “bulan” yang sedang diperdebatkannya itu, dalam rangka mengawali dan mengakhiri puasa wajib di bulan Romadhon.
Argumen sekarang ini yang dibutuhkan adalah argument yang akan mensejahterakan ummat manusia. Argumen yang akan menjamin kelangsungan dan kenyamanan hidupnya. Bukan kah kita tahu bahwa kesejahteraan itu akan membuat ummat menjadi tenang dalam beribadah. Apalagi sekarang ini telah terjadi gap yang lebar antara yang kaya dan miskin. Dan imbas dari gap ini sering terjadi kejahatan. Maka argument argument yang muncul adalah memperkecil gap yang ada.
Sudah saatnya dosen fakultas Ushuluddin bersentuhan denga ilmu geografi. Dosen mata kuliah apapun hendaknya gencar berdiskusi mendatangkan guru Besar Ilmu Geografi untuk menyelenggarakan workshop sehingga para dosen memiliki wawasan yang luas tentang geografi. Sehingga Ilmu ushuluddin mampu memberikan pencerahan bukan saja bagi pakar ilmu ini tetapi bagi ummat manusia secara keseluruhan.
Kajian Ilmu Ushuluddin yang bahasannya mementingkan dalil naqli dan aqli, tentu saja membutuhkan argument pendukung, baik dari al-Quran dan hadits maupun realita alam, apa lagi dikatakan bahwa wahyu Allah bukan saja seperti apa yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, tetapi justeru lebih banyak melalui hamparan alam ini. Ilmu Ushuluddin yang dikatakan sebagai Ilmu ilmu dasar aqidah Islamiyah maka kajian tentang alam khususnya geografi adalah mutlak adanya.
Memang ilmu geografi belum begitu populer pada awal perkembangan Islam, tetapi bukankah demikian banyaknya hadits hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah banyak memberikan penjelasan penjelasan geografis kepada ummat manusia melalui para sahabat pada waktu itu. Dan demikian juga banyaknya ayat ayat al-Quran mengenai jagad raya ini.
Ilmu geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Geografi adalah ilmu yang dikembangkan Herodatus (± 485 – 425). Istilah geografi berasal dari Eratostenes (abad ke 1 M) yang amat dipengaruhi oleh astronomi dan matematika. Geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu geo (bumi) dan graphein (lukisan), lukisan alam, yaitu mengkaji gejala geosfir meliputi atmosfir hidrosfir, biosfir, lithosfir.
Atmosfir adalah lapisan udara yang menyelubungi bumi. Hidrosfir adalah lapisan air yang terdapat pada kulit bumi dan dalam bumi serta atmosfir bumi meliputi air hujan, air sungai, air laut dan air tanah. Biosfir adalah lapisan bumi yang ditempoati oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Itulah hamparan alam yang kata Allah adalah merupakan wahyu wahyu-Nya. Yang hanya mampu direspon oleh orang orang yang ulil albaab.
Gelar Ulil Albaab adalah gelar yang harus diraih melalui Ilmu Ushuluddin. Gelar ulil albaab diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk merespon segala ciptaan Tuhan dan merespon Ketuhanan sekaligus. Dalil dalil Ilmu Ushuluddin harus berkembang sejalan dengan terbukanya tabir yang semula belum terkuakkan, sekitar gejala geosfir yang meliputi atmosfir hidrosfir, biosfir, dan lithosfir. Ilmu Ushuluddin sekarang harus memiliki kemampuan merumuskan argumentasi terkait hal tersebut di atas.
Argumentasi yang dibutuhkan sekarang bukan hanya argumentasi dalam rangka mengantisipasi mereka mereka yang kufur akan keilahian, tetapi argumentasi sekarang adalah juga dalam rangka mensejahterakan ummat manusia secara transformatif. Kita meyakini akan adanya jaminan kesejahteraan bagi mereka yang ulil albaab. Tetapi walaupun bagaimana mereka yang tidak memiliki pemahaman memadai tentang permasalahan geografis sudah dapat dipastikan akan mendapatkan kesulitan untuk menjadi ulil albaab tersebut di atas.
Bagaimana mungkin seseorang akan mampu menjadi orang yang ulil albaab bila tidak memiliki kemampuan merespon segala ciptaan Tuhan. Bagaimana mungkin seseorang akan mengatakan bahwa Allah tidak sia sia menciptakan segala ciptaanNya, sementara ia tidak memiliki pemahaman sedikitpun tentang ciptaan ciptaan itu. Kalaupun Ia mengatakan bahwa Allah tidak sia sia menciptakannya, itu hanyalah membeo belaka, Ia sebenarnya tidak paham dengan apa yang dikatakannya sendiri Dan Allah tentu saja kecewa kepada ummatnya yang mendalami ilmu ushuluddin tetapi tidak mau merespon ciptannya.
Jangankan kita akan merespon ciptaan Allah yang demikian luas serta membutuhkan penguasaan sain dan teknologi, pada paskamodern ini. Kita akan merespon perdebatan yang terjadi dijaman klasik dan menggunakan argument ilmu ushuluddin di awal perkembangannya saja telah mendapatkan kesulitan. Apalagi materi perdebatan bukan saja tentang suatu yang secara mudah dapat tertangkap indera, untuk memahami perdebatan pada saat itu sebenarnya kita membutuhkan pengetahuan tentang saince dasar.
Kalau saja perdebatan itu bisa kita dikembangkan, sejalan perkembangan waktu, tentu saja kita membutuhkan pemahaman tentang matematika, fisika, biologi, kmia dan seterusnya. Tidakkah kita menyadari perdebetan pada masa klasik itu telah menjalar bukan saja di darat, tetapi juga di air, di dalam tanah dan bahkan diudara. Yang sebagian besar terakumulasi dalam manusia, dengan segala hak dan kewajibannya Tidak salah kalu dikatakan bahwa manusia adalah jagad kecil, buana mini. Tetapi Allah mengatakan bahwa manusia adalah puncak ciptaan-Nya.
Para pimpinan Islam meributkan saja pada awal dan akhir puasa dengan “ Hisab dan Ru’yah “ sementara mereka tidak memiliki kemampuannya secara keilmuan. Hampir setiap tahun ummat dihadapkan dengan kericuhan ini, tetapi ummat tidak pula pernah mendapatkan penjelasan dengan forsi yang cukup. Dan bahkan nampaknya para ilmuan tidak mendapatkan peluang untuk bicara banyak tentang itu. Tiba tiba saja para pimpinan ummat menggariskan bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Sementara ia menunjukkan gejala gejala keawamannya tentang “bulan” yang sedang diperdebatkannya itu, dalam rangka mengawali dan mengakhiri puasa wajib di bulan Romadhon.
Argumen sekarang ini yang dibutuhkan adalah argument yang akan mensejahterakan ummat manusia. Argumen yang akan menjamin kelangsungan dan kenyamanan hidupnya. Bukan kah kita tahu bahwa kesejahteraan itu akan membuat ummat menjadi tenang dalam beribadah. Apalagi sekarang ini telah terjadi gap yang lebar antara yang kaya dan miskin. Dan imbas dari gap ini sering terjadi kejahatan. Maka argument argument yang muncul adalah memperkecil gap yang ada.
Sudah saatnya dosen fakultas Ushuluddin bersentuhan denga ilmu geografi. Dosen mata kuliah apapun hendaknya gencar berdiskusi mendatangkan guru Besar Ilmu Geografi untuk menyelenggarakan workshop sehingga para dosen memiliki wawasan yang luas tentang geografi. Sehingga Ilmu ushuluddin mampu memberikan pencerahan bukan saja bagi pakar ilmu ini tetapi bagi ummat manusia secara keseluruhan.
AGAMA, NEGARA DAN KEMISKINAN
MUSLIMM
Alumnus IAIN Raden Intan Lampung,
Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
Cabang Bandar Lampung
FENOMENA kemiskinan di negeri ini ternyata semakin memprihatinkan. Mereka yang tidak tersapa oleh kelayakan hidup telah menjadi pemandangan biasa yang acap kita pergoki dalam setiap berita di koran maupun televisi. Faktor utamanya, tak lain diakibatkan dari telikungan kapitalisme global, keserakahan penguasa, dan kekurangpedulian para agamawan.
Proses pemiskinan ini pun kian menjadi-jadi ketika tingkat pengangguran semakin tinggi, daya beli rakyat semakin merosot, kelangkaan bahan pangan, dan melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi perekonomian dunia yang kacau-balau. Sedemikian miskinnya masyarakat, sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu dan nasi aking menjadi santapan sehari-hari.
Dalam menghadapi kegetiran hidup dan kenestapaan ini, tak sedikit warga yang frustrasi. Bahkan, yang lebih tragis, seorang bapak tega bunuh diri karena merasa tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya. Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi, dan kecurangan yang dilakukan pejabat negara telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang waktu panjang untuk menguranginya.
Penggusuran tanah kaum miskin yang hampir tiap saat ditayangkan di televisi dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum, adalah fenomena biasa yang akan terus kita tonton. Padahal, yang dibangun adalah jalan tol untuk kepentingan pemilik mobil mewah dan kendaraan mahal lainnya. Pengendara sepeda atau becak tak bisa lewat di sana. Yang dibangun adalah mal untuk berbelanja bagi orang berduit. Yang dibangun adalah ruko untuk para pedagang besar. Lalu, di mana slogan ekonomi rakyat selama ini yang selalu dilontarkan pemerintah?
Di sisi lain, puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di lampu merah. Menjadi pemulung sampah dari satu tempat ke tempat lain. Tragisnya lagi, nun jauh di sana, sekelompok orang Islam "menikam" saudaranya sendiri dengan dalih sesat.
Anehnya, para agamawan kita tampak tidak mau ambil pusing. Buktinya, belum ada sikap tegas dari mereka atas privatisasi perusahaan negara atau penggusuran lahan pedagang kaki lima, misalnya. Padahal, yang paling dirugikan dari kebijakan itu adalah mayoritas masyarakat bawah, yang rata-rata menggantungkan hidupnya dari pertanian, bekerja menjadi buruh pabrik, dan pemulung sampah.
Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan menjadi pemandangan yang lazim di negeri ini. Mereka menjadi marginal, akibat tiadanya aksesibilitas yang menjembatani kesempatan kerja dan dikuasainya tanah oleh koorporasi megaraksasa dari kapitalisme global. Jangankan untuk meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik, bisa membuat perut kenyang saja merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga.
Inilah "lingkaran setan kemiskinan" yang mesti diputus. Karena miskin, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Ujung-ujungnya, mereka tak mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki penghasilan rendah. Karena berpenghasilan rendah, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Akhirnya, mereka kembali menjadi miskin. Dan begitu seterusnya. Sikap menerima kemiskinan sebagai takdir (given) adalah suara lantang yang acap didengungkan agamawan kita selama ini. Tuhan hanya dipersepsikan sebagai perumus absolut yang mengatur nasib perubahan manusia.
Ternyata, fatalisme yang disebabkan oleh kesadaran naif ini terus berkembang ke tengah-tengah kehidupan beragama. Seperti sebuah virus, ia terus menjalar dan menjadi mapan dalam pemikiran keagamaan. Tumbuhnya fatalisme ini diakibatkan sulitnya umat Islam menerima ide-ide pembaruan, karena menganggapnya sebagai tidak islami. Sehingga, mereka melulu meneguhkan cara beragama yang kontraproduktif dengan semangat zaman. Kedangkalan pemahaman agama tentang etos kemajuan ini pun menjadi akibat yang tak terelakkan.
Selain itu, keculasan negara melalui paham pembangunanismenya juga bisa kita tunjuk sebagai penyebab terjadinya kemiskinan. Sebab, sampai kini sedikit sekali proyeksi pembangunan yang dapat merangsang tumbuhnya produktivitas kerja. Pembangunan yang dijalankan pemerintah terbukti telah melemahkan sektor riil masyarakat (umat) level bawah. Hadirnya supermarket di tengah-tengah pasar tradisional, misalnya, adalah dampak paling gamblang darinya. Pasar modern itu memberikan pelayanan dan keasyikan tersendiri bagi para konsumen. Akibatnya, pedagang tradisional yang berteduh di pasar yang sumpek tak dapat meraup keuntungan, tapi malah kerugian dan kehilangan lapangan pekerjaan.
Begitulah realitas yang tengah terpampang lebar di depan kelopak mata kita. Di satu sisi, suara lantang agamawan yang menyeru kedamaian dan kebahagiaan hanya terdengar dari menara gading; dan di sisi lain, negara terus melancarkan misi pembangunannya meski harus menyingkirkan rakyat yang kerap dianggap "sampah".
Rentetan fakta dari beragam problem kemanusiaan yang membuat miris ini, ternyata belum menyadarkan kita bahwa sebagai bangsa, Indonesia sedang menyongsong krisis sosial yang sangat menakutkan. Kehidupan beragama kita pun menjadi tak tentu arah, karena umatnya, khususnya kalangan elite agama, tak mampu mewujudkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.
Maka, sah-sah saja jika ada yang menggugat di mana tanggung jawab profetik negara atas berbagai peristiwa memilukan itu? Ke mana para agamawan? Sungguh amat jauh bentangan antara retorika yang didengungkan pejabat dan agamawan kita di hotel mewah dengan fakta empiris di lapangan. Seharusnya mereka mau dan mampu terjun ke bawah melihat segala patologi sosial yang terjadi, daripada mengeluarkan undang-undang dan fatwa-fatwa yang kurang terasa manfaatnya bagi kehidupan rakyat kecil.
Alhasil, agenda utama yang musti segera diselesaikan adalah bagaimana agama mampu membuktikan ia benar-benar membawa keberkahan bagi umat manusia. Selain itu, negara juga musti memperkuat sistem kenegaraan dengan mewujudkan good governance yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menyediakan segala kebutuhan rakyat tanpa ada diskriminasi kaya-miskin ataupun mayoritas-minoritas.
Sumber : Lampost 21 Januari 2010
Alumnus IAIN Raden Intan Lampung,
Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
Cabang Bandar Lampung
FENOMENA kemiskinan di negeri ini ternyata semakin memprihatinkan. Mereka yang tidak tersapa oleh kelayakan hidup telah menjadi pemandangan biasa yang acap kita pergoki dalam setiap berita di koran maupun televisi. Faktor utamanya, tak lain diakibatkan dari telikungan kapitalisme global, keserakahan penguasa, dan kekurangpedulian para agamawan.
Proses pemiskinan ini pun kian menjadi-jadi ketika tingkat pengangguran semakin tinggi, daya beli rakyat semakin merosot, kelangkaan bahan pangan, dan melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi perekonomian dunia yang kacau-balau. Sedemikian miskinnya masyarakat, sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu dan nasi aking menjadi santapan sehari-hari.
Dalam menghadapi kegetiran hidup dan kenestapaan ini, tak sedikit warga yang frustrasi. Bahkan, yang lebih tragis, seorang bapak tega bunuh diri karena merasa tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya. Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi, dan kecurangan yang dilakukan pejabat negara telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang waktu panjang untuk menguranginya.
Penggusuran tanah kaum miskin yang hampir tiap saat ditayangkan di televisi dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum, adalah fenomena biasa yang akan terus kita tonton. Padahal, yang dibangun adalah jalan tol untuk kepentingan pemilik mobil mewah dan kendaraan mahal lainnya. Pengendara sepeda atau becak tak bisa lewat di sana. Yang dibangun adalah mal untuk berbelanja bagi orang berduit. Yang dibangun adalah ruko untuk para pedagang besar. Lalu, di mana slogan ekonomi rakyat selama ini yang selalu dilontarkan pemerintah?
Di sisi lain, puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di lampu merah. Menjadi pemulung sampah dari satu tempat ke tempat lain. Tragisnya lagi, nun jauh di sana, sekelompok orang Islam "menikam" saudaranya sendiri dengan dalih sesat.
Anehnya, para agamawan kita tampak tidak mau ambil pusing. Buktinya, belum ada sikap tegas dari mereka atas privatisasi perusahaan negara atau penggusuran lahan pedagang kaki lima, misalnya. Padahal, yang paling dirugikan dari kebijakan itu adalah mayoritas masyarakat bawah, yang rata-rata menggantungkan hidupnya dari pertanian, bekerja menjadi buruh pabrik, dan pemulung sampah.
Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan menjadi pemandangan yang lazim di negeri ini. Mereka menjadi marginal, akibat tiadanya aksesibilitas yang menjembatani kesempatan kerja dan dikuasainya tanah oleh koorporasi megaraksasa dari kapitalisme global. Jangankan untuk meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik, bisa membuat perut kenyang saja merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga.
Inilah "lingkaran setan kemiskinan" yang mesti diputus. Karena miskin, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Ujung-ujungnya, mereka tak mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki penghasilan rendah. Karena berpenghasilan rendah, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Akhirnya, mereka kembali menjadi miskin. Dan begitu seterusnya. Sikap menerima kemiskinan sebagai takdir (given) adalah suara lantang yang acap didengungkan agamawan kita selama ini. Tuhan hanya dipersepsikan sebagai perumus absolut yang mengatur nasib perubahan manusia.
Ternyata, fatalisme yang disebabkan oleh kesadaran naif ini terus berkembang ke tengah-tengah kehidupan beragama. Seperti sebuah virus, ia terus menjalar dan menjadi mapan dalam pemikiran keagamaan. Tumbuhnya fatalisme ini diakibatkan sulitnya umat Islam menerima ide-ide pembaruan, karena menganggapnya sebagai tidak islami. Sehingga, mereka melulu meneguhkan cara beragama yang kontraproduktif dengan semangat zaman. Kedangkalan pemahaman agama tentang etos kemajuan ini pun menjadi akibat yang tak terelakkan.
Selain itu, keculasan negara melalui paham pembangunanismenya juga bisa kita tunjuk sebagai penyebab terjadinya kemiskinan. Sebab, sampai kini sedikit sekali proyeksi pembangunan yang dapat merangsang tumbuhnya produktivitas kerja. Pembangunan yang dijalankan pemerintah terbukti telah melemahkan sektor riil masyarakat (umat) level bawah. Hadirnya supermarket di tengah-tengah pasar tradisional, misalnya, adalah dampak paling gamblang darinya. Pasar modern itu memberikan pelayanan dan keasyikan tersendiri bagi para konsumen. Akibatnya, pedagang tradisional yang berteduh di pasar yang sumpek tak dapat meraup keuntungan, tapi malah kerugian dan kehilangan lapangan pekerjaan.
Begitulah realitas yang tengah terpampang lebar di depan kelopak mata kita. Di satu sisi, suara lantang agamawan yang menyeru kedamaian dan kebahagiaan hanya terdengar dari menara gading; dan di sisi lain, negara terus melancarkan misi pembangunannya meski harus menyingkirkan rakyat yang kerap dianggap "sampah".
Rentetan fakta dari beragam problem kemanusiaan yang membuat miris ini, ternyata belum menyadarkan kita bahwa sebagai bangsa, Indonesia sedang menyongsong krisis sosial yang sangat menakutkan. Kehidupan beragama kita pun menjadi tak tentu arah, karena umatnya, khususnya kalangan elite agama, tak mampu mewujudkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.
Maka, sah-sah saja jika ada yang menggugat di mana tanggung jawab profetik negara atas berbagai peristiwa memilukan itu? Ke mana para agamawan? Sungguh amat jauh bentangan antara retorika yang didengungkan pejabat dan agamawan kita di hotel mewah dengan fakta empiris di lapangan. Seharusnya mereka mau dan mampu terjun ke bawah melihat segala patologi sosial yang terjadi, daripada mengeluarkan undang-undang dan fatwa-fatwa yang kurang terasa manfaatnya bagi kehidupan rakyat kecil.
Alhasil, agenda utama yang musti segera diselesaikan adalah bagaimana agama mampu membuktikan ia benar-benar membawa keberkahan bagi umat manusia. Selain itu, negara juga musti memperkuat sistem kenegaraan dengan mewujudkan good governance yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menyediakan segala kebutuhan rakyat tanpa ada diskriminasi kaya-miskin ataupun mayoritas-minoritas.
Sumber : Lampost 21 Januari 2010
ILMU USHULUDDIN JANGAN KEHILANGAN IDENTITAS
Oleh Fachruddin
Alumnus Fak. Ushuluddin IAIN Rd.Intan, 83
PNS Pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung,
Sebagaimana kita tahu bahwa Ilmu Ushuluddin muncul secara bertahap dan banyak dilatarbelakangi oleh politik dan perkembangan pemikiran manusia, sehingga ilmu ini tidak hanya menyertakan dalil naqli tetapi jsuteru banyak diwarnai dalil aqli. Sebagai dalil aqli tentu saja terkait dengan konstruksi manusia itu sendiri serta keadaan geografis atau sesuatu yang konkrit lainnya., sebagai realitas yang yang akan dieksploitir. Latar belakang tersebut membentuk identitas Ilmu Ushuluddin, sehingga pada saat itu juga Ilmu Ushuluddin dirasakan perlu adanya.
Ilmu Ushuluddin muncul pada saat manusia boleh berfikir bebas dan perbedaanpun menjadi syah, dan bahkan perlu. Munculnya (1) Khawarij, (2) Murji’ah, (3) Mu’tazilah, (4) Asy’ariyah dan (5) Maturidiyah pada era klasik dikarenakan adanya kebebasan berfikir itu. Manakala kebebsan berfikir itu hilang maka ilmu Ushuluddin akan mengalami stagnasi, stagnasi ini akan berakibat tidak berperannya ilmu tersebut pada era selanutnya, yaitu era modern, di mana masyarakat akan bersentuhan dengan teknologi. Atau hanya menjadi pihak yang konsumtip belaka.
Pihak konsumtip pada era teknologi modern ternyata terdiri dari masyarakat miskin, Negara Muslim yang merupakan komunitas masyarakat miskin, sekarang ini seolah membenarkan tesis ini. Nampaknya ada kausalitas yang tak terpungkiri antara keterbatasan kebebsan berfikir, ketertinggalan dan kemiskinan. Kalau tesis ini kita terima, maka untuk melepaskan ummat dari kemiskinan nampaknya tidak ada lain yaitu kebebasan berfikir. Ilmu Ushuluddin diawal perkembangannya adalah identik dengan kebebasan berfikir itu. Mengembalikan identitas Ilmu Ushuluddin adalah merupakan keniscayaan, dalam rangka meningkatkan harkat manusia.
Ketika Ilmu Ushuluddin membentuk satu lembaga pendidikan, sebagai sebuah Fakultas pada sebuah Pergurusn Tinggi, maka ada keharusan bagi Fakultas untuk memelihara dan mempertahankan identitas Ilmu Ushuluddin. Dengan cara selalu mempertautkan antara Ilmu Ushuluddin dengan mempertautkan antara ”Tuhan – Manusia dan alam”. Dengan berbasis kebebasan berfikir. Untuk itu dibutuhkan penguasaan atas berbagai disiplin ilmu.
Pelajar dari negara negara maju yang melahirkan berbagai teknologi, ternyata mereka sangat menguasai berbagai ilmu dasar sains seperti matemática, física, biologi, nimia dan geografi. Gagasan gagasan yang melahirkan teknologi modern adalah bermuda dari penguasaan ilmu ilmu tersebut. Tugas Ilmu Ushuluddin adalah mendorong pendalam ilmu ilmu tersebut berbasiskan Tauhid.
Kebebesan berfikir yang berbasiskan Tauhid, yang merupakan domain Ilmu Ushuluddin, diyakini selain akan melahirkan berbagai teknologi tepat guna, juga akan mengentaskan ummat dari kemiskinan. Walaupun yang muncul pertama adalah berbagai perbedaan dan bahkan pertentangan. Tanda tanda kepenganutan terhadap kebebasan berfikir adalah saling menghormati akan pendapat pihak lain, tidak mengkalim diri sebagai yang paling benar, apalagi akan saling mengkafirkan.
Dalam kultur bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini, maka faham multikulturalisme hendaknya mewarnai berbagai gagasan dalam mengupayakan pembaharuan. Indonesia membutuhkan pemikiran yang transformatif, meskipun pemikiran tersebut berasal dari komunitas tertentu, tetapi akan sangat dirasakan manfaatnya oleh komunitas yang lain. Pemikiran yang transformatif akan muncul manakala pemikiran tersebut merupakan konklusi dari premis premis, yang terdiri dari berbagai teori dan realitas alam (geografis).
Mengingat Ilmu Ushuluddin sejak awal kemunculannya dilatar belakangi oleh pemikiran bebas terhadap masalah politis dan geografis, maka sebenarnya Ilmu ushuluddin memiliki peluang terhadap kemunculan gagasan segar bagi kemajuan bangsa. Gagasan gagasan itu walaupun semula hanya bersifat normatif, tetapi bila memiliki wawasan sains maka kemungkinan akan melahirkan teknologi, adalah sesuatu yang tidak mustahil.
Sebenarnya ketika Ilmu Ushuluddin dikembangkan melalui sebuah Fakultas pada Perguruan Tinggi, maka kajian Ilmu Ushuluddin hendaknya konferhensif. Sebuah lembaga pendidikan biasanya akan menyentuh beberapa aspek antara lain (1) sain atau knowladge, (2) value, (3) attitude dan (seharusnya) , (4) vokasional. Seyogyanya kita tidak membatasi diri untuk menkancah value dan attitude belaka, tetapi bahasan kita mengacu kepada perkembangan sain (matematika, fisika, bilogi, kimia, geografi), maka kita akan dengan mudah merambah kepada vokasional. Kita akan merambah ke vokasional dengan sendirinya manakala kita berfikir positif.
Gagasan gagasan segar akan muncul dari pemikiran pemikiran yang positif. Gagasan yang positif hanya akan muncul dari seseorang yang memiliki hubungan kedalam dan hubungan keluar yang positif juga. Yang melahirkan self consept, self esteem dan selaf transformation yang bagus. Manakala itu didapatkan oleh para mahasiswa pada fakultas ushuluddin, maka alumninya tidak memiliki keinginan untuk menjadi PNS. Ia akan merasa rugi manakala bekerja pada sebuah instansi yang akan membelenggu ruang geraknya, apalagi dengan gaji yang relatif kecil.
Pada umumnya di negara negara miskin ini, orang beramai ramai membunuh karakternya sendiri sehingga tidak lagi memiliki hubungan yang positif baik ke dalam maupun keluar. Janganlah Fakultas Ushuluddin ikut mendorong mahasiswanya untuk berfikir yang salah bagi dirinya, dan bahkan membunuh segala potensi yang dianugerahkan Tuhan. Sehingga Ia berkesimpulan bahwa dirinya tidak memiliki bakat apa apa, tidak memiliki kelebihan apa-apa, sehingga Ia menetapkan kesimpulan yang ekstrim, yaitu membenci dirinya sendiri.
Seseorang pasti akan membenci dirinya sendiri, ketika Ia menganggap bahwa dia tidak punya apapa, sebagai kelebihannya. Padehal Allah sudah menjamin setiap manusia akan memiliki kelebihan yang mampu menjamin kehidupan dan eksistensi manusia lainnya, baik orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya maupun bukan. Kajian kajian Ilmu Ushuluddin memiliki wawasan untuk menghantar seseorang menyadari akan potensi dirinya, dan menghantar seseorang untuk memiliki hubungan positif baik ke dalam maupun keluar. Kajian Fakultas ushuluddin sangat memungkinkan untuk memainkan peran itu.
Prodi maupun mata kuliah hendaknya mengarah kepada pembentukan manusia yang ulil alabab, memiliki nilai yang positif dalam hubungan kedalam maupun keluar serta hubungan fertikal. Manakala belum ada prodi maupun mata kulaih yang secara jelas mendukung, maka programn ini dapat dilakukan secara terintegrasi ke dalam seluruh mata kuliah, dengan catatan para dosen harus memiliki visi dan wawasan yang sama. Modalnya adalah kebebasan berfikir berbasis tauhid.
Wallohua’lam bishowab.
Keterangan.
Naskah disampaikan dalam diskusi alumni Fakultas Ushuluddin IAIN pada tanggal 21 Januari 2010.
Alumnus Fak. Ushuluddin IAIN Rd.Intan, 83
PNS Pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung,
Sebagaimana kita tahu bahwa Ilmu Ushuluddin muncul secara bertahap dan banyak dilatarbelakangi oleh politik dan perkembangan pemikiran manusia, sehingga ilmu ini tidak hanya menyertakan dalil naqli tetapi jsuteru banyak diwarnai dalil aqli. Sebagai dalil aqli tentu saja terkait dengan konstruksi manusia itu sendiri serta keadaan geografis atau sesuatu yang konkrit lainnya., sebagai realitas yang yang akan dieksploitir. Latar belakang tersebut membentuk identitas Ilmu Ushuluddin, sehingga pada saat itu juga Ilmu Ushuluddin dirasakan perlu adanya.
Ilmu Ushuluddin muncul pada saat manusia boleh berfikir bebas dan perbedaanpun menjadi syah, dan bahkan perlu. Munculnya (1) Khawarij, (2) Murji’ah, (3) Mu’tazilah, (4) Asy’ariyah dan (5) Maturidiyah pada era klasik dikarenakan adanya kebebasan berfikir itu. Manakala kebebsan berfikir itu hilang maka ilmu Ushuluddin akan mengalami stagnasi, stagnasi ini akan berakibat tidak berperannya ilmu tersebut pada era selanutnya, yaitu era modern, di mana masyarakat akan bersentuhan dengan teknologi. Atau hanya menjadi pihak yang konsumtip belaka.
Pihak konsumtip pada era teknologi modern ternyata terdiri dari masyarakat miskin, Negara Muslim yang merupakan komunitas masyarakat miskin, sekarang ini seolah membenarkan tesis ini. Nampaknya ada kausalitas yang tak terpungkiri antara keterbatasan kebebsan berfikir, ketertinggalan dan kemiskinan. Kalau tesis ini kita terima, maka untuk melepaskan ummat dari kemiskinan nampaknya tidak ada lain yaitu kebebasan berfikir. Ilmu Ushuluddin diawal perkembangannya adalah identik dengan kebebasan berfikir itu. Mengembalikan identitas Ilmu Ushuluddin adalah merupakan keniscayaan, dalam rangka meningkatkan harkat manusia.
Ketika Ilmu Ushuluddin membentuk satu lembaga pendidikan, sebagai sebuah Fakultas pada sebuah Pergurusn Tinggi, maka ada keharusan bagi Fakultas untuk memelihara dan mempertahankan identitas Ilmu Ushuluddin. Dengan cara selalu mempertautkan antara Ilmu Ushuluddin dengan mempertautkan antara ”Tuhan – Manusia dan alam”. Dengan berbasis kebebasan berfikir. Untuk itu dibutuhkan penguasaan atas berbagai disiplin ilmu.
Pelajar dari negara negara maju yang melahirkan berbagai teknologi, ternyata mereka sangat menguasai berbagai ilmu dasar sains seperti matemática, física, biologi, nimia dan geografi. Gagasan gagasan yang melahirkan teknologi modern adalah bermuda dari penguasaan ilmu ilmu tersebut. Tugas Ilmu Ushuluddin adalah mendorong pendalam ilmu ilmu tersebut berbasiskan Tauhid.
Kebebesan berfikir yang berbasiskan Tauhid, yang merupakan domain Ilmu Ushuluddin, diyakini selain akan melahirkan berbagai teknologi tepat guna, juga akan mengentaskan ummat dari kemiskinan. Walaupun yang muncul pertama adalah berbagai perbedaan dan bahkan pertentangan. Tanda tanda kepenganutan terhadap kebebasan berfikir adalah saling menghormati akan pendapat pihak lain, tidak mengkalim diri sebagai yang paling benar, apalagi akan saling mengkafirkan.
Dalam kultur bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini, maka faham multikulturalisme hendaknya mewarnai berbagai gagasan dalam mengupayakan pembaharuan. Indonesia membutuhkan pemikiran yang transformatif, meskipun pemikiran tersebut berasal dari komunitas tertentu, tetapi akan sangat dirasakan manfaatnya oleh komunitas yang lain. Pemikiran yang transformatif akan muncul manakala pemikiran tersebut merupakan konklusi dari premis premis, yang terdiri dari berbagai teori dan realitas alam (geografis).
Mengingat Ilmu Ushuluddin sejak awal kemunculannya dilatar belakangi oleh pemikiran bebas terhadap masalah politis dan geografis, maka sebenarnya Ilmu ushuluddin memiliki peluang terhadap kemunculan gagasan segar bagi kemajuan bangsa. Gagasan gagasan itu walaupun semula hanya bersifat normatif, tetapi bila memiliki wawasan sains maka kemungkinan akan melahirkan teknologi, adalah sesuatu yang tidak mustahil.
Sebenarnya ketika Ilmu Ushuluddin dikembangkan melalui sebuah Fakultas pada Perguruan Tinggi, maka kajian Ilmu Ushuluddin hendaknya konferhensif. Sebuah lembaga pendidikan biasanya akan menyentuh beberapa aspek antara lain (1) sain atau knowladge, (2) value, (3) attitude dan (seharusnya) , (4) vokasional. Seyogyanya kita tidak membatasi diri untuk menkancah value dan attitude belaka, tetapi bahasan kita mengacu kepada perkembangan sain (matematika, fisika, bilogi, kimia, geografi), maka kita akan dengan mudah merambah kepada vokasional. Kita akan merambah ke vokasional dengan sendirinya manakala kita berfikir positif.
Gagasan gagasan segar akan muncul dari pemikiran pemikiran yang positif. Gagasan yang positif hanya akan muncul dari seseorang yang memiliki hubungan kedalam dan hubungan keluar yang positif juga. Yang melahirkan self consept, self esteem dan selaf transformation yang bagus. Manakala itu didapatkan oleh para mahasiswa pada fakultas ushuluddin, maka alumninya tidak memiliki keinginan untuk menjadi PNS. Ia akan merasa rugi manakala bekerja pada sebuah instansi yang akan membelenggu ruang geraknya, apalagi dengan gaji yang relatif kecil.
Pada umumnya di negara negara miskin ini, orang beramai ramai membunuh karakternya sendiri sehingga tidak lagi memiliki hubungan yang positif baik ke dalam maupun keluar. Janganlah Fakultas Ushuluddin ikut mendorong mahasiswanya untuk berfikir yang salah bagi dirinya, dan bahkan membunuh segala potensi yang dianugerahkan Tuhan. Sehingga Ia berkesimpulan bahwa dirinya tidak memiliki bakat apa apa, tidak memiliki kelebihan apa-apa, sehingga Ia menetapkan kesimpulan yang ekstrim, yaitu membenci dirinya sendiri.
Seseorang pasti akan membenci dirinya sendiri, ketika Ia menganggap bahwa dia tidak punya apapa, sebagai kelebihannya. Padehal Allah sudah menjamin setiap manusia akan memiliki kelebihan yang mampu menjamin kehidupan dan eksistensi manusia lainnya, baik orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya maupun bukan. Kajian kajian Ilmu Ushuluddin memiliki wawasan untuk menghantar seseorang menyadari akan potensi dirinya, dan menghantar seseorang untuk memiliki hubungan positif baik ke dalam maupun keluar. Kajian Fakultas ushuluddin sangat memungkinkan untuk memainkan peran itu.
Prodi maupun mata kuliah hendaknya mengarah kepada pembentukan manusia yang ulil alabab, memiliki nilai yang positif dalam hubungan kedalam maupun keluar serta hubungan fertikal. Manakala belum ada prodi maupun mata kulaih yang secara jelas mendukung, maka programn ini dapat dilakukan secara terintegrasi ke dalam seluruh mata kuliah, dengan catatan para dosen harus memiliki visi dan wawasan yang sama. Modalnya adalah kebebasan berfikir berbasis tauhid.
Wallohua’lam bishowab.
Keterangan.
Naskah disampaikan dalam diskusi alumni Fakultas Ushuluddin IAIN pada tanggal 21 Januari 2010.
ASSALAMU 'ALAIKUM
Blog ini diciptakan sebagai sarana komunikasi dengan para mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat yang mengambil mata kuliah Kebudayaan Dan Pembangunan Daerah Lampung.
Namun Walaupun demikian tidak berarti tertutup bagi mahasiwa lainnya, kami mempersilakan kepadamahasiswa lain untuk berpartisipasi dalam mendalami kebudayaan daerah Lampung dan kemajuan pembangunan daerah Lampung itu sendiri.
Demikian juga para dosen dapat menampilkan tulisannya atas seijin kami untuk dibaca oleh para mahasiswa dan kemjuan ilmu pengetahuan.
Subscribe to:
Posts (Atom)