Thursday, November 21, 2013

Berharap Sastra Lampung Menjadi Corong Kearifan Lokal Lampung




Fachruddin  *)

A.Prakata.

   1. Atas rekomendasi Udo Z.Karzi saya diminta oleh Panitia untuk menjadi narasumber pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komunitas Anak Bangsa, dengan audien terdiri dari mahasiswa dan pelajar, serta guru bahasa Lampung dan umum, dengan catatan bahwa ukuran pembicaraan ditujukan kepada mahasiswa, dan yang lainnya diharapkan dapat menyesuaikan. Kearifan lokal masing masing daerah menjadi marak dibicarakan setelah pembangunan ekonomi yang selama ini kita laksanakan dengan mengacu kepada negara negara yang kita anggap berhasil dalam membangu eknomi bangsanya nyaris dapat kita katakan gagal. Angka angka kemiskinan muncul secara signifikan yang lalu biasanya disambut dengan debat debat kusir. Tetapi yang jelas bahwa setelah sekian lama kita membangun  maka kesejahteraan masih jauh dari harapan.
2.       Di awal awal pelaksanaan Pembangunan Lima Tahum (Pelita) sebagai program unggulan era Ordebaru (Orba) memang berbagai pihak telah menganjurkan agar pembangunan hendaknya berdasarkan atas budaya Indonesia, manakala tidak maka hasil pembangunanpun akan berimplikasi tercerabutnya hasil pembangunan itu dari akar budaya bangsa. Lalu tentu saja adalah kekhawatiran tergerusnya karakter bangsapun terjadi justeru sebagai akibat langsung pelaksanaan pembangunan yang kita biayai dengan harga yang demikian mahal itu.
3.       Akhirnya Pemerintah juga melirik pembangunan ekonomi kreatif, sehingga perekonomian itu tergali dari potensi lingkungan masing masing, seperti kehidupan disediakala, pembangunan ekonomi berdasarkan potensi dan kekayaan alam masing masing lingkungan yang tergali berdasarkan genius lokal, lokal wisdom atau kearifan tradisional masig masing.
4.       Membicarakan kearifan tradisional daerah banyak pihak yang tak menyukainya, oleh karenanya maka diharapkan kita dapat bicara panjang lebar tentang kearifan lokal, melalui seni sastra baik lisan maupun tulisan, dengan menggunakan bahasa seni, maka itu diharapkan akan lebih komunikatif, karena bahasa seni adalah bahasa yang sangat universal, jalinan komunikasi akan sangat mudah manakala dilaksanakan dengan bahasa seni, karena bahasa seni sangatlah universal-nya.

B. Apakah Kearifan Lokal Itu.

Sejatinya kesepakatan tentang apa itu kearifan lokal Lampung hingga kini belumlah sepaham benar, secara berani saya telah mengajukan bahwa kearifan lokal Lampung tidak lain adalah piil pesenggiri, namun sejauh itu belumlah ada respon yang meyakinkan tentang apa yang telah saya ajukan itu. Tetapi berikut ini saya akan mengajukan kreteria apa yang disebut kearifan lokal. Ada beberapa ciri ciri kearifan lokal, yaitu :
(1) memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain,
(2) memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar,
(3) memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya lokal,
(4) memiliki kemampuan untuk mengendalikan, dan
(5) memiliki kemampuan untuk memberikan arahan dalam perkembangannya.
Berdasarkan ciri ciri itu saya memberanikan diri untuk mengajukan piil pesenggiri sebagai kearifan lokal Lampung. selain tidak ada yang mendukung, nampaknya juga tidak pula ada yang menyanggahnya, maka saya perlu merekomendasikannya berulang ulang.

C. Menakar Piil Pesenggiri Sebagai kearifan Lokal Lampung.

Piil pesenggiri sepertinya tak terpisahkan dari prinsip hidup masyarakat Lampung dari era yang satu ke era yang lain. Kalau boleh ditetapkan periodeisasinya adalah terdiri dari pra Islam, masa Islam dan era modern. Pada era modern ini ternyata tetap saja piil pesenggiri menarik untuk dibicarakan, dan komunitas yang cukup luas tetap mendukungnya.

Dahulu masyarakat adat budaya Lampung hanya memiliki ‘piil’ belaka (tampa pesenggiri) dengan unsur : Laki laki piilnya perempuan, perempuan pillnya harta, perhiasan dan makanan. Anak perempuan piilnya kelakuan dan anak laki laki piilnya adalah perkataan.Kaidah ini mampu bertahan dalam waktu yang tidak sebentar. Dengan masuknya agama Islam dan terjadi kontak budaya dengan masyarakat Banten, sebagai penyebar agama Islam di Lampung, maka piilpun berubah atau tepatnya ditambah menjadi “Piil Pesenggiri”. Ada kata “pesenggiri” berhasil ditambahkan. Dan unsurnyapun berubah menjadi Nemui nyimah. Nengah Nyappur, sakai sambaian dan Juluk Adek.

Kata pesenggiri yang berarti persaingan sepakat untuk ditambahkan dengan mengacu kepada ajaran Islam, yaitu fastabiqul khairoot (berlomba melakukan kebaikan). Masyarakat adat dan budaya Lampung berhasil mempertahankan piil, namun juga mampu mengakomodir pesenggiri, dan bahkan mengintegrasikannya. Seperti disebutkan terdahulu bahwa ciri genius lokal adalah memiliki kemampuan mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai budaya lain ke dalam budaya lokal.

Nilai nilai piil pesenggiri demikian islami, adalah hasil integrasi yang dilakukan oleh kelompok intelektual masyarakat budaya Lampung pada saat itu. Menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, dan meningkatkan kualitas diri yang itu semua merupakan ajaran Islam, yanag sarat mewarnai piil pesenggiri. Ini merupakan bukti bahwa piil pesenggiri telah mampu mengintegrasikan nilai nilai luar ke dalam nilai yang selama ini mereka anut.

Nemui nyimah sebagai unsur piil pesenggiri terdiri dari dua kata, nemui yang berasal dari kata temui yang artinya tamu, dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Seseorang baru diakui eksistensinya manakala ia mampu menjadi tamu atau tuan rumah penerima tamu, dan dalam posisi apapunia mampu menjadi pihak yang santun. Untuk menuju santun maka seseorang dituntut produktif.

Nengah nyappur terdiri dari dua kata. Nengah memiliki tiga arti yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Dan kata nyappur yang artinya toleransi. Kerja keras, berketerampilan dan bertanding jelas bernuansa persaingan, walaupun untuk memberikan yang terbaik, namun tidak kehilangan nuansa kompetisi.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai atau kakkai, yang artinya terbuka. Dan kata sambai yang artinya lihat, teliti dan selidik. Setelah mampu berproduksi dan juga mampu berkompetisi, maka seseorang diharapkan terbuka untuk mnerima masukan masukan, tetapi dalam waktu bersamaan, juga siap memberikan masukan. Intinya adalah kooperatif.

Juluk – Adek. Terdiri dari dua kata, yaitu juluk adalah nama baru yang diberika kepada seseorang yang telah mampu merumuskan cita citanya, sedangkan adek atau adok adalah nama baru yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil mencapai cita cita itu. Setiap seseorang diarahkan agar selalu mencapai prestasi baru dalam hidupnya. Setelah seseorang itu mampu produktif, lalu mampu kompetitif serta mahir untuk kooperatif, maka saatnya seseorang harus inivatif.

Unsur dan pengertian dari piil pesenggiri itu sendiri ternyata sangat sejalan dengan batasan dan ciri dari genius loka, lokal wisdom atau kearifan lokal. Karena piil pesenggiri adalah sebuah nilai yang tidak statis, piil pesenggiri memiliki kemampuan . untuk akomodatif dan integrative. Hingga sekarangpun sebenarnya masyarakat Lampung masih demikian terikatnya dengan piil pesenggiri. Sayang dengan munculnya regulasi yang justeru melemahkan keberadaan lembaga adat, mengakibatkan piil pesenggiri mulai semakin kurang pamiliar. Namun demikian karakter piil pesenggiri tetap terpatri pada pendukukungnya.

Sebagai system nilai piil pesenggiri bukan diajarkan secara akademis kepada pendukungnya, tetapi harus dikembangkan. Piil pesenggiri selain berkembang pada pribadi pribadi, juga dikembangkan melalui kontak budaya. Kelompok intelektual pendukung dan pelaku budaya sangat dibutuhkan dalam terjadinya kontak budaya, sehingga nilai nilai ini menjadi berkembang. Kelompok intelektuallah yang akan dengan lincah dan diaksep oleh pendukung dalam proses akomodasi serta integrasi nilai nilai luar, dalam rangka melakukan berbagai pengembangan dan “perubahan” (dalam tanda petik).

Kelompokm intelektual yang akan diaksep oleh komunitas pendukung dan pelaku budaya, adalah kelompok intelektual yang memiliki ikatan kekerabatan dalam arti luas, yang selama ini memang mereka kenal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas tersebut. Di sini harus kita bedakan kelompok intelektual dengan akademisi, karena kelompok intelektual yang dimaksud adalah bagian dari komunitas tersebut yang memiliki wawasan kedepan, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan piil pesenggiri itu baik kedalam maupun keluar.

D. Membutuhkan Bahasa Seni.

Bahasa Seni adalah bahasa yang paling komunikatif dan mampu menjalin lintas nilai, oleh karenanya maka nilai nilai yang terkandung dalam falsafah piil pesenggiri akan lebih mudah diaksep manakala diperkenalkan melalui bahasa seni, apakah dalam bentuk sastra (bahasa), termasuk syair lagu, dan dapat juga melalui seni lainnya. Kita berharap agar kepada pegiat seni ‘sastra’ Lampung dalam penciptaan seninya hendaknya memiliki komitmen yang kokoh dengan nilai nilai piil pesenggiri dalam suasana ke’Lampung-an’ sekenatal mungkin.

Kita harus belajar banyak dari kasus pelajaran bahasa Lampung yang justeru berubaah menjadi aksara Lampung, dan lebih celaka lagi adalah yang dipelajari adalah bahasa Indonesia yang ditulis dengan aksara Lampung, sehingga pelajaran ini menjadi kering, dan nyaris tampa beban pesan moral  ke’Lampung’-an, sehingga mata pelajaran ini kehilangan karakternya. Karakter kelampungan akan hilang dengan didahului hilangnya suasana ke-‘Lampung’-an. Manakala suatu karya seni Lampung baik sastra maupun seni lainnya sunyi dari suasana ke-‘Lampung’-an maka pada akhirnya karya itu akan kehilangan karakter ke-Lampung’-annya.

Mata pelajaran ini akan mampu mempertahankan karakternya manakala mampu mengusung nilai nilai piil pesenggiri, dan dengan menggunakan bahasa Lampung. Piil pesenggiri itu sendiri akan lebih mudah dijelaskan manakala menggunakan bahasa Lampung, dan dengan menggunakan bahasa Lampung berarti kita sedang mempertahankan suasana ke-‘Lampung’-an dan dengan demikian maka berarti kita akan tetap mempertahankan karakter ke-‘Lampung’-an kita.  

Demikian besarnya peran bahasa Lampung dalam mempertahankan dan memperkenalkan kearifan lokal. Memang banyaknya cabang cabang bahasa lampung, sehingga kita akan mengalami keslitan dalam mempelajarinya. Demikian juga jumlah penutur bahasa Lampung yang semakin sedikit, sehingga belajar bahasa dan sastra Lampung semakin dituntut keseriusan. Dan kita membutuh alat hantar. Artinya untuk bahasa bahasa yang masih terasa asing bisa dihantar oleh alat alat musik dan lain sebagainya, yang tentu saja dengan alat musik itupun sejatinya adalah mengusung nilai nilai yang terkandung dalam falsafah piil pesenggiri yang kita yakini sebagai kearifan lokal masyaakat Lampung.
Korelasi ini dapat kita lihat dari kasus tabuh gamol pering atau ‘cetik’. Tabuhan cetik tak akan kita pahami manakala kita tidak memahami wayakan orang Lampung Barat, orang tak akan begitusaja dapat menikmatai dan komunikatif dalam alunan cetik. Wayakan orang lampung Barat yang paling pulgar adalah ‘negahhedo’ wayakan ini disampaikan seseorang menjelang kepergiannya meninggalkan teman teman sepermainan kehidupan baru ‘mertudau’.
D. Belajar Kepada Karya Terjemahan.

Naskah Lampung itu sulit untuk diterjemahkan, sesulit itu pula mengalihbahasakan ke dalam bahasa Lampung, seperti seolah olah kita memiliki sisiologi yang berbeda. Coba saja anda menterjemahkan karya puisi yang mashur ke dalam bahasa Lampung, maka kitapun terncam kehilangan segalanya. Baik sosiologis maupun psikologis yang terkandung dalam naskah asli akan serta merta hilang, sementara sosiologi dan psikologi ke-‘Lampung’-an juga belum masuk. Ceritakanlah tentang tokoh yang sangat populer di Lampung Barat dan beberapa daerah lainnya seperti Mamak kenut Umpamanya, manakala kita ceritakan dengan bahasa Indonesia maka kita akan kehilangan separuh lebih dari sosiologi dan psikologi ke-‘Lampung’-an

Sosiologi, psikologi, geografis, politis, hystoris dan filosofis hendaknya menjadi pertimbangan dalam membuat karya tulis. Maksudnya memang nuansa ke-‘Lampung’-an itu bisa tercipta dari suasana sosiologis dan psikologis Lampung, manakala itu sulit maka dapat dikaitkan secara geografis, kalaupun itu masih sulit maka dapat dilakukan dengan cara mengkaitkannya secara hystoris dan politis. Walaupun hasilnya hanya sedikit sekali kita mendapatkan nusnsa ke-‘Lampung’-an itu, suasana ke-‘Lampung’-an itu akan kira dapatkan secara optimal ketika kita memasukkan unsur filosofis. Manakala kita mampu memasukkan sebanyak mungkin unsur itu maka karakter ke-‘Lampung’-an akan kita hasilkan secara maksimal.

E. Berharap kepada Karya sastra.

Namun walaupun bagaimana,  untuk mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal Lampung, kita sangat berharap kepada karya seni sastra daerah Lampung, seni satra Lampunglah yang mampu menjadi corong piil pesenggiri,  diantaranya yang paling produktif dan menyasar kepada publik secara langsung adalah karya sastra, kita berharap karya sastra akan semakin produktif.
Sedikitnya seni sastra yang tercipta maka berarti sedikit sekali harapan kita untuk mempertahanklan dan mengembangkan kearifan lokal kita itu, kita berharap agar harus selalu mengeksploitir nuansa dan suasana ke-‘Lampung’-an seoptimal mungkin. Karena dengan mempertahankan dan mengembangkan suasana dan nuansa ke-'Lampung'-an itu maka berarti kearifan lokal akan tetap eks'is. Dan karakter ke-'Lampung';an tetap bertahan.

Oleh karenanya maka selain itu kita juga barharap agar karya tulis seni apapun yang ingin mengeksploitir ke-‘Lampung’-an dan apalagi mengatas namakan seni Lampung hendaklah juga  mengedepankan filosofi Lampung, tampa memasukkan unsur filosofi Lampung serta unsur unsur lainnya seperti tersebut diatas, maka hasilnya adalah kegagalan mempertahankan karakter ke-‘Lampung’-an.

Ada gejala karya seni Lampung pada saatnya nanti akan kehilangan karakter ke-'Lampung'-annya. karakter ke - Lampung'-an akan tetap bertahta manakala karya seni itu masih terkait dengan sosiologi, psikologi, geografi, politik, bahasa dan filosofi Lampung. Ini tidak boleh ditinggalkan. Bagaimana cara kita mempertahankan nuansa  dan suasa ke-"Lampung'-an sebaiknya kita belajar kepada ki dalang, ketika Ia harus menyamopaikan suluk ke dalam bahasa Indonesia (lihat tulisan saya yang lain). Kita tidak boleh membiarkan para penyulis seni sastra Lampung teledor dalam hal ini. Mereka harus sadar bahwa dipun dak mereka harapan besar ini kita bebankan.
Manakala hal ini kita biarkan keteledoran itu berlanjut terus, maka karya seni itu akan menjadi kering karena akan terjauh dari nuansa ke-‘Lampung’-an yang sedang dikhidmatinya. Ini menjadi sangat perlu kita renungkan karena corong piil pesenggiri selaku genius lokal atau lokal wisdom, atau kearifan lokal Lampung kita harapkan kepada kenulis karya seni sasra sebagai peniupnya.
Manajala kita berhasil memasarkan atau mengaktualisasi piil pesenggiri seperti apa yang saya uraikan di atas, maka pada saatnya kita berharap bahwa akar rumput yang selama ini kurang mampu menikmati hasil pembangunan ekonomi pada khususnya, akan memiliki kemampuan mengakses hasuil pembangunan dengan bermodalkan semangat produktif, kompetetitif, kooperatif dan inovatif seperti apa yang diajarkan oleh piil pesenggiri sebagai falsafah masyarakat lampung, dan sekaligus sebagai kearifan lokal Lampung. semoga.

                                                             Bandar Lampung, Medio  November 2013
)* Fachruddin, Pensiunan PNS Blogger

Penulis telah membenahi beberapa kesalahan dan kekurangan dalam pengetikan, namun tidak merubah isi dari apa yang disampaikan dalam acara diskusi publik beberapa hari yang lalu. terima kasih. 

No comments:

Post a Comment