Thursday, May 17, 2018

MEWARISI SEMANGAT PIIL PESENGGIRI (4)

BERSAING TAMPA DENDAM, BERSELISIH TAMPA BENCI.
Setelah beberapa waktu kami berdua ngobrol Timur - Barat, Tiba Kakandaku Tarmizi yang anak nak dan kemenakanku semua memanggilnya dengan tutur Pak Batin,  suaranya  tersedak dan menangis ... kubiarkan Ia menangis mungkin ada lima puluh detik lamamya, baru nafasnya nampak semakin normal, dengan ragu kulanjutkan dengan mengalihkan pembicaraan, walaupun nantinya akan kembali kutanyakan. berharap  beliau tidak larut dalam kesedihan, dan mampu melanjutkan cerita dengan lebih lancar. ' Pada saat itu Usia Pak Batin telah mencapai 80 tahun, usia kami terpaut 16 tahun. Bagaimana kisahnya sehingga beliaumenjadi sedih dan bahkan menanghis. Tetaoi kesedihan itu tak dikembangkan nasehat  Ayahanda :" Bersaing Tampa Dendam, Berseleisih Tampa Benci" . 

Kebiasaan di keluargaku pada saat itu bila malam hari, dan semua sudah menuju ke peraduan, maka lampu besar dimatikan, karena lampu besar boros minyak, hanya lampu sentir kecil yang tetap dihidupkan, untuk mempertahankan sedikit sinar dikegelapan malam. Tetapi di malam itu Pak  Batin kecil  tak jua terpejam matanya. Malam semakin larut, hanya suara jeritan jangkrik yang ditingkahi suara katak di kolam belakang rumah. Sesekali terdengar juga sayup  lolongan panjang anjing dikejauhan.

Ditengah antara alunan suara binatang binatang malam itu samar terdengan ada isak tangis yang tertahan tahan. Tetapi suara tangisan halus itu tak juga terhenti, bahkan semakin lama semakin jelas dari mana  sumber suara, ternyata dari kamar Ibunda yang oleh para cucunya dipanggil Andung atau Among Kakanda merangkak dikegelapan rumah ....

Sinar rembulan menembus lubang lubang dinding geribik,  cukup memabntu Kakanda menuju sumber suara yang sangat menyedihkan itudi, dapati Ibunda menangis lirih tidur telungkup untuk menyembunyikan suara tangisnya, seolah khawatir Ayahanda yang tidur disebelahnya terganggu.

Memang tak ada sumpah serapah kata, dia hanya menangis sembari menyebut asma Ilahi. Kakanda tak tahu apa yang ditangiskan, tak terasa Kakanda ikut mengais, baru beberapa saat berani  bertanya "Mengapa Menangis Bunda ... " tanyanya sambil menahan isak.

Lama tak dijawab .... tangisnya tak kunjung reda.
" Aku teringat rumah kita yang dibakar orang  ... "  Kata Ibunda disela isaknya
Tangisanpun kembali jadi.
Bukankah rumah kita sudah jadi .... kata Kakanda ... tetapi tangisan Kanda justeru semakin keras menimpali.
Tangisan mereka berdua semakin jadi, memecah dikeheningan malam.
Ayah tetap tidur seperti tak sedang terjadi apa apa.
Setelah tangis keduanya reda. 
Tidur kamu sana .. ajak Bunda kepada Kakanda.

Kakanda teringat akan pristiwa pilu itu. Ini terjadi ketika kami dalam pengungsian ... Kata Kakanda bercerita.  Ketika kami  dalam pengungsian, di Gubuk Sawah di Belitar, sekitar tuju kilometer dari rumah kediaman. Posisi gubuk juga jauh dari rumah penduduk lainnya

Dengan segala kehati hatian seorang famili memberitahukan bahwa rumah di Pagelaran Kebakaran. Kesokan harinya Ayahanda memeriksa sumah yang ditinggalkan untukengungsi itu habis rata dengan tanah. Betapa hatinya hancur melihat rumah yang didirikannya dengan segala susah payah terbakar tak bersisa. Ibunda mengira rumah itu dibakar Belanda, itulah sebabnya Ayah nampak pasrah. Kita harus bikin rumah lagi ... kata ayah pendek.

Pagi sore ... siang dan malam Ibunda menangis keras terdengar oleh semua tetangga.
Tak lagi para tetangga saling bertanya, semua terdiam, ... diam dan diam.Mereka berpikir mengapa Belanda hanya membakar satui rumah.

Ayahanda tak berkomentar atas musibah itu. Seolah mengiyakan Rumah di Bakar Belanda.
Beliau mulai bekerja merambah hutan menebang kayu, dan bambu, berhari hari, berbulan bulan dan bahkan bertahun baru mampu mendirikan rumah sederhana, setelah dua kali musim kopi dan panen padi, baru rumah itu berdiri dalam wujud rumah. yang sangat sederhana bila dibanding lingkungannya.

Ayahanda tak sibuk membuat cerita, apatah lagi prasangka ..diam. . Tak sepatah katapun.  Dia hanya bekerja untuk mewujudkan rumah baru yang layak huni bagi keluarganya. sepertinya beliau memerintahkan kepada Bunda dan keluarga lainnya untuk melupakan rumah yang terbakar itu. Anggap saja dibakar Belanda.

Bukan tak ada orang yang mencoba  bertanya ... , bahkan bukan tak ada orang mencoba menganalisa pristiwa ... , bahkan bukan tak ada orang memberitahu ... , bukan pula tak ada orang yang siap bersaksi, bahwa rumah itu bukan dibakar Belanda. tetapi dibakar oleh seseorang Tetapi selalu dijawab Ayah dengan  diam. Ayah tak punya musuh ...! Tetapi mengapa diusili orang  ?. Diskusi merebak di luar sana, tetapi tidak dengan Ayah, Beliau tak ingin terlibat dengan diskusi itu..

Pernah suatu hari, dikala hati Ayahanda dan keluarga dengan hati berbunga bunga, karena lima hari lagi padi di sawah akan segera dipanen. Di saat mata hari tepat diatas kepala Ayahanda beristirahat untuk bersujud menghadap yang kuasa, menunaikan kewajiban sholat Dzuhur, sawahpun ditinggal.

Seusai sholat terdengar suara gaduh seseorang menjerit jerit  memanggil  namanya diuma Ayahanda dengan suara yang kacau dan tak jelas maksudnya. Ternyata dua ekor kerbau seperti menari berputar putar di sawah, bukan hanya diulam kerbau, tetapi pohon padi rubuh terinjak tampa perasaan, dan sebagian padi yang menguning rata itu sebagian terendam ke dalam air yang niatnya akan dikeringkan sori ini.

Dengan sigap ayahanda menangkap tali kerbau itu, dan menariknya pulang diserahkan kepada pemiliknya. Sambil menghimbau kepada pemiliknya agar kerbaunya diurus, karena merusak pohon padi yang sebentar lagi siap dipanen, dan karena sebagian terendam air maka padi terancam rusak. Tetapi alih alih pemilik kerbau menyesal dan meminta maaf. Justeru pemilik kerbau tersinggung dan berkata kasar dan keras ...

Ketika Ayahanda meninggalkan si orang itu ... si orang itu masih saja menunjukkan kemarahannya dengan berbagai sumpah serapah bahkan menjurus kepada ancaman. Ayahanda tak menceritakan hal ini kepada Ibunda, tetapi Ibunda justeru mengetahui apa yang diucapak si orang itu dari orang lain. Karena justeru orang itu yang mengumbar kata makin dan bahkan ancaman atau setidaknya kebencian  kepada ayahanda, sehingga rasa benci kepada Ayahanda itu menjadi rahasia umum, dan itu sampai juga ke Ibunda melalui orang lain.

Tentu saja rumah kami dibakar dan diissuekan dibakar Belanda, orang orang tak percaya, bagaimana mungkin Belanda membakar rumah yang cukup berjarak dari jalan raya dan harus melintasi rumah lain sebeluimnya, dan juga rumah dikanan kirinya masih utuh. Maka tudingan masyarakat Kampung serta sanak famili tak lain adalah si orang itu. Tapi Ayahanda kekeh tak ingin menggubris analisa orang. Baginya membangun kembali rumah yang terbakar itu jauh lebih penting.

Karena Ayahanda diam, kita tak paham mengapa dia segera melupakan rumahnya yang dibakar orang itu, apakah lantaran yang dihadapinya adalah pengusaha tingkat desa atau lurah ?. Ya .... si orang itu memang jabatannya lurah, ketika aku kecil nampaknya dia bukan lurah lagi, tetapi disebutnya Pak Dongkol, aku sendiri belum pernah berjunpa beliau. Yang aku ingat hanya rumahnya, rumah Pak Dongkol itu yang aku tahu, ada beberapaanaknya Laki laki dan Perempuan. Rumahnya besar, halamannya luas.

Lurah di manapun pada saat itu  yang kita tahu adalah raja raja kecil, mirip raja jawa, yang ucapannya adalah hukum 'Sabdo Pandito Ratu' Apakah karena itu maka Ayahanda tak mempersoalkan secera berkeadilan, jelas pada saat itu Ketatanegaraan belum tersusun seperti sekarang. Jangankan seorang lurah, dongkolpun sangat berwibawa. Biarkan, kalaupun benar dia yang membakar rumah itu maka maka biarkan Tuhan yang akan membalasnya.

Sejumlah pohon ditebang, untuk dijadikan kayu balok dan Kasau serta papan, puluhan pohon bambu ditebang untuk bahan pembuat dinding gribuk, kasau, reng dan lain sebagainya. Ternyata tak cukup setahun menyelesaikan rumah sederhana, apalagi ditengah kesibukan itu Ayahanda sempat jatuh sakit, dan pernah cukup menghawatirkan keluarga serta sanak famili. Cukup lama keluarga kami terpaksa menempati rumah yang tak layak huni. Rumah itu sendiri baru dituntaskan walaupum keadaan sederhana, dan bartu selesai dalam dua kali musim panenan.

Ayahanda tetap tak murka, tentang pembakaran rumah tak boleh jadi bara yang menghidupkan api keluarga, keluarga aman dan nyaman, sekalipun hidup dalam serba kekurangan sebagaimana masyarakat pada saat itu umumnya. tetapi terasa nyaman dan tenteram di bawah kepemimpinan Kepala keluarga yang tak gampang mengumbar kaata. 

Ketika hati keluarga terasa lapang, kini rumah tuntas sudah, masing masing anggota keluarga tidur di kamar masing masing secara nyaman. Di malam yang sepi hanya hanya suara jangkrik menjerit jerit, ditingkahi suara katak, sesekali lolongan anjing di kejauhan, memecah sunyi, terdengar rintihan tangis yang tertahan tahan ... suara tangisan itu adalah suara tangisan ibunda yang teringat betapa berat perjuangan ayahanda melindungi dan mendidik putra putrinya.

Sehari menjelang puasa Romadhon tahun ini, seorang laki laki tua, yang sejak tiga bulan yang lalu nampak bertubuh mulai membungkuk, berjalan dilangkah langkah kecil, sehingga sering tertinggal ketika jalan ke Masjid, semula bisa ditempuh hanya dalam waktyu lima menit, kini membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Lelaki itu adalah Pak Batin, ... semula saya terperanjat karena beliau tiba tiba menangis, mengapa ....? ternyata beliau teringat Ibunda yang pernah menangis di tengah malam buta, beliau sebenarnya bersyukur dengan telah selesainya rumah yang susah payah dibangun oleh Ayahanda.

Tetapi dalam waktu yang bersamaan beliau teringat dengan rumah yang dibakar oleh seorang yang sedang berkuasa, Ya .... ! Rumah yang dibakar oleh Mbah dongkol, tak jauh dari rumah kami. Masih terhitung tetangga. Tetapi Ia sedang berkuasa pada saat itu.
Ring ....  suara HP, diujubg sana Bambang meneleponku. Tadi Pak Cik menelpn saya ... Tanya Bambang.  Telepon itu juga yang ikut menghentikan tangisan Pak batin disaat itu.

                                      ####

Sebagai anak keturunan Mad Dani,maka laksanakanlah pesan Ayahanda, Kakek Kalian agar memaksakan diri untuk bersaing Tampa Dendan, dan kalaupun terpaksa berselisih, maka hindarilah rasa benci. Saidina Ali sahabat Rasul dahulu pernah berselisih dengan seorang Yahudi, Dahulu Saidina Ali pada saat Beliau menduduki jabatan Khalifah, pernah kehilangan baju perang, belakangan ketahuan bahwa baju itu ada di tangan seorang Yahudi, sehingga persidangan tak terhindarkan. 
Saidina Ali tahu betul baju perang itu miliknya, karena ada cacat akibat sabetan pedang, itu yang disampaikannya ketika hakim meminta beliau menguraikan bukti bukti kepemilikannya. Tetapi bukti itu dibantah oleh orang Yahudi itu, dia mengatakan bahwa bisa saja baju perang lainpun akan memiliki cacat yang sama setelah baju dipakai perang, hakim memenangkan si Orang Yahudi itu dan baju menjadi milik syah orang Yahudi itu. 
Dijalan pulang dari sidang Orang Yahudi itu mengaku bahwa benar dia telah mencuri baju itu dan sesungguhnya baju itu milik Saidina Ali. 
Walaupun baju itu benar milikku, tetapi dalam fakta sidang baju itu milik anda ...  
Jadi bagaimana dengan baju ini ... tanya si orang Yahudi.
Ya menjadi syah milik anda ... kata saidina Ali
Itu ketetapan sidang, kata Saina Ali menambahkan.

jadi  anda tak perlu penasaran dan tak perlu marah ...
Kalau memeng siorang itu yang membakar rumah kakek kalian, masalahnya dianggap selesai. Dalam situasi negara menghadapi Upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, tak mungkin diselenggarakan persidangan. Kalaupun dipaksakan sidang, maka persidangan awal justeru diselenggarakan oleh si orang itu sebagai penguasa di tingkat desa.

Kami kakak beradik di bawah asuhan Ibunda tetap bergaul dengan anak keturunan Mbah Dongkol hingga kami tak tahu mereka pada pindah ke mana.
Biarkan Allah yang membalasnya ...
Sepengatahuan kami anak anaknya sebagai anak orang kaya dan penguasa pada saat itu.
Mereka tak bersinar, tak ada cahaya dikeluarga itu sepeninggalan Mbah dongkol. .                 
.

2 comments: