Sunday, May 9, 2010

KEINDAHAN “FILOSOFI TITI GEMETI”


Kekayaan falsafah Lampung yang juga diketemukan oleh Rizani Puspawijaya, ketika beliau menyusun skripsi hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 1966 yang lalu, salah satunya adalah filosofi titi gemeti atau “titey gemetey” (dua dialek ini kita anggap sama). Nampaknya lebih lanjut Hilman Hadikusuma Guru Besar Hukum adat Unila dalam berbagai uraiannya tentang piil pesenggiri sering tidak memasukkan titi gemeti ini ke dalam falsafah piil pesenggiri. Akibatnya titi gemeti kurang banyak dikenal masyarakat, karena banyak orang mengenal piil pesenggiri ini adalah melalui tulisan tulisan beliau. Dan diskusi dan polemik tentang titi gemeti, relative tak muncul.

Namun demikian dahulu Kanwil Depdikbud tidak pernah alpa untuk membahas dan memperkenalkan titi gemeti ini kepada para Penilik Kebudayaan, dalam rangka pembekalan kepada mereka yang bertindak sebagai ujung tombak untuk pembina budaya masyarakat Lampung. Juga seperti halnya ketika kami memperkenalkan piil pesenggiri kepada mereka, kami lebih menonjolkan makna filosofis dari titi gemeti, sehingga mereka lebih mudah memahami dan juga sekaligus berpeluang untuk merasa memiliki.

Titi gemeti adalah tata titi atau jamak dari titian. Dalam bahasa Lampung kata titi dapat diartikan jembatan dan tangga. Orang yang berlalu melalui jembatan disebut niti, dan juga menaiki atau menuruni tangga juga niti. Ada niti jambat (jembatan) dan ada juga niti jan (tangga). Maksudnya adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu posisi ke posisi yang lain. Orang meniti jambat adalah untuk berpindah dari posisi semula ke seberang atau sebaliknya. Orang meniti ijan atau jan, untuk berpindah dari atas ke bawah atau sebaliknya dari bawah ke atas. Titi gemeti adalah upaya untuk menjembatani sebuah gap yang terjadi secara terbatas ataupun luas.

Sebagaimana kita tahu bahwa setiap seseorang dalam mengarungi hidupnya akan dihadapkan kepada berbagai pilihan pilihan, pilihan pilihan tersebut akan mendatangkan konflik konflik, baik konflik secara terbatas maupun konflik yang neluas. Konflik konflik itu membutuhkan jalan keluar.

Nampaknya para tokoh adat dahulu secara arief telah memahami akan persoalan persoalan yang akan dihadapi oleh komunitas yang dipimpinnya. Mugkin kontak kontak antara Lampung-Palembang dan Lampung-Banten setidaknya, yang pada saat itu mereka rasakan semakin kerap, dan tentu saja kontak kontak semacam itu selain dirasakan besar manfaatnya, juga tidak tertutup kemungkinan akan menjadi ancaman. Besar dugaan kita ini pulalah yang melatar belakangi munculnya piil pesenggiri, dan juga terumuskannya titi gemeti.

Sungguh suatu pemikiran yang bijak, ternyata titi gemeti ini memiliki kandungan filosofi yang sangat indahnya. Sebuah filosofi yang mengharuskan seseorang untuk melakukan berbagai perubahan dalam hidupnya, karena inti dan tanda tanda hidup adalah perubahan. Dengan perubahan kita harus melakukan perjalanan (meniti), banyak titian (titi gemeti) yang harus ditapaki dalam hidup ini.

Setelah dengan piil pesenggiri yang mengajarkan agar seseorang (1) nemui nyimah atau produkltif, (2) nengah nyappur atau kompetitif, (3) sakai samabaian atau koperatif dan juluk adek atau inovatif. Maka seseorang harus pula titi gemeti. Harus memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan yang bukan hanya sekedar inovasi (juluk adek) tetapi adalah sebuah perubahan total dan bahkan perpindahan lokasi bila perlu. Itulah makna paling essensial dari titi gemeti.

Dorongan kepada masyarakat untuk melakukan perpindahan sebenarnya adalah sebuah sebuah konsep Islam, yang selama ini kita kenal dengan istilah hijrah. Dulu Nabi Muhammad dipersilakan untuk hijrah ke Madinah karna suasana di Makkah tidak lagi kondusif bagi Nabi Muhammad.

Dengan konsep titi gemati maka masyarakat Lampung nantinya diharapkan akan mampu melakukan pesebaran diseantero wilayah Lampung, hingga pada akhirnya seluruh wilayah akan terjelajahi dan semua potensi akan tergarap tentunya. Konsep pesebaran masyarakat pada saat itu patut kita duga akan berkaitan erat dengan upaya upaya mengantisipasi masuknya bangsa penjajah ke Lampung. Di mata para penjajah Lampung adalah alternatif, karena di Lampung sangat berpotensi untuk menghasilkan rempah rempah secara besar besaran,

Titi gemeti akan mendorong tersusunnya berbagai aturan, dan dipatuhinya berbagai aturan yang ada. Aturan aturan itu merupakan ejawantah dari falsafah piil pesenggiri. Tetapi sayang nampaknya dari sekian banyak naskah kuno yang berhasil diketemukan, baik dalam bentuk tambo, cepalo, keterem dan lain sebagainya. Maka produk produk masalah hukum di Lampung terbilang langka. Cuku

Ironi memang, masyarakat Lampung yang memiliki wilayah, memiliki bahasa, memiliki aksara dan memiliki pimpinan tetapi jarang meninggalkan naskah tertulis. Mungkin naskah dimaksud tak terpelihara, karena Lampung tidak memiliki lembaga kepemimpinan yang kuat, sehingga naskah naskah penting itu tercerai berai.

Namun demikian titi gemeti merupakan bukti penting akan adanya upaya menata masyarakat Lampung, sehinga menjadi masyarakat yang tertib dan teratur. Sehingga mampu mencapai kemakmuran, terlebih dengan pandangan falsafah piil pesenggiri yang terdiri dari nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (koperatif) dan juluk adek (inovatif) yang merupakan fondasi terbentuknya masyarakat yang egaliter.

Maka titi gemeti adalah merupakan pemungkas untu mengantisipasi terbentuknya masyarakat pluralisme dan multikultural. Titi gemeti merupakan antisipasi berbagai perbedaan dari masyarakat yang akan semakin majemuk, dan titi gemeti juga adalah antisipasi akan munculnya berbagai konflik yang akan sangat mungkin muncul dikalangan masyarakat yang majemuk dan egaliter, Adalah merupakan kewajiban kita bersama untuk mengadob titi gemeti sebagai sebuah kekayaan yang tidak ternilai, sekalipun terumuskan berabad yang lalu tetapi ternyata dapat dimanfaatkan pada era reformasi ini.

KOPERATIF DALAM PIIL PESENGGIRI (SAKAI SAMBAIAN)


Upaya Cirebo dan Banten untuk mendorong Lampung mendirikan Kesultana Islam atas restu Demak, memang membutuhkan karakter masyarakat koperatif atas sesama. Sikap koperatif ini merupakan modal dasar untuk terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih kondusif. Sebagai daerah yang akan dijadikan Kesultanan yang akan mengatur pemerintahan tersendiri sangat membutuhkan suasana yang kondusif itu.

Apalagi niat pembentukan Kesultanan Islam di Lampung adalah untuk mengantisipasi masuknya bangsa penjajah, Portugal, Inggris atau Belanda yang nampaknya berpacu ingin menguasai Lampung. Cirebon tentu saja tidak berperan sebagai penjajah tetapi bahkan sebaliknya, ingin menyelamatkan Lampung dari cengkraman penjajahan. Dan penajajahan buka karakter Cirebon dan Banten sebagai Kesultanan dakwah Islamiyah. Peran Cirebon dan Banten sebagai pembawa missi dakwah akan nampak pada upaya Islamisasi di Lampung.

Memang diberbagai daerah di Lampung, para tokoh telah menganut agama Islam, tetapi karena bukan merupakan raja raja yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas, maka kepenganutan para tokoh ini tidak serta merta bersifat otomatis untuk menganut agama yang sama, melainkan membutuhkan proses. Namun terbentuknya piil pesenggiri ini akan menampakkan keberhasilan tas upaya proses Islamisasi itu. Dan salah satu unsure piil pesenggiri adalah sakai sambaian.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu sakai yang berasal dari akai atau kakkai yang artinya buka, lalu menajdi se-akai yang artinya saling membuka. Sikap keterbukaan adalah sikap koperatif yang ditanamkan melalui piil pesenggiri. Sikap koperatif ini menjadi sangat penting mengingat penduduk lampung pada saat itu masih sangat terbatas, sehingga Kesultanan Islam Lampung akan menjadi ajang akulturasi.

Persentuhan budaya Lampung dengan budaya lain, khusnya budaya Jawa, untuk mengantisipasi masuknya bangsa penjajah adalah sangat dibutuhkan, karena baik penduduk Lampung maupun pendatang harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Keutuhan itu hanya akan dapat terbentuk melalui sikap keterbukaan belaka. Dan cengkraman bangsa penjajah hanya dapat diantisipasi dengan rasa kesatuan dan persatuan.

Keterbukaan atau sakai, juga bermakna bersedia untuk mengevaluasi diri serta mengakui kekurangan dan kesediaan menerima masukan yang lebih baik. Dalam sikap seperti ini maka kebenaran adalah diatas segala galanya. Itulah sebabnya selain sakai juga diharuskan bersikap sambaian. Berasal dari kata sambai atau sumbai, setidaknya terdapat tiga arti kata sambai atau sumbai yaitu baca, waspadai dan asuh.

Sambai dapat diartikan sebagai membaca, memperhatikan, mempelajari atau membandingkan. Kegiatan membaca ini menyertai keterbukaan, artinya setiap seseorang dituntut untuk terbuka dengan segala resiko bahwa kondisi internal dapat dibaca oleh orang lain, tetapi dalam waktu yang bersamaan kita juga harus mampu membaca lingkungan dan keadaan internal orang lain. Setiapo seseorang dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi lingkungan, lalu melakukan perbandingan serta mempertimbangkan berbagaiaspek untuk selanjutnya memantapkan sikap/

Makna sambai yang lain adalah waspada. Karena resiko dari keterbukaan sikap ini adalah diketahuinya berbagai sikap internal oleh pihak lain, maka dalam waktu yang bersamaan juga diharuskan mempunyai sikap sambai dalam artian waspada. Dengan sambai diharapkan keterbukaan ini bukan justru menjadikan kita sebagai bulan bulanan untuk dimanfaatkan oleh pihak lain. Utuk itu maka kewaspadaan terhadap hal hal yang tak diinginkan adalah merupakan tuntutan utama sikap sambai dalam sakai sambaian. Namun kewaspadaan (sambai) adalah merupakan sesuatu yang tak terlepaskan dari sikap keterbukan (sakai), sikap sambai adalah merupakan upaya untuk memilihara kebersamaan (koperatif).

Makna sambai yang ketiga adalah pelihara, asuh, besarkan. Keterbukaan dalam sakai sambaian dimaksudkan sebagai upaya memelihara (sambai/ sumbai) hubungan dengan pihak lain. Agar pitidak memiliki keraguan. Sikap sumbai atau sambai sangat diperlukan terutama juga bagi para perwatin, pimpinan adat, yang yang harus memiliki sikap asuh kepada segenap komunitas warganya. Sakai bagi seorang perwatin adalah bermakna keteladanan, sementara sambai adalah upaya mendidik sikap para anggota komunitas yang dipimpinnya, agar komunitas itu menjadi utuh. Disamping itu juga sambaoi bermakna membesarkan atau mengembangkan. Dengan bermodalkan keterbukaan maka dengan sumbai adalah wijud upaya untuk membesarkan komunitas kelompok agar dapat berkembang.

Sakai sambaian adalah sikap yang kooperatif yang dikehendaki oleh falsafah piil pesenggiri. Setiap seseorang diharapkan memiliki sikap menerima (sakai), tetapi dalam waktu yang bersamaan dia harus juga memberi (sambaian), dengan sakai seseorang siap dikoerksi, tetapi dalam waktu yang bersamaan dia juga harus mampu memberikan masukan atau koreksi (sambai) kepada pihak lain.

Nampaknya inilah sikap yang disepakati oleh para pimpinan adat sebagai modal untuk mendirikan Kesultanan Islam di Lampung. Dan dengan sikap sikap seperti ini manakala merata dimiliki oleh setiap seseorang sebagai anggota masyarakat pada Kesultanan tersebut, maka diyakini Kesultanan itu akan menjadi kukuh.

KONSEP KESETARAAN SOSIAL DALAM FALSAFAH PIIL PESENGGIRI

(NENGAH NYAPPUR)


Salah satu keunggulan falsafah piil pesenggiri adalah konsep piil pesenggiri tentang kesetaraan social. Apalagi konsep ini disusun nampaknya adalah sebagai persiapan pembentukan Kesultanan Islam di Lampung, bersama Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak. Luasnya wilayah Lampung serta sedikitnya jumlah penduduk yang ada pada saat itu, maka pembauran dengan warga asal jawa adalah suatu keniscayaan. Tetapi dengan telah dianutnya agama Islam oleh penduduk Lampung, maka berarti adalah merupakan peluang untuk bertemunya latar belakang budaya yang berbeda, yaitu antara budaya Jawa dan Sumatera dan Lampung sebagai medianya, serta Islam sebagai titik sentuhnya.

Pertemuan dua budaya di Lampung ini sebenarnya adalah ide cemerlang, karena masing masing pihak memiliki latar belakang karakter budaya yang berbeda. Budaya Jawa yang lebih berhasil melaksanakan ketertiban dan pemerintahan, sementara budaya Lampung Sumatera berlatar belakang budaya egaliter. Apalagi Lampung tidak dikuasai oleh seorang Raja yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Itulah sebabnya mereka menghasilkan kesepakatan yang bernama piil pesenggiri sebagai falsafh yang dianut dan nengah nyappur adalah sebagai salah satu unsurnya.

Tentu akan sangat mengejutkan, akan kemunculan nengah nyappur atau konsep kesetaraan sosial dalam falsafah piil pesenggiri, karena pada saat itu sebenarnya belum ada wacana tentang demokrasi, kekuasaan di daerah Jawa berada sepenuhnya ditangan raja. Namun filosofi ‘nengah nyappur’ yang dimaknai dengan kompetitif tersusun dengan indah. Sungguh konsep ini sebagai keajaiban, karena lahir sebelum eranya. Itulah salah satu keistimewaan piil pesenggiri, yang tidak dimiliki oleh falsafah di berbagai daerah lainnya.

Ditinjau dari segi bahasa atau kata maka nengah nyappur terdiri dari dua kata, yaitu nengah yang paling tidak memiliki tiga arti, yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Sedang nyappur artinya tenggang rasa.

Kerja keras, berketerampilan dan bertanding merupakan terjemahan dari kata nengah, maka jelas bahwa ketiganya bernuansa persaingan. Kerja keras umpamanya, jelas ini sebuah persaingan ntuk mendapatkan yang sebanyak banyaknya, seorang petani tentu mengharap hasil panen yang melimpah, seorang nelaian bekerja keras untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak banyaknya. Sedang keterampilan selalu saja dibutuhkan dalam rangka memberikan yang sebaik baiknya. Seorang pengrajin membutuhkan keterampialan agar dapat memberikan karya karya seni yang terbaik.

Kadangkala keterampilan lebih dibutuhkan dibanding dengan kemampuan akademis, ketika seseorang harus menyelesaikan pekerjaan yang memang kuarang membutuhkan kemampuan akademis seseorang. Dan tidak semua masalah harus diselesaikan secara akademis,tetapi lebih membutuhkan keterampilan, Karena keterampilan itu justeru untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik maka berarti keterampilan juga memiliki nuansa persaingan.

Piil pesenggiri akan menuntut daya saing seorang, manakala nengah diartikan sebagai bertanding, karena semua pertandingan dituntut kemenangan, tidak ada seorangpun petanding yang tampil digelanggang dngan niat untuk menjadi pecundang. Kalaupun ada istilah kalah sebelum bertanding, itu adalah menunjukkan ketiadaan daya saing seseorang, dan itu bukanlah karakter piil pesenggiri.Karena karakter piil pesenggiri adalah berdayasaing yang tinggi.

Tetapi selain memiliki dayasaing yang tinggi juga setiap seseorang dituntut untuk memiliki toleransi yang tinggi (nyappur). Seorang petani dituntut keberhasilannya memanen hasil tanaman sebanyak banyaknya, bukan berarti hasil panenan yang melimpah ruwah itu lalu ditumpuk dan bahkan terbuang percuma karena tak termakan lagi, karena hasil panenan jau melebihi kebutuhannya.

Panenan yang melebihi kebutuhan baik bagi dirinya maupun orang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya hendaklah memiliki peran social, artinya memiliki konstribusu untuk masyarakat. Sehingga kelebihan produksi itu merupakan wujud kepedulian social seseorang. Seorang petani menam jauh diatas kebutuhannya adalah karena kepedulian terhadap kebutuhan banyak orang.

Jelas penghasilan yang melebihi kapasitas kebutuhan bukanlah merupakan kerugian melainkan keuntungan adanya. Karena tidak semua orang dapat menghasilkan panenan seperti yang kita lakukan sehingga mereka harus membayar hasil panenan kita untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Walaupun orang lain harus membayar, tetapi mereka akan berterima kasih atas kelebnihan hasil panenan kita. Tidak ada salahnya bila seluruh masyarakat dalam waktu yang bersamaan bekerja keras untuk mencapai posisi puncak dalam profesi masing masing. Itulah yang dikehendaki oleh nengah nyappur, sehingga dapat kita artikan sebagai kompetitif.