Saturday, January 21, 2012

MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN DI KABUPATEN BREBES

Dhanang Respati Puguh
Sejarawan

A. Pendahuluan

Sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998 “masyarakat madani” menjadi wacana yang selalu aktual untuk dibicarakan sampai sekarang. Hal ini setidaknya tercermin dari tema sarasehan dalam rangka peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes. Pemilihan tema sarasehan itu bukan tanpa alasan, melainkan penuh dengan pertimbangan, karena berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes 2005-2025, telah dicanangkan visi pembangunannya, yaitu: “Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera”. Dengan demikian, peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes dijadikan sebagai momentum untuk memikirkan dan mewujudkan suatu kondisi yang dicita-citakan oleh masyarakat Brebes itu.

“Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera” sebagai sebuah cita-cita tentunya bukanlah slogan atau label yang tanpa makna. Cita-cita itu merupakan harapan masyarakat Brebes yang untuk mewujudkannya diperlukan langkah-langkah nyata; salah satu di antaranya adalah membangun masyarakat madani dengan memanfaatkan kearifan lokal. Tulisan ini akan membahas permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu, ada dua konsep yang perlu mendapatkan pembahasan yaitu masyarakat madani dan kearifan lokal. Untuk mendapatkan kesamaan pemahaman dan keruntutan pembahasan, tulisan ini diawali dengan pengertian dan karakteristik masyarakat madani, yang dilanjutkan dengan signifikansi kearifan lokal dalam pembangunan masyarakat madani, dan diakhiri dengan upaya-upaya membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal dengan rujukan khusus di Kabupaten Brebes.



B. Masyarakat Madani: Pengertian dan Karakteristik



1. Beberapa Pengertian

Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga filosof kontemporer dari Malaysia (“Masyarakat Madani…”), serta pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim.

Anwar Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis. Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008).

Komaruddin Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia, istilah “masyarakat madani” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya, yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.

Menurut Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008).

Sementara itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008).



2. Karakteristik

Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai berikut.



1. Ruang Publik yang Bebas

Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.





2. Demokratis

Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.



3. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.



4. Pluralisme dan Multikulturalisme

Pluralisme menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat lain. Sikap itu dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga Ahimsa-Putra, 2009: 2-4).



5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial

Karakteristik ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…); “Masyarakat Madani…”).



C. Signifikansi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani

Kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka (“Memberdayakan Kearifan Lokal…”). Bertolak dari definisi itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).

Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah[3]) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5).

Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109).

Apa arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas, cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system), dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut.

1. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata pencaharian, dan integrasi sosial.

2. Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa, dan tepa salira.

3. Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain.

4. Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial.

5. Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan kehidupan (Sedyawati, 2008: 280).



D. Upaya-upaya Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal

Kabupaten Brebes melalui Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes 2005-2009 telah menetapkan beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah.

Pencapaian visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa “masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermoral, beretika berdasarkan Pancasila, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani di Kabupaten Brebes? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai oleh masyarakatnya (Brebes), namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383). Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes.



1. Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal

Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui pengkajian terhadap cerita rakyat Brebes dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap-sikap antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat (Bupati Brebes Tumenggung Puspanegara); nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji (Patih Sampun Desa Klampok); nilai kepemimpinan (bupati) yang peduli pada daerah dan rakyatnya (Kedunguter); nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan (Dat-Dut di Blengketan Wangandalem), nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih (Mbok Dasmi di Pebatan) (Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988 passim.) Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat.



2. Pengetahuan Budaya Lokal sebagai Muatan Lokal

Sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani di Kabupaten Brebes dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di Kabupaten Brebes. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural system) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional (Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani.





3. Forum Komunikasi Pemikiran Budaya

Pemerintah Kabupaten Brebes tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang berkembang di masyarakat Brebes, seperti budaya (lokal) yang menghambat terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7).



4. Festival Budaya Lokal

Unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.



Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat (Brebes). Kesadaran dan ketahanan kultural menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani yang berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes.



E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat madani berbasis kearifan lokal di Kabupaten Brebes memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat Brebes. Selamat merayakan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes. Semoga dapat mewujudkan visi Brebes yang Madani, Maju, dan Sejahtera. Amein. Matur Nuwun.










DAFTAR PUSTAKA



Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. “Dari Plural ke Multikultural: Tafsir Antropologi atas Budaya Masyarakat Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Multikulturalisme dalam Pembangunan di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Yogyakarta pada 12 Agustus 2009.

Blum, Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.



Hidayat, Mansur. 2008. “Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani: Telaah Teoritik-Historis”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/ORMAS+KEAGAMAAN+DALAM+PEMBERDAYAAN+POLITIK+MASYARAKAT+MADANI.pdf (dikunjungi 31 Desember 2009).

Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.

Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988. Panitia Hari Jadi Kabupaten Brebes.

“Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama di Indonesia” http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/ (Dikunjungi 31 Desember 2009).

Mawardi J., M.. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Madani”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/strategi+pengembangan+masyarakat+madani.pdf (31 Desember 2009).

“Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil”, http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=328 (dikun-jungi 11 Januari 2010).

Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes Tahun 2005-2005.

Sanaky, Hujair AH, Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis)”, http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI.pdf (31 Desember 2009).

Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

[1]Makalah Disampaikan dalam Sarasehan Peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes Tahun 2010 di Pendapa Kabupaten Brebes, 13 Januari 2010, dan sebagian telah diterbitkan dengan judul “Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal”, Radar Tegal, 13 Januari 2010.

[2]Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Sekretaris Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Komunikasi dan korespondensi dapat dilakukan melalui HP dengan nomor: 081390794224 dan email: dhanang_puguh@yahoo.com.

[3]Edi Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena kata “daerah” mengesankan lawan dari “pusat”. Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya nasional tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif.