Monday, August 15, 2016

Etnis China Gigih Mempertahankan Bahasa Dan Filsafatnya.

Di awal bulan Juli 2016, ketika itu saya membeli sebuah lampu belajar atau lampu duduk, saya dilayani anak pemilik toko yang melihat form wajahnya antara ayah, ibu dan anak, saya yakin mereka adalah dari kelompok minoritas pendatang asal China yang sekarang lebih suka disebut Tiongkok, sampai pada suatu sat mereka bertiga harus membicarakan sesuatu yang nampaknya saya tidak boleh tahu apa maksudnya, kemungkinan bicara masalah harga, terkait pertanyan saya yang belum dijawab oleh si anak yang melayani saya.

Si anaklah yang menyampaikan sesuatu dalam bahasa mandarin yang lalu di jawab oleh ibunya dan kemudian sang ayahpun menyampaikan sesuatu, baru sia anak memberitahukan kepada saya prihal harga yang saya tanyakan tadi.
Kamu lancar bahasa mandari .... ? Tanya saya kepada si anak
Yah ...lumaian ! .... kata sianak tidak canggung
Kursus ....? Tanya saya lagi ingin tahu
Enggak .... ! Kata sianak mantab
Bisa ..... ? Kata saya seperti tak percaya.
Kan bahasa Ibu.... ! Kata si anak seperti meyakinkan.
Jadi belajar dari orang tua ... ? Tanya saya lagi
Iya .... ! seerrag sianak seperti ingin meyakinkan.
Selain belajar bahasa ... belajar apa lagi ? tanya saya sambil menyodorkan uang pecahan 100 ribu rupiah.
Belajar Adat Istiadat  ..... ! Kata sianak sambil memberikan pengembalian kepada saya.
Di sepanjang jalan pulang pikiran saya berkecamuk.


Begitu gigihnya etnis China mengajarkan bahasa dan tentu saja filosofi yang mereka anut secara turun temurun, dalam mengajarkan bahasa maka tak akan mencapai puncak pemahaman akan bahasa yang dipelajari manakala tidak memahami filosofi dari bahasa tersebut atau filosofi yang dianut oleh pemilik bahasa tersebut, belajar bahasa China tak akan mencapai puncak pemahamannya manakala tidak memahami falsafah China. Itulah sebabnya saya pernah terkejut sekali ketika sempat ikut berdialog dengan seorang narasumber yang disebut sebut oleh moderator sebagai pakar bahasa Lampung, tetapi dalam sesi tanya jawab ketika saya menanyakan sesuatu terkait falsafah Lampung Piil Pesenggiri, maka bagaikan petir di siang bolong bagi saya, karena sang pakar mengatakan bahwa Piil Pesengiri itu tidak dapat dipertanggung jawabkan, seperti kata kata nama binatang "Kodok" lantaran teko teko ndodok

Spontan saya teringat dengan anak anak kita yang diajarkan bahasa daerah Lampung, rupanya mereka hanya diajarkan aksara Lampung, karena memang sang pakar yang duduk gagah didepan kami sebegai peserta nampaknya juga memang membatasi diri sebatas aksara Lampung saja. Minur fiulsafat Lampung Piil Pesenggiri. Apalah artinya anak anak diajarkan aksara Lampung, jika tidak juga diajarkan bahasa Lampung, dan apalah artinya bahasa Lampung bila tidak diajarkan falsafah Lampung.

KLembali kepada cerita si anak gadis yang melayani saya ketika membeli lampu di atas tadi bajhwa dia dari kedua orang tuanya diajarkan bahasa dan adat istiadat, saya yakin adat istiadat tadi kontennya adalah falsafah China. Memang akan percuma saja kita belajar bahasa China bila tidak disertai pemahaman yang memadai tentang falsafah China.

Anak keturunan China akan kekeh mempertahankan bahasa China adalah lantaran ingin mengajarkan falsafah China, dan dengan falsafah China orang tua mereka merasa mereka memiliki kemampuan untuk mengantisipasi segala macam perkembangan politik di Indonesia. Denagn Falsafah China mereka mampu menempatkan diri sehingga di mata Pemerintah Kolonial disaat mere menjajah Indonesia, maka etnis China diletakkan oleh Kolonial sebagai manusia kelas 1.

Di era orde lama tidak ada gedung sekolahan yang mentereng kalu kan sekolah sekolah China, yang kita kenal dengan nama Baperki, anak anak China bersekolah di situ, dengan gedung yang sangat mentereng. sayang ketika meletus pemberintakan G 30 S PKI  tanggal 30 September 1965 ternyata China terlibat dalam upaya perencanaan perebutan kekuasaan, PKI dan pendatang etnis China melakukan kerjasama dalam memasarkan paham komunis di Indonesia.

Dengan dibubarkannya PKI maka sekolah sekolah Baperkipun ditutup, anak anak keturunan pendatang China umumnya pindah sekolah ke Sekolah Saverius atau sekolah sekolah Kristen lainnya. Sedangkan hahasa dan filasafat China mereka aarkan di rumah rumah oleh orang tua mereka masing masing. Dan merekapun berhasil mempertahankan bahasa dan filsafat yang mereka yakini baik itu.

No comments:

Post a Comment