Jakarta, Kompas - Meski sebagian komunitas masyarakat Indonesia memiliki kearifan ”lokal” dalam menghadapi bencana di daerahnya, itu tidak perlu dilebih-lebihkan. Selain kearifan, sebagian besar masyarakat justru memiliki banyak sisi ketidaktahuan dan kekurangtahuan memahami bencana.
Hal itu diungkapkan dosen antropologi Universitas Indonesia, Iwan Tjitradjaja, di Jakarta, Minggu (21/11). Kearifan lokal mengemuka sebagai respons atas arogansi pembuat kebijakan dan penyelenggara pembangunan yang menjadikan masyarakat pedesaan atau pedalaman sebagai obyek dan dianggap bodoh.
”Walau sebagian masyarakat memiliki pengetahuan tentang lingkungan mereka, justru lebih banyak yang tidak tahu atau kurang tahu,” katanya.
Kini, kearifan itu juga menghadapi tantangan akibat kondisi lingkungan yang berubah cepat. Perusakan lingkungan oleh kekuatan di luar masyarakat setempat membuat sejumlah indikasi, pengamatan, dan pemahaman warga tentang tanda-tanda bencana turut berubah. Perubahan itu terjadi tanpa disadari oleh masyarakat.
Selain itu, menurut Iwan, dengan masuknya pengaruh pasar yang mengedepankan sikap pragmatis materialistik, pandangan dan perilaku masyarakat turut berubah. Akibatnya, keputusan yang diambil masyarakat banyak yang tidak didasarkan pada nilai kearifan yang dibangun selama ini, tetapi berdasarkan kebutuhan sesaat yang tanpa disadari turut mendorong parahnya kerusakan lingkungan.
Untuk mengatasi ketidaktahuan dan kekurangtahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, Iwan mengusulkan, pemerintah, masyarakat, dan akademisi membantu membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan memberikan pendidikan yang melibatkan masyarakat—mereka jangan jadi obyek. ”Program pendidikan sadar bencana ini tidak bisa dilakukan secara ad hoc, tetapi harus secara terus-menerus,” ujarnya.
Secara terpisah, dosen antropologi Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, meski banyak bencana menimpa Indonesia, sebagian besar masyarakat masih sulit mengambil pelajaran dari bencana yang terjadi. Setiap bencana seharusnya melahirkan pembelajaran agar tidak terulang pada persoalan yang sama saat bencana lain datang.
Dalam menghadapi bencana orang berpikir secara parsial akibat terpukau citra kemajuan materiil duniawi. Kondisi ini sulit melahirkan kearifan, termasuk dalam menghadapi bencana, karena kearifan diawali dari proses pemikiran komprehensif, bukan pemikiran bersifat sektoral.
”Ketika alam menantang masyarakat untuk berubah drastis (akibat bencana), banyak masyarakat yang kagok karena tak terbiasa,” katanya. Jika ingin membangun masyarakat sadar bencana, pemikiran setiap orang yang mengalami bencana harus diapresiasi sebagai bentuk kearifan memahami bencana. Berbagai pemikiran itu direfleksikan untuk membangun sistem penanganan bencana yang teroganisasi. Setiap perbedaan pandangan perlu dihargai, jangan dimaknai sebagai perlawanan.
Laksono mengatakan, keinginan pemerintah membangun pusat riset, pendidikan, serta pelatihan pengurangan risiko dan penanganan bencana di sejumlah daerah rawan bencana dengan mengadopsi pola di Jepang hendaknya bukan retorika. Ketersediaan sumber daya manusia, sistem informasi, dan keterbukaan akses informasi perlu dipikirkan dan disiapkan matang.
Penelitian soal kebencanaan banyak dilakukan mahasiswa dan peneliti Indonesia. Namun, belum ada yang menyatukan pemikiran-pemikiran yang terpecah itu. ”Jika perguruan tinggi mampu menyatukan berbagai kajian kebencanaan secara komprehensif hingga melahirkan pengetahuan baru yang menghubungkan hidup masyarakat dengan bencana, dunia internasional akan banyak belajar dari Indonesia,” ujarnya. (MZW)
Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010
Wednesday, November 24, 2010
KEARIFAN LOKAL LAMPUNG ADALAH PIIL PESENGGIRI
Kearifan lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk didalami, berkenaan dengan rencana Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa dan ekonomi kreatip. Masing masing daerah memiliki kerifan lokal. Letak geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah melahirkan kearifan lokal yang berkembang didaerah tersebut..
Demikian juga halnya dengan daerah Lampung, akibat letak geografis dan perjalanan sejarah politik masa lalu serta kontak kontak budaya yang selama itu terjadi, telah melahirkan genius lokal yang telah berhasil menghantar masyarakat Lampung ke era sekarang. Genius lokal atau kearifan lokal adalah merupakan sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama.
Ciri Kearifan Lokal.
Ada beberapa ciri ciri kearifan lokal, yaitu : (1) memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain, (2) memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar, (3) memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya lokal, (4) memiliki kemampuan untuk mengendalikan, dan (5) memiliki kemampuan untuk memberikan arahan dalam perkembangannya. Ditinjau dari kelima ciri tersebut maka piil pesenggiri pantas untuk disebut sebagai genius lokal, lokal wisdom atau kearifan lokal.
Menakar Piil Pesenggiri.
Piil pesenggiri sepertinya tak terpisahkan dari prinsip hidup masyarakat Lampung dari era yang satu ke era yang lain. Kalau boleh ditetapkan periodeisasinya adalah terdiri dari pra Islam, masa Islam dan era modern. Pada era modern ini ternyata tetap saja piil pesenggiri menarik untuk dibicarakan, dan komunitas yang cukup luas tetap mendukungnya.
Dahulu masyarakat adat budaya Lampung hanya memiliki ‘piil’ belaka (tampa pesenggiri) dengan unsur : Laki laki piilnya perempuan, perempuan pillnya harta, perhiasan dan makanan. Anak perempuan piilnya kelakuan dan anak laki laki piilnya adalah perkataan.Kaidah ini mampu bertahan dalam waktu yang tidak sebentar. Dengan masuknya agama Islam dan terjadi kontak budaya dengan masyarakat Banten, sebagai penyebar agama Islam di Lampung, maka piilpun berubah atau tepatnya ditambah menjadi “Piil Pesenggiri”. Ada kata “pesenggiri” berhasil ditambahkan. Dan unsurnyapun berubah menjadi Nemui nyimah. Nengah Nyappur, sakai sambaian dan Juluk Adek.
Kata pesenggiri yang berarti persaingan sepakat untuk ditambahkan dengan mengacu kepada ajaran Islam, yaitu fastabiqul khairoot (berlomba melakukan kebaikan). Masyarakat adat dan budaya Lampung berhasil mempertahankan piil, namun juga mampu mengakomodir pesenggiri, dan bahkan mengintegrasikannya. Seperti disebutkan terdahulu bahwa ciri genius lokal adalah memiliki kemampuan mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai budaya lain ke dalam budaya lokal.
Nilai nilai piil pesenggiri demikian islami, adalah hasil integrasi yang dilakukan oleh kelompok intelektual masyarakat budaya Lampung pada saat itu. Menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, dan meningkatkan kualitas diri yang itu semua merupakan ajaran Islam, yanag sarat mewarnai piil pesenggiri. Ini merupakan bukti bahwa piil pesenggiri telah mampu mengintegrasikan nilai nilai luar ke dalam nilai yang selama ini mereka anut.
Nemui nyimah sebagai unsur piil pesenggiri terdiri dari dua kata, nemui yang berasal dari kata temui yang artinya tamu, dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Seseorang baru diakui eksistensinya manakala ia mampu menjadi tamu atau tuan rumah penerima tamu, dan dalam posisi apapunia mampu menjadi pihak yang santun. Untuk menuju santun maka seseorang dituntut produktif.
Nengah nyappur terdiri dari dua kata. Nengah memiliki tiga arti yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Dan kata nyappur yang artinya toleransi. Kerja keras, berketerampilan dan bertanding jelas bernuansa persaingan, walaupun untuk memberikan yang terbaik, namun tidak kehilangan nuansa kompetisi.
Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai atau kakkai, yang artinya terbuka. Dan kata sambai yang artinya lihat, teliti dan selidik. Setelah mampu berproduksi dan juga mampu berkompetisi, maka seseorang diharapkan terbuka untuk mnerima masukan masukan, tetapi dalam waktu bersamaan, juga siap memberikan masukan. Intinya adalah kooperatif.
Juluk – Adek. Terdiri dari dua kata, yaitu juluk adalah nama baru yang diberika kepada seseorang yang telah mampu merumuskan cita citanya, sedangkan adek atau adok adalah nama baru yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil mencapai cita cita itu. Setiap seseorang diarahkan agar selalu mencapai prestasi baru dalam hidupnya. Setelah seseorang itu mampu produktif, lalu mampu kompetitif serta mahir untuk kooperatif, maka saatnya seseorang harus inivatif.
Unsur dan pengertian dari piil pesenggiri itu sendiri ternyata sangat sejalan dengan batasan dan ciri dari genius loka, lokal wisdom atau kearifan lokal. Karena piil pesenggiri adalah sebuah nilai yang tidak statis, piil pesenggiri memiliki kemampuan . untuk akomodatif dan integrative. Hingga sekarangpun sebenarnya masyarakat Lampung masih demikian terikatnya dengan piil pesenggiri. Sayang dengan munculnya regulasi yang justeru melemahkan keberadaan lembaga adat, mengakibatkan piil pesenggiri mulai semakin kurang pamiliar. Namun demikian karakter piil pesenggiri tetap terpatri pada pendukukungnya.
Sebagai system nilai piil pesenggiri bukan diajarkan secara akademis kepada pendukungnya, tetapi harus dikembangkan. Piil pesenggiri selain berkembang pada pribadi pribadi, juga dikembangkan melalui kontak budaya. Kelompok intelektual pendukung dan pelaku budaya sangat dibutuhkan dalam terjadinya kontak budaya, sehingga nilai nilai ini menjadi berkembang. Kelompok intelektuallah yang akan dengan lincah dan diaksep oleh pendukung dalam proses akomodasi serta integrasi nilai nilai luar, dalam rangka melakukan berbagai pengembangan dan “perubahan” (dalam tanda petik).
Kelompokm intelektual yang akan diaksep oleh komunitas pendukung dan pelaku budaya, adalah kelompok intelektual yang memiliki ikatan kekerabatan dalam arti luas, yang selama ini memang mereka kenal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas tersebut. Di sini harus kita bedakan kelompok intelektual dengan akademisi, karena kelompok intelektual yang dimaksud adalah bagian dari komunitas tersebut yang memiliki wawasan kedepan, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan piil pesenggiri itu baik kedalam maupun keluar.
Subscribe to:
Posts (Atom)