Sejatinya saya sangat tertarik dngan gagasan Kongres Bahasa Lampung itu, tetapi bagi saya yang paling penting adalah dampak positif dari pelaksanaan kongres, yaitu perubahan minset masyarakat Lampung. Persoalan yang menerpa bahasa Lampung adalah semakin sedikitnya jumlah penutur bahasa Lampung. yang paling utama adalah karena jumlah komunitas pengguna bahasa Lampung memang sedikit, ditambah lagi dengan sedikitnya masalah yang telah dijelaskan dengan menggunakan bahasa Lampung.
Saya pernah ikut menggagas adanya bahasa persatuan di Lampung, tetapi gagasan itu hanya bersifat lntaran ide saja, namun ternyata respon cukup deras, dalam bentuk penolakan. Sama dengan gagasan saya untuk penajaman Falsafah Lampung Piil Pesenggiri juga kurang mendapatkan respon positif justeru dari pihak yang sejatinya memiliki komitmen kuat terhadap keoada pemikiran filosofis Piil apalagi yang bersangkutan didaulat sebagai pakar bahasa Lampung. Baginya Falsafah lampung itu tak lebih dari kirotoboso dalam bahasa Jawa, suatu hal yang saya tak pernah lupa dengan perumpamaan yang disebutnya yaitu nama binatang "Kodok", disebut kodok karena 'Teko Teko Langsung Ndodok', bagaimana mungkin sang pakar akan membangun bahasa tampa filsafat, karena puncak belajkar bahasa adalah belajar falsafahnya.
Judul tulisan ini adalah Bahasa, Seni, Produksi dan Filsafat.
Dalam dunia ilmu opengetahuan falsafah atau filsafat adalah induk segala ilmu, dari pandangan pandangan falsafah itulah munculnya berbagai ilmu, ilmu hukum muncul dari pemikiran filsafat hukum, ilmu pendidikan muncul darifilsafat pendidikan, dan ilmu bahasa dari falsafah manusia, falsafah komunikasi dan sebagainya. Lalu apa makna judul di atas.
Sebelum membahas lebih lanjut sebaiknya saya lontarkan dahulu sebuah kisah pilu dalam pergaulan dunia. Sebuah televisi ternama, demikan isi ceramah seorang pakar, ada sebuah TV terkenal di Amerika yang menanyangkan keindahan wilayah perkebunan di Lampung Barat Liwa, mendadak sontak Liwa terkenal dengan kopinya, dan tidak tanggung tanggung itu terjadi dihadapan para pemirsa TV di Amerika sana. Dan banyak pemirsa yang segera mencari tahu apa, dimana, mengapa kota Liwa. Pada saat itu kopi Liwa sangat terkenalnya, bersamaan pada saat itu kopi dinegara pengeksport sedang melakukan peremajaan, ekonomi Liwa pun terdongkrak
signifikan sekali. Tetapi apa lacur pada hari ketiga televisi tersebut memberitakan bahwa orang orang Liwa berkebun di hutan lindung, serta merta sumpah serapah disampaikan bagi penduduk Liwa dan bahkan bagi masyarakat Indonesia. Pada hari ketiga itu juga publik dapat dipengaruhi untuk memboikot kopi Indonesia secara keseluruhan.
Kisah kedua adalah terkait dengan pemasaran jam tangan yang terbuat dari kayu. Bicara masalah jam tangan yang terbuat dari kayu, maka tidaklah berlebihan jika saya ingin katakan bahwa Indonesialah rajanya, karena di Indonsia banyak sekali kayu pilihan yang cocok dibuat jam, utamanya jam tangan.
Ketika jam tangan dari kayu dari kayu ini dipasarkan di Eropa dan Amerika maka serta merta masyarakat di sana mempertanyakan apakah pembuatan jam dari kayu ini diambilkan kayu dari hutan tropis, atau dari kebun kayu milik sendiri, lalu siapa yang direkrut jadi karyawan di pabrik ini, bagaimana cara anda mengelola limbah dari pabrik kayu anda dalam memproduksi jam ini.
Artinya banyak masalah yang harus kita jelaskan kepada orang lain prihal logika pemikiran serta etika, komitmen sosial bahkan estetika, agar orang mau bersahabat dan bersedia membeli produk kita. Maka yang harus kita lakukan untuk mempertahankan bahasa Lampung adalah pertama tamama memiliki produk (dalam arti luas) yang layak dijual ke orang lain, dan untuk lakunya produk yang kita jual bukan hanya menyangkut masalah kualitas produk kita saja. Bila kita cari dapat saya pastikan bahwa kita mampu memproduk sesuatu yang sejatinya lebih unggul dari produk lain, tetapi pembeli lebih memilih produk lain hanya lantaran lebih mengenal identitasnya. Dan mendukung nya dalam beberapa hal lantaran ada kecocokan ataupun kesamaan.
Suatu produk diserta dengan etika serta komitmen sosial untuk kebersamaan dan kelestarian lingkungan yang tentu disertai dengan bahasa yang memiliki kemampuan menjlaskan itu semua dan produk adalah kendaraannya untuk mempermudah laju komunikasi, dan komuniasi dalam komunikasi tentu saja bahasa adalah wadahnya. Dengan demikian penyebaran bahasa membutuhkan sebuah produk sebagai kendaraannya. Dan diantara sekian banyak jenis produk yang paling mudah dipasarkan adalah produk seni.
Kalau saja masyarakat Lampung barat memiliki tari tarian dengan tema melestarikan lingkungan, sebuah tarian walaupun hanya dngan gerak koreografis tetapi memiliki kemampuan komuniasi bagimana gigihnya masyarakat yang memang tinggal ditepian hutan lindung bukit barisan itu untuk melestarikan lingkungannya agar tetap menjadi jantung dunia yang siap berdenyut setiap saat. terlebih lagi manakala tarian itu disertai dengan uraian deskripsi yang apik sehingga indah dilantunkan menjadi sebuah lagu, dan lagu itu tak lain ada;ah lagu Lampung. Maka kita akan diyakinkan memiliki kemampuan mengantisipasi penilaian buruk sebagai penyerobot hutan lindung yang dianggap jantung dunia itu.
Sejatinya masih banyak celah keberadaan produk, seni dan bahasa Lampung yang belum kita hadirkan, dan bahkan mungkin justeru kita anggap tidak penting, padahal sejatinya kehadirannya akan sangat menguntungkan. Banyak pihak yang belum paham, apa urusannya sebuah karya seni koreografer bagi para importir kita. Bahkan banyak yang mengira bahwa kerjaan seniman itu adalah kerjaan orang yang kurang kerjaan. Mungkin dalam kongres bahasa Lampung hal hal semacam ini dapat kita bicarakan lebih serius lagi. semoga.
No comments:
Post a Comment